Selamat membaca. Dan tinggalkan komentar yang mendukung... Makasiiiiihhhhhh
"Hem? Kamu ini kenapa kok tiba-tiba ngomong begini?" "Udah deh Mas bilang aja. Kamu jadi nikahin aku apa enggak?!" Kali ini suaraku terdengar lebih kencang disertai tuntutan agar Affar segera memberi jawaban yang melegakan hati. "Kan kita emang mau nikah." Aku menghela nafas lega karena Affar tidak berubah pikiran sesuai kesepakatan diawal. Biarlah menikah dengannya yang jelas-jelas tidak lagi kucintai. Masa bodoh dengan cinta. Aku butuh kasih sayang dan kemapanannya untuk menjamin kehidupan kami ke depan. Hidup itu butuh uang, apa lagi setelah melahirkan. "Ya udah Mas. Aku ngantor lagi." "Kamu aneh deh Drey." Anakku membutuhkan status dan sosok ayah sambung yang mencintainya. Jika dibandingkan dengan Rado, sepertinya Affar adalah kandidat terbaik. Dia mapan dengan segala gelimangan hartanya, dewasa, matang lahir batin, tidak memiliki gangguan kesehatan mental, dan berpengalaman dalam rumah tangga. Walau kami tidak saling mencintai setidaknya jika menikah dengan Affar aku t
Kedua mata lelahku yang belum ingin memejam hanya bisa menyipit kala lampu kamar hotel bersinar remang-remang. Maklum, aku memiliki fobia dengan kegelapan. Gelap? Fobia? Di awal perkenalan kami, aku pernah begitu takut akan gelap hingga dengan terpaksa menggenggam tangannya untuk membimbingku ke tempat yang lebih terang, saat perayaan ulang tahun pernikahan orang tua Alfonso. Dan satu kenangan manis yang masih terkenang, kala aku memeluknya erat di toko aquarium saat lampu mati. Hanya Kian yang berada di dekatku waktu itu dan aku melakukannya secara spontan. Apalah daya, terkadang naluri ketakutan yang mendominasi tidak bisa membuat seseorang berpikir jernih. Rasa bahagia mengenang itu kuenyahkan dengan menatap Affar dari kejauhan. Dia akan menjadi nahkoda bahterah rumah tangga kami. Dan sudah sepantasnya aku menghapus masa lalu dengan menggunakan Affar sebagai pelipurnya. Setelah memastikan Devan tertidur pulas hingga mulutnya terbuka lucu khas balita, senyum geli menghiasi bi
"Halo Njar.""Hai Drey, gimana kabar lo?" Tanyanya dengan nada ceria."Fine girl. Gue sama Amelia di rumah. Lo lagi ngapain?""Rebahan aja dikamar. Oh ya Drey, lo mau denger cerita heroik dari gue nggak?"Aku mengerutkan dahi. "Apaan? Habis nampol maling lo?"Anjar terkekeh. "Bosnya maling malah.""Maksudnya?"Flashback...Saat itu, jarum jam kantor menunjukkan pukul 14.15 kemudian Anjar mengetuk ruangan Kian yang menjadi satu bersama Pak Rudy. Dua tumpuk dokumen pembelian dalam dekapan Anjar diletakkan dihadapan Kian dengan sopan meski hatinya bergelung marah.Tanpa menyadari perubahan pada ekspresi wajah Anjar, Kian bergegas mengecek dokumen. Beruntung, sebuah panggilan dalam silent mode yang muncul di layar ponsel Kian terbaca jelas oleh kedua mata Anjar.'Lovely Amanda'Anjar, dia bukan perempuan bodoh yang tidak mengerti sebuah panggilan sayang seorang pria pada wanitanya. Hanya saja, Anjar yang dulu dengan yang sekarang sudah berbeda penilaian pada setiap lelaki yang dikenal sej
POV PARALIO Selama di Jepang, aku tidak bisa berkonsentrasi penuh pada pelatihan, tugas, dan lomba yang diadakan. Apa lagi alasannya jika bukan karena aku terus memikirkan Sasha tanpa kuminta sekalipun. Sisi hatiku yang lain selalu berteriak untuk mencari tahu bagaimana kabarnya. Begitu menginjakkan kaki di Indonesia kembali, setelah empat bulan kepergian, aku menemukan kubikelnya yang telah tergantikan oleh orang lain. Pikiranku mulai bertanya-tanya dimanakah dirinya. Hingga pada saat Anjar menemuiku di ruangan, dia mengetahui segalanya tentang hubungan kami di masa lalu. Hingga aku menyadari jika Sasha telah mutasi dari kantor ini. Tepat di hari aku akan pergi ke Jepang. Ada rasa kehilangan bahkan luka yang tidak bisa kujelaskan sama sekali. Belum lagi sikap mama yang makin dingin padaku belakangan ini. Bertanya pada Anjar tentang keberadaan Sasha, bukannya mendapat jawaban, justru aku mendapat penghakiman kembali dari gadis muda seumuran Sasha itu. Bertanya pada mama diman
POV PARALIOKedua mata Sasha memejam sempurna saat aku mengatakan rahasia kami di hadapan Pak Affar. Rahasia yang mungkin selama ini ia tutup rapat-rapat tentang siapa ayah biologis bayi yang dikandung Sasha. Meski aku belum melakukan tes DNA, tapi suara hatiku begitu kuat meyakini jika bayi itu adalah anakku. Keturunanku. Yang akan mewarisi garis wajahku dan yang akan merengek manja padaku saat meminta sesuatu.Aku ingin tahu apakah Sasha menghasut Pak Affar lalu menjadikannya tumbal demi anak yang dikandung? Lalu bagaimana dengan status pernikahan yang sempat ia katakan pada Prita?Sasha membuka matanya perlahan lalu mendongak menatap kedua mataku dengan sorot terluka. Berhasilkah aku nembongkar kebohongannya di depan Pak Affar?Mungkin aku terlihat kejam karena seperti belum cukup menghancurkan hidupnya setelah menelantarkannya saat hamil muda. Apakah aku menyesal membongkar rahasianya di depan Pak Affar?Tidak!Kedua bola mata Pak Affar membulat sempurna kala mendengar pengakuank
POV PARALIODimana ada cinta disitu ada KEHIDUPAN. -Mahatma Gandhi-Rasa cinta Sasha yang teramat besar untukku membuatnya buta akan cinta. Bahkan rela menjadi budak nafsuku. Demi menyenangkan aku, ia rela memberikan kehormatannya padaku.Bagi perempuan setia pada satu cinta sepertinya, berada di dekatku adalah kebahagiaan. Tapi sayang, waktu itu aku tidak menyadari perubahan perasaannya padaku. Lalu dengan egoisnya, aku menghalangi acara kencannya dengan Wildan saat kami bertugas di Yogya. Sadar, ternyata aku cemburu.Sekarang, aku tidak hanya cemburu melainkan tidak terima dengan pernyataan Sasha akan menikah dengan Pak Affar. Shit!!! Aku marah!"Pernikahan kalian harus batal. Saya tidak akan membiarkan pernikahan kalian terjadi. Karena saya yakin keluarga besar Pak Affar yang amat terpandang tidak akan pernah sudi menerima wanita seperti Sasha. Hamil benih pria lain.""Jangan berani-berani menghancurkan hubungan kami Pak Lio!" Sentaknya kemudian Devan mulai merengek karena tidak
POV PARALIO Aku begitu panik ketika Sasha mulai bersandar di dinding sambil menormalkan deru nafasnya yang terlihat seperti orang mengalami asma. Tubuhnya juga mulai melemas. Jujur, aku tidak pernah melihat Amanda seperti ini saat mengandung. "Sha, kamu kenapa?" Tanyaku panik sembari merebahkan tubuhnya di pangkuanku.Apakah dia selalu seperti ini ketika merasa sangat sedih dan tertekan?Matanya mengerjap lemah lalu nafasnya justru melemah. Sedang tangannya memegang perut. "A ... anakku ... Kian."Lalu matanya makin tidak berdaya untuk sekedar melihatku. "Sasha?!! Buka mata kamu! Sasha!"Aku begitu panik.Aku takut kehilangan anakku kembali setelah kebodohan yang kulakukan dengan meninggalkan mereka berdua. Tuhan, tolong maafkan dan selamatkan mereka.Dengan segera aku membopong tubuhnya masuk ke dalam mobil. Aku berharap Tuhan menolong mereka berdua, memberinya waktu untuk hidup lebih lama agar aku bisa melihat anakku tumbuh penuh kasih sayang dan mengobati luka hati Sasha. Meski
POV PARALIO "Akan saya cek dulu keadaan Ibu Sasha. Kalau sudah membaik, pasien diperbolehkan pulang Pak.""Seperti sudah sangat sehat sus. Barusan aja istri saya teriak marah-marah."Suster itu menampilkan raut terkesima mendengar penuturanku. "Tapi akan saya pastikan dulu ya Pak.""Hati-hati sus, istri saya sedikit galak sejak saya pulang dari Jepang.""Tutup mulutmu Paralio!" Teriaknya lantang hingga membuat UGD yang awalnya sepi mendadak menggaungkan suaranya. Suster mendekati Sasha sambil membawa catatan kesehatan lalu memeriksa saturasi oksigennya. "Ibu harus jaga emosi ya. Pesan pak dokter nggak boleh terlalu capek sama harus pandai meredam emosi.""Saya nggak akan emosi kalau bukan karena dia sus!" Ucapnya tegas sambil menunjuk ke arahku yang berada di belakang suster. Kembali, hanya raut santai tanpa berdosa yang bisa kusuguhkan agar Sasha tidak makin menjadi menghadapiku."Kadang ngidam itu memang aneh Bu. Salah satunya ada yang mendadak benci sama suami sendiri. Tapi itu
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi