enjoy reading ...
Aku tidak punya pilihan selain mengatakan keinginanku untuk mutasi pada Kian. Alasan tersembunyi yang tidak akan pernah kukatakan padanya adalah karena aku tidak mau kami terlalu dekat seperti ini. Sadar diri, aku kalah dari perempuan manapun yang mendekatinya. Aku tidak masuk kriteria sama sekali. Juga, cinta segitiga seperti ini hanya menambah beban di hati karena hanya bisa bersama tanpa bisa memilikinya. Kian berbalik menatapku lekat sambil meremas tanganku yang masih digenggam. "Lo masih mikir mutasi? Because of what?" "Aku ... kayaknya ..." Jawabanku terhenti karena tidak memiliki alasan kuat. "Nggak ada mutasi dan gue nggak akan bantu. Lo udah gue maafin soal Alfonso. So, just right here!" Tanpa menunggu jawabanku, ia menyuruhku berjalan lebih dulu menuju kolam besar. Kemudian Kian mengekoriku. Hingga terdengar umpatan lirihnya yang membuatku berhenti melangkah. "Shit!" "Kenapa, Kian?" tanyaku sambi menoleh. "Udah jalan sana!" Kian sedikit nyolot. Sikapnya yang ber
Bohong jika aku tidak bahagia saat Kian mengajakku menambah satu malam di Yogya. Ditambah, ia mengajakku saat kami tengah berpelukan di dalam air pinggiran kolam. Hati perempuan mana yang tidak meleleh mendengar ajakan manis lelaki tercintanya? Meski kenyataannya aku adalah kandidat yang sudah terlihat kalah. Tapi, perlakuan manis Kian mengaburkan penilaianku yang sebelumnya menganggap 'dia tidak mencintaiku'. Bisa jadi aku masih memiliki kesempatan untuk kembali meraih hatinya. Jika dia mengajakku menambah satu malam lagi apakah itu pertanda dia menyukaiku? Jika menerima ajakan bermalam itu aku bisa mengetahui isi hati Kian padaku, mengapa tidak mencobanya saja? Aku menatap mata Kian dengan perasaan gugup. Jujur ini adalah pengalaman terjauhku bersama Kian. "E ... emang bisa, Kian?!" "Besok itu minggu kalau lo lupa. Kantor masih libur, ngapain kita nggak manfaatin waktu disini lebih lama." Aku masih diam menunggu ucapan selanjutnya. "Nanti biaya hotelnya biar gue yang tang
"So? It's challenge. How about you? Atau lo cuma kelihatan sok berani diluar aja, Sha?" Dari awal tantangan, aku sangat yakin akan kalah karena kemampuan berenangku sangat terbatas. Tapi menolak tantangan Kian itu sama dengan menurunkan harga diriku di depan lelaki super perfeksionis sepertinya. Dan aku memiliki gengsi walau sudah tahu akan kalah. "Kamu nantang cewek untuk adu renang?" Kedua bahunya terangkat, "Banyak kok cewek yang lebih kuat dan cerdas dari laki-laki. Jadi, nggak ada istilahnya nantangin lo berenang lalu kesannya kayak gue laki-laki yang beraninya sama cewek doang." Aku menunjuk dadanya, "Kamu punya otot yang keras. Sedang aku?" Tanpa disangka, Kian mendekatkan bisikannya di telingaku, "Lo punya otot yang seksi kalau lo nggak tahu, Sha?" Aku segera mendorong tubuhnya dengan ekspresi kesal. Sedang Kian justru tertawa senang karena berhasil membuatku memanyunkan bibir. Betapa malunya aku ketika dia memujiku seksi. Walau sebenarnya di dalam hati aku bersorak bahag
Tato adalah seni ekspresif yang dituangkan di atas kulit pencintanya. Tato tidak selalu berkonotasi negatif karena kenyataannya banyak orang yang membubuhkan tato di atas tubuhnya dengan berbagai alasan. Seperti Kian, dia memilih mengabadikan momen persahabatannya saat SMA di balik punggung mulusnya yang menggoda. Ada kesan little bad guy dan itu membuatku makin mencintainya. Sinting! Iya, aku memang tergila-gila padanya. Saat perempuan lain memilih menjauh dari pria 'setengah nakal' seperti Kian, aku malah mendekat bahkan bersedia menerimanya singgah di dalam hati. Cinta memang segila ini dan aku yakin perempuan manapun akan berbuat hal yang sama gilanya sepertiku ketika berhubungan dengan lelaki pujaan hati. "Kenapa kamu milih di punggung?" Kian menatapku lekat dengan kedua matanya yang memancarkan tatapan memikat, "Gue pengen apa yang menjadi harapan gue nggak banyak diketahui orang, biar gue aja yang tahu." "Apa harapanmu?" tanyaku lagi karena semalam Kian juga bertanya h
Lelaki tampan selalu dikelilingi wanita-wanita menawan. Bahkan Kian bebas memilih satu dari beberapa wanita yang terang-terangan mengejarnya. Kebanyakan wanita-wanita itu memiliki wajah dan level sosial yang bagus. Maklum, Kian sendiri juga seorang arsitek handal dengan ekonomi yang mapan. Sejauh mengenal Kian, ada tiga wanita cantik nan prestisius yang mendekatinya. Audrey yang berasal dari Australia, Elea, dan terakhir adalah wanita yang menjadi tangan kanan customer kantor kami saat perjalanan bisnis kami saat ini. Tapi, benarkah ia tidak memiliki hubungan dengan wanita tangan kanan customer perusahaan? Jika di aplikasi pesannya saja dia tidak memiliki riwayat chat dengan wanita manapun, pantaskah aku mempercayainya? Masih ada kah harapan untukku merebut hatinya? Suasana hatiku seperti pergantian waktu siang dan malam. Jika mendapat sinar mentari yang hangat, aku pasti bersemangat untuk terus maju mendekatinya. Tapi jika mendapat dinginnya malam, aku akan meringkuk sendirian l
Perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan paling perasa dan berhati lembut. Mereka lebih mudah diperdaya oleh lelakinya. Apa lagi perasaan cintanya begitu besar hingga tidak sadar bahwa tidak hanya raga yang sanggup diberikan, tapi juga nyawanya. Hanya untuk sesuatu yang bernama ... CINTA. Yang salah hanyalah saat tahu bahwa cinta itu tidak dialamatkan untuknya, ia masih bersikukuh mengejarnya hingga tidak sadar hatinya telah terluka begitu dalam namun masih tetap abai. Itulah kekuatan cinta yang bisa mengalahkan logika. Apakah itu salah? Tidak! Karena cinta itu tidak pernah salah, yang salah adalah pemiliknya yang tidak bisa menjaga hatinya dengan baik. Ditatap Kian begitu lekat dengan jarak sedekat ini, ditambah pertanyaan yang dilontarkan terdengar seperti berbisik mesra, lalu aku bisa apa? Seluruh sel syaraf yang berada di sekujur tubuhku seakan telah tunduk pada titahnya. Dihadapannya aku selalu lemah dan menyerah seperti seorang hamba sahaya. Sebesar itulah cintaku padanya hi
Ada bermacam-macam jenis perempuan di dunia ini, dan aku adalah salah satu perempuan yang mudah jatuh hati pada sosok dewasa yang mengayomi. Tingkat kesetiaanku pada pasangan hampir tidak perlu diragukan lagi. Namun justru aku kerap kali dimanfaatkan untuk membuat mereka senang kemudian aku tak dianggap berarti. Kini, ketika sentuhan dan buaian Kian sanggup membangkitkan naluri bucin ini. Kemudian mengontrol pergerakan jiwa dan ragaku seenak hati. Jadi benar kata pepatah jika cinta itu buta. Akhirnya dia hanya meraba-raba. Munafik jika aku tidak menginginkan Kian melakukan ini lebih dari sekedar sentuhan dan pelukan karena begitu mencintainya. "Sha? Boleh?" tanya Kian berbisik lembut dihadapanku sambil mengusap sudut bibirku. Bagaimana menjawabnya sedang aku takut terlihat murahan apa lagi ia sampai tahu bila selama ini aku memendam rasa cinta ini sendiri. Mungkin dengan memilih diam tanpa memberi jawaban itu lebih baik karena takut jawaban yang kuberikan justru menjadi boomerang
-Terkadang membodohi diri sendiri itu mudah. Cukup merindukannya walau tak terbalaskan, cukup bertahan meski dia sudah tak lagi nyaman.- Audrey Tanpa jaminan apapun, aku rela menyerahkan mahkotaku pada Kian diatas nafsu yang mengontrol. Jeritan sang kalbu agar aku menghentikan ini semua ternyata kalah dengan perasaan cinta dan takut membuat Kian kecewa. Aku lebih mengutamakan Kian dan perasaannya daripada menyelamatkan martabat dan harga diriku yang belum tentu ia pikirkan setelah kegilaan yang kami lakukan. Cinta ini membodohiku hingga sedalam ini. "Kenapa, Kian?" "Lo yakin, Sha?" Aku mengangguk yakin dengan nafsu yang sudah membutakan logika. Benar kata pepatah 'salah satu hal yang menyedihkan ketika kamu terlalu baik pada seseorang adalah dia akan berpikir kamu cukup bodoh untuk dimanfaatkan'. Aku mengalungkan lengan di leher Kian, memeluk tubuhnya untuk melanjutkan apa yang telah ia mulai. This make out. Permainan ini sepenuhnya dipimpin oleh Kian dan aku mengikutinya.
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi