Rumah Andre malam itu sebenarnya sudah sunyi, tapi Bu Mira dan Mahira masih ada di ruang tengah untuk menonton televisi. Namun, beberapa saat kemudian kedamaian itu terusik ketika terdengar ketukan keras dari pintu depan. "Apa itu Andre pulang? Kok nggak langsung masuk?" gumam Bu Mira, bangkit dari kursi. Bu Mira berjalan menuju pintu, tetapi sebelum membukanya, Mahira tiba-tiba menyusul dengan wajah bingung. "Bentar, Tante. Aku lihat dulu siapa," ujar Mahira sambil melirik ke jendela kecil di dekat pintu. Ketika Mahira mengintip, dia langsung membeku. "Tante, itu si Pak Dendi!" bisiknya dengan nada panik. "Dendi? Ngapain dia di sini malam-malam begini?" tanya Bu Mira heran. Namun sejurus kemudian dia menyadari kalau kedatangan Dendi tentu saja untuk menjemput Mahira. "Jangan dibuka, Tante! Dia pasti mau maksa aku pergi. Dia juga pasti nggak datang sendirian," jawab Mahira sambil melongok ke luar memastikan Dendi tidak membawa orang lain. Sementara itu, ketukan pintu
Setelah bicara berdua, Bu Mira dan Andre kembali ke ruang tengah untuk menemui Mahira. Karena hari sudah malam, Bu Mira meminta Mahira untuk istirahat. "Ini sudah malam, Mahira kamu bisa tidur di kamar Andre malam ini," kata Bu Mira. Andre menghela napas berat. "Terus aku tidur di mana, Ma? Di dapur?" Mendengar itu, Mahira langsung bangkit dari sofa. "Tante, nggak usah repot. Aku tidur di luar saja, di ruang TV. Nggak apa-apa kok." Andre melirik Mahira dengan sinis. "Ya, bagus kalau sadar diri. Sana tidur di luar." Mahira hanya tersenyum kecut. Dia berpamitan pada Bu Mira untuk beristirahat di depan TV. Tanpa sepatah kata lagi, Mahira merebahkan diri di sana, mencoba tidur meski hatinya gelisah. Sementara Bu Mira memelototi Andre yang sudah keterlaluan memperlakukan Mahira dan bersungut masuk ke dalam kamarnya. Andre, meski kesal, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Namun, ia memilih mengabaikannya dan masuk ke kamar. Malam semakin larut tetapi Andre yang se
Sepanjang perjalanan ke kantor Andre dan Mahira sama-sama diam. Sampai di kantor Andre mengantar Mahira ke ruang OB dan berbicara sebentar dengan salah seorang karyawan di sana. Andre meminta Mahira untuk ikut mengerjakan pekerjaan OB, sementara dia pergi menemui Adhitama. "Kenapa baru datang?" tanya Adhitama yang keheranan. Karena tidak biasanya Andre terlambat ke kantor seperti ini. Andre terlihat merasa bersalah. "Maaf, Pak. Ada masalah tadi pagi." Adhitama mengangkat alis. "Masalah apa?" Andre menceritakan semuanya secara singkat. Setelah mendengar penjelasan itu, Adhitama bertanya, "Sekarang gadis itu di mana?" Andre menghela napas. "Saya minta OB kantor untuk kasih dia kerjaan. Setidaknya dia tidak terlunta-lunta menggelandang di jalan dan bermanfaat di sini." Adhitama hanya mengangguk tanpa berkomentar lebih jauh. Sementara itu Mahira sibuk menyapu lantai. Meski pekerjaannya sederhana, dia merasa senang karena setidaknya dia tidak merasa seperti beban. Saat selesa
Mahira sejenak ragu, tetapi akhirnya menerima uang pemberian Andre itu. "Terima kasih," ucapnya pelan sebelum pergi meninggalkan gedung Mahesa. Berjalan keluar gedung, hati Mahira mulai was-was dan bingung. Kalau dia pulang, sudah pasti dirinya akan dimarahi oleh ayahnya atau lebih parahnya akan diserahkan kembali pada si tua bangka Dendi. Tetapi, jika dia tidak pulang, ke mana dia harus pergi. Setibanya di rumah, Mahira langsung disambut dengan teriakan keras dari ayahnya. "Kamu ke mana saja, hah? Kenapa kamu nggak pulang-pulang? Kenapa malah kabur? Kamu mau bikin papa celaka?" cecar laki-laki paruh baya itu. Mahira lantas mencoba menjelaskan. "Aku cuma mau cari tempat aman, Pa. Aku nggak mau dipaksa nikah sama Pak Dendi." Namun, Salman - ayah Mahira tidak mau mendengar. "Kamu pikir kamu siapa? Kalau bukan karena aku, kamu nggak akan hidup sampai sekarang!" Emosi Mahira memuncak. "Tapi Pa, aku ini anak papa bukan alat buat bayar hutang. Hutang itu kesalahan Papa sendiri
Kepercayaan diri Mahira menghilang dan menguap entah ke mana saat datang ke perusahaan tempatnya ingin melamar pekerjaan yang ternyata milik Risha.Gadis itu membeku bak arca purba saat wanita yang anaknya dia jahili di Jogja tersenyum sambil memegang CV di tangan. Hilang sudah harapan Mahira mendapat pekerjaan sebagai host live di sana."Coba jelaskan mengenai dirimu secara singkat!" pinta Risha. Mahira menelan ludah susah payah. Sepertinya dia baru saja menenggak setengah botol air mineral sebelum masuk ke ruang wawancara, tapi entah kenapa kini tenggorokannya terasa kering."Saya ..., saya mudah belajar, energik dan suka anak kecil," ucap Mahira asal. Dia terlalu grogi sampai tidak yakin dengan jawabannya sendiri.Salah satu staf My Lily yang ikut melakukan wawancara tampak kaget, tapi dia heran mendapati Risha yang duduk di sebelahnya malah tersenyum. "Suka anak kecil? Apa maksudmu menggoda anak kecil?" tanya Risha.Mahira kaget, dia diam tak membalas pertanyaan Risha dan kini
Adhitama memandang Andre yang sedang memberikan stampel di beberapa berkas yang sudah dia tanda tangani.Sebagai atasan yang sudah lama bersinggungan dengan Andre, Adhitama merasa kasihan terutama dengan nasib percintaan sekretarisnya itu.Adhitama masih menatap Andre, hingga pemuda itu menyadari dan bertanya.“Apa ada yang salah dari penampilan saya hari ini, Pak?”Adhitama menggeleng pelan, dia masih santai duduk bersandar di kursi empuknya sambil mengawasi.“Apa kamu tahu? Gadis pecicilan itu melamar kerja di perusahaan istriku,” ucap Adhitama."Gadis pecicilan yang mana, Pak?"Adhitama menyipitkan mata mendengar balasan dari Andre. Pria itu tidak menjawab tapi dengan ekspresi wajahnya saja bisa membuat Andre sadar posisi."Apa Mahira?" kata Andre."Menurutmu? Memangnya ada gadis lain yang dekat denganmu," ujar Adhitama."Maaf Pak kami tidak dekat, kami hanya orang asing yang bertemu di waktu yang tidak tepat." Andre berbicara cepat seolah takut Adhitama berpikiran yang bukan-bukan
Mahira tidak berani berbohong, dia akhirnya mengaku pada Risha bahwa dirinya sudah seminggu diusir dari rumah orangtuanya. “Saya beberapa hari belakangan menumpang di kos teman, tapi dia kemarin kena marah ibu kos, saya tidak enak dan pergi pagi tadi,” ucap Mahira. “Lalu jangan bilang kamu tidak punya tempat tinggal dan ingin tidur di sini?” terka Risha. Mahira tertunduk lesu. “Saya bisa tidur di lantai,” ucapnya. Miris hati Risha mendengar ucapan Mahira, nadanya juga terdengar sangat putus asa. Sebagai sesama wanita dia tak tega ingin mengusir Mahira dari sana. “Malam ini kamu aku izinkan tidur di kantor, besok aku akan minta bagian keuangan memberikan sebagain gajimu dulu supaya kamu bisa mencari tempat tinggal,” ujar Risha. Mahira seketika mengangkat kepala dan kaget, matanya yang merambang berubah berbinar terang. “Sudah jangan sedih! Semua masalah pasti bisa dilewati.” Risha bicara sambil menepuk pundak Mahira memberi kekuatan. Mahira seketika merasa bersalah, dia teringa
Setelah menutup panggilannya ke Adhitama, Andre bergegas keluar kamar. Dia membuat Bu Mira yang sedang membereskan meja kaget. “Mau ke mana?” tanya Bu Mira sambil meletakkan gelas kembali ke meja. “Aku mau keluar sebentar, menemui Mahira,” jawab Andre. Andre mengambil kunci mobil lalu pergi. Dia sudah keluar dari pintu hendak memakai sepatu kembali, tapi Bu Mira mencegahnya lebih dulu. “Memang kamu mau menemui Mahira di mana?” tanya Bu Mira khawatir. “Mahira ada di kantor bu Risha.” Bu Mira diam mematung, dia bingung untuk apa malam-malam Mahira berada di kantor Risha. “Mama tenang saja, masalah somasi yang aku terima ini akan aku selesaikan,” ucap Andre meyakinkan. Sebelum pergi dia meraih tangan wanita yang melahirkannya itu untuk berpamitan. Andre masuk mobil lalu menyalakan mesin, dia buru-buru pergi ke kantor My Lily mencari keberadaan Mahira. Sedangkan Bu Mira hanya bisa diam memandang mobil Andre menjauh. ** Di kantor My Lily yang masih berupa ruko, Mahira
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin