"Jalan hidup tak selalu mulus dan lurus adakalanya harus menemui kerikil dan duri yang memaksa kita untuk sejenak berhenti. Bukan untuk menyerah tetapi memahami satu pelajaran darinya untuk kemudian kembali bangkit dan melanjutkan cerita."“Ibu mereka meninggal sewaktu melahirkan mereka tiga tahun lalu.” Dia menjawab pertanyaanku pada akhirnya. Kontan aku mengangkat wajah memandang ke arahnya yang menghempaskan diri di kursi di sebelahku. Senyap. Beberapa saat ucapannya seakan menggantung di udara. Sekalipun sudah memperkirakan sebelumnya namun tetap saja tak mengurang perasaan syok. Pikiran itu melintas cepat, bagimana jika aku yang berada di posisi itu. Ketika takdir mengharuskan aku pergi meninggalkan dua anak yang baru saja hadir ke dunia?Akhtar aku tahu seberapa dalam luka yang kau rasakan ketika harus kehilangan selamanya.“Maaf saya nggak bermaksud membuat kamu sedih. Dan saya turut berduka cita atas kepergian kamu.”Aku menunduk dalam-dalam setelah mengungkapkan itu. Entah me
“Ayo bersiap-siap sebentar lagi Uncle Randy datang jemput kalian.” Dia memberi instruksi yang langsung direspon si kembar. Mereka sigap membereskan beberapa mainan dan alat tulis memasukannya ke dalam tas masing-masing yang berwarna merah muda dengan gambar tokoh film kartun.“Apa Tante Mai mau ikut kita pulang?” Tiba-tiba Shaili yang kini sudah tampak siap dan berdiri dekat pintu, bersuara. Membuat aku dan Akhtar agak tersentak berpaling padanya dengan wajah bingung. “Euh ...?” Akhtar menggaruk-garuk pelipis terlihat salah tingkah. Cepat aku bereaksi melangkah mendekati Shaili.“Memangnya Tante Mai boleh ikut pulang?” Aku bertanya balik yang langsung dijawabnya dengan anggukan tegas.“Tentu boleh Mama ups Tante Mai.” Shaili membekap mulut seraya meralat ucapannya. Padahal kentara sekali dia sengaja melakukan itu. Lalu dia terkikik. Menoleh pada Akhtar yang hampir melotot. Sekalipun bermkasud menahannya tetapi akhirnya aku ikut terkikik. Shaila bahkan tertawa keras. Anak-anak manis d
Air mataku jatuh membuat basah lengan kemejaku. Andai dia melihat aku menangis bisa kutebak dia akan terkekeh-kekeh menertawakan kecengenganku. Mungkin saja dia tidak akan percaya ini. Tetapi pada kenyataannya aku benar-benar menangis untuknya. Untuk sebuah penyesalan yang terjal karena telah membuangnya.Mai, adakah ruang dihatimu yang kau sediakan untuk memberiku sepotong kata maaf?Kuhela napas lagi, kali ini lebih dalam. Lalu setengah sadar dan setengahnya lagi memaksakan diri kutinggalkan kesemerawutan di atas spring bed. Melangkah menuju kamar mandi. Mengabaikan perut yang perlahan terasa mililit karena sejak kemarin belum terisi dengan benar. Di depan kaca aku tertegun memandang pantulan sosok yang ada di depan. Aku tercekat. Mengernyitkan dahi seolah tak benar-benar mengenalinya. Dia mengikuti setiap gerakku. Wajahnya tak terurus dengan cambang yang bertumbuh liar bagai belukar yang menyemak. Sorot matanya kelam, rautnya pucat dan muram, semuram mendung di ujung petang. Baran
Akhtar apa dia akan salah paham. Tentu saja semua ini tidak seperti yang dia kira. Aku hanya bersedia menjadi Mama mereka bukan dalam arti sesungguhnya. Hanya mengizinkan mereka memanggilku mama tidak lebih dari itu. Tetapi sebelum aku berhasil menemukan gagasan sebagai penjelasan dia sudah muncul tanpa anak-anak. Berdiri memenuhi pintu yang terhalang selembar tirai transfaran dengan motif kupu-kupu di kedua tepinya. Tiga detik pertama kami hanya saling menatap. Dia berdiri kaku memandangi seolah hendak menembus pikiranku. Membuatku mengerut dipenuhi rasa bersalah.Buru-buru aku mundur ketika dia menyibak tirai dan berjalan mendekat. Terus mundur. Sementara tatapannya lekat padaku. Dan langkahku terhenti saat membentur sesuatu yang ternyata sebuah meja belajar aku tidak tahu apa ini kepunyaan Shaila atau Shaili yang jelas aku merasa sangat takut. Tidak jelas apa yang sebenarnya aku takutkan.Dia berhenti mendekat menyisakan jarak tak lebih sedepa. Bahkan dia berdiri terlalu dekat. Me
Tidak tahu kenapa meski dia tersenyum dan mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri padaku, aku melihat perubahan tidak wajar ekspresi wajahnya. Sorot matanya yang semula cerah menjadi suram. Sekilas dia melirik pada Akhtar dengan ekor matanya.“Nazira.” Dia mengangguk dan tersenyum seraya menyebut namanya. Meski senyumnya kentara sekali dipaksakan. “Maikana.”“Ini Mama kita.” Shaili menautkan jemarinya di sela-sela jemariku. “Ya, sudah siap berangkatkan?” Akhtar memecah kebekuan. Setelah menciumi keduanya Akhtar mempersilakan mereka berangkat dengan dibonceng menggunakan sepeda motor oleh guru mengaji mereka. Sedangkan aku memandangi mereka menjauh sampai benar-benar lenyap diujung jalan. “Biasanya mereka mengaji privat di rumah jadi guru mengaji mereka yang datang ke rumah.” Tiba-tiba Akhtar bersuara membuyarkan lamunan. “Tapi sejak ibu di rawat saya berinisiatif agar mereka belajar di rumah ustadzahnya saja.”Aku mengangguk. Sejenak tatapannya terpancang di mataku membuatku
"Aku sengaja berdiri di bawah hujan, agar kau tidak tahu aku sedang menangisi kenangan yang pernah ada di bawah derainya."_____(Ryu Anggara)Hujan menghantam kuat atap mobil. Bergemeratak. Menderu-deru menghampakan hati. Menyengkapku pada sudut paling sunyi. Jalanan bising oleh suara-suara klakson dari barisan kendaraan yang padat. Mengular. Terjebak pada satu lajur menanti lampu rambu berganti warna. Tapi aku tak terlampau peduli. Sebab aku memang tidak sedang buru-buru. Tak ada yang aku kejar tidak pula ada yang menunggu kedatanganku. Dalam hidupku kini waktu hanyalah bangkai yang akan membusuk bersama kepedihan dan penyesalan. Tak ada yang benar-benar berarti.Nyaris sepuluh menit kira-kira, lampu lalu lintas menyala hijau. Mengurai perlahan simpul-simpul kepadatan jalan yang seringkali memusingkan. Tapi tidak untuk saat ini. Ketika suara hujan terdengar riuh. Syahdu. Aku menyukainya. Selalu suka. Seperti halnya dia.Mai, kau suka hujan. Selalu suka katamu. Setiap kali.‘Aku suka
Ttiiittt ....Lengkingan klakson dari kendaraan yang berada tepat di belakangku menghempaskan lamunan. Seolah baru menyadari sesuatu aku kembali menginjak pedal gas dan menambah kecepatan. Kuhembuskan napas dengan kasar. Merasa terganggu. Baiklah, mungkin sebaiknya aku cepat tiba di rumah. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan. Selama cuti banyak tugas kantor terbengkalai dan kini waktunya membereskan semua. Aku bukanlah tipikal orang senang menunda-nunda. Bahkan sampai rela tidak tidur semalam jika ada pekerjaan yang belum terselesaikan. Tapi kau tidak suka dengan caraku itu, Mai. Kau keberatan dan beberapa kali marah lantaran aku tidak mendengarkan nasihatmu. Kau mengatakan aku tidak memperhatikan kesehatan dan jika terus seperti itu lama kelamaan aku akan menjadi seorang worka holic. Ambisius dan gila kerja. Tapi akhirnya aku mengikuti saranmu. Tidak lain agar tidak lagi kudapati mendung di wajahmu. Aku ingin kau selalu tersenyum.Setelah malam berhujan bersamamu aku me
"Aku telah berjanji untuk tidak membiarkanmu kembali lagi dalam harap dan kenangan. Tetapi lagi-lagi kau membuatku kalah dengan mudahnya. Menyerah pada tatap matamu yang membuatku pasrah dan rindu untuk mengulang sejarah."___Dengan tidak sabarnya Nisa mengguncang sisi bahuku lantaran aku tak kunjung memberi jawaban.“Duh, gimana ya? Sebenarnya aku juga sibuk. Tapi –.”“Berarti bisa!” Dia memotong kalimatku dan berteriak cepat membuat tatapan kami terpusat kepadanya.“Gimana nanti saja ya. Aku izin dulu sama Kak Sarah.”“Pasti Kak Sarah ingizinin Mai. Ayolah ....”Setengah ragu-ragu aku mengangguk. Dan Nisa bersorak girang. Nyaris seperti anak-anak yang tiba-tiba diperbolehkan makan atau memainkan sesuatu yang selama ini di larang.Baiklah demi teman aku rela melakukan apapun. Sekalipun sangat malas dan tak berminat aku akan tetap pergi bersamanya. Lagi pula ini peristiwa penting dalam hidupnya. Momen yang membahagiakan dan sebagai sahabat dekat aku tak boleh melewatkannya.Nis, semog