Ada yang berbeda dengan Kian saat menjemputku di kos. Dia memakai masker dan lebih sering menunduk, seolah wajahnya tengah disembunyikan dari seseorang. Rambutnya juga dibiarkan sedikit acak-acakan dan menjuntai ke depan jidat. "Aneh!" Setahuku, Kian adalah lelaki super perfeksionis dengan kadar kerapian yang terjaga. Dia enggan terlihat jelek atau tidak menawan dihadapan siapa saja. Demi menutupi wajahnya tampannya itu, ia enggan membantu membawakan kedua tasku ke dalam bagasi mobilnya. Apakah ada seseorang yang membencinya di sekitar kosku? Ataukah ia sedang memata-matai seseorang? Kian terburu-buru menghidupkan mesin mobil, lalu aku segera menutup bagasi dan masuk ke dalam mobil. Ia melajukan mobil sedikit cepat padahal gang perumahan sedikit ramai. Keanehan yang ditunjukkan membuatku bertanya-tanya. Sejauh yang kutahu tidak ada penghuni kos yang membenci atau menaruh amarah padanya. "Kamu kayak detektif. Aneh." Cibirku sambil membetulkan sabuk pengaman. Kian melepas ma
Kian menyodorkan air mineral yang sudah dibuka tutupnya dan roti sobek yang lezat. Setelah menandaskan roti itu kami segera masuk pesawat karena sudah mendekati jadwal take off. Satu hal yang aku tahu sejak check in, bahwa seat-ku dan Kian berbeda. Itu adalah hal membuatku kurang senang padahal aku ingin sekali bersebelahan dengannya. Dia bukan kekasihku tapi aku seperti ingin membari tali pada tubuhnya agar selalu dekat denganku, begitu juga sebaliknya. Di dalam pesawat, ia duduk bersebelahan dengan seorang perempuan yang lebih dewasa dariku. Jujur terbersit rasa cemburu dan malas melihat mereka berdua terlibat obrolan kecil yang nampak menyenangkan. Menyebalkan! 'Sama orang lain supel. Sama gue galaknya amit-amit!' Kesalku dalam dada. Sayup-sayup suara mereka berbincang terdengar so sweat. Tapi hal itu seperti anak panah yang menghunus telingaku. Aku berkali kali mengubah posisi duduk agar lebih nyaman untuk mengusir kegalauan. Lebih kesal lagi, perempuan yang duduk bers
"Nih kartu kamar lo." "Makasih." "Nanti jam 2 kita langsung ke lapangan." "Oke." Lalu kami menuju kamar masing-masing dengan barang bawaan masing-masing. Namun ada satu lokasi yang sempat mencuri perhatianku karena keelokannya. Kolam renang. Mungkin setelah pekerjaan ini selesai aku bisa berenang disana merasakan sejuknya air yang terlihat jernih dan biru itu. Untuk melepas penat setelah lelah bekerja. "Kamar lo sebelah sini, menghadap parkiran. Kalau kamar gue ada disebelah sana langsung menghadap kolam." "Yah kok kamar kamu enak sih Kian?!" "Ya kan gue minta upgrade tadi." Aku berdecak sebal. "Banyak duit yah enak mau apa aja bebas." Kian terkekeh. "Kalau lo mau, langsung aja nyebur kolam utama yang ada di luar itu." "Enakan kamu lah ada private pool-nya." Kian terkekeh. "Makanya rajin kerja biar dapat bonusan." Setelah selesai menata baju dan barang-barangku di lemari kamar hotel, kami menuju lokasi proyek sekalian membeli makan siang. Kini, kami sudah ada di l
Tidak ada yang lebih membahagiakan selain bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan lancar. Tapi kadang keinginan customer membuat kepalaku berdenyut nyeri jika harga material yang diminta harus tidak terlalu mahal namun bagus. Aku menjelaskan pada Pak Sam jika kedua supplier yang kudatangi kemarin memiliki harga penawaran yang sama pada setiap materialnya. "Menurut saya itu adalah penawaran standard pak. Kalau mau mencari yang dibawahnya lagi saya tidak bisa jamin besok kita akan selesai." "Benar-benar tidak ada harga yang lebih murah lagi ya mbak?" "Sepertinya itu sudah standard semua supplier pak. Kalau menurut saya itu saja sudah bagus." Pak Sam masih memperhatikan berkas-berkas lamaku yang penuh dengan coretan untuk memberi keyakinan diri material dari supplier mana yang harus ia pilih. "Ya sudah kalau begitu. Tolong buatkan rincian yang baru dengan supplier kemarin saja ya?" Ingin rasanya aku melompat ke dasar laut andai Pak Sam tahu. Aku membuatnya dengan susah pa
Kian adalah pria yang terkenal perfeksionis, tidak suka mencampuri urusan orang lain apa lagi bawahan biasa sepertiku. Bahkan selama mengenalnya, dia tidak pernah bertanya tentang hubunganku dengan Affar lebih jauh padahal ia mengetahui secuil kedekatan kami. Kini, mengapa ia mendadak ingin mengetahui hal yang aku sendiri tidak tahu apa jawabannya. Aneh!!! "Sejak kapan lo kenal Wildan?" Tanyanya ketika kami sudah di dalam rumah makan. "Sejak kapan? Kenal aja tadi." Jawabku polos. "Jangan bohong lo." Tatapan tajamnya membuatku terintimidasi. "Lah? Bohong ngapain? Emang aku bakal dapat uang apa bohongin kamu?" "Kenapa lo senyam senyum waktu dicocok-cocokin sama dia? Lo naksir?" Aku terkejut dengan tuduhannya. "Heeeh? Ngaco kamu." "Tadi udah pedekate express kan?!" "Kamu pikir Wildan kurir apa?" "Lo belain banget ya?" Aku membelalakkan mata tidak percaya. "Lah emang kita kenal aja baru tadi. Lalu pedekate express yang gimana maksud kamu?" Pertengkaran kami mirip orang pac
Menyerah mencintai Kian di saat yang tepat adalah hal yang kunanti-nantikan. Menggunakan perasaan dan kebaikan hati Wildan untuk membantuku bisa berpaling dari Kian. Konon kata orang, cara move on terbaik adalah dengan mencoba mencintai orang lain. Tapi, Kian seolah menghalangi usahaku. 'Apa maunya duda sialan ini?!' Gerutuku dalam hati. "Kenapa nggak minta tolong gue? Baru aja gue pulang dari minimarket. Beliin lo cemilan tadi." Aku melongo mendengar itu. Sejak kapan Kian begitu baik padaku alih-alih perhatian membelikan cemilan. Padahal kami baru saja berdamai dan aku tidak mengatakan apa yang menjadi kesukaanku. Perhatian Kian membuatku bahagia tapi juga membuatku bingung. Saat aku berniat move on dengan belajar membuka hati untuk Wildan, malah Kian datang membuyarkan. "Jadi? Mau gue antar atau sama Wildan?" Kian menunjuk keberadaan Wildan dengan dagunya. Ia baru saja datang lalu memarkir kendaraannya. Ia nampak begitu siap dengan pakaian santainya malam ini begitu juga deng
Kian, pria dewasa yang menyandang status duda. Sifat pemaksa dan dominan begitu erat melekat dalam sosoknya. Setelah berhasil memojokkanku dengan dalih laporan keuangan yang kukerjakan belum selesai, detik itu juga Wildan terpukul mundur. Juga, aku tidak siap jika harus berurusan dengan amarah Kian jika berani membantah. Dia baik atau dia jahat padaku hasilnya akan tetap sama. Aku selalu terluka. Padahal aku sedang berusaha move on meninggalkan segala kenangan tentangnya dengan belajar membuka hati untuk Wildan. "I....iya." Teriakku. Akhirnya aku kembali mengalah atau Kian akan membuka paksa pintu kamarku dengan berbagai cara. Dia orang yang cerdas, kritis, dan menyebalkan. Buru-buru aku merapikan penampilan barangkali ada sehelai rambut yang tidak mendukung. Lalu membuka pintu perlahan dan mengintip. "Ngapain ngintip segala? Ayo keluar katanya mau beli paketan." Aku mengangkat kedua alis tidak percaya lalu tersenyum kikuk. "Wildan, gimana?" Cicitku. "Udah selesai." J
Aku berpikir memberi jawaban terbaik tentang harapanku di lorong harapan ini. "Em.... Keluargaku sehat. Kerjaku lancar. Rezekiku banyak. Jodohku orang baik. Itu mungkin." "Ya udah." Aku melemas mendengar jawaban Kian yang tidak mengasyikkan. "Kalau kamu?" "Gue nggak ada harapan." Aku berdecak kesal. "Kalau nggak ada harapan itu artinya mau mati." "Ayo foto sekali lagi." Kian mendekat dan mengacak rambutku. Cekrek! "Duh Kian, rambutku berantakan dodol!" Kian tertawa puas lalu meninggalkanku. Aku berlari mengejar dan balik mengacak rambutnya lalu menggelitik pinggangnya. "Rasain ya!" "Ampun Sha!" Pekiknya sambil tertawa. "Nggak ada ampun!" Setelah puas bersenang senang di lorong harapan, kami mengunjungi rumah hantu dan mencoba becak mini yang dipenuhi lampu warna warni. Sembari bersenang senang, aku terus menahan ledakan bahagia saat bersamanya demi menjaga perasaan agar tidak sedih sendiri. Kian ingin bersenang senang denganku, bukan mencintaiku. Jika Kian tidak
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi