Aku berjalan mengampiri dan berhenti tepat di hadapan Aksa. Aku melihat tangannya yang mengepal. Mungkin saja, jika aku seorang lelaki, sudah dari tadi dia melayangkan pukulan. Dia saja berani menamparku. Bukan tidak mungkin, jika dia juga berani menjadikan wajahku sebagai ring tinju.“Kamu pikir aku takut denganmu!” Aku tersenyum sinis, lalu kembali berkata, “Aku bisa buat hubunganmu dengan Utami berakhir dalam hitungan detik. Semuanya terlalu gampang jika memang aku berniat jahat. Hubunganmu dengan Utami tidak akan bisa bertahan selama ini, kalau aku punya rencana gila seperti yang kamu tuduhkan … Tetapi, karena kamu sudah selalu mengatakan kalau aku ini perempuan hina dan gila, besok aku akan mengatakan pada Utami tentang pernikahan kita!”Tak aku duga, Aksa kembali menamparku. Rasanya sungguh sangat sakit. Aku ingin menangis, tetapi berusaha menahan. Jiwa dan raga merasa hancur di tampar oleh sosok yang dicinta.Aku mengusap bekas tamparan. Lalu tersenyum tipis pada Aksa, “pipi ya
Aku pun berdiri ketika gedoran pintu di sertai namaku semakin keras. Sebenarnya aku sangat malas membuka pintu. Pasti akan berdebat lagi dengan Aksa. Tetapi, jika aku tidak menggubris, lelaki itu akan semakin menjadi.Benar saja, setelah membuka pintu, aku melihat wajah Aksa yang sama seperti tadi - masih terlihat murka padaku. Apalagi yang akan dia katakan? Mengingat semua ucapannya tadi, aku masih terluka."Aku ingin bicara hal serius dengan kamu!" tutur Aksa dengan tatapannya yang tajam.Tumben membuka pembicaraan dengan perkataan begini. Biasanya jika ingin bicara, dia langsung melontarkan ujaran kasar tanpa basa-basi.Aku belum memberikan respon atas ucapan Aksa. Hanya menatapnya dalam diam. Sungguh wajah lelaki yang berstatus sebagai suamiku ini sangat ganteng. Dan aku sadar jika aku memiliki fisik yang tidak cocok bersanding dengannya."Bicara, Delisia! Jangan diam saja!“Aku mengerutkan alis. Belum juga beberapa detik berhadapan, Aksa sudah kembali membentak."Kalau ingin bica
*** Aku baru saja menidurkan Aura di kamarnya. Sudah empat hari Delisia tidak ke sini. Padahal, setelah bertemu Aura di kampus waktu itu, Delisia mulai rajin ke sini. Meskipun terkadang harus pulang, tidak bisa menginap. Aku tidak tahu, ada pembicaraan apa antara Aura dan Delisia. Padahal waktu itu, Delisia masih bersikeras tidak ingin lagi mengikuti rencana yang aku buat. Aku juga masih sibuk, jadi belum bisa bertemu Delisia secara langsung. Selain mengajar, aku juga sibuk mengurus perusahaan ayah. Dulu aku harus berbohong ketika ingin lebih dekat dengan Delisia. Aku terpaksa melakukannya, karena tidak terima dengan berita yang disampaikan oleh orang suruhanku. Ya, aku memaksa Delisia agar mau menjaga Aura. Lebih tepatnya aku mengatakan padanya untuk menjadi guru les. Padahal kenyataannya, aku ingin dia menjaga Aura di rumah. Aku sudah beberapa kali mengganti pengasuh, karena Aura yang selalu berulah dan membuat mereka tidak betah. Ketika mendengar dari orang suruhanku, kalau Deli
Lama mengingat tentang Delisia, pikiranku pun melayang pada momen saat itu. Tepat di hari aku menjadi seorang ayah. Momen yang memberi kenangan membahagiakan namun juga mengandung kepahitan yang tak mudah di lupa.Ketika itu aku sedang menunggu di depan kamar bersalin. Aku tidak di perbolehkan masuk untuk menemani istriku. Walaupun aku sudah lama bekerja menjadi dokter di sana. Ya, aku memang seorang dokter. Tetapi itu dulu, sebelum musibah menerpa.Saat sedang menunggu dengan doa yang terus di lafaskan, seorang perawat keluar sambil tersenyum, menggendong bayi cantik yang baru saja menyapa dunia lewat tangisannya. Istriku sedang di tangani oleh Andika dan rekan-rekannya yang sedang bertugas di ruang persalinan.Semua berjalan dengan lancar. Aku sangat senang, karena telah resmi menjadi sosok ayah. Aku masih berdiri di depan ruang persalinan. Menunggu di suruh masuk untuk menemui istriku.Tiga puluh menit kemudian, aku melihat tiga orang mahasiswa bidan keluar dengan beberapa perawat
*** Aku sedang berjalan cepat menuju ruang kuliah. Harusnya aku masuk jam delapan. Sekarang sudah pukul delapan lewat empat puluh lima menit. Aku tiba-tiba berhenti, saat mendengar beberapa mahasiswa yang sedang menyebut namaku. “Itu benar nggak, sih? Aku kurang percaya. Masa iya, laki-laki seperti Pak Firman menyukai perempuan kayak Delisia. Selera Pak Firman itu pasti sukanya ke perempuan seperti kita-kita ini. Benar nggak?” Mereka tidak sadar, jika aku ada di belakang. Mereka duduk bertiga menghadap ke taman fakultas. Sedangkan aku berdiri di lorong menuju kelas. Aku belum ingin beranjak, masih mau mendengar kalimat apa yang akan mereka katakana tentang perempuan yang aku cintai. Memangnya ada apa dengan Delisia? Kenapa aku tidak pantas menyukai perempuan sepertinya. “Iya, aku juga tidak percaya. Tetapi, gosip itu sudah tersebar. Nggak tahu deh, siapa yang sudah menyebarkan. Dan info itu di dapat dari mana. Kalau menurutku, itu bisa jadi hanya ucapan candaan dari beberapa orang
“Hanya satu soal yang aku berikan! … Jelaskan menurut pendapat kalian, tentang dampak globalisasi pada masyarakat pedesaan!.” Aku berkata sambil berdiri di depan kelas. Semua mahasiswa menulis di atas kertas. “Silahkan kerjakan! Aku kasih waktu kalian lima belas menit dari sekarang!.” Aku memang sering memberikan kuis dadakan pada mahasiswa. Mungkin menurut banyak mahasiswa aku ini dosen yang galak dan misterius. Itu hanya menurut pendapatku. Memang selama mengajar, aku sengaja memasang wajah yang tak pernah tersenyum. Aku ingin menunjukan ke semua mahasiswa, agar mereka menghormatiku. Aku meyakini jika dosen yang killier akan di hargai oleh mahasiswa. Meskipun aku sudah memperlihatkan gaya yang begini, masih ada saja mahasiswa yang berani merayuku. Ya, aku bisa tahu dari cara mereka mengirim pesan. Tetapi, aku tidak pernah tergoda. Apalagi sekarang aku sudah memiliki seseorang yang dicinta. Perempuan berpakaian dan bermake up menor seperti mereka, bukan seleraku. “Waktunya sudah h
“Kenapa? … Apa yang membuatmu punya keputusan seperti ini?” ujarku dengan tenang namun tegas. Sorot mataku tajam menatap Delisia. Jangan! Delisia tidak boleh membuat keputusan seperti ini. Bagaimana cara agar aku mencegahnya? Apa aku harus kembali mengancamnya dan membuat dia takut padaku? Tetapi, aku kasian pada Delisia jika harus memarahinya atau berkata kasar. Sunggh, aku sebenarnya tidak tega jika merendahkan dan menghinanya. Lelaki mana yang bisa tenang setelah menyakiti perasaan perempuan yang dia cintai? Aku rasa tidak ada. Jika lelaki itu tulus mencintai, dia akan menjaga persaan sosok yang dicinta. “Aku ada kerjaan lain, Pak. Makanya tidak bisa kalau harus ke rumah bapak lagi.” Delisia berkata dengan gugup. Aku yakin dia bohong. Buktinya saja, dia tidak berani menatapku. “Berapa gajimu di pekerjaan itu? Aku akan membayarmu lima kali lipat.” Aku masih berkata dengan sorot mata yang tajam. Delisia menggelengkan kepala. “Ini bukan soal gaji, Pak. Tetapi, aku benar-benar tidak
Aku tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi kalau Delisia tidak lagi menjadi pengasuh Aura. Apa yang akan aku katakan jika nanti anak tersayangku itu bertanya? Mungkin aku harus kembali berbohong agar tidak melukai hatinya. Aku melihat jam di pergelangan tangan. Ternyata sudah pukul sebelas lewat lima belas menit. Jam setengah dua belas ini, Aura pulang sekolah. Tadi saat mengantar, guru kelas Aura mengatakan jika hari ini guru-guru akan mengadakan rapat. Sehingga semua siswa akan di pulangkan lebih cepat dari jam biasanya. Aku pun bergegas. Melangkah dengan sorot mata tajam. Sepanjang jalan, banyak mahasiswi yang melihatku. Bukannya terlalu percaya diri, hanya saja tatapan mereka memang menggambarkan sebuah kekaguman padaku. Tak perlu mendengar langsung kalimat pujian dan kaguman, aku bisa melihat dari gerak gerik mereka. Dua puluh menit dalam perjalan, aku akhirnya tiba di sekolah dasar swasta ternama di kota ini. Sekolah yang cukup megah dengan kualitas pendidikan terbaik. Ti
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau