*** Aku sedang mengendara mobil, ingin menemui kekasihku – Utami. Aku sangat mencintainya. Meskipun sekarang telah menikah dengan seorang perempuan buluk, tetapi hatiku masih untuk Utami. Perbedaan Utami dan Delisia sangat jauh. Utami cantik, putih, dan tinggi. Dia juga sosok perempuan lembut dan manja. Aku bahkan tidak menemukan satupun kekurangan Utami. Sedangkan Delisia, ahhh, aku tidak bisa menyebutkan satu per satu kekurangannya. Terlalu banyak dan tak bisa di hitung dengan sepuluh jariku Menikah dengan Delisia adalah nasib tersial yang telah terjadi padaku. Bagaimana mungkin aku yang fisiknya begini, berjodoh dengan perempuan seperti Delisia? Aku menyukai perempuan yang kemana-mana selalu berhias diri. Setidaknya, wajah yang jelek sedikit bisa tertutupi. Namun Delisia, tak pernah sekalipun aku melihatnya bermake up ketika ke kampus. Dia selalu memakai jilbab panjang menutup dada tanpa sedikitpun make up di wajah. Bagiku dia seorang perempuan kulot. Sampai sekarang, benak masih
“Sayang, maaf ya aku ngerepotin kamu pagi-pagi. Aku nggak tahu kenapa mobilku bisa mogok,” ujar Utami dengan suara manja padaku.Aku kini telah tiba di lokasi mobil Utami mogok. Dia menghampiriku dengan wajah panic. Aku langsung mengusap lembut pucak kepala kekasihku ini.“Tadi aku sudah menelepon pihak bengkel untuk mengambil mobilmu di sini. Tidak perlu khawatir, nggak lama lagi mereka akan tiba,” ujarku sambil tersenyum lembut pada Utami. Ya, tadi di perjalan ke sini, aku sudah menelepon pemilik bengkel langgananku. Yang pastinya bengkel miliknya sangat terkenal di kota ini.“Tetapi aku harus ke kampus sekarang, sayang. Jam setengah sembilan aku kuliah. Masa iya, aku harus nunggu sampai mobilku selesai di perbaiki.” Utami merengek. Wajahnya terlihat sangat cantik kalau sedang panik begini.Aku kembali mengusap puncak kepalanya, lalu bibir berkata, “kalau begitu aku antar kamu dulu ke kampus. Mobil ini, biar aku yang jaga. Aku masuk kuliah jam sepuluh jadi tidak masalah menunggu sam
Aku berjanji akan menikahi perempuan yang namanya sudah lama menjadi kekasihku. Hanya dia perempuan yang cocok bersanding denganku. Lagi pula, aku tidak ingin banyak orang menganggap aku lelaki buaya, kalau tidak jadi menikahi Utami.Di suatu ketika, saat aku dan Utami sedang nonton di apartemen, Utami mempertanyakan sesuatu yang membuatku terdiam beberapa detik.“Sayang, kapan kamu membawaku ke rumahmu? Selama kita pacaran, kamu belum mengenalkan aku ke orangtuamu.”Aku tersadar jika memang selama pacaran dengan Utami. Aku belum sekalipun membawanya bertemu dengan ayah. Aku jarang bercerita ke Utami tentang keluargaku. Saat bersamanya, aku lebih senang menjadi pendengar terbaik saat dia menceritakan kisah hidupnya. Sehingga, Utami pun tidak mengetahui jika sekarang aku hanya memiliki seorang ayah. Ibuku sudah lama meninggal – Sejak aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas.“Iya, sayang. Kapan ya orangtuaku bisa bertemu dengan kamu? Nanti aku akan tanyakan ke mereka.”Jawabanku
“Ini mobilnya kenapa, Bang?” tanya karyawan bengkel yang bernama Diwan. Dia dan satu temannya baru saja tiba di lokasi. Mereka langsung memeriksa kerusakan mobil.“Aku nggak tahu, tadi pacarku nelepon kalau mobilnya tiba-tiba mogok,” ujarku yang kini berdiri di samping Diwan. Aku memang bukanlah lelaki yang tahu banyak tentang dunia mesin mesin mobil.“Kami bawa di bengkel saja ya. Kami mau pastikan dulu bagaimana keadaan mesinnya.”Diwan berkata sambil mengecek-ngecek mesin mobil.“Boleh. Ini kuncinya. Kalau sudah selesai, tolong kabari aku, Bang.” Aku berkata sambil tersenyum. Mereka langsung menderek mobil Utami. Sehingga meskipun mesin mobil Utami dimatikan, masih tetap bisa di bawa ke bengkel.Aku langsung meninggalkan lokasi setelah mobil kekasihku di bawa ke bengkel. Sebarnya aku ingin pulang ke apartemen, takutnya Delisia bisa kabur. Hanya saja, kuliah hari ini juga penting. Dan yang paling Utama. Aku bisa bertemu dengan kekasihku.Setibanya di kampus, ternyata dosen tidak jadi
Hanphoneku berdering, memperlihatkan panggilan telepon dari Utami. Aku pun mengangkat. Tidak ingin membuat kekasihku menunggu. Ternyata Utami menanyakan aku sedang berada di mana. Dan aku menyuruhnya untuk langsung saja ke kantin. Tak lama kemudian, kekasihku itu pun muncul. Setelah Rian dan Juna melihat Utami berjalan menghampiri kami, mereka menghentikan pembahasan tentang Delisia. Kedua sahabatku ini sudah mengerti, jika ada Utami atau orang lain, mereka tidak akan menampakan jika sedang menyembunyikan sesuatu tentang diriku. “Sayang, tadi Delisia tidak masuk kuliah lagi. Kira-kira dia ke mana ya?” ujar Utami setelah duduk di kursi kosong yang ada di sampingku. Juna sudah berpindah tempat, dia duduk di samping Rian. “Kamu sudah di telepon?” tanyaku setelah mengesap kopi. Meskipun kopiku kini sudah tidak terlalu panas lagi, aku masih tetap suka. “Iya, sudah. Tetapi, Delisia tidak angkat. Aku khawatir dengannya. Dia kenapa ya? Aku takut terjadi apa-apa dengannya … Minggu lalu jug
“Nggak kok, sayang. Mungkin maksud Rian itu baik. Kalau berteman tidak perlu menaruh kepercayaan penuh pada teman,” ujarku, kini kami sudah berada di dalam mobil. Sedari tadi aku memikirkan jawaban yang tepat untuk dikatakan pada Utami.Ahh, dasar Rian! Kenapa tadi dia berkata seperti itu? Kalau sudah begini, Utami pasti menyerbuku dengan ribuan pertanyaan yang ada dalam benaknya. Aku sudah mengenal jelas karakter kekasihku ini, kalau ada yang mengganggu pikirannya, dia pasti akan katakan.“Coba deh, kalau posisinya diganti… kamu sudah menjadikan Rian dan Juna itu sebagai sahabat. Kalian bertiga bersahabat sudah lama. Kamu pasti menganggap mereka berdua itu baik, makanya mau dijadikan sahabat dan bertahan lama. Kamu menaruh kepercayaan ke mereka dan tidak akan menilai kalau mereka itu buruk. Iya ‘kan, sayang?” Utami melihatku dengan wajah serius. Aku lalu mengganguk. Tak lama kemudian, mobil yang aku kendarai sudah meninggalkan area kampus.“Sama seperti aku, Sayang. Aku tidak mungkin
***Hari ini sudah sebulan lebih aku tinggal bersama Aksa di apartemen. Sejak kejadian di hari itu, saat aku di kunci dalam kamar. Sampai-sampai aku tidak bisa ke kampus. Ya, seharian itu aku hanya berdiam diri dalam kamar, bahkan Aksa tidak memberiku makan. Aku sudah tahu, tidak mungkin lelaki itu mau memberiku makan.Pikiranku kembali mengingat kejadian di hari itu. Aku kaget, di malam hari tepatnya jam tujuh, ada yang mengetuk pintu kamar. Aku masih mengingat jelas jika saat itu jam tujuh malam, karena aku sudah tak kuat menahan lapar.Ketukan yang lembut membuat aku berpikir, jika orang yang mengetuk pintu tidak mungkin Aksa. Kalau orang itu Aksa, tidak mungkin dia mengetuk terlebih dahulu pintu kamar. Harusnya dia langsung masuk saja, karena aku dikunci dari luar. Aku tidak beranjak dari atas kasur. Badan sudah terlalu lemas karena sejak malam harinya aku belum makan.Hanya tiga kali ketukan, setelahnya aku tidak lagi mendengar ada ketukan pintu. Aku penasaran, siapa orang yang a
“Setelah ini kita mau ke mana?” tanyaku pada Utami. Sengaja ingin mengalihkan pembahasan. Kalau Utami terus membahas tentang Aksa, aku akan semakin merasa bersalah.“Aku sudah memesan jam tangan untuk Aksa. Kita tinggal ambil saja. Setelah dari butik jam tangan, kita langsung ke apartemen Aksa.”“Pesan jam tangan? Kamu mau ngasih kejutan untuk Aksa?” tanyaku sambil memainkan sedotan minuman di gelas.“Hari ini ‘kan hari ulang tahun Aksa, Del. Aku tuh minta kamu temani jalan-jalan sekalian kita cari perlengkapan untuk merayakan ulang tahun Aksa. Maaf ya, tidak beritahu kamu dulu kalau mau sekalian merayakan ulangtahun Aksa … Tetapi, Aksa tidak tahu kalau aku mau merayakan ulangtahunnya. Aku sudah bekerja sama dengan Rian dan Juna. Jadi, Aksa akan ke apartemen nanti malam. Sekarang sedang tidak ada siapa-siapa di sana.”Aku ternyata memang hanya seorang istri di atas kertas. Merasa menjadi janda tanpa status. Hingga kini, masih banyak yang tidak aku tahu tentang Aksa. Bahkan hari ulangt
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau