“Susah ya, ngomong sama menantu kayak kamu. Belagu!” Ibu mertua mencebik dengan keras, kemudian dia berusaha bangkit dari kursi yang didudukinya saat datang tadi.
Melihatnya bergerak, aku masih diam membisu. Kenyataan pahit yang ditorehkannya selama ini membuatku enggan membantu.
“Gin! Kamu diam aja di situ?” seru Bang Teguh tidak terima.
“Istrimu tidak tahu diri, Guh! Sudah untung kamu mau nikah sama dia, kalau enggak jadi perawan tua sekalian!” Lagi ... ibu mertua mengumpatiku.
“Sudah, Bu ... jangan marah-marah lagi, biar Teguh yang ngajarin Gina nanti. Sekarang, Ibu fokus istirahat dulu, ya?” pinta Bang Teguh tanpa beranjak dari posisinya saat ini.
Aku menyunggingkan senyum, ucapan serta perbuatannya sama sekali tidak sinkron. Perkataan pria itu seolah-olah telah menempatkan ibu mertua di atas tahta, namun nyatanya memapahnya ke kamar saja tidak pernah dia dilakukan.
“Nita!” Ibu mertua mengganti sasaran karena tidak ada yang kunjung datang membantunya.
Nita yang baru saja menurunkan keranjang buah pembelianku segera beranjak mendekat, tidak dihiraukannya peluh yang terus mengalir di pipi, serta tubuh yang semakin ringkih setelah semalaman bergadang. Wanita itu, memang memiliki hati seputih salju.
“Iya, bantuin mertuamu, Nit! Jangan numpang saja di sini!” Bang Teguh kembali melayangkan belatinya pada Nita.
“Numpang?” Aku mendesis. Kalimat dari suamiku telah mengotori telingaku.
“Numpang gimana, ya? Mulai dari nyapu, ngepel, nyuci sampai masak itu Nita yang kerjain, loh. Kok Bang Teguh teganya ngatain dia numpang?”
“Itu sudah tugas kalian sebagai mantu di sini. Memangnya kamu maunya ibu yang ngerjain semuanya?” balas Bang Teguh.
“Mantu atau pembantu, ya?” Aku menyeringai lagi. Benar-benar sudah panas hatiku melihat bagaimana buruknya sifat dua orang ini.
“Mbak, sudah. Jangan dilanjut, malu sama tetangga. Bu Husna lagi ngintip,” ingat Nita seraya melirik ke pagar samping rumah.
Mendengar hal itu, aku turut serta menoleh, mencari-cari tetanggaku yang baik budi itu. Dan benar saja, dua pasang mata terlihat sedang mengintip dari balih celah-celah pagar. Tubuhnya yang gempal membuatnya kesusahan bertahan di antara dua pokok kayu yang masih remaja di rumahnya. Kasihan sekali Bu Husna, mencari gosip sampai segitunya.
“Masuk, Nit. Besok, kamu ikut Mbak ke gudang!” perintahku pada Nita dengan suara ketus. Aku benar-benar sudah muak dengan perlakuan mereka selama ini, menjadikanku ATM berjalan dan Nita sebagai budak mereka. Dan anehnya, Bang Willy yang notabenenya suami wanita ini seolah-olah buta dengan semua perlakuan keluarganya pada Nita yang dia nikahi.
“Sombong!” Ibu mertua menyindirku lagi. “Mentang-mentang duitmu banyak, kamu berlagak di sini, Gin!”
“Ibu benar ... kamu enggak hormat sama ibu, dan sama aku! Kamu istriku!” sambung Bang Teguh. Rupanya, dua insan ini tidak mau menyudahi pertikaian di teras. Mereka lebih senang mengundang Bu Husna-Bu Husna yang lain dan menonton kami hingga puas.
“Terserah apa katamu, Bang. Aku capek, mau istirahat!” ketusku lagi. Setelahnya lekas berbalik ke dalam rumah tanpa membiarkan diriku disakiti lagi.
Aku mengabaikan ibu mertua yang sedang berpura-pura kesulitan berjalan, atau panggilan dari Bang Teguh serta omelan tidak berujungnya itu. Apa perduliku lagi? Di saat semua hal kuberi, namun mereka membalasku dengan rasa sakit hati.Meninggalkan ketiganya, aku melenggang masuk ke kamar, lalu menutupnya dengan keras. Sesak di dada kutumpah dalam satu tarikan napas panjang dan helaan yang berat. Bagaimanapun, air mata ini tidak boleh lagi terjatuh apalagi untuk orang-orang berhati batu itu.
Kulirik sebentar, jaket hitam di gantungan yang menyembunyikan jaket jeans di bawahnya, barang bukti yang belum sempat kudokumentasikan itu semoga tidak dibawanya pergi setelah kejadian hari ini. Aku mendadak risau, tentang bagaimana caranya membongkar seluruh dusta Bang Teguh dengan langkah-langkah yang elegan dan pintar.
“Gin!”
“Fyuh ....”
“Abang mau ke kantor!” ungkapnya dari luar kamar.
Kuusap wajahku yang sedikit hangat, kemudian membukakan pintu demi melihat wajah pria pendusta itu. Sudah bisa kutebak, jika kantor yang dia maksud adalah rumahnya bersama wanita dengan panggilan Adinda.
“Kantor yang mana, Bang?” Aku tersenyum tepat di bingkai pintu yang membuat Bang Teguh mengernyitkan dahi.
“Kantor yang mana apanya? Kantor Abang lah!”
“Oh, bisa ya, Bang ... masuk setengah hari begini? Dari siang sampai pagi, ya?” ujarku lagi dengan intonasi mencela. “Bilang saja mau nginap di sana! Dasar tukang bohong!”
“Iya, sampai pagi karena harus gantiin temen. Bagi duit, Gin! Duit Abang habis buat biaya rumah sakit Ibu,” pintanya seraya mengulurkan tangan. Entah kemana rasa malunya dia buang, hingga Bang Teguh dengan mudahnya menadah, menunggu pemberian dari istrinya.
“Bang Teguh minta aku? Kenapa? Kan baru gajian?”
“Apaan, sih? Kok kamu jadi pelit begini? Kalau enggak mau kasih ya udah, nggak usah pakai acaranya nyinyir!” pungkasnya dengan nada tinggi. Bang Teguh terlihat marah dan tersinggung, dikepalnya tangan yang di dalamnya berisi kunci mobil Jazz milikku.
Segera, kualihkan pembicaraan, “Bang, kuncinya sinikan!” Giliranku yang mengulurkan tangan.
“Apalagi sih? Abang mau ke kantor, masa pakai motor? Malu! Semua orang kantor sudah tahu kalau istri Abang pengusaha sukses.” Bang Teguh menunjuk sembarang arah, suaranya naik dua oktaf yang menandakan dirinya tidak setuju denganku.
“Aku mau bawa ke gudang, buat dipakai karyawan mulai hari ini. Mereka kesusahan bolak-balik ke distributor pakai motor! Mereka lebih butuh daripada Abang yang hanya buat pamer doang,” serangku lagi. Dadaku naik turun, kembang-kempis karena menentang suamiku sendiri. Tapi, apa boleh jadi, semua rasa percaya dan kebaikanku dibalasnya dengan pengkhianatan seluas ini.
Tidak cukup jarang memberiku nafkah, lebih berpihak pada ibu mertua dan senang pamer harta, kini Bang Teguh menodai pernikahan kami dengan menikah lagi. Dan busuknya, ibu mertua terlibat di dalamnya.
“Gila! Enggak bisa gitu, Gin! Ini mobil kan sering Abang yang pakek, milik Abang. Kenapa tiba-tiba mau kamu bawa ke gudang?” Bang Teguh segera menyimpan kunci mobilku di saku. Dengan keras dan jelas, dia menolak mengembalikan kuda besi itu. Tapi aku, lebih tidak sudi jika hasil kerigatku digunakannya bersama wanita dengan panggilan Adinda. Segala hal yang kuperoleh saat ini, sudah dititipkan Rabbi sebelum kami menikah, jadi Bang Teguh atau pun ibu mertua tidak berhak mengatur diriku sejauh itu.
“Mobil Abang? Maaf, Bang ... semuanya aku beli pakai uang sendiri. Bahkan kebutuhan harian di rumah ini seringnya aku yang menanggung. Kalau menurut Abang itu mobil punya Abang, coba sebutkan berapa kontribusinya? Berapa uang Abang yang keluar untuk beli? Bayar pajak dan perawatan?” Aku mengatur poin-poin utamanya di depan Bang Teguh.
Pertiakaian kami rupanya mengundang perhatian dari ibu mertua yang baru saja berleha-leha di kamarnya. Wanita paruh baya itu, berdiri tegak di ambang pintu, menatap kami dengan sorot mata elang.
“Kembalikan, Bang! Aku mau mobilku!” tegasku dengan pandangan yang menantang Bang Teguh.
“Kembalikan saja, Guh! Memang istrimu sudah enggak waras. Harusnya kamu ceraikan saja dia biar hidup kita bebas dari orang nggak punya perasaan kayak dia!” cela ibu mertua.
“Oh ... cerai? Oke, ayuk!” sambutku dengan senyum yang lebih cerah. Sedang Bang Teguh, terdiam cukup lama. Wajahnya yang semula dipenuhi kemarahan berubah pucat, seolah-olah tidak siap jika gudang uangnya berpisah darinya.
“Abang mau cerai?” tantangku sekali lagi.Kutahan sekuat hati selaksa air mata yang mulai membentuk di pelupuk. Tidak boleh sekalipun beningnya jatuh untuk Bang Teguh dan ibu mertua yang dengan mudahnya menoreh luka di batinku.“Eh .. siapa yang mau cerai, Gin!”“Itu, ibu ngomongnya gitu!” sambutku seraya mendelikkan mata dengan sengaja ke arah ibu mertua.“Bu ... Ibu ngomong apa, sih? Siapa yang mau bercerai?” Bang Teguh ikut melirik ibu mertua.Aku tersenyum tipis agar tidak terlalu kentara, kemudian memicingkan mata demi melihat sepuasnya perubahan raut wajah dari ibu mertua yang ditentang oleh putra kesayangannya. Inilah Bang Teguh yang sesungguhnya, demi menghindar dari perceraian yang memberinya kerugian, dia lebih memilih menbantah ibu mertua dibandingkan sebelumnya.“Abang pakai mobilnya, ya? Panas banget Gin.” Bang Teguh kembali mengemis. Aku muntab, lantas
“Maksudnya apa, Bu?” Aku menatap ibu mertua dengan sorot mata bingung.Wanita paruh baya itu menyunggingkan bibirnya, mungkin merasa malas saat mendengar suaraku.“Apa ini, Nit? Kwitansi apa ini?” tanyaku pada Nita seraya berharap wanita itu akan memberiku penjelasan. Meski demikian, Nita menggeleng, lantas menundukkan wajah. “Nita nggak tahu, Mbak.”“Ini, semuanya hutang-hutang Teguh, Mbak! Saya mau dibayar sekarang karena jatuh temponya udah terlalu lama. Gimana ini, saya juga butuh uang, masa sudah berbulan-bulan enggak balik uang saya?” jelas pria berkulit legam.Aku yang baru saja mendapatk an jawaban atas alasan dari kehadirannya lantas membelalakkan mata kembali. Kemudian, memandangi satu per satu lembar kehijauan yang dibubuhi tanda tangan milik Bang Teguh. Jumlah yang tertulis di atasnya tidak main-main, dan jika ditotal maka mencapai tiga puluh juta rupiah.“Saya berani pinjamin
Aku menunggu sejenak di depan rumah asing yang didatangi Bang Teguh, memperhatikan dari dalam mobil dengan jarak aman demi mengetahui pemilik dari hunian mencurigakan itu. Jika memang itu rumah Adinda bersama suamiku, lantas kenapa halamannya tidak terurus? Bahkan lebih cocok disebut berantakan bak diterjang badai sungguhan. Selang beberapa lama, motor lainnya datang. Dua pengendara yang berboncengan di atasnya ikut masuk ke rumah itu. Pintunya tertutup rapat, namun saat ada yang mengetuk, maka segera terbuka seolah-olah ada sistem otomatis yang mampu mendeteksi kehadiran seseorang. Aku menanti lagi dengan sabar, hingga siang berganti jadi sore tanpa memindahkan pandanganku meski hanya sedetik ke pintu rumah itu. Apa yang dua orang tadi dan Bang Teguh lakukan di sana? Kenapa hawanya jadi semakin mencurigakan? Di tengah kekalutan itu, satu motor lain menyusul. Sama seperti Bang Teguh dan dua orang setelahnya, pengendaranya segera masuk dengan langkah penuh per
Bang Teguh yang baru saja pulang menatapku kaget. Tatapannya matanya yang semula tersenyum jadi bulat besar. Kebingungan seakan menyelimuti pria itu, hingga tidak mampu beranjak dari ambang pintu.“Masuk, Bang ... pintunya ditutup, dong!” paparku lagi dengan senyum yang menyiratkan banyak makna.Aku sudah tidak mau lagi bertahan dengan pria ini dan keluarganya. Segala dusta yang telah mereka berikan, sudah cukup sebagai alasan untukku segera angkat kaki dari sini, melepaskan diri dari belenggu yang terus menjerat tanpa akhir.“Ka-kamu kenapa, sih? Makin hari makin aneh?” balas Bang Teguh seraya mendekatiku.Pria itu mengulurkan tangannya, hendak membelai wajahku. Tetapi aku, lebih dulu bergeser dan menjauh. Kutatap dia dengan pandangan tak suka, memberinya kejelasan jika aku tidak sudi disentuh olehnya, apalagi dengan tangan yang baru saja mencetak banyak noda dan dosa di rumah misterius tadi.“Gin!” Bang Teguh t
“Mbak, tinggal di sini, Nita mohon ....” Rintihan Nita semakin keras di sore yang menggelap ini.Rupanya, matahari sudah tenggelam, dan bulan mulai mengintip malu-malu.“Mbak, Mbak tega ninggalin Nita?” Isak tangis Nita kian mengeras meski malam mulai datang. Aku khawatir jika apa yang dilakukan oleh Nita akan membuat tetangga bertanya-tanya, kapan rumah ini bisa tenang dan bebas dari masalah.“Mbak harus pergi, Nit. Sudah tidak ada alasan lagi untuk tetap di sini,” jelasku pada Nita. Sama seperti sebelumnya, Nita keberatan, pelukannya menjadi semakin erat.Aku membuka pelan dekapan wanita itu, lantas menundukkan sedikit wajah demi menatap parasnya yang telah basah. Ada sekelebat rasa syukur yang melintas saat sadar jika di bawah atap yang dihuni oleh orang-orang berhati jahat ini, masih ada satu hati suci nan putih yang kian bersemi. Seandainya saja, wanita ini bisa kubawa pergi dari sini ....“Mbak, nanti
Aku mengemudi hampir satu jam lamanya di jalanan sendirian, tidak pernah terasa begitu kesepian seperti ini, karena aku menyadari mulai detik ini hidupku akan sendiri lagi. Tidak akan ada lagi suami yang bisa kujadikan sandaran hidup atau keluarga tempatku pulang, yang tersisa hanyalah diriku sendiri.Tapi tidaklah mengapa, lebih baik begini daripada harus selalu makan hati. Suami yang seharusnya menjadi pelindung, memberiku nafkah serta menyayangiku tidak pernah melakukan semua itu. Segala hal yang terjadi malah sebaliknya, dimana aku yang menjadi tameng untuknya dan keluarganya, mereka senang menerima nafkah dariku serta membenciku saat keinginan mereka tidak terpenuhi.Sepanjang perjalana ini kuusap lagi air mata yang terus mencuri celah, lalu memdekte diriku jika Bang Teguh dan keluarganya tidak pantas untuk ditangisi sama sekali. Mereka sudah memberiku luka sedalam ini, menghina dan menertawakan nasibku yang baru menikah di usia tiga puluh tahun. Padahal mereka se
“Sejak kapan kamu begini, An?” Aku berucap seraya menahan deraian air mata.Sudah tiga puluh menit berlalu, Anha juga telah bersuci dan memakai pakaian tidurnya yang bermotif beruang coklat dengan dasar merah muda. Seprei dari kasurnya sudah diganti, termasuk sarung bantal dan guling karena malam ini aku yang akan menemaninya.“Kenapa, Anha? Harusnya kamu mencariku ....” Linangan air mataku kian menjadi hingga kalimat itu menjadi terhenti. Begitu banyak permasalahan yang menumpuk di pundak hingga aku tidak lagi tahu alasan kenapa tangis ini tidak mau berhenti.“Aku putus asa, Gin. Aku mencari pekerjaan ke sana ke mari dengan modal ijazah SMA. Mencari pelayan di kafe saja aku tidak terima, Gin!” kisahnya. Anha menahan perasaannya sendiri, hingga setiap kali dia berbicara suaranya yang terdengar sengau dan sedih.“Aku juga tidak mau begini awalnya, Gin. Tapi aku dijebak orang, hingga akhirnya mulai menikmati jalan b
Pagi ini sesuai dengan kesepakatanku bersama Anha semalam, begitu jam bertengger di angka setengah enam pagi, aku dan gadis itu bergerak dengan mobil jazzku menuju gudang lebih dulu. Niat hati dengan sengaja untuk menukar mobil mungil ini dengan Range Roverku yang gagah perkasa terlebih dulu.Jarak rumah Anha tidak terlalu jauh, karena itulah kami tiba tidak lama kemudian dan mendapati dua pekerja lelaki yang tinggal di gudang baru selesai berolahraga. Keduanya menatap heran padaku dan Anha yang nongol di depan gerbang, padahal jam kerja masih sangat jauh untuk dimulai.Salah satu dari keduanya segera membuka gerbang selebar mungkin, memberi jalan untukku membawa mobil mungil itu ke garasi gudang yang luasnya bisa diisi oleh tiga mobil berukuran besar. Baik aku dan Anha, turun setelah mesin mobil kumatikan, kami berdua tersenyum senang pagi ini karena membayangkan rencana yang berjalan dengan mulus nantinya.“Bu?” Pria muda itu, lulusan salah satu ka
Ting ... ting ... ting ....Suara adukan teh menjadi nada pengiring di antara aku dan ibu. Wanita yang berusaha menguatkan dirinya usai diterpa kenyataan itu terus memaksa untuk membuatkan minum.Deru napasnya terdengar lebih jelas dari pada biasanya sejak tadi. Aku sadar, umur ibu dan bapak kian bertambah setiap harinya. Resah yang dirasakan tidak lagi soal ikan yang terlalu mahal atau uang yang tak pernah cukup hingga hari esok, melainkan tentang anak-anaknya, terutama aku yang belum lama ini bercerai.“Ya-yakin mau jadi istrinya?” Ibu terbata-bata saat menanyaiku. Kalimat yang mungkin ingin ditanyainya sejak pertama kali melihat Mas Zildi.Wanita itu memutuskan untuk diam sesaat. Cangkir-cangkir di depannya dibiarkan kosong, padahal Mas Zildi sudah duduk di ruang tamu selama beberapa waktu.“Bu ... kemarin, Ibu keberatan karena Gagah tidak punya pekerjaan yan
Aku memastikan sekali lagi pintu rumah sudah terkunci rapat sebelum meninggalkan hunian. Sesuai dengan janji semalam, aku akan mengantar Adinda menuju kampung halamannya meski hati kecil ini dongkol luar biasa.Setelah subuh tadi, salah satu admin mengantarkan mobil Jazz merahku yang manis. Sebab, beberapa jam usai kami berangkat kemarin, Range Roverku dijemput oleh salah satu pekerja di bengkel Mas Zildi untuk dipoles kembali. Walau nantinya akan utuh seperti semula, nyatanya tetap tidak terasa sempurna.Terkadang, aku ingin meluapkan hal ini pada Adinda, yang sedang duduk diam di teras rumah seperti orang kehilangan jiwanya. Tetapi sekali lagi kutegaskan di dalam hati, jika Adinda juga korban dari kekejaman Bang Teguh dan ibunya. Dia tidak bersalah, hanya dipaksa keadaan untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan bayinya.“Berangkat sekarang, Din?” tawarku sebab Adinda masih diam di kursi. Dia memandang ke
Aku berseru, kemudian berjalan secepat mungkin menuju Adinda. Wanita yang masih menyusui bayinya itu terlihat tidak mengerti dengan teguranku barusan. Dia sibuk meninabobokan si kecil, sesekali menggodanya dengan botol susu meski sudah mendengar teriakanku sekalipun.Di depan netra ini, Adinda menyajikan pemandangan yang membuat jakun pria manapun akan bergetar. Adinda menyusui bayinya, membiarkan bagian dari tubuhnya yang berharga itu terlihat di depan siapapun. Tidak ada sehelai kain pun yang digunakannya untuk menutupi, setidaknya menghalangi, mengingat ada Mas Zildi di sini.Lekas aku berdiri di depan Adinda, menghindarkan Mas Zildi dari pemandangan yang mampu menodai matanya itu. Berulang kali aku menegur Adinda, geram sekaligus kesal. Bagaimana bisa dia bersikap begitu sembrono di depan seorang pria walau sedang dalam keadaan sulit sekalipun?“Mau pamer kamu, Din? Hah?” sergah Anha tanpa mau menanti.Dia menyerang
Proses pemeriksaan berjalan dengan lancar, meski awalnya perilakuku yang terkesan kasar karena merusak pintu rumah Bang Teguh sempat disinggung oleh pihak kepolisian. Tidak hanya mengenai adegan pengrusakan pintu itu, namun semua detail yang kutahu dan Adinda ingat, kami jabarkan tanpa cela. Semuanya harus berakhir di sini, tidak boleh lagi ada korban berikutnya yang muncul akibat dendam yang bersarang di hati Bang Teguh.Setelah berjam-jam berlalu, kami keluar dari kantor kepolisian dengan perasaan lega. Tugasku hanyalah menyerahkan rekaman CCTV dan bukti mobil yang tergores ke pihak kepolisian. Begitu juga dengan Adinda, semua kesaksiannya akan memperkuat hukuman untuk Bang Teguh nantinya ... semoga.Pamit dari kantor kepolisian, aku membawa Adinda dan bayinya pulang dengan menumpang mobil Mas Zildi. Wajah Adinda kusam dan lelah, sedang bayinya sesekali merengek tak nyaman dalam tidur.Mas Zildi memberi kami tumpangan hingga berhenti di sebua
“Adinda!” Bang Teguh menjeritkan nama wanita yang telah memberinya bayi mungil itu.Kami yang sedari tadi menjadi saksi lekas menolehkan wajah. Berharap di dalam hati jika Adinda tidak akan lagi bisa digoyahkan oleh pria yang telah menghancurkan hidupnya, juga berdo’a agar Adinda tidak lagi dibohongi oleh Bang Teguh.Aku menanti harap-harap cemas, wanita yang terlihat begitu bimbang didekat istri Pak RW itu. Dia memeluk bayi mungilnya yang terus merengek lapar. Bahkan bibir bayi itu mengering, tubuhnya pun pucat dan kecil. Aku yakin benar, si mungil yang dilahirkan Adinda tidak mendapatkan gizi yang cukup. Parahnya lagi, saat Adinda melepas dekapan bayinya, kutemukan sesuatu yang mencengangkan. “Adinda!” seruku sebelum dia kembali tergugah dengan suaminya yang sedang menanti akhir kisah.Mas Zildi serta dua wanita dewasa lainnya pun menoleh. Mereka mengikuti arah gerakku yang mencoba membuka selimut lusuh bayi mala
Adinda, ibu mertua dan Bang Teguh, mereka ada di dalam sana. Aku buru-buru mendekat, mengintip dari jarak yang begitu tipis agar bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan hingga menimbulkan bunyi yang begitu keras. Sesuatu terlihat melayang, piring keramik menyentuh dinding dan terbelah.“Abang?” Adinda kutemukan merintih di lantai.Dia bersimpuh di depan Bang Teguh dan ibu mertua. Bayi kecilnya ternyata dipeluk oleh wanita paruh baya gembrot yang sibuk tersenyum sinis pada Adinda.“Kamu itu bodoh, ya? Aku sudah bilang kan, setiap hari kamu harus kerja di sana. Hancurkan semua barang-barangnya Gina biar dia bangkrut!” balas ibu mertua yang ternyata disetujui Bang Teguh.“Bu ... kemarikan bayiku. Dia lapar, Bu ... hari ini belum nyusu sama sekali,” rintih Adinda dengan tangan terulur.“Enak saja, kamu itu enggak kerja hari ini. Artinya kamu itu lebih mendukung Gina d
“Aku akan mengecek CCTV!” seruku usai mengusaikan tangis.Kuredam semua kekagetan dan kegelisahan ini, lalu, berlari menuju ruang admin yang memiliki akses CCTV. Untungnya, aku sempat memasang benda mahal itu demi menghindari kejadian tak mengenakkan, walau belum mempekerjakan sekuriti di bagian depan.Begitu melangkah, kudapati Anha yang terkejut dengan sikapku. Dia mengikuti dari arah belakang bersama Mas Zildi dan si kecil Anggrek. Walau mereka tak saling kenal, meski belum pernah bertemu secara langsung, tapi keduanya seayun langkah saat mengejarku. “Buka rekaman CCTV di garasi!” Aku segera memerintah tiga pria yang duduk di kubikelnya.Mereka terlihat begitu bingung dengan seruan yang begitu tiba-tiba, namun salah satunya lekas berganti komputer. Kuikuti dia dengan perasaan berdebar, berharap jika CCTV merekam kehadiran dari orang yang telah melakukan hal buruk ini
“Kalau Adinda datang ke gudang, jangan izinkan dia masuk. Bawa ke kantor!” kataku pada para pekerja yang sudah berkumpul di gudang pagi ini.Mereka mengangguk setuju begitu mendengar perintah singkat ini. Sebagian terlihat menaruh simpati atas apa yang terjadi di gudang berkat kepercayaan yang kuberikan pada wanita itu, sebagiannya lagi terlihat acuh dan tak terlalu peduli.Ketiga adminku yang terpaksa bekerja dua kali lebih keras dibanding sebelumnya memberi laporan semalam, jika sebagian permasalahan tidak menemukan titik terang, hingga harus melibatkan pihak penengah dari marketplace tempat kami mencari rupiah.Baiklah ... tidak masalah. Wajar dan sangat dapat dimaklumi jika para pembeli merasa kecewa dengan barang-barang yang mereka terima.“Lalu Bu, bagaimana dengan keluhan itu?” Bu Mala menyahuti. Wajahnya yang sama lelahnya denganku melongok di antara kerumunan para pek
Usai menerima Adinda bekerja di gudang, aku bersikap seperti biasa. Membiarkan semua hal berlalu tanpa memberi peduli meski hanya sedikit. Termasuk soal Gagah yang pada akhirnya tidak lagi berusaha menghubungiku. Dia berhenti bekerja sebagai agen dari distributor langganan gudang tanpa alasan yang jelas, kemudian menghilang tanpa jejak.Dari karyawan yang menggantikan Gagah aku tahu satu hal, Gagah minta dipindahkan ke cabang yang berbeda karena alasan pribadi. Dan satu poin penting lain yang membuatku tercengang, menurut pria yang mengambil alih pekerjaan Gagah, pria itu sedang menjalin kedekatan dengan seorang gadis muda yang dikenalkan ibunya. Mereka berniat menikah, dan Gagah mulai membangun karir di daerah tempat gadis itu tinggal.Aku terdiam saat mendengar kisah itu, tidak pernah mengira jika Gagah yang mendeklarasikan perasaannya padaku begitu dalam bisa berpaling dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini, membuatku bertanya-tanya, tentang kebenaran