“Kamu sudah siap kan untuk pindah? Nanti di bantu oleh Asisten. Ayah belum memberi tahu Aksa tentang ini. Rencananya besok saja. Yang penting kamu sudah tahu,” ujar Pak Candra sambil tersenyum lembut padaku. Aku membalas senyuman Pak Candra. Meskipun hati diliputi rasa gundah. Aku lalu menunduk. Tidak mampu melihat sosok wajah, yang sejak ijab kabul – resmi menjadi ayah mertuaku. Ya Allah, apakah engkau tidak meridhoi rencana perceraianku dengannya? Apakah Aksa itu jodohku? Kalau dia memang jodohku, kenapa engkau tidak memberikan rasa cinta dari Aksa untukku? Kenapa aku harus merasa bersalah karena mencintai lelaki yang dihatinya ada wanita lain? “Nak, kamu harus sabar ya, menghadapi sikap Aksa. Kalau dia berbuat kasar ke kamu, lapor saja ke ayah.” Aku menatap Pak Candra sejenak. Kenapa menasehatiku seperti ini? Apa mungkin dia curiga, kalau selama ini Aksa sudah banyak menyakitiku? Pak Candra – ayahnya Aksa, beliau mungkin bisa merasakan apa yang dilakukan Aksa padaku. Aku belum
Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Saat ini aku tidak mungkin menyampaikan apa yang ingin aku katakan. Pak Candra akan kaget dan tidak mungkin setuju dengan keinginanku. Rasanya serba salah!“Ayah, aku ke kamarku dulu ya. Aku baru ingat kalau ternyata ada tugas kuliah yang belum aku kerjakan. Besok tugas itu sudah harus di kumpulkan.” Aku berkata sambil tersenyum lembut.“Del, tunggu! Ayah ingin bertanya, sebelum kamu kembali ke kamar. Apa kamu sudah tahu tentang apartemen Aksa?”Aduh, aku harus jawab apa nih? Dari tadi pertanyaan ini yang aku takutkan jika ditanyakan oleh Pak Candra. Kalau aku jawab kalau tahu, bisa saja ‘kan Pak Candra kecewa. Karena sedari tadi aku hanya diam saja. Namun, jika aku jawab tidak tahu. Masa iya, ada seorang istri yang tidak mengetahui jika suaminya punya apartemen lain. Dan masalahnya di sini adalah, yang Pak Candra tahu hubunganku dengan Aksa baik-baik saja.Aku tidak mungkin mengatakan jujur ke Pak Candra sekarang. Meskipun sebenarnya saat ini adal
Setelah menutup pintu kamar Pak Candra, aku langsung melangkah cepat. Rasanya ingin segera tiba di dalam kamar. Ada tangis yang ingin segera dikeluarkan. Ada keluh yang ingin dilampiaskan.“Kenapa takdir ini sangat tidak adil untukku? Kenapa di saat aku niat bercerai, takdir justru menginginkan kami untuk tinggak satu atap. Aku tidak mau, Ya Allah! … Aku tidak mau tinggal berdua dengan Aksa.” Aku berkata lirih di hadapan cermin. Mengajak pantulan diri bersuara. Tetapi, itu diriku – hanya omong kosong ketika mengajak diri sendiri untuk mendengarkan keluh.“Ya Allah, rasanya aku ingin gila. Kenapa aku tidak di takdirkan untuk menjadi orang gila saja? Kenapa aku harus tetap waras padahal ujian yang harus aku lewati seberat ini? … Aku tidak kuat! Aku tidak sanggup!” Aku terus berkata lirih sambil sesegukanSatu jam aku berdiri di depan cermin. Berharap Allah mengabulkan doa agar aku menjadi gila. Berharap besok ketika bangun dari tidur, semua masalah telah selesai. Dan berharap saat hari
Aku menutup mata sejenak. Menarik napas lalu menghembuskan. Tangan pun membuka pintu mobil. Aku tidak yakin bisa menang melawan Aksa. Nyaliku ciut mendengar suara lantang Aksa yang membentak. Dengan gerak yang lambat, aku keluar dari mobil. Tak Lama kemudian, Aksa juga ikut turun dari mobil.“Cepat jalan! Kamu di depan, aku di belakang,” ujar Aksa sambil menatapku. Memancarkan aura ingin membunuh.“Aku tidak tahu jalan menuju apartemen kamu kalau lewat sini. Kemarin aku lewat depan!” Aku berkata pelan sambil menunduk.“Ya ampun … Dasar perempuan bodoh! Ikut aku, jangan coba lari dari sini!”Setelah berkata, Aksa langsung melangkah. Aku ingin berlari pergi. Hanya saja, ada rasa takut jika Aksa marah dan semakin berbuat hal nekat padaku.“Jangan coba-coba berpikir untuk kabur, Del! Kamu akan tahu akibatnya kalau nekat melakukan itu! Aku tidak bisa menarik tanganmu, karena di sini banyak cctv.”Aksa mengucapkan kalimat yang seolah menjawab pertanyaanku. Ya sudah! Tak apa aku ikuti dia.
Ternyata Aksa menarik tanganku untuk di bawa ke dalam sebuah kamar. Dia lalu mendorong tubuhku agar masuk, karena aku terus saja menolak. Aku sudah tidak bisa menahan, airmata telah jatuh dari kelopak.Tak peduli jika saat ini Aksa semakin tertawa puas melihat ketakutanku. Aku sungguh tidak bisa berpura-pura kuat. Aku sangat takut – berada di dalam sebuah kamar dengan laki-laki seperti Aksa. Ya, meskipun dia adalah suami yang sudah halal secara agama dan Negara. Tetapi, perlakuan Aksa saat ini sangat tidak manusiawi. Sepertinya Aksa murka karena aku berani menamparnya.Ya Allah, apa yang akan di lakukan lelaki ini padaku? Hambamu ini sangat takut. Tolong aku, Ya Allah. Aku terus membatin. Berdoa dalam benak dengan mata yang terus mengeluarkan air bening.Aksa langsung mengunci pintu kamar ketika aku sudah terdorong masuk bersamanya. Dia lalu menaruh kunci pintu ke dalam saku celananya. Dia tidak lagi menarik tanganku. Kini aku di biarkan berdiri sendiri dan Aksa mencari sesuatu yang t
*** Aku sedang mengendara mobil, ingin menemui kekasihku – Utami. Aku sangat mencintainya. Meskipun sekarang telah menikah dengan seorang perempuan buluk, tetapi hatiku masih untuk Utami. Perbedaan Utami dan Delisia sangat jauh. Utami cantik, putih, dan tinggi. Dia juga sosok perempuan lembut dan manja. Aku bahkan tidak menemukan satupun kekurangan Utami. Sedangkan Delisia, ahhh, aku tidak bisa menyebutkan satu per satu kekurangannya. Terlalu banyak dan tak bisa di hitung dengan sepuluh jariku Menikah dengan Delisia adalah nasib tersial yang telah terjadi padaku. Bagaimana mungkin aku yang fisiknya begini, berjodoh dengan perempuan seperti Delisia? Aku menyukai perempuan yang kemana-mana selalu berhias diri. Setidaknya, wajah yang jelek sedikit bisa tertutupi. Namun Delisia, tak pernah sekalipun aku melihatnya bermake up ketika ke kampus. Dia selalu memakai jilbab panjang menutup dada tanpa sedikitpun make up di wajah. Bagiku dia seorang perempuan kulot. Sampai sekarang, benak masih
“Sayang, maaf ya aku ngerepotin kamu pagi-pagi. Aku nggak tahu kenapa mobilku bisa mogok,” ujar Utami dengan suara manja padaku.Aku kini telah tiba di lokasi mobil Utami mogok. Dia menghampiriku dengan wajah panic. Aku langsung mengusap lembut pucak kepala kekasihku ini.“Tadi aku sudah menelepon pihak bengkel untuk mengambil mobilmu di sini. Tidak perlu khawatir, nggak lama lagi mereka akan tiba,” ujarku sambil tersenyum lembut pada Utami. Ya, tadi di perjalan ke sini, aku sudah menelepon pemilik bengkel langgananku. Yang pastinya bengkel miliknya sangat terkenal di kota ini.“Tetapi aku harus ke kampus sekarang, sayang. Jam setengah sembilan aku kuliah. Masa iya, aku harus nunggu sampai mobilku selesai di perbaiki.” Utami merengek. Wajahnya terlihat sangat cantik kalau sedang panik begini.Aku kembali mengusap puncak kepalanya, lalu bibir berkata, “kalau begitu aku antar kamu dulu ke kampus. Mobil ini, biar aku yang jaga. Aku masuk kuliah jam sepuluh jadi tidak masalah menunggu sam
Aku berjanji akan menikahi perempuan yang namanya sudah lama menjadi kekasihku. Hanya dia perempuan yang cocok bersanding denganku. Lagi pula, aku tidak ingin banyak orang menganggap aku lelaki buaya, kalau tidak jadi menikahi Utami.Di suatu ketika, saat aku dan Utami sedang nonton di apartemen, Utami mempertanyakan sesuatu yang membuatku terdiam beberapa detik.“Sayang, kapan kamu membawaku ke rumahmu? Selama kita pacaran, kamu belum mengenalkan aku ke orangtuamu.”Aku tersadar jika memang selama pacaran dengan Utami. Aku belum sekalipun membawanya bertemu dengan ayah. Aku jarang bercerita ke Utami tentang keluargaku. Saat bersamanya, aku lebih senang menjadi pendengar terbaik saat dia menceritakan kisah hidupnya. Sehingga, Utami pun tidak mengetahui jika sekarang aku hanya memiliki seorang ayah. Ibuku sudah lama meninggal – Sejak aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas.“Iya, sayang. Kapan ya orangtuaku bisa bertemu dengan kamu? Nanti aku akan tanyakan ke mereka.”Jawabanku
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau