Pesawat sudah mendarat dengan aman, Monica kini kembali ke Indonesia dengan tujuan yang lain, ia tak memberi tahu siapa pun termasuk William dan Arini. Telepon juga terus tersambung dengan Isabella, seolah Felicia memang hanya ingin membicarakan semuanya dengan tangan kanan Monica. Isabella menyuruh Monica untuk menunggu di hotel yang ada dekat bandara."Kenapa harus di hotel? Bukankah sebelumnya dia mengatakan akan melakukannya pertemuan di perusahaannya?" protes Monica.[Menurut keterangan yang saya terima, ibu Felicia ingin melakukan rapat tertutup untuk menghindari hal-hal yang akan merugikan kedua belah pihak.]Monica mendengus dan merasa tidak masuk akal, tapi karena Felicia adalah investor utama, sekaligus orang yang memiliki pengaruh penting dalam kelancaran usahanya, mau tak mau Monica akhirnya menuruti. Ia mengakhiri sambungan telepon dan masuk ke lobi hotel, kamar sudah dipesan langsung oleh Felicia. Prasangka buruk pun beterbangan di benaknya, ia sudah seperti Arini seka
"Bagaimana? Kau sudah memikirkannya dengan matang? Buang egoismu! Aku juga tidak akan merebut mereka darimu, hanya menyuruhmu kembali sebagai istriku, kita akan hidup normal layaknya pasangan suami istri. Jika kau terus keras kepala seperti ini, aku akan melakukan cara lain yang mungkin akan membuatmu menyesal seumur hidup.""Kau mengancamku?" geram Monica."Tidak. Hanya mengingatkan dirimu. Kau begitu keras kepala. Pikirkan saja! Aku juga bisa menggulingkan usahamu jika ingin. Jadi, pikirkan lagi menggunakan akal, paksa otakmu melunak agar tak terus menerus menjadi batu."Ia larut dalam pikirannya sendiri, mempertahankan ego dan merasa mampu berdiri sendiri pun perlahan roboh, jika ia hanya sendiri, tidak masalah, tapi dia punya tanggung jawab besar untuk masa depan anak-anaknya."Aku akan memberikan waktu satu Minggu untuk berpikir dan membuat keputusan, jika kau tetap keras kepala, maka aku akan melakukannya dengan caraku sendiri."Setelah Nahan mengucapkan itu, pintu yang tadinya
"Kejutan!" Edward dan Edgard refleks saja tersenyum senang, lain halnya dengan Monica yang masih bergeming tanpa kata. Apa yang harus ia lakukan, mengusir pria ini dan mengunci pintu, atau membiarkannya masuk begitu saja. "Tidak ada yang mau menyambut Daddy?" Kedua putranya langsung berhambur memeluk Nathan, tatapannya dan Monica seketika bertemu, Nathan tersenyum bangga seperti menunjukkan jika ia tak bisa melakukan apa pun untuk mengusirnya, anak-anaknya sudah berada dalam kendali dirinya sekarang. Ia berhasil memenangkan hati mereka tanpa terduga. Monica mau tak mau membiarkan Nathan masuk. Nathan menyerahkan beberapa barang bawaan untuk kedua anaknya, membuat mereka kegirangan bagai anak kecil. Sekarang ia bisa melihat sisi seorang anak dari putra kembarnya, mereka kegirangan dan berlari ke ruang tamu untuk membuka pemberian Nathan. Tersisa Monica dan Nathan yang berdiri di dekat pintu. "Kau mengikutiku?" selidik Monica setengah berbisik. "Tidak." "Cih, pembohong." Tiba
Pagi menjelang, tapi kedua insan berbeda jenis kelamin itu belum juga bangkit dari tempat ternyaman. Nathan merasakan ada sesuatu yang berat di atas tubuhnya, helai rambut juga mengganggu wajah Nathan tentunya, ia langsung saja terjaga, dan terkejut mendapati Monica yang terbaring dengan nyaman di dada kekarnya.Nathan tersenyum.Ternyata semalam Monica mengigau dan jatuh terguling ke lantai, ia bahkan tidak sadar telah berada di pelukan Nathan sepanjang malam. Dengan sengaja, Nathan mengusap kepala Monica, membiarkan istrinya terlelap lagi dalam jangka waktu yang cukup lama. 'Padahal dia sendiri yang mengatakan tidak sudi tidur denganku, tapi lihat sekarang, ia mendekati lebih dulu. Memang tidak bisa dipercaya,' batinnya mencibir.Tiba-tiba senyum Nathan berubah menjadi pulsa. Monica bangun, ia begitu terkejut mendapati dirinya tidur di atas dada Nathan, bahkan dirangkul dengan cukup erat."Ah, brengsek! Apa yang kau lakukan?"Monica menjerit dan langsung menjaga jarak, ia langsung
Nathan baru saja selesai mengganti baju santai, kemudian menatap kedua anaknya yang menunggu di meja makan. Biasanya ketika makan siang, mereka hanya memakan buah dan membuat susu sendiri, sementara Monica tak punya waktu untuk pulang di siang hari, wanita gila kerja itu akan berangkat pagi dan kembali ketika malam hari, dia lebih bekerja keras ketimbang karyawannya, padahal memiliki karyawan untuk dibantu, tapi Monica terlalu memaksakan diri hingga akhirnya tak punya banyak waktu untuk mengurus dua anaknya dengan baik. Nathan kesal, tapi tak menunjukkan itu di depan anaknya. Pantas saja mereka begitu senang dengan kedatangannya, mereka jelas saja masih butuh teman cerita dan berbagi keluh kesah, tapi mereka tak mendapatkan itu dari Monica.Ia juga bos perusahaan, memiliki banyak perusahaan tak membuatnya seperti ini, William juga sama, mereka kan bisa memantau dari rumah sambil menemani keluarga, tak perlu terlalu seperti ini, bukan hanya menyiksa diri, tapi juga menyiksa keinginan
"Maaf."Untuk pertama kalinya Monica sesenggukan, ia terus memeluk William yang masih kebingungan. Memangnya Monica melakukan kesalahan apa.Ternyata tadi setelah cukup lama merenung, Monica perlahan tersadar jika sebenarnya ia terlalu egois, ia tak pernah tahu apa yang anaknya sukai, ucapan Nathan membuatnya sadar jika ia terlalu abai dengan tugasnya sebagai seorang ibu.Karena kedatangan Nathan, anaknya mulai bisa mengekspresikan diri, tertawa dan tak lagi berdebat seperti biasa, tak ada lagi suara hening di meja makan, obrolan apa adanya, atau sekedar sapa di pagi hari, Nathan benar-benar mencairkan suasana, ia juga tidak berhak memisahkan mereka dari Nathan terlalu lama, pria itu benar-benar berubah sekarang.Bukankah semua orang punya masa lalu, begitu pun dengan dirinya. Mengapa ia hanya menghakimi kesalahan Nathan tapi tidak bercermin untuk diri sendiri, ia juga bukan wanita yang terlahir tanpa cela.Nathan membalas pelukan Monica, membuat wanita itu tenang. Di balik keras kepa
"Tidak ada yang tertinggal?" Monica masuk ke kamar Edward dan Edgard, memastikan kedua anaknya sudah selesai berkemas. Minggu lalu ia untuk pertama kalinya mengunjungi sekolah anak-anaknya, hari kelulusan yang memuaskan, Edward dan Edgard mendapatkan nilai tertinggi dan menjadi lulusan terbaik d tahun ini, dengan banyak prestasi yang berhasil mereka raih, bahkan kemarin putranya ditawari untuk menghadiri pameran lukisan sebagai tamu terhormat, padahal usianya masih terbilang belia.Tapi karena mereka harus pindah ke Indonesia, anaknya menolak tawaran itu dengan halus, ia lebih memilih membuka lembaran baru di tempat asal orang tuanya. "Semua sudah siap?""Sudah, Mommy."Monica langsung kembali ke kamarnya, memeriksa setiap sudut memastikan tak ada yang tertinggal. Rumah ini akan dijual, sebelum dihuni pemilik yang baru, ia tentu saja harus mengosongkan rumah tersebut. Monica menjual beberapa perabotan di situs online, lagi pula mereka tak mungkin bisa membawa semuanya ke sana. Han
"Kak, kau di mana?"Suara Arini terdengar dari seberang telepon, pasalnya yang ia lihat sepertinya Monica tidak berada di rumah yang biasa. Arini memicing, sementara Monica terlihat menahan tawa. Ia sengaja menghubungi adiknya untuk pamer."Tebak, aku di mana!""Hem, kau di rumah siapa?""Ayo tebak dulu!""Jangan bilang kau di Indonesia, Kak. Astaga kau pulang diam-diam tanpa mengabari? Apa kau membeli rumah baru di sana? Lalu di mana anak-anakmu? Kau sudah mulai berani menyembunyikan rahasia besar dari adikmu ya?"Monica tertawa kecil."Edward dan Edgard sudah berangkat ke sekolahnya yang baru bersama Nathan."Mendengar nama Nathan disebut, Arini melebarkan mata. "Kau di rumah Nathan?" Monica mengangguk."Kenapa jahat sekali? Kau tak memberitahuku kabar bahagia ini? Ayo katakan bagaimana ceritanya kau bisa luluh pada pria itu? Astaga! Besar juga nyalinya. Apa William tahu?""Tidak usah memberitahunya, Nathan sendiri yang akan cerita."Monica mulai larut dalam obrolan panjang bersama
Salah satu anak buah Ambar masuk dengan tergesa, pria itu ngos-ngosan dan ingin menjelaskan semuanya pada Ambar, bahwa Sean berhasil menerobos masuk dan sudah melumpuhkan anak buahnya yang lain. Tapi sebelum itu terjadi, suara pistol mengejutkan mereka,pria itu tertembak sebelum bicara."Sialan!"Ambar langsung menunduk mencari tempat aman, ia tak peduli jika nanti Jenni yang akan tertembak, tak peduli jika wanita yang diikat menggantung itu mati, yang penting ia selamat, berteriak memanggil bawahannya pun sulit, karena memang semua sudah dibereskan oleh Sean.Sean masuk dengan gagah, berjalan pelan dan menodongkan senjata ke arah Ambar yang kini menatap sang ayah."Ayah?"Sean tersenyum miring."Jika tidak ingat kau adalah darah dagingku, mungkin satu peluru ini sudah menembus kepalamu. Bangun!"Dengan takut-takut Ambar berdiri, ia mengangkat kedua tangan seolah menyerahkan diri. Sean mendorong tubuhnya dengan senjata, memerintahkannya untuk duduk di kursi, setelahnya ia mengarahkan
Kedua pria berbeda usia itu duduk saling berhadapan sat sama lain. Jika Edward menatapnya dengan kilat amarah, Sean malah menatapnya dengan bangga. Dari sekian banyak usahanya bersama William, ternyata yang bisa memecahkan masalah besar ini adalah Edward, cucunya yang paling cerdas dalam hal teknologi. "William, tinggalkan kami sebentar!" "Baik, Ayah." William bergegas pergi, termasuk Edgard sendiri. Kali ini Sean benar-benar ingin berbicara empat mata bersama Edward. "Mengapa mereka harus pergi? Agar tak tahu kebusukan mu, 'kan?" Sean tak ambil pusing. Ia menatap lurus ke depan, tatapan tajam Edward tak membuatnya gentar, ia seperti melihat dirinya sendiri dari sorot mata ini. "Aku akan memberitahumu kebenarannya, tapi berjanjilah untuk tidak menyalahkan siapa pun setelah mendengar penjelasanku. Siapa pun yang ada di dalam jawaban atas pertanyaanmu, kau tidak berhak menyalahkan atau mengorek informasi selanjutnya, karena ini masa lalu yang sudah ditutup selama puluha
"Apa yang terjadi dengan mereka tadi?" William kini menginterogasi sopirnya dengan ekspresi marah, semula ia berpikir jika dua anak itu berlari entah ke mana karena tak tahan dikekang. Tapi kondisi keduanya yang lemas, membuat William berpikir ulang tentang prasangka buruknya. "Maaf, Pak. Saya juga tidak mengerti. Tadi saya tak sadarkan diri, dan setelah bangun malah melihat dua tuan muda sudah terikat." "Kembali ke tempatmu sana!" William menatap dua keponakannya yang tak sadarkan diri, lantas menyuruh dua orang pria untuk membawa mereka ke dalam. Tapi, sebelum itu terjadi, Edward lebih dulu terbangun dan terbatuk-batuk. "Edward, kau tidak apa-apa?" tanya William panik. Habis sudah ia di tangan Monica, jika Monica tahu anaknya dalam bahaya, padahal ada dalam pengawasan William. "Hanya sedikit pusing, Paman." Edward memijat pelipisnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Aku, tidak ingat. Semua terjadi begitu cepat!" William langsung menyuruh orang untuk membopong Edward. Pr
"Kenapa anting ini rasanya familiar?"Sean dan William tengah berada di markas rahasia, keduanya ingin mengungkap sendiri pelaku yang hampir membuat nyawa Monica tiada. Anting itu terus saja Sean perhatikan, ia merasa tidak asing dengan barang milik wanita ini, seperti pernah melihatnya di telinga seseorang tapi siapa.William juga ikut memperhatikan, tapi ia sama sekali tidak tahu anting milik siapa itu. "Ayah, apa pernah melihat anting ini sebelumnya?"Sean mengangguk mantap, dan kini ia tengah memaksa otaknya untuk berpikir keras mencari jawaban. Sean memang jarang berbicara, ia lebih banyak bertindak dan menjadi salah satu orang paling teliti, hanya saja nasib buruk membawanya menjadi suami Yuan.Wanita itu benar-benar membuatnya tak habis pikir, bagaimana bisa mendiang ayahnya dulu percaya jika Yuan adalah jodohnya. Lupakan sejenak tentang Yuan, ia kemudian memilih untuk mengambil sebotol wine dari lemari pendingin, menuangkannya pada gelas kecil, dan menenggaknya perlahan. Bi
Sudah tiga hari Monica tak sadarkan diri, ia sepertinya lebih nyaman memejamkan mata dan sukses membuat Nathan gelisah. Pria itu bahkan beranjak dari tempatnya dalam waktu yang lama saja enggan. Beruntung peluru berhasil dikeluarkan, pendarahan juga terhenti tepat waktu, juga suatu kebetulan ada banyak stok darah yang sesuai dengan Monica di rumah sakit itu, sekarang Monica masih dalam masa pemulihan. Tapi ini sudah tiga hari, itu yang membuat Nathan khawatir jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Pria itu tak lepas dari sang istri, ia mengusap punggung tangan istrinya penuh cinta. Ketika ingin beranjak pun ia tetap memasang kamera pengawas, bahkan tak ada satu pun perawat yang ia percaya, ia terlalu merasa takut Monica terancam. "Sayang, bangun! Aku dan anak-anak merindukan dirimu. Bangun dan pukul saja aku! Aku adalah suami yang tidak berguna, aku tidak mampu melindungi mu dari bahaya. Jangan diam saja, Monica! Bangun dan pukul aku!" Netra tajamnya mengembun. Rasa cin
"Paman, mengapa bukan Daddy yang menjemput kami?" William masih fokus menyetir, ia tersenyum tipis mendengarkan pertanyaan salah satu keponakannya. "Daddy pasti sedang sibuk. Benarkan, Paman?" "Tentu saja." Suasana hening sebentar, tapi Edward merasa ada yang tidak beres, perasaannya selalu gelisah dan terus memikirkan keadaan Monica, apa wanita itu dalam bahaya, dan ketidakberadaan Nathan menjadi alasan terkuat di balik kondisi Monica, tapi pertanyaan itu hanya mengambang di pikirannya tanpa ia ungkapkan. Netranya memicing. Baru sadar jika ini bukan jalan pulang. "Paman, sepertinya kita salah jalan," tegur Edward. "Tidak. Ini jalan menuju rumah paman. Untuk sementara, kalian akan tinggal di rumah paman," cetus William. "Kenapa? Apa yang sudah terjadi di rumah?" Dua anak ini memang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Dengan sedikit bualan mungkin bisa menenangkan, ia hanya tak ingin konsentrasi belajar mereka terganggu karena masalah orang dewasa, mereka hanya harus belaj
"Tidak ada apa-apa. Menyebalkan!" Monica baru saja ingin beranjak, tapi tiba-tiba suara letusan senjata api terdengar di dekatnya. Boneka yang ia letakkan terjatuh begitu saja dengan kepala yang sudah koyak. Monica melebarkan netranya. Ia tak menyangka jika bahayanya akan lebih dari yang ia bayangkan. Bukan hanya lemparan batu, Ambar mulai memakai senapan untuk membunuh dirinya. Ia langsung mengambil kamera dan berlari ke lantai dasar. Monica mondar-mandir kebingungannya, suara tembakan terdengar lagi, kali ini berhasil menembus pintu rumah. Monica menjerit dan menutup telinga, ia bersembunyi di balik sofa agar tidak tertembak. Tangannya gemetar menghubungi Nathan, William, dan Sean secara bersamaan. Panggilan belum mendapatkan satu pun balasan. "Sial! Mereka pasti sedang sibuk." Monica buru-buru mengirim pesan suara dan mengirimnya pada tiga orang tersebut secara bersamaan. Ia dalam bahaya sekarang, mau tak mau harus bersembunyi atau berlari melalui pintu belakang. Suara
"Ada yang tidak beres sekarang. Ambar, kau masih ingin bermain denganku, 'kan? Aku akan menunjukkan permainan yang sesungguhnya," lirih Monica dengan tatapan tajam ke depan. Pecahan kaca itu tidak seberapa, masih bisa diganti, tapi teror yang akan dilakukan Ambar ke depannya tidak bisa diprediksi.Beruntung jika hanya dia yang diusik, tapi bagaimana jika putranya yang jadi sasaran dendam tak beralasan Ambar. Sekali pun ia tak melihat langsung pelakunya, ia sudah yakin jika ini adalah ulah Ambar. Wanita itu bisa keluar masuk rumah sakit sesuka hatinya.Deru mobil berhenti di depan, suami dan anak-anaknya sudah pulang. Nathan langsung masuk bersama dua putranya, seperti biasa orang pertama yang mereka cari adalah Monica. Wanita itu tak ingin membuat Nathan cemas, ia bersikap seperti biasa dan menghampiri suaminya."Tolong ganti jendela dapur! Sepertinya ada orang iseng yang tidak sengaja memecahkan kaca barusan," pinta Monica tersenyum tipis. Ia membantu Nathan melepas dasi, dan membawa
"K-kau?" Perempuan itu tersenyum. Ia memegang tangan Monica dengan tatapan lembutnya. Monica melihat ketulusan dalam diri perempuan yang tadi ia pikir gila. "Aku dulu adalah perawat di sini. Dan dia salah satu pasienku," ucapnya memulai pembicaraan sembari menunjuk ke arah Ambar. Ambar tak sadar jika diawasi dari jauh, ia terlalu sibuk bersandiwara di depan Nathan. "Lalu, mengapa kau berpenampilan seperti orang gila?" "Semua karena dia. Dia wanita licik dan jahat, dia tidak pernah gila, hasil pemeriksaan normal, ia hanya menderita halusinasi tapi tak parah. Awal kedatangannya, aku pikir dia menyedihkan. Ternyata dia wanita jahat, sering menyiksa dan menyuntik perawat dengan obat bius, tapi saat diperiksa ia akan bersikap seperti orang gila yang memberontak dan seperti pasien yang mengalami trauma berlebih. Dia melakukan itu karena tak ingin dipenjara, ia juga selalu memukulku tanpa sebab sembari menyebut nama Arini dan Monica. Apa kau Arini, atau Monica?" "Monica." "Di