Suara tangis tiada hentinya sedari tadi terdengar. Rina, perempuan itu tengah menangis karena sedang menonton film Korea yang sangat menyayat hati. Ya, setelah berbincang dengan Nada beberapa waktu lalu, dia memutuskan untuk mengajak adik iparnya itu untuk menonton drama Korea. Kesedihan dalam film itu seolah merasuk dalam dirinya. Sedangkan Nada yang duduk di samping Rina tampak terpaku dengan kisah yang baru saja dia tonton. Kedua tangannya meremas pakaian sembari benak sana berpikir yang macam-macam. Tiba-tiba saja aktivitas mereka terhenti karena ponsel milik Rina yang berbunyi. Rina menoleh, meraih benda pipih yang berada tidak jauh darinya. Dia melihat layar ponsel dan melihat nama Aska di sana. Rina pun langsung menatap Nada dengan kerutan di kening. "Aska menghubungiku?" tanyanya kemudian. Bola mata Nada yang sudah memerah melotot seketika. Dia segera menggeleng dan menggerakkan tangannya yang mengartikan kata tidak
Aska membaringkan tubuhnya yang masih sedikit basah di atas ranjang. Mendapati sikap Nada yang tak ingin berbicara dengan dirinya membuat Aska menjadi pusing sehingga pria itu harus mendinginkan kepalanya di bawah guyuran air. Lebih dari satu jam pria itu mandi. Tidak seperti biasanya. kini dia melipat kedua lengannya dan meletakkan di bawah kepala. Tatapan Aska terarah pada langit-langit kamar dan memikirkan kejadian beberapa hari ini yang dia alami. Tepatnya adalah sejak lima hari yang lalu kala Aska mendapati panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Seperti biasa, dia akan langsung memblokir nomor itu karena Aska merasa itu tidaklah penting. Dia pikir setelahnya akan sudah dan tak ada lagi orang tak dikenal akan mengganggunya. Namun, dia salah. Setelahnya dia tetap kembali mendapat panggilan dari nomor berbeda. Itu berlangsung berhari-hari sampai Aska pun merasa bosan. Parahnya, pagi tadi waktu masih menunjukkan pukul l
memasuki ruangan ICU di mana putranya dirawat. Beberapa waktu lalu, dia mendapatkan kabar dari Niken kalau putra mereka telah sadar. Untuk sesaat Aska sempat terpaku melihat sosok bocah yang menatap ke arah dirinya dengan ekspresi bingung.Sedangkan Niken sendiri, perempuan itu tengah duduk di samping brankar putranya dirawat. Tangan Niken membelai kepala putranya dengan senyum yang terus mengembang karena perasaan bahagia yang menyambanginya atas kabar kesadaran putranya. Tak tunggu waktu dia segera memberitahu Aska akan kabar ini.Niken langsung menoleh ke arah pintu kala mendengar seseorang membukanya. Dia semakin melebarkan senyum kala melihat kehadiran Aska di sana. "Sayang. Kamu lihat itu. Itu Papa," ujar Niken dengan suara lembut.Bola mata lebar milik bocah laki-laki bernama Alva itu menatap mamanya dengan binar yang sulit untuk dijelaskan. "Papa?" tanyanya kemudian dan tak lama dia mendapat anggukan dari sang mama.Pelan, Aska berjalan mendekati keberadaan keduanya dengan pe
Aska memarkirkan mobil di bahu jalan depan rumah Nada. Kenapa tidak masuk ke halaman saja? Sebab halaman kediaman Pak Baron sudah didirikan tenda biru di mana akan diadakan pernikahan antara Reno dan juga Rina.Baru saja mesin mobil mati, seseorang di seberang jalan menatap dengan ketua kening ke arah mobil Aska. Dia mencebikkan bibir ketika mengetahui itu mobil siapa. Namun, detik kemudian dia malah mengembangkan senyum kala di balik benak sana dia menemukan sesuatu.Dia pun segera menyeberang jalan ketika melihat sosok pria berjas rapi keluar dari mobil. "Selamat pagi," sapa Bu Susi.Aska yang baru saja keluar dari mobil menoleh ketika mendengar sapaan itu. Dia melihat seorang perempuan paruh baya yang cukup dia tahu mesti tak mengenalnya. Aska pun memilih untuk mengenakan kacamata hitam yang dia punya.Bu Susi tersenyum melihat sosok Aska. Perempuan itu meneliti pria di hadapannya dari atas kepala sampai kaki. Sempurna. Dalam hati dia berbicara kalau pria ini cocok untuk menjadi su
Nada sedang membuat kue di belakang bersama para tetangga yang membantu keluarganya dalam persiapan pernikahan Reno dan Rina. Tiba-tiba seseorang mendekat. "Nada. Ada yang mencari tuh di luar," ujar seorang ibu-ibu dengan menunjuk ke arah luar.Kening Nada mengerut. "Siapa ya, Bu?" tanyanya kemudian.Ibu-ibu tadi menggeleng. "Ibu sendiri tidak tahu. Dia hanya bilang kalau mau bertemu Nada. Berarti, kan mau ketemu kamu. Terus, ya. Pakaiannya sih gambarin kalau dia itu orang kaya."Kening Nada semakin mengerut bingung."Coba saja keluar Nada. Siapa tahu itu teman kamu," ujar ibu-ibu yang lain.Nada pun mengangguk. Perempuan itu pun bangkit lalu mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum menemui seseorang yang katanya ingin menemui dirinya. "Ke mana Tari sama Ibu?" tanyanya ketika dia tak melihat keberadaan dua perempuan itu. Kalau bapaknya sendiri tengah membantu membuat tungku baru di belakang tadi.Nada keluar dari rumah dan melihat seorang perempuan dengan dress panjang di bawah lutut
Banyak orang yang berbondong-bondong menuju kediaman Pak Baron. Hari ini adalah hari di mana acara resepsi pernikahan Rina dan juga Reno diadakan setelah kemarin mereka telah melakukan ijab qobul di kediaman Rina. Acara ini diadakan hanya secara sederhana saja tanpa mengundang banyak orang."Calonnya Reno orang cantiknya kayak gitu, mana mau Reno sama Safira yang mulut ember kek ibunya." Seorang ibu-ibu yang masih membantu memasak di kediaman Pak Baron menatap takjub akan sosok Rina yang begitu cantik hari ini, duduk berdua dengan Reno di atas pelaminan sana sembari menyalami tamu undangan."Iya. Lagian Safiranya aneh-aneh juga. Masa dia minta tanggung jawab sama Reno atas perbuatannya sendiri. Lagian pakai nipu suami. Laki-laki mana yang nggak marah kalau istrinya sampai punya anak dengan pria lain." Percayalah pemirsa, gosip memang ada di mana-mana."Eh tapi saya masih nggak nyangka loh kalau istrinya Reno itu dia." Salah seorang ibu-ibu bergabung untuk bergosip."Memangnya kenapa,
Malam semakin larut waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam lebih, para tamu undangan tentunya sudah kembali ke rumah masing-masing. Acara resepsi pernikahan Reno dan Rina pun sudah usai. Tampak beberapa orang yang ada di luar tengah menata kursi-kursi menjadi satu. Mereka adalah orang-orang dari pihak pemilik tenda yang disewa oleh Reno.Jika kalian berpikir mereka semua anggota keluarga Pak Baron, akan tidur terlelap karena kelelahan selepas acara ini, atau akan melakukan malam pertama bagi sang pengantin, maka kalian salah.keluarga Pak Baron kini sedang berkumpul di ruang tamu. Tentunya bersama Aska yang masih berada di sana. Kejadian tadi siang mengenai kedatangan Niken di pernikahan Rina dan Reno tentunya mendapat perhatian khusus dari Reno.Apalagi Reno juga mengetahui kalau Niken adalah mantan istri dari pria yang katanya ingin menikahi sang adik. Belum lagi dengan adanya suatu hal yang baru saja dia tahu tadi siang. Semua orang duduk melingkar di atas karpet dengan posi
Nada dan Niken kini berada di luar ruangan ICU, tepatnya di depan ruangan ICU di mana Alva masih dirawat. Keduanya berdiri di lorong dengan saling berhadapan. "Kamu bisa kok sembunyi sambil nunggu. Aku berharap gitu juga sih agar kamu percaya dan akhirnya mau melepaskan Aska. Terkadang, kan memang seseorang itu butuh bukti untuk memutuskan suatu hal," ujar Niken dengan senyum tipis.Nada hanya mengangguk. Dia pun memilih ke sudut lain tembok sebuah ruangan di mana di sana ada tanaman hias yang memang sudah ada sebelumnya. Cukup untuk membuat tubuh Nada tidak terlihat. "Oke." Hanya itu kata yang dikeluarkan Nada.Perempuan itu pun berlalu dari hadapan Niken, Nada mendekati tanaman itu dan berniat bersembunyi di belakangnya. Anggap saja Nada ingin mencari tahu ketulusan Aska terhadap dirinya. Menikah bukan hal mudah, bukan? Dia tidak ingin menikah dengan pria yang mana hatinya masih menyimpan nama orang lain yang tak lain masa lalunya.Beruntung sekali ternyata di balik tanaman itu ada
Aska dan Nada menyalami tangan Pak Baron dan Bu Mila. Setelah pernikahannya yang berjalan dua hari lalu, hari ini sesuai jadwal Aska akan mengajak Nada untuk bulan madu sebagai kado pernikahan mereka. "Hati-hati di jalan, ya. Ingat. Jangan bertengkar." Pak Baron memberi pesan pada anak dan menantunya.Aska dan Nada mengangguk bersama-sama. "Iya, Pak." Pasangan suami istri itu berjalan bersama menaiki mobil Aska. Keduanya duduk pada bangku belakang karena kali ini mobil dikemudikan oleh sopir.Nada merangkul lengan sang suami. "Memangnya kita mau ke mana sih? Kamu belum memberi tahu aku loh kita mau ke mana-mananya. Kamu cuma bilang kalau kita mau bulan madu."Aska tersenyum. "Namanya juga kerutan.""Ih kamu mah." Nada mencubit pelan lengan suaminya. Aska pun terkekeh. "Ciba tebak aja dong. Kalau benar, nanti aku tambahin hari dalam bulan madu kita," ujar Aska kemudian."Kalau itu sih maunya kamu." Keduanya pun tertawa.Namun, Nada tampak berpikir. Dia menidurkan kepala di pundak san
Safira sedang berdiri di sudut tempat memerhatikan keluarga Pak Baron yang sedang mengadakan sesi foto dengan para pengantin. Bukan, bukan karena dia ingin ikut berfoto, tetapi karena dia sedang menunggu seorang perempuan yang kini juga sedang ikut berfoto. Kalian tentu tahu siapa.Safira mengentakkan kakinya karena kesal. "His. lama banget sih mereka foto-foto. Nggak penting banget deh." Dia melipat tangan dengan menunjukkan ekspresi kesalnya.Dia masih menunggu. Beberapa saat kemudian dia langsung menerbitkan senyum kala melihat seseorang yang dia tunggu berjalan ke arah dirinya. Entah mau ke mana yang jelas pasti perempuan itu akan melewati dirinya.Tepat ketika Rina. Orang yang sejak tadi dia tunggu melewati Safira, perempuan itu langsung meraih lengan Rina. Rina yang terkejut pun langsung menatap ke arah tanganya lalu menatap pelaku itu.Dia lagsung mengembuskan napas kasar kala melihat keberadaan Safia di sana. "Mau apa kamu?" tanyanya dengan malas."Kamu ikut aku sebentar," uja
Nada yang sedang menangis di pelukan kakaknya melihat keberadaan sang bapak dan ibunya di ambang pintu. Dia pun melepaskan pelukannya pada Reno. "Bapak? Ibu?" panggilnya yang membuat Tari dan Reno langsung mengalihkan pandangan. Mereka melihat kedua orang tua mereka di sana.Pak Baron dan Bu Mila tersenyum ke arah ketiga anaknya. Mereka berjalan mendekat, lebih tepatnya mendekati Nada. Reno dan Tari yang paham pun mulai menyingkir sebentar. Berdiri di depan Nada tepat, lalu menatap perempuan itu lekat-lekat.Pak Baron merasa terharu dengan keadaan ini. Keadaan yang pernah mereka lewati tetapi berakhir tragis. Pak Baron menangkup wajah Nada. "Maafkan untuk semua kesalahan yang pernah bapak perbuat sama kamu sehingga kamu melewati semua hal berat ini." Dia berujar lirih.Nada menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Nada yang harusnya meminta maaf karena Nada menyusahkan Bapak. Menyusahkan Ibu. Nada berterima kasih pada kalian atas semua yang pernah kalian beri untuk Nada," ujar perempuan itu den
"Aku akan menikah dengan Nada," ujar Aska. Ekspresinya datar dengan pandangan tajam mengarah ke depan. Tepatnya pada sosok pria yang memakai seragam tahanan. Siapa lagi kalau buka Saka?Saka yang mendengar itu hanya bisa diam tertunduk. Dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Kesalahannya di masa lalu benar-benar membuat Saka menyesal dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menebusnya. Dia telah menjadi penyebab kematian dari darah dagingnya sendiri dan membuat perempuan yang dia cintai kecewa juga marah padanya.Lantas, apakah ada hak untuk Saka meminta Aska untuk tak melanjutkan rencana yang baru saja dikatakan padanya itu?"Untuk apa kau mengatakannya padaku? Bukankah sejak lama kau memang ingin bersama dengan dia?" tanya Saka.Aska melipat tangan di depan dada. "Ya. Aku hanya ingin kau tahu saja." Tak banyak yang dikatakan oleh Aska. Pria itu hanya datang untuk memberitahu hal ini. Bukan untuk menjenguk sang adik. Bahkan sesuatu pun tidak dia bawakan untuk Saka."Aku harap ka
Harapan telah terkabul. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya kini Nada sudah membuka matanya. Iris itu tampak bergerak memandangi keadaan sekitar dan mencari tahu keberadaan dirinya di mana saat ini. Yang Nada ingat adalah kali terakhir dia yang sedang disekap oleh seseorang yang tak lain adallah ayah dari sosok Alva.Nada menggerang kala merasakan sakit di kepala. "Aku di mana?" tanyanya kemudian.Aska yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat pergerakan dari atas brankar milik Nada. Dia menyadari kalau kekasihnya kini sudah sadarkan diri. "Nada," panggil Aska yang langsung berlari mendekati Nadda."Kak Aska," panggil Nada dengan suara yang sangat lirih."Kamu sudah sadar, Sayang? Kamu sudah bangun. Sebentar. Aku akan panggilkan dokter untuk kamu," ujar pria itu dengan menekan sebuah tombol yang ada di bagian belakang brankar dan menempel pada tembok.Aska mendengar desisan dari Nada. "Sabar, Sayang. Sabar. Dokter akan segera datang."Pria itu duduk di samping brank
Sejak Nada memasuki rumah sakit dan tak sadarkan diri, Aska tak pernah sekalipun meninggalkan kekasihnya itu. Duduk pada kursi di samping brankar, Aska terus menggenggam tangan Nada dan menempelkan di pipinya. Pandangan Aska terus tertuju pada Nada seolah pria itu tak ingin lagi kehilangan kekasihnya."Bangun, Sayang. Bangun. Kamu harus segera sadar," ujar Aska. Salah satu tangan pria itu harus diperban karena luka akibat terlalu banyak memukul Danu sampai lepas kendali."Sayang. Setelah ini kita harus mengadakan pernikahan. Aku tidak mau ditunda lagi apa pun alasannya nanti," ujar Aska. Pria itu seperti sedang berbicara secara langsung pada Nada. Tatapannya penuh ancaman dan nada bicaranya penuh penekanan.Aska mencium tangan Nada dengan penuh cinta. "Bangun lah. Bukankah kau sudah mendapat perawatan? Kau pernah di posisi yang lebih berbahaya dari ini dan kau bisa melewatinya. Kau cepat bangun tapi kenapa rasanya lama sekali bangunnya. Kau tahu? Aku sampai mengantuk," ujar Aska sedik
"Akh! Sakit!" teriak Nada kala rambut panjangnya ditarik secara kasar. Wajahnya kini mendongak dengan tangan yang terikat ke belakang tubuh. Perempuan itu kini tengah duduk di sebuah kursi dengan tangis yang terus mendera sedari tadi karena penyiksaan yang dia dapat.Wajah Nada tampak penuh lebam dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah karena sobek. Penampilan Nada begitu kacau."Sakit. Tolong hentikan," ujar Nada dengan tangis. Kepalanya terasa perih kala pria di hadapannya ini mencengkeram rambutnya dengan sangat kuat."Apa? Apa?" Danu. Pelaku itu mendekatkan telinga ke wajah Nada. "Menghentikan?" tanyanya kemudian."Mimpi," ujarnya dengan keras dan kasar mendorong kepala Nada. Dia melepaskan sesaat rambut perempuan itu sebelum akhirnya kembali menariknya secara kasar."Apa kau bilang tadi? Sakit?" Danu bertanya dengan tatapan tajam. Detik selanjutnya dia tertawa dengan nada yang sangat menyeramkan."Rasa sakitmu ini tidak setara dengan sakit hati yang aku rasakan karena aku kehil
Bu Mila tidak bisa diam. Sejak tadi perempuan itu duduk, berdiri dan berjalan tiada henti dengan perasaan gelisah. Kabar mengenai penculikan Nada tentu saja menggemparkan keluarganya. Semua dibuat panik dan khawatir.Tari yang melihat ibunya terus menerus seperti itu menggeleng. Dia merasa kasihan. "Ibu. Ibu duduk dulu. Ibu yang tenang." Tari mendekati ibunya. Dia memegangi pundak Bu Mila lalu mengajaknya duduk bersama."Yang tenang, Bu. Jangan sampai kegelisahan Ibu ini membuat Ibu menjadi sakit nantinya," lanjut Tari."Gimana ibu bisa tenang, Tar kalau kakak kamu diculik orang?" tanya Bu Mila dengan perasaan sedih. Entah sudah berapa kali dia menangisi Nada."Maafin, Salsa ya Bu Mila. Salsa nggak bisa jagain Nada," ujar Salsa yang merasa bersalah."Tidak, Nak. Ini bukan salah kamu." Pak Baron berujar. Sejak tadi temannya Salsa itu terlihat sangat bersalah dengan kejadian yang menimpa Nada.Rina keluar dari dalam rumah. Dia membawa beberapa gelas minuman untuk semua yang ada di sana.
Danu berjalan santai menyusuri lorong rumah sakit dengan tangan kanannya yang memegang sebuah pisang. Dia menikmatinya sepanjang perjalanan sembari sesekali bersiul dan bersenandung. Pria itu tampak menunjukkan wajah yang bahagia.Asal kalian tahu saja, Danu baru saja pergi meninggalkan rumah sakit untuk melakukan hal yang biasanya dia lakukan. Kali ini Danu mendapatkan uang yang cukup banyak sehingga itulah dia tampak bahagia. Namun, dia tidak tahu apa yang telah terjadi di ruangan putranya.Ketika berjalan, dia tampak kebingungan dengan beberapa petugas medis yang berlari-lari. "Mereka kenapa?" tanyanya pada diri sendiri namun memilih acuh pada keadaan.Sampai akhirnya kala keberadaan pria itu sudah di dekat ruangan yang di mana anaknya dirawat, Danu mendengar suara teriakan dari sana. "Itu suara Niken?" Keningnya mengerut, menandakan kalau pria itu tengah kebingungan."Ngapain dia teriak-teriak begitu? Pakai acara nangis segala." Danu masih melangkah dengan santai menuju ruangan. Sa