"Sayang, aku menginginkanmu malam ini," bisik Nathan nakal. Monica tersenyum malu. Ia baru saja selesai mandi dan memakai krim malam. Aroma wangi semerbak semakin menggoda iman suaminya. Monica yang berniat menggoda, ia berjalan ke kasur dan menunjukkan senyum nakal. Akhirnya Nathan mematikan lampu, dan mulai tenggelam di balik selimut bersama istrinya. Semua pasti tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hari demi hari berjalan seperti biasa, seolah ujian rumah tangga mereka sudah usai. Hari berganti bulan, sudah tiga bulan berlalu Monica tidak mendapati tamu bulanannya. Ia mulai cemas, badannya lemas, jika benar ia hamil, apa itu tak akan menimbulkan kecemburuan dalam hati anak-anaknya. Monica akhirnya memberanikan diri untuk memesan alat tes kehamilan. Ia menunggu dengan cemas sampai pengantar paketnya datang. Buru-buru ia membuka, dan berjalan menuju kamar mandi. Monica menunggu beberapa saat dengan perasaan gelisah, dan hasilnya membuat ia bingung harus senang atau sedih.
"Sayang, kau yakin tidak ada sesuatu yang ingin kau ceritakan padaku?" Monica menghampiri suaminya di ruang kerja saat malam hari, ia meletakkan secangkir kopi susu di meja agar tak membuat Nathan mudah lelah dan mengantuk saat bekerja. "Tentang apa? Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu gelisah." Nathan menatapnya sekilas, kemudian kembali fokus dengan komputer di hadapannya. Ia tak terlalu menanggapi dengan serius karena memang tak ada rahasia apa pun yang disembunyikan. Monica duduk di kursi panjang, tepat di sudut ruangan. Bayangan wajah Ambar yang ia lihat di supermarket kemarin seperti memaksanya untuk bertanya. Arini mengatakan jika Ambar berada di rumah sakit jiwa, tapi kemarin tidak mungkin ia salah lihat. Mendapati istrinya diam saja, Nathan buru-buru menyelesaikan pekerjaannya, kemudian mematikan komputer. Ia menyeruput kopi susu dengan tenang, sebelum akhirnya menghampiri Monica yang duduk dengan gelisah. "Kenapa, Sayang?" Nathan menggenggam kedua tangan Monica, dan
"K-kau?" Perempuan itu tersenyum. Ia memegang tangan Monica dengan tatapan lembutnya. Monica melihat ketulusan dalam diri perempuan yang tadi ia pikir gila. "Aku dulu adalah perawat di sini. Dan dia salah satu pasienku," ucapnya memulai pembicaraan sembari menunjuk ke arah Ambar. Ambar tak sadar jika diawasi dari jauh, ia terlalu sibuk bersandiwara di depan Nathan. "Lalu, mengapa kau berpenampilan seperti orang gila?" "Semua karena dia. Dia wanita licik dan jahat, dia tidak pernah gila, hasil pemeriksaan normal, ia hanya menderita halusinasi tapi tak parah. Awal kedatangannya, aku pikir dia menyedihkan. Ternyata dia wanita jahat, sering menyiksa dan menyuntik perawat dengan obat bius, tapi saat diperiksa ia akan bersikap seperti orang gila yang memberontak dan seperti pasien yang mengalami trauma berlebih. Dia melakukan itu karena tak ingin dipenjara, ia juga selalu memukulku tanpa sebab sembari menyebut nama Arini dan Monica. Apa kau Arini, atau Monica?" "Monica." "Di
"Ada yang tidak beres sekarang. Ambar, kau masih ingin bermain denganku, 'kan? Aku akan menunjukkan permainan yang sesungguhnya," lirih Monica dengan tatapan tajam ke depan. Pecahan kaca itu tidak seberapa, masih bisa diganti, tapi teror yang akan dilakukan Ambar ke depannya tidak bisa diprediksi.Beruntung jika hanya dia yang diusik, tapi bagaimana jika putranya yang jadi sasaran dendam tak beralasan Ambar. Sekali pun ia tak melihat langsung pelakunya, ia sudah yakin jika ini adalah ulah Ambar. Wanita itu bisa keluar masuk rumah sakit sesuka hatinya.Deru mobil berhenti di depan, suami dan anak-anaknya sudah pulang. Nathan langsung masuk bersama dua putranya, seperti biasa orang pertama yang mereka cari adalah Monica. Wanita itu tak ingin membuat Nathan cemas, ia bersikap seperti biasa dan menghampiri suaminya."Tolong ganti jendela dapur! Sepertinya ada orang iseng yang tidak sengaja memecahkan kaca barusan," pinta Monica tersenyum tipis. Ia membantu Nathan melepas dasi, dan membawa
"Tidak ada apa-apa. Menyebalkan!" Monica baru saja ingin beranjak, tapi tiba-tiba suara letusan senjata api terdengar di dekatnya. Boneka yang ia letakkan terjatuh begitu saja dengan kepala yang sudah koyak. Monica melebarkan netranya. Ia tak menyangka jika bahayanya akan lebih dari yang ia bayangkan. Bukan hanya lemparan batu, Ambar mulai memakai senapan untuk membunuh dirinya. Ia langsung mengambil kamera dan berlari ke lantai dasar. Monica mondar-mandir kebingungannya, suara tembakan terdengar lagi, kali ini berhasil menembus pintu rumah. Monica menjerit dan menutup telinga, ia bersembunyi di balik sofa agar tidak tertembak. Tangannya gemetar menghubungi Nathan, William, dan Sean secara bersamaan. Panggilan belum mendapatkan satu pun balasan. "Sial! Mereka pasti sedang sibuk." Monica buru-buru mengirim pesan suara dan mengirimnya pada tiga orang tersebut secara bersamaan. Ia dalam bahaya sekarang, mau tak mau harus bersembunyi atau berlari melalui pintu belakang. Suara
"Paman, mengapa bukan Daddy yang menjemput kami?" William masih fokus menyetir, ia tersenyum tipis mendengarkan pertanyaan salah satu keponakannya. "Daddy pasti sedang sibuk. Benarkan, Paman?" "Tentu saja." Suasana hening sebentar, tapi Edward merasa ada yang tidak beres, perasaannya selalu gelisah dan terus memikirkan keadaan Monica, apa wanita itu dalam bahaya, dan ketidakberadaan Nathan menjadi alasan terkuat di balik kondisi Monica, tapi pertanyaan itu hanya mengambang di pikirannya tanpa ia ungkapkan. Netranya memicing. Baru sadar jika ini bukan jalan pulang. "Paman, sepertinya kita salah jalan," tegur Edward. "Tidak. Ini jalan menuju rumah paman. Untuk sementara, kalian akan tinggal di rumah paman," cetus William. "Kenapa? Apa yang sudah terjadi di rumah?" Dua anak ini memang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Dengan sedikit bualan mungkin bisa menenangkan, ia hanya tak ingin konsentrasi belajar mereka terganggu karena masalah orang dewasa, mereka hanya harus belaj
Sudah tiga hari Monica tak sadarkan diri, ia sepertinya lebih nyaman memejamkan mata dan sukses membuat Nathan gelisah. Pria itu bahkan beranjak dari tempatnya dalam waktu yang lama saja enggan. Beruntung peluru berhasil dikeluarkan, pendarahan juga terhenti tepat waktu, juga suatu kebetulan ada banyak stok darah yang sesuai dengan Monica di rumah sakit itu, sekarang Monica masih dalam masa pemulihan. Tapi ini sudah tiga hari, itu yang membuat Nathan khawatir jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Pria itu tak lepas dari sang istri, ia mengusap punggung tangan istrinya penuh cinta. Ketika ingin beranjak pun ia tetap memasang kamera pengawas, bahkan tak ada satu pun perawat yang ia percaya, ia terlalu merasa takut Monica terancam. "Sayang, bangun! Aku dan anak-anak merindukan dirimu. Bangun dan pukul saja aku! Aku adalah suami yang tidak berguna, aku tidak mampu melindungi mu dari bahaya. Jangan diam saja, Monica! Bangun dan pukul aku!" Netra tajamnya mengembun. Rasa cin
"Kenapa anting ini rasanya familiar?"Sean dan William tengah berada di markas rahasia, keduanya ingin mengungkap sendiri pelaku yang hampir membuat nyawa Monica tiada. Anting itu terus saja Sean perhatikan, ia merasa tidak asing dengan barang milik wanita ini, seperti pernah melihatnya di telinga seseorang tapi siapa.William juga ikut memperhatikan, tapi ia sama sekali tidak tahu anting milik siapa itu. "Ayah, apa pernah melihat anting ini sebelumnya?"Sean mengangguk mantap, dan kini ia tengah memaksa otaknya untuk berpikir keras mencari jawaban. Sean memang jarang berbicara, ia lebih banyak bertindak dan menjadi salah satu orang paling teliti, hanya saja nasib buruk membawanya menjadi suami Yuan.Wanita itu benar-benar membuatnya tak habis pikir, bagaimana bisa mendiang ayahnya dulu percaya jika Yuan adalah jodohnya. Lupakan sejenak tentang Yuan, ia kemudian memilih untuk mengambil sebotol wine dari lemari pendingin, menuangkannya pada gelas kecil, dan menenggaknya perlahan. Bi
Salah satu anak buah Ambar masuk dengan tergesa, pria itu ngos-ngosan dan ingin menjelaskan semuanya pada Ambar, bahwa Sean berhasil menerobos masuk dan sudah melumpuhkan anak buahnya yang lain. Tapi sebelum itu terjadi, suara pistol mengejutkan mereka,pria itu tertembak sebelum bicara."Sialan!"Ambar langsung menunduk mencari tempat aman, ia tak peduli jika nanti Jenni yang akan tertembak, tak peduli jika wanita yang diikat menggantung itu mati, yang penting ia selamat, berteriak memanggil bawahannya pun sulit, karena memang semua sudah dibereskan oleh Sean.Sean masuk dengan gagah, berjalan pelan dan menodongkan senjata ke arah Ambar yang kini menatap sang ayah."Ayah?"Sean tersenyum miring."Jika tidak ingat kau adalah darah dagingku, mungkin satu peluru ini sudah menembus kepalamu. Bangun!"Dengan takut-takut Ambar berdiri, ia mengangkat kedua tangan seolah menyerahkan diri. Sean mendorong tubuhnya dengan senjata, memerintahkannya untuk duduk di kursi, setelahnya ia mengarahkan
Kedua pria berbeda usia itu duduk saling berhadapan sat sama lain. Jika Edward menatapnya dengan kilat amarah, Sean malah menatapnya dengan bangga. Dari sekian banyak usahanya bersama William, ternyata yang bisa memecahkan masalah besar ini adalah Edward, cucunya yang paling cerdas dalam hal teknologi. "William, tinggalkan kami sebentar!" "Baik, Ayah." William bergegas pergi, termasuk Edgard sendiri. Kali ini Sean benar-benar ingin berbicara empat mata bersama Edward. "Mengapa mereka harus pergi? Agar tak tahu kebusukan mu, 'kan?" Sean tak ambil pusing. Ia menatap lurus ke depan, tatapan tajam Edward tak membuatnya gentar, ia seperti melihat dirinya sendiri dari sorot mata ini. "Aku akan memberitahumu kebenarannya, tapi berjanjilah untuk tidak menyalahkan siapa pun setelah mendengar penjelasanku. Siapa pun yang ada di dalam jawaban atas pertanyaanmu, kau tidak berhak menyalahkan atau mengorek informasi selanjutnya, karena ini masa lalu yang sudah ditutup selama puluha
"Apa yang terjadi dengan mereka tadi?" William kini menginterogasi sopirnya dengan ekspresi marah, semula ia berpikir jika dua anak itu berlari entah ke mana karena tak tahan dikekang. Tapi kondisi keduanya yang lemas, membuat William berpikir ulang tentang prasangka buruknya. "Maaf, Pak. Saya juga tidak mengerti. Tadi saya tak sadarkan diri, dan setelah bangun malah melihat dua tuan muda sudah terikat." "Kembali ke tempatmu sana!" William menatap dua keponakannya yang tak sadarkan diri, lantas menyuruh dua orang pria untuk membawa mereka ke dalam. Tapi, sebelum itu terjadi, Edward lebih dulu terbangun dan terbatuk-batuk. "Edward, kau tidak apa-apa?" tanya William panik. Habis sudah ia di tangan Monica, jika Monica tahu anaknya dalam bahaya, padahal ada dalam pengawasan William. "Hanya sedikit pusing, Paman." Edward memijat pelipisnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Aku, tidak ingat. Semua terjadi begitu cepat!" William langsung menyuruh orang untuk membopong Edward. Pr
"Kenapa anting ini rasanya familiar?"Sean dan William tengah berada di markas rahasia, keduanya ingin mengungkap sendiri pelaku yang hampir membuat nyawa Monica tiada. Anting itu terus saja Sean perhatikan, ia merasa tidak asing dengan barang milik wanita ini, seperti pernah melihatnya di telinga seseorang tapi siapa.William juga ikut memperhatikan, tapi ia sama sekali tidak tahu anting milik siapa itu. "Ayah, apa pernah melihat anting ini sebelumnya?"Sean mengangguk mantap, dan kini ia tengah memaksa otaknya untuk berpikir keras mencari jawaban. Sean memang jarang berbicara, ia lebih banyak bertindak dan menjadi salah satu orang paling teliti, hanya saja nasib buruk membawanya menjadi suami Yuan.Wanita itu benar-benar membuatnya tak habis pikir, bagaimana bisa mendiang ayahnya dulu percaya jika Yuan adalah jodohnya. Lupakan sejenak tentang Yuan, ia kemudian memilih untuk mengambil sebotol wine dari lemari pendingin, menuangkannya pada gelas kecil, dan menenggaknya perlahan. Bi
Sudah tiga hari Monica tak sadarkan diri, ia sepertinya lebih nyaman memejamkan mata dan sukses membuat Nathan gelisah. Pria itu bahkan beranjak dari tempatnya dalam waktu yang lama saja enggan. Beruntung peluru berhasil dikeluarkan, pendarahan juga terhenti tepat waktu, juga suatu kebetulan ada banyak stok darah yang sesuai dengan Monica di rumah sakit itu, sekarang Monica masih dalam masa pemulihan. Tapi ini sudah tiga hari, itu yang membuat Nathan khawatir jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Pria itu tak lepas dari sang istri, ia mengusap punggung tangan istrinya penuh cinta. Ketika ingin beranjak pun ia tetap memasang kamera pengawas, bahkan tak ada satu pun perawat yang ia percaya, ia terlalu merasa takut Monica terancam. "Sayang, bangun! Aku dan anak-anak merindukan dirimu. Bangun dan pukul saja aku! Aku adalah suami yang tidak berguna, aku tidak mampu melindungi mu dari bahaya. Jangan diam saja, Monica! Bangun dan pukul aku!" Netra tajamnya mengembun. Rasa cin
"Paman, mengapa bukan Daddy yang menjemput kami?" William masih fokus menyetir, ia tersenyum tipis mendengarkan pertanyaan salah satu keponakannya. "Daddy pasti sedang sibuk. Benarkan, Paman?" "Tentu saja." Suasana hening sebentar, tapi Edward merasa ada yang tidak beres, perasaannya selalu gelisah dan terus memikirkan keadaan Monica, apa wanita itu dalam bahaya, dan ketidakberadaan Nathan menjadi alasan terkuat di balik kondisi Monica, tapi pertanyaan itu hanya mengambang di pikirannya tanpa ia ungkapkan. Netranya memicing. Baru sadar jika ini bukan jalan pulang. "Paman, sepertinya kita salah jalan," tegur Edward. "Tidak. Ini jalan menuju rumah paman. Untuk sementara, kalian akan tinggal di rumah paman," cetus William. "Kenapa? Apa yang sudah terjadi di rumah?" Dua anak ini memang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Dengan sedikit bualan mungkin bisa menenangkan, ia hanya tak ingin konsentrasi belajar mereka terganggu karena masalah orang dewasa, mereka hanya harus belaj
"Tidak ada apa-apa. Menyebalkan!" Monica baru saja ingin beranjak, tapi tiba-tiba suara letusan senjata api terdengar di dekatnya. Boneka yang ia letakkan terjatuh begitu saja dengan kepala yang sudah koyak. Monica melebarkan netranya. Ia tak menyangka jika bahayanya akan lebih dari yang ia bayangkan. Bukan hanya lemparan batu, Ambar mulai memakai senapan untuk membunuh dirinya. Ia langsung mengambil kamera dan berlari ke lantai dasar. Monica mondar-mandir kebingungannya, suara tembakan terdengar lagi, kali ini berhasil menembus pintu rumah. Monica menjerit dan menutup telinga, ia bersembunyi di balik sofa agar tidak tertembak. Tangannya gemetar menghubungi Nathan, William, dan Sean secara bersamaan. Panggilan belum mendapatkan satu pun balasan. "Sial! Mereka pasti sedang sibuk." Monica buru-buru mengirim pesan suara dan mengirimnya pada tiga orang tersebut secara bersamaan. Ia dalam bahaya sekarang, mau tak mau harus bersembunyi atau berlari melalui pintu belakang. Suara
"Ada yang tidak beres sekarang. Ambar, kau masih ingin bermain denganku, 'kan? Aku akan menunjukkan permainan yang sesungguhnya," lirih Monica dengan tatapan tajam ke depan. Pecahan kaca itu tidak seberapa, masih bisa diganti, tapi teror yang akan dilakukan Ambar ke depannya tidak bisa diprediksi.Beruntung jika hanya dia yang diusik, tapi bagaimana jika putranya yang jadi sasaran dendam tak beralasan Ambar. Sekali pun ia tak melihat langsung pelakunya, ia sudah yakin jika ini adalah ulah Ambar. Wanita itu bisa keluar masuk rumah sakit sesuka hatinya.Deru mobil berhenti di depan, suami dan anak-anaknya sudah pulang. Nathan langsung masuk bersama dua putranya, seperti biasa orang pertama yang mereka cari adalah Monica. Wanita itu tak ingin membuat Nathan cemas, ia bersikap seperti biasa dan menghampiri suaminya."Tolong ganti jendela dapur! Sepertinya ada orang iseng yang tidak sengaja memecahkan kaca barusan," pinta Monica tersenyum tipis. Ia membantu Nathan melepas dasi, dan membawa
"K-kau?" Perempuan itu tersenyum. Ia memegang tangan Monica dengan tatapan lembutnya. Monica melihat ketulusan dalam diri perempuan yang tadi ia pikir gila. "Aku dulu adalah perawat di sini. Dan dia salah satu pasienku," ucapnya memulai pembicaraan sembari menunjuk ke arah Ambar. Ambar tak sadar jika diawasi dari jauh, ia terlalu sibuk bersandiwara di depan Nathan. "Lalu, mengapa kau berpenampilan seperti orang gila?" "Semua karena dia. Dia wanita licik dan jahat, dia tidak pernah gila, hasil pemeriksaan normal, ia hanya menderita halusinasi tapi tak parah. Awal kedatangannya, aku pikir dia menyedihkan. Ternyata dia wanita jahat, sering menyiksa dan menyuntik perawat dengan obat bius, tapi saat diperiksa ia akan bersikap seperti orang gila yang memberontak dan seperti pasien yang mengalami trauma berlebih. Dia melakukan itu karena tak ingin dipenjara, ia juga selalu memukulku tanpa sebab sembari menyebut nama Arini dan Monica. Apa kau Arini, atau Monica?" "Monica." "Di