Pagi pertama untuk Nada dan ibunya juga Tari ketika mereka tinggal bersama. Tampak tiga perempuan itu sedang berkutat bersama-sama di dapur kontrakan Nada yang kecil. Mereka sedang memasak sarapan bersama. Ah, lebih tepatnya hanya Tari dan Bu Mila yang memasak karena mereka meminta Nada untuk beristirahat saja.
"Memangnya Ibu mau masak apa?" tanya Nada yang masih asyik duduk di lantai, lesehan sembari menikmati teh hangat buatan ibunya. Rasanya dia sangat merindukan racikan teh ibunya ini. Padahal, kan dulu di rumah dia selalu membuatnya sendiri karena ibunya memang tak dia perbolehkan melakukan apa pun sebab kesehatan.Namun, hari ini Bu Mila sendiri yang memaksa untuk Nada agar duduk saja. Rasanya memang benar-benar berbeda. Suasana tempat tinggalnya saat ini membuat dia lebih bersemangat."Melihat bahan yang ada di kulkas kamu, ibu mau buat sayur bening sama dadar jagung dan ikan goreng. Kamu harus makan-makanan yang memenuhi agar baik juga untuk keseha"Akhinya terbebas juga dari pria itu. Waktunya membuat pesta kebebasan," ujar Rina yang baru saja keluar dari ruang sidang perceraiannya dengan Saka. Dia menoleh pada sosok pria berkacamata yang selalu mendampinginya selama proses perceraian, siapa lagi kalau bukan pengacaranya? Keduanya berjabat tangan. "Terima kasih untuk bantuannya selama ini, Pak.""Sama-sama Nona Rina. Kalau begitu, saya duluan." Pria itu memilih untuk pamit undur diri lebih dulu.Tiba-tiba saja ketenangan Rina terganggu kembali. "Sekarang kita sudah resmi berpisah. Jangan sampai kamu menyesal karena telah melakukan ini," ujar Saka dengan kepercayaan dirinya yang begitu tinggi.Satu sudut bibir Risa tertarik menukik naik. "Sampai kapan kamu mau percaya diri seperti itu? Untuk apa juga aku menyesali keputusan berpisah denganmu." Risa menatap remeh mantan suaminya itu.Detik selanjutnya dia mengibaskan tangan di depan wajah. "Sudahlah. Tak perlu lagi kau urusi aku. Ba
"Nggak usah tarik-tarik. Kalau mau ngomong ya ngomong aja," ujar Rina setelah dia menarik tangannya dari genggaman Reno. Perempuan itu menatap Reno kesal setelah berani menarik dirinya memasuki area taman kota yang kebetulan hari ini sedikit sepi. Yaiyalah, bukan hari libur.Rina mengibaskan rambutnya ke belakang. "Kalau mau ngomong ya ngomong aja. Nggak usah pakai acara tarik-tarik. Masih untung saya mau ngomong sama Anda yang seorang pembunuh ini," ujar Rina dengan pandangan sinis yang dia berikan pada Reno.Reno memejamkan matanya. "Aku bukan pembunuh, Rin," ujar Reno dengan suara dalam dan lemah. Pandangan pria itu sangat sendu.Rina yang mendengar itu hanya tertawa mengejek. "Bukan pembunuh katanya?" tanya Rina jelas itu sebuah cemoohan.Reno meraup wajahnya dengan kasar. "Oke aku akui kematian kakak kamu karena aku. Tapi aku bersumpah aku tidak berniat untuk membunuhnya. Aku hanya membela diri," ujar Reno Pria itu kembali mencoba menjelaskan
Seorang perempuan dengan pakaian rapi kini berdiri di depan sebuah kontrakan yang cukup sederhana. Ekspresinya tak menggambarkan apa pun, hanya datar. Bahkan perempuan itu menggunakan kacamata untuk menutupi bengkak di mata akibat tangisnya semalam.Tangan kanan terangkat untuk mengetuk pintu yang tertutup di hadapannya. Dia mengetuk beberapa kali sampai akhinya si pemilik membukakan pintu. Kini, dia mendapati sosok pria yang hanya mengenakan celana pendek tanpa pakaian bagian atas. Dia sempat terkejut dengan melotot, untung saja dia memakai kacamata.Reno. Pria yang baru saja terbangun dari tidurnya di hari yang sudah siang karena sedang izin tidak bekerja itu langsung melotot kala mendapati sosok perempuan di hadapannya. Sejak insiden kemarin, dia tak pernah membayangkan kalau Rina akan menemuinya secepat ini. "Ri---Rina?" panggil Reno dengan suara terbata."Di mana anak kakakku?" tanya Rina. Ekspresinya masih datar, dari balik kacamata dia menatap Reno
"Tambah lagi." Sejak percerainnya dengan Rina, dia yang dipecat dari perusahaan oleh kakaknya, juga Nada yang menolak untuk kembali padanya, Saka tak tahu lagi harus melakukan apa. Walhasil, inilah yang dia lakukan. Hanya mabuk-mabukan saja.Sebagai penjaga bar, sosok pria yang sejak tadi melayani pembeli pun langsung menuangkan minuman dengan kadar alkohol tinggi ke dalam gelas Saka karena itulah yang Saka minta. Bagaimana tidak langsung menuangkannya kalau mereka di sana, kan memang untuk berjualan.Saka mengangkat gelas yang ada di tangannya, berisi minuman dengan warna sedikit kekuningan. Pandangannya mengabur dan tiba-tiba saja banyangan dua tangan yang saling menggenggam melewati benaknya. Sontak saja ekspresi kemarahan terlihat jelas di wajah pria itu.Tanpa ragu, Saka langsung meneguk minuman itu hingga tandas dalam sekali tegukan saja. Dia meletakkan gelas dengan sedikit membantingnya ke atas meja. "Tambah lagi!" serunya dengan keras. Tak akan ter
Pintu yang sejak tadi tertutup kini sudah terbuka menampilkan seorang dokter yang keluar dengan melepas maskernya. Semua yang sebelumnya dilanda kesedihan langsung mendekati dokter itu secara bersama-sama. Kekhawatiran semakin terasa kala pakaian dokter itu dipenuhi darah juga ekspresinya yang seperti mengisyaratkan sesuatu."Bagaiman keadaan anak saya, Dokter?""Bagaimana keadaan Nada, Dokter?" tanya Bu Mila dan Aska secara bersamaan. Mereka benar-benar tidak sabar untuk mengetahui bagaimana keadaan Nada juga harapan untuk tak terjadi hal yang tidak diinginkan.Dokter berkacamata itu menatap Bu Mila dan Aska secara bergantian. Ada embusan napas kasar yang terdengar dari bibirnya. "Keadaan pasien masih belum stabil. Dan untuk kandungannya ...." Dokter itu menjeda kalimatnya karena ada rasa tidak tega untuk mengungkapkan. Namun, itu sudah tugasnya."Untuk kandungannya kami harus mengeluarkan bayinya karena janin dalam kandungan sudah tidak bernyawa," jelas sang dokter.Pastilah semua l
"Nada!" teriak Saka tiada henti. Kalian tahu di mana dia saat ini? Seperti biasanya, dia ada di diskotik melampiaskan apa yang dia rasakan pada minuman."Maafkan aku Nada!" teriaknya lagi. Kepala pria itu sudah bertumpu pada meja bar di mana penjaga bar itu hanya geleng kepala melihat kelakuan abnormal Saka. Sejak tadi berteriak tidak jelas."Tambah," ujar Saka sekali lagi."Bung. Anda sudah mabuk, Bung," ujar sang penjaga bar. Meski kesusahan, Saka mencoba mengangkat kepalanya untuk duduk dengan tegak. Dia berusaha menatap tajam pria yang ada di hadapannya. "Memangnya kenapa?" tanya Saka kemudian."Kebanyakan minum tidak akan membuat aku mati, kan?" tanya Saka dengan suara serak. Beberapa kali pria itu mengalami cegukan.Saka menggelengkan kepala. "Tidak. aku tidak akan mati dengan minuman," ujar Saka sekali lagi.Detik kemudian Saka tiba-tiba saja menangis. Tentu itu membuat penjaga bar itu menjadi bingung. Apalagi Saka mulai meracau tak jelas. Namun, dia mencoba mendengarkan.Saka
Aska berjalan dengan pandangan tajam dan lurus. Ekspresinya memperlihatkan benar kalau pria itu sedang diliputi kemarahan. Emosinya seakan di ujung tanduk dan siap meledak kapan saja. Aska baru saja sampai di tempat di mana orang-orang kepercayaannya membawa Saka.Satu pintu yang ada di depannya dia buka dengan satu tendangan yang sangat keras. Memasuki ruangan itu, dia melihat sosok pria yang tergeletak di lantai dengan penampilan acak-acakan."Sejak kapan dia ada di sini?" tanya Aska tanpa menoleh.Salah satu orang kepercayaannya yang berdiri di belakang tubuhnya segera menjawab, "Sejak semalam, Tuan. Kami menemukan dia di sebuah klub malam dan sedang mabuk.""Air?" tanya Aska."Sudah siap, Tuan.""Siram dia," ujarnya dengan pandangan tajam. Kebencian tak lagi tersirat karena Aska memperlihatkannya secara terang-terangan. Tak lama, anak buahnya pun langsung melakukan apa yang dia perintahkan.Satu ember disiramkan pada Saka yang masih memejamkan mata di lantai. Mabuk sejak semalam,
Menurut pasal 459 UU 1/2023 mengenai pasal pembunuhan terencana yang didakwakan pada Saka dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu, dengan kurun waktu paling lama dua puluh tahun."Om. Tolong saya, Om. Tolong bebaskan saya dari sini. Atau setidaknya mengurangi masa hukuman saya." Aska memohon pada sosok pria tambun berkacamata yang hari ini mengunjungi dirinya di penjara. Dia tak lain adalah pengacara keluarga Bagaska.Terdengar helaan napas dari pria yang berprofesi sebagai pengacara itu. Dia melepaskan kacamata yang dia kenakan dan menatap Saka dengan sendu. "Maaf, Saka. Untuk kali ini saya tidak bisa menolong kamu. Saya ada di pihak kakak kamu di mana dia melaporkan kamu dengan pasal pembunuhan berencana," ujarnya menjelaskan."Tapi aku tidak merencanakan pembunuhan itu, Om." Saka menyangkal dengan apa yang telah dia lakukan. "Aku tidak sengaja membunuh anakku. Nada datang untuk menyelamatkan Kakak sehin---""Itula
Aska dan Nada menyalami tangan Pak Baron dan Bu Mila. Setelah pernikahannya yang berjalan dua hari lalu, hari ini sesuai jadwal Aska akan mengajak Nada untuk bulan madu sebagai kado pernikahan mereka. "Hati-hati di jalan, ya. Ingat. Jangan bertengkar." Pak Baron memberi pesan pada anak dan menantunya.Aska dan Nada mengangguk bersama-sama. "Iya, Pak." Pasangan suami istri itu berjalan bersama menaiki mobil Aska. Keduanya duduk pada bangku belakang karena kali ini mobil dikemudikan oleh sopir.Nada merangkul lengan sang suami. "Memangnya kita mau ke mana sih? Kamu belum memberi tahu aku loh kita mau ke mana-mananya. Kamu cuma bilang kalau kita mau bulan madu."Aska tersenyum. "Namanya juga kerutan.""Ih kamu mah." Nada mencubit pelan lengan suaminya. Aska pun terkekeh. "Ciba tebak aja dong. Kalau benar, nanti aku tambahin hari dalam bulan madu kita," ujar Aska kemudian."Kalau itu sih maunya kamu." Keduanya pun tertawa.Namun, Nada tampak berpikir. Dia menidurkan kepala di pundak san
Safira sedang berdiri di sudut tempat memerhatikan keluarga Pak Baron yang sedang mengadakan sesi foto dengan para pengantin. Bukan, bukan karena dia ingin ikut berfoto, tetapi karena dia sedang menunggu seorang perempuan yang kini juga sedang ikut berfoto. Kalian tentu tahu siapa.Safira mengentakkan kakinya karena kesal. "His. lama banget sih mereka foto-foto. Nggak penting banget deh." Dia melipat tangan dengan menunjukkan ekspresi kesalnya.Dia masih menunggu. Beberapa saat kemudian dia langsung menerbitkan senyum kala melihat seseorang yang dia tunggu berjalan ke arah dirinya. Entah mau ke mana yang jelas pasti perempuan itu akan melewati dirinya.Tepat ketika Rina. Orang yang sejak tadi dia tunggu melewati Safira, perempuan itu langsung meraih lengan Rina. Rina yang terkejut pun langsung menatap ke arah tanganya lalu menatap pelaku itu.Dia lagsung mengembuskan napas kasar kala melihat keberadaan Safia di sana. "Mau apa kamu?" tanyanya dengan malas."Kamu ikut aku sebentar," uja
Nada yang sedang menangis di pelukan kakaknya melihat keberadaan sang bapak dan ibunya di ambang pintu. Dia pun melepaskan pelukannya pada Reno. "Bapak? Ibu?" panggilnya yang membuat Tari dan Reno langsung mengalihkan pandangan. Mereka melihat kedua orang tua mereka di sana.Pak Baron dan Bu Mila tersenyum ke arah ketiga anaknya. Mereka berjalan mendekat, lebih tepatnya mendekati Nada. Reno dan Tari yang paham pun mulai menyingkir sebentar. Berdiri di depan Nada tepat, lalu menatap perempuan itu lekat-lekat.Pak Baron merasa terharu dengan keadaan ini. Keadaan yang pernah mereka lewati tetapi berakhir tragis. Pak Baron menangkup wajah Nada. "Maafkan untuk semua kesalahan yang pernah bapak perbuat sama kamu sehingga kamu melewati semua hal berat ini." Dia berujar lirih.Nada menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Nada yang harusnya meminta maaf karena Nada menyusahkan Bapak. Menyusahkan Ibu. Nada berterima kasih pada kalian atas semua yang pernah kalian beri untuk Nada," ujar perempuan itu den
"Aku akan menikah dengan Nada," ujar Aska. Ekspresinya datar dengan pandangan tajam mengarah ke depan. Tepatnya pada sosok pria yang memakai seragam tahanan. Siapa lagi kalau buka Saka?Saka yang mendengar itu hanya bisa diam tertunduk. Dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Kesalahannya di masa lalu benar-benar membuat Saka menyesal dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menebusnya. Dia telah menjadi penyebab kematian dari darah dagingnya sendiri dan membuat perempuan yang dia cintai kecewa juga marah padanya.Lantas, apakah ada hak untuk Saka meminta Aska untuk tak melanjutkan rencana yang baru saja dikatakan padanya itu?"Untuk apa kau mengatakannya padaku? Bukankah sejak lama kau memang ingin bersama dengan dia?" tanya Saka.Aska melipat tangan di depan dada. "Ya. Aku hanya ingin kau tahu saja." Tak banyak yang dikatakan oleh Aska. Pria itu hanya datang untuk memberitahu hal ini. Bukan untuk menjenguk sang adik. Bahkan sesuatu pun tidak dia bawakan untuk Saka."Aku harap ka
Harapan telah terkabul. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya kini Nada sudah membuka matanya. Iris itu tampak bergerak memandangi keadaan sekitar dan mencari tahu keberadaan dirinya di mana saat ini. Yang Nada ingat adalah kali terakhir dia yang sedang disekap oleh seseorang yang tak lain adallah ayah dari sosok Alva.Nada menggerang kala merasakan sakit di kepala. "Aku di mana?" tanyanya kemudian.Aska yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat pergerakan dari atas brankar milik Nada. Dia menyadari kalau kekasihnya kini sudah sadarkan diri. "Nada," panggil Aska yang langsung berlari mendekati Nadda."Kak Aska," panggil Nada dengan suara yang sangat lirih."Kamu sudah sadar, Sayang? Kamu sudah bangun. Sebentar. Aku akan panggilkan dokter untuk kamu," ujar pria itu dengan menekan sebuah tombol yang ada di bagian belakang brankar dan menempel pada tembok.Aska mendengar desisan dari Nada. "Sabar, Sayang. Sabar. Dokter akan segera datang."Pria itu duduk di samping brank
Sejak Nada memasuki rumah sakit dan tak sadarkan diri, Aska tak pernah sekalipun meninggalkan kekasihnya itu. Duduk pada kursi di samping brankar, Aska terus menggenggam tangan Nada dan menempelkan di pipinya. Pandangan Aska terus tertuju pada Nada seolah pria itu tak ingin lagi kehilangan kekasihnya."Bangun, Sayang. Bangun. Kamu harus segera sadar," ujar Aska. Salah satu tangan pria itu harus diperban karena luka akibat terlalu banyak memukul Danu sampai lepas kendali."Sayang. Setelah ini kita harus mengadakan pernikahan. Aku tidak mau ditunda lagi apa pun alasannya nanti," ujar Aska. Pria itu seperti sedang berbicara secara langsung pada Nada. Tatapannya penuh ancaman dan nada bicaranya penuh penekanan.Aska mencium tangan Nada dengan penuh cinta. "Bangun lah. Bukankah kau sudah mendapat perawatan? Kau pernah di posisi yang lebih berbahaya dari ini dan kau bisa melewatinya. Kau cepat bangun tapi kenapa rasanya lama sekali bangunnya. Kau tahu? Aku sampai mengantuk," ujar Aska sedik
"Akh! Sakit!" teriak Nada kala rambut panjangnya ditarik secara kasar. Wajahnya kini mendongak dengan tangan yang terikat ke belakang tubuh. Perempuan itu kini tengah duduk di sebuah kursi dengan tangis yang terus mendera sedari tadi karena penyiksaan yang dia dapat.Wajah Nada tampak penuh lebam dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah karena sobek. Penampilan Nada begitu kacau."Sakit. Tolong hentikan," ujar Nada dengan tangis. Kepalanya terasa perih kala pria di hadapannya ini mencengkeram rambutnya dengan sangat kuat."Apa? Apa?" Danu. Pelaku itu mendekatkan telinga ke wajah Nada. "Menghentikan?" tanyanya kemudian."Mimpi," ujarnya dengan keras dan kasar mendorong kepala Nada. Dia melepaskan sesaat rambut perempuan itu sebelum akhirnya kembali menariknya secara kasar."Apa kau bilang tadi? Sakit?" Danu bertanya dengan tatapan tajam. Detik selanjutnya dia tertawa dengan nada yang sangat menyeramkan."Rasa sakitmu ini tidak setara dengan sakit hati yang aku rasakan karena aku kehil
Bu Mila tidak bisa diam. Sejak tadi perempuan itu duduk, berdiri dan berjalan tiada henti dengan perasaan gelisah. Kabar mengenai penculikan Nada tentu saja menggemparkan keluarganya. Semua dibuat panik dan khawatir.Tari yang melihat ibunya terus menerus seperti itu menggeleng. Dia merasa kasihan. "Ibu. Ibu duduk dulu. Ibu yang tenang." Tari mendekati ibunya. Dia memegangi pundak Bu Mila lalu mengajaknya duduk bersama."Yang tenang, Bu. Jangan sampai kegelisahan Ibu ini membuat Ibu menjadi sakit nantinya," lanjut Tari."Gimana ibu bisa tenang, Tar kalau kakak kamu diculik orang?" tanya Bu Mila dengan perasaan sedih. Entah sudah berapa kali dia menangisi Nada."Maafin, Salsa ya Bu Mila. Salsa nggak bisa jagain Nada," ujar Salsa yang merasa bersalah."Tidak, Nak. Ini bukan salah kamu." Pak Baron berujar. Sejak tadi temannya Salsa itu terlihat sangat bersalah dengan kejadian yang menimpa Nada.Rina keluar dari dalam rumah. Dia membawa beberapa gelas minuman untuk semua yang ada di sana.
Danu berjalan santai menyusuri lorong rumah sakit dengan tangan kanannya yang memegang sebuah pisang. Dia menikmatinya sepanjang perjalanan sembari sesekali bersiul dan bersenandung. Pria itu tampak menunjukkan wajah yang bahagia.Asal kalian tahu saja, Danu baru saja pergi meninggalkan rumah sakit untuk melakukan hal yang biasanya dia lakukan. Kali ini Danu mendapatkan uang yang cukup banyak sehingga itulah dia tampak bahagia. Namun, dia tidak tahu apa yang telah terjadi di ruangan putranya.Ketika berjalan, dia tampak kebingungan dengan beberapa petugas medis yang berlari-lari. "Mereka kenapa?" tanyanya pada diri sendiri namun memilih acuh pada keadaan.Sampai akhirnya kala keberadaan pria itu sudah di dekat ruangan yang di mana anaknya dirawat, Danu mendengar suara teriakan dari sana. "Itu suara Niken?" Keningnya mengerut, menandakan kalau pria itu tengah kebingungan."Ngapain dia teriak-teriak begitu? Pakai acara nangis segala." Danu masih melangkah dengan santai menuju ruangan. Sa