Dalam kemarahan yang menguasai diri, Red keluar masuk klub tanpa arah. Tidak jelas apa yang dilakukannya, tapi dia tidak minum-minum di luar batas.“Kau butuh bantuan?”Red bahkan tidak melihat pada yang bertanya. Sibuk membungkuk mencari kunci mobilnya yang terjatuh entah di mana. Seharian ini dia terus bertingkah konyol, bodoh.“Red Blackwood,” tegur pelan suara itu lagi. Lebih dulu tangannya mengambil kunci mobil Red yang nyaris masuk di celah penutup got yang agak terbuka. “Kau sudah kehilangan fokus. Benar-benar butuh bantuan, bukan?”Red menegakkan tubuh. Setengah mabuk memang. Namun sisa kesadaran mampu membuatnya tetap waspada. “Berikan padaku, lalu enyahlah.”“Hahaha. Begini rupanya wajahmu saat mabuk. Aku begitu penasaran sejak dulu.”Red menyandarkan punggung ke mobil. Menarik dan mengembuskan napas, sambil berusaha mengambil alih tubuh dan pikirannya agar tetap waras. “Berikan padaku, Zara.”Zara mengantongi kunci mobil Red sambil tersenyum. “Sekarang ini, aku butuh menemp
Kerutan di kening King menghilang sepenuhnya. Sama atau tidak dengan dugaannya selama ini rasanya tidak lagi begitu penting. Baik Gabin maupun Austin kini telah mati dan tak mungkin bangkit lagi dari kubur untuk menyiksa istrinya. Walau tetap saja bagi seorang King, butuh alasan yang lebih kuat agar bisa menjadi seperti Austin Balthazar yang hidup dalam dendam sekian lama. Atau bisa jadi, Austin memang tidak waras. Cukup senang, bahagia cuma dengan menyiksa dan melihat korbannya tersiksa.“Pastikan jangan ada Austin lainnya atau kau yang kubakar hidup-hidup,” ancam King dengan keseriusan yang tidak dibersamai kekehan seperti saat bersama Mina.“B-baik, Tuan. Siap mematuhi perintah Anda.” Pria itu segera berdiri, membungkuk hormat, lalu berbalik pergi. Bayaran yang setimpal pekerjaan telah diterima beberapa hari lalu.King merobek foto yang tadi dilihatnya. Melupakan orang-orang yang telah mati di tangannya saja begitu mudah, apalagi cuma rangkaian insiden seperti yang terjadi pada Min
“Paviliun.”“Paviliun?” Mina mengernyit.“Sudah mulai pembangunan. Jack yang mengurus semuanya.”Mina berhenti mengikuti Red. Kalau persiapan sudah sebegitunya, berarti Red memang serius. Zara akan segera menjadi ibu pengganti.***Mina keluar rumah tidak lama setelah Zara dan Red pergi. Merasa butuh sesuatu ketika sadar kalau King belum juga kembali.Sesuatu yang dibutuhkan Mina cuma jalan-jalan di seputaran pinggir kota, dekat perkampungan nelayan. Angin sudah mengembuskan rasa dingin yang kuat sampai ke tulang saat Mina turun dari taksi.Mina mendekap diri sendiri. Memandang deburan ombak dalam jarak cukup jauh. Di belakang pagar pembatas jalan. Merasa puas meski tidak merasakan air mengenai kedua kakinya. Di sini saja sudah cukup.Rasanya tenang, nyaman. Jalanan aspal yang ada di belakang Mina cuma dilewati kendaraan sesekali. Kawasan yang lebih banyak sibuk di bawah sana, di pinggir pantai.Entah di menit ke berapa, Mina merasa seperti diawasi. Menoleh tidak hanya ke belakang, ta
Namun yang Mina selalu suka, kebrutalan King tidak pernah terasa kasar. Cuma menuntut agar dia berusaha mengimbangi.Tidak ada pejalan kaki yang melintas. Entah bagaimana bisa begitu, namun banyak suara-suara di rumah buku dan toko kelontong di sisi kanan kiri lorong buntu.Mina berulang kali membekap mulut atau menyumpalnya dengan berciuman dengan King, agar erangan serta desahannya tidak terdengar. Begitu suka ketika tangannya meremas bokong King yang padat dan keras, selagi menerima lalu melawan hentakan keluar masuk dari suaminya.Dalam empat belas menit yang terasa manis dan pas, Mina menyadarkan kepalanya di dada King. Mereka selesai. King sudah menyirami dirinya, tapi belum berniat melepas penyatuan.“King, lepas, Sayang.” Mina menegur, mencium dada King yang tertutup kemeja hitam.“Jangan memerintahku,” balas King dalam suara yang pelan. Dipererat pelukannya, sehingga penyatuan makin dalam, padahal seharusnya mereka sudah selesai.“Okay, okay. Terserah kau saja, tapi kakiku su
“Ya. Situasinya mengharuskan begitu.”King kembali memanasi Mina dengan bibirnya yang terus mengecup di sekitar leher yang terbuka. Bahkan tangannya menyusup ke celana bahan Mina yang tidak terlalu sempit. Pinggangnya dari karet. Begitu mudah untuk dinakali oleh tangan King.“Kalau begitu, sebentar.” King sudah berhasil memasukkan jarinya.Mina mendesah pelan, tubuhnya menegang seketika, dan King menyeringai kecil, jarinya mulai bergerak lincah di dalam celana Mina—dia menekan dan menggosok bagian tersensitif Mina dengan ritme cepat, sengaja membuat Mina menggeliat tanpa daya. “Kau terlalu basah untuk menolak,” bisiknya di telinga Mina, suaranya rendah, serak dan penuh godaan.Lalu, King menggigit cuping telinga Mina dengan lembut sambil menambah tekanan jarinya, sehingga Mina mengerang tertahan. “King—jangan terlalu—ah!”King menyelipkan jari kedua, mempercepat gerakan, tangan satunya mencengkeram pinggul Mina dengan erat agar si istri tidak dapat menghindar. Sofa sampai berderit pel
Jemima merasa serba salah. Memang dia yang pertama kali menanyakan perihal keturunan, namun sama sekali tidak menyangka akan ditanggapi begitu serius oleh menantunya. Antusias yang seharusnya tidak boleh membuat si putra kedua makin kesal.“Okay, tenanglah.” Mina sudah berada di sisi Red, mengamit lengan si suami, menepuk pelan menenangkan. “Kita jalan duluan.”Giliran Jemima yang mengamit Zara untuk dipisahkan dari menantu dan anaknya. “Ayo, Zara. Apa kau mau jalan-jalan atau minum teh dulu sebelum pulang?”Zara yang memang selalu suka diajak bersantai sambil minum teh—karena Austin hampir tidak pernah mengajaknya bersantai—langsung mengiyakan ajakan Jemima.“Suka teh hijau? Teh hitam? Atau—”“Aku suka semua jenis teh, Aunty.” Zara tersenyum lebar, mengelus punggung tangan Jemima yang mengamit erat lengannya. Menyukai aroma ibunya Red yang mengingatkannya pada masa kecil penuh warna dan bahagia. Dulu, di masa lalu, dia pernah memiliki keluarga bahagia sampai kecelakaan lalu lintas me
Terkekeh, King malah memaksakan bibir mereka bertemu. Setelah saling membelit lidah, ketika sudah sama-sama kesulitan bernapas, barulah King mau melepaskan.“Kau masih saja gila seperti biasa.” Mina mengatur napasnya selagi melotot pada King.King membukakan pintu untuk Mina. Rasanya ini jadi kali pertama dia bertindak manis begitu.Mina hanya mengulum senyum. Tidak berniat berkomentar apa pun. Percuma saja. Sebab bila ditanya, King pasti akan mengelak dengan seribu satu macam alasan.Terima dan nikmati setiap perubahan King, bila itu ada. Mina tidak pernah serius berharap King akan lebih manis dari sebelum-sebelumnya. Biarkan saja begitu.“Kau puas sekarang?”“Soal apa?” Mina menatap King lekat-lekat. Perjalanan mereka akan segera berakhir satu belokan lagi. Baru sekarang King bicara padanya setelah tadi diam lebih dari sepuluh menit.“Perhatian suami pertamamu sudah sepenuhnya untuk si ibu pengganti. Sekarang kau diabaikan. Rencanamu berjalan lancar. Kau puas?”“Hahaha!” Spontan Min
Bukan cuma Red, Zara sampai balik badan karena terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya.“Ibu?”“Aunty?”Serentak keduanya menatap kehadiran Jemima di ambang pintu.Jemima tertawa. Melangkah masuk selagi tangannya meletakkan tas mahal miliknya di atas meja. “Aku sudah mengetuk pintu dan memanggil-manggil kalian dari tadi. Rupanya malah sedang sibuk bertengkar di sini sampai tidak menjawab panggilanku.”Red tidak berminat membahas tentang perdebatannya dengan Zara pada ibunya. Beranjak dari sana untuk memberikan kursi yang didudukinya kepada Jemima, sementara dia pergi ke sudut.“Sebaiknya Aunty tetap di sini bersamaku kalau Aunty tidak keberatan.” Setengah merengek manja, Zara mengenggam tangan Jemima.Red muak melihat interaksi Zara dengan ibunya. Hanya saja, dia berusaha untuk tidak peduli. Tiba-tiba saja mengirim pesan untuk si istri karena teringat pada sosok yang tadi memeluk dan mengecup pipinya begitu mesra.(Kau sedang apa? Aku merindukanmu)Sebenarny
Red terlihat terkejut, lalu menunduk, menghindari tatapan Mina. “Mina ... aku minta maaf. A-aku tidak pernah bermaksud begini. Aku tidak mau kau pergi. Aku cuma ... butuh waktu untuk ini.”“Waktu?” Mina melangkah lebih dekat. “Waktu tidak akan menunggu anak-anak kita tumbuh. Mereka butuh stabilitas sekarang, Red. Kita harus jadi tim. Kalau kalian mencintaiku, kalian akan mencintai mereka juga. Menerima keputusan dan rencana yang ingin kulakukan untuk kita semua.”Sunyi melingkupi ruangan beberapa detik sebelum King mendekat, memegang erat tangan Mina. “Aku akan melakukan apa pun yang kau katakan, Mina. Tapi jangan coba-coba mengambil keputusan untuk meninggalkanku.”Mina menarik napas dalam, menatap King dan Red. “Bukan aku yang harus memutuskan, King. Itu ada di tangan kalian berdua. Ikuti aturanku atau tidak sama sekali. Aku bebas pergi, jika kalian memutuskan tidak setuju dengan aturanku.”***Mina merasa kontradiksi saat kontraksi pertama datang. Di satu sisi, dia merasa ketakutan
King menarik napas panjang sebelum tiba-tiba menyeringai penuh kepuasan. “Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu kau akan memilihku. Kau pun tidak tahan untuk tidak mengandung bayi dariku.” Nadanya menggoda, tapi jelas sangat bangga.Namun, momen itu segera terganggu oleh suara pintu lain yang terbanting. Red masuk dengan wajah kecewa, menekan semua emosi sekuat tenaga. Dia memang masih Red Blackwood yang dulu, namun sejak Ophelia hadir, hubungan King dan Mina yang terlalu intim di matanya, tidak lagi terasa mengganggu.“Begitu rupanya.” Suaranya sedikit bergetar, tapi Red tertawa. “Aku dengar dari ibu, kalau kau mau mengandung bayi hasil dari hubungan dengan pria yang paling kau cintai. Itu artinya dia?”Mina berdiri, mencoba memberi penjelasan. “Red, ini bukan cuma soal cinta. Karena aku pun menyayangimu. Kalau kau ingin kita berpisah, aku tidak bisa melakukannya, karena itu artinya Ophelia harus bersamaku.”Mina menambahkan, agar tidak ada lagi kesalahpahaman. Sejak awal, bukan dia ya
King tentu menggunakan kesempatan itu untuk menyusup masuk.King memasuki kamar Jemima tanpa ragu, hampir tanpa suara. Dia ahli dalam bertindak begini. Sebelum pada tujuannya, ditatapnya sejenak bayi Mina dan Red.“Ophelia, jangan sampai terbangun, apalagi berisik kalau tidak ingin aku marah dan membawamu pada ayahmu. Tetap tenang,” ucap King dalam suara pelan dan berat.Kini matanya langsung tertuju pada Mina yang terlelap di sisi ranjang. Wajah si istri terlihat begitu tenang, rambutnya sedikit berantakan menyentuh pipi. Sesuatu di dalam dada King bergemuruh, seperti kebahagiaan kecil yang sulit dijelaskan. Belakangan, entah kapan tepatnya, ada banyak perasaan ‘brutal’ pada Mina jadi melemah, bukan berkurang, tapi seakan melembut dengan sendirinya.King berjalan mendekat, mengatur langkahnya agar tidak terlalu berat.Duduk di tepi ranjang, membiarkan ujung jarinya dengan lembut menyentuh rambut Mina, menyelipkannya ke belakang telinga. Reaksi Mina sedetik kemudian—menggeliat pelan,
Sudah dua hari berlalu dari seks agak lama di mobil dan kembali hal serupa terulang.Kali ini, tangga. Tangga menuju kamar atap, menjadi saksi selanjutnya. Mina sedang naik duluan, membawa sekeranjang pakaian kotor, saat King tiba-tiba menarik pinggangnya dari belakang.Mina hampir jatuh, tapi King memegangnya erat-erat, mendorong sampai punggung Mina menempel ke dinding tangga.King menarik celana Mina dengan cepat, tangannya masuk ke dalam, menyentuh Mina sampai si istri mengerang pelan. Mina mencengkeram pegangan tangga, mencoba menahan diri.King tidak bicara, langsung membuka celananya sendiri. Dia mengangkat satu kaki Mina, meletakkan di bahunya, lalu masuk ke dalam Mina dengan gerakan keras.Selain tangganya sempit, mereka harus cepat karena situasi tidak mendukung. Mina menggigit bibirnya agar tidak bersuara, tapi King menarik dagunya, mencium bibirnya kasar ketika akhirnya ada desah yang sempat lolos sedetik lalu.Mereka bergerak bersama, membawa getaran hebat yang menjalar p
Mina tahu perasaannya tak sederhana. Antara King dan Red. Ada dorongan yang tak bisa dibendung, perasaan yang terjebak antara dua dunia, dua suami yang sangat berbeda. Kali ini lebih menantang karena mereka berbaur bersama di satu atap. Beruntung sekarang Jemima sering berada di tengah-tengah mereka, mengurangi kegiatan sosialnya demi untuk cucu tercinta.Jemima-lah yang membuat jarak di antara King, Mina dan Red benar-benar punya celah. Dan itu sungguh bagus.Red sedang keluar, katanya bertemu Logan sementara Jemima tengah membawa Ophelia jalan-jalan di seputaran rumah—halaman depan, juga memamerkan si cucu pada tetangga.Mina ditarik King ke sini. Ditatapnya ke depan, mata terfokus pada pintu garasi yang tertutup rapat.Suasana di dalam mobil terasa sunyi. Cuma ada suara debar jantung Mina yang berdetak lebih cepat. King duduk di sampingnya, jarak mereka begitu dekat, namun tidak ada kata-kata yang keluar seperti kenakalan dan kebrutalan King yang biasa. Mungkin belum.“Kenapa harus
Red dan Mina masih duduk. Tanpa jarak di antara mereka. Mina menyandarkan kepalanya ke bahu Red, sementara pria itu menggenggam tangan si istri begitu erat—tidak menyakiti. Mereka menunggu, terus menanti.“Harusnya aku selalu ada di sisinya,” gumam Mina akhirnya, suaranya dipenuhi rasa bersalah. Dalam situasi dan kondisi begini, segala perasaan marah serta bencinya pada Zara, benar-benar hilang entah ke mana.Red menoleh, menatap Mina dengan sorot yang lembut tetapi tegas. “Sekarang kau sudah di sini. Kita akan melewati ini bersama."Sebelum Mina sempat menjawab, pintu ruang bersalin terbuka, dan seorang perawat keluar. Mereka berdua langsung bangkit serempak.“Bagaimana dia?” tanya Mina, nadanya nyaris panik.“Zara melewati masa kritisnya. Perdarahannya sudah teratasi, dan kondisinya mulai stabil,” kata perawat itu dengan senyum menenangkan. “Bayi perempuan, sehat dan sempurna.”Mina menutup wajah dengan kedua tangannya, terisak lega. Sementara Red entah bagaimana merasa sangat berbe
“Mina.” Suara King terdengar tegas dari luar mobil. Pria itu membuka pintu pengemudi dengan gerakan cepat, membuat Mina terkejut.“Hei, ada apa, King?” King menatapnya dalam, mata kelamnya dipenuhi ketegasan yang tidak bisa dibantah. “Kau tidak akan menyetir dalam kondisi seperti itu,” katanya sambil menarik tubuhnya menjauh dari pintu. “Pindah ke kursi penumpang.”“Seperti apa?” Mina tertawa, tawa yang kering.“Tanganmu gemetar, kau gelisah.”“Aku baik-baik saja.” Mina tetap bergeming, meski tahu argumennya tidak akan bertahan lama—King tidak pernah bisa dibantah.King mendekat lebih jauh, satu tangannya bersandar pada atap mobil, menciptakan bayangan besar di atas Mina. “Aku tidak akan mengulanginya, Mina. Pindah sekarang.” Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Mina segera menyerah tanpa banyak perlawanan.Mina menelan sisa protesnya, membuka sabuk pengaman, dan keluar dari mobil. “Kenapa tiba-tiba kau berubah pikiran?” tanyanya, menatap King yang kini mengambil alih posisi p
Langkahnya terseok-seok menuju tempat tidur, mencoba meraih kursi dekat jendela, berpegangan pada meja kayu yang sudah mulai terlihat lusuh. Semua terasa begitu mencekam. Seperti ada banyak hal yang terpendam dalam dirinya, tapi rasa sakit itu memaksa dia untuk mengabaikannya. Semua terfokus pada satu hal—bayi yang semakin mendekat.Detik demi detik terasa lambat. Dia mengumpulkan kekuatan, meskipun lututnya hampir tak mampu menopang tubuhnya yang lelah. Sejak awal hamil, dia sudah terbiasa mandiri—tanpa bantuan Logan, tanpa banyak orang. Tapi ini berbeda. Inilah ujian terberatnya.Pikiran tentang Logan kembali menghantui. Bayangan wajahnya muncul di pikirannya, tetapi segera dia buang jauh-jauh. Tidak ada gunanya. Tidak ada gunanya menunggu sesuatu yang tidak pasti.Hingga akhirnya, sebuah teriakan keluar dari tenggorokannya. Sebuah teriakan yang penuh keputusasaan, namun di saat yang sama, penuh dengan kekuatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dengan setiap tarikan napas ya
“Em, sepertinya begitu.” Berusaha tidak memperlihatkan kekesalan beserta kekecewaan, Red mengangguk, merelakan istrinya pergi menemui kakaknya. Mina sudah melepas diri sepenuhnya dari Red, tapi kemudian mengingat Zara. Didekatinya Red dengan cepat sambil berkata, “Jaga dia. Ingat, bayi kita ada padanya. Pastikan semua yang dia butuhkan terpenuhi. Andai kau keberatan, beritahu aku.”Red mengangguk, merebut wajah Mina sambil dihadiahkan sebuah ciuman kilat.Red menahan napas sejenak setelah bibirnya meninggalkan Mina. Matanya menelusuri wajah istrinya, mencoba menghafal setiap detail sebelum harus melepaskannya lagi—meskipun ini bukan pertama kalinya.“Pergilah,” katanya akhirnya, suaranya terdengar datar, tapi genggaman di pinggang Mina sedikit lebih erat sebelum dia benar-benar melepaskan.Mina menatap si suami pertama sejenak, seperti ingin memastikan semuanya baik-baik saja, lalu akhirnya berbalik, meninggalkan Red seperti biasa.Red menatap punggung Mina yang menjauh. Berat di dad