****Perempuan itu kembali mengejarku, kali ini tak tanggung-tanggung. Kakinya terangkat sebelah, tepat terarah menuju perutku.“Matilah bayi sialan di perutmu itu!” teriaknya sambil menerjang.“Perempuan sinting!” Mas Bara menangkap tubuhku, memeluk, dan menghalagi terjangan Ara dengan memalangkan punggungnya.Terjangan Ara tepat mengenai punggung Mas Bara. Sedang aku sedikit gemetaran karena masih terkejut, di dalam pelukannya.“Kamu tidak apa-apa?” Bela langsung melepas tangan Mas Bara di tubuhku.Aku menggeleng. Mas Bara mengurai pelukannya.“Ara! Kamu keterlaluan!” Mas Haga berteriak kencang, sambil menghentak lengan Ara penuh emosi.“Kau juga membela perempuan sialan itu, Mas?” tanya Ara kaget.“Janin di perut Indri tidak bersalah! Jangan pernah kau coba-coba menyentuhnya!” bentak Mas Haga juga emosi.“Oh, jadi sekarang kamu mengakui, kalau kau telah meniduri Indri? Kau bilang kalau kau tak pernah menyentuhnya! Kau bilang, kau hanya pura-pura saja mengaku kalau janin d
=====“Kenapa?” Bella menatapku ikut tegang.“Ada apa, In?” Kak Jo berbuat yang sama.“Tolong ambil tas kerja Mas Bara di meja aku, Kak Jo! Kakak yang bisa cepat bergerak. Aku gak bisa jalan cepat,” pintaku pada Kak Jo.“Baik, bentar!” Kak Jo berjalan setengah berlari masuk ke dalam butik.“Ada apa sebenarnya?” Bella mengulang pertanyaannya.“Mas Haga kena tabrak. Mas Bara sudah membawanya ke rumah sakit. Aku diminta Mas Bara susul ke sana!” jawabku.“Ya, Tuhan! Ok, pake mobil aku aja!” Bella menawarkan.“Mas Bara bilang bawa mobilnya ke rumah sakit, aku pakai mobil dia aja.”“Kamu bisa nyetir?”Bella menatapku aneh. Matanya memindai tubuhku dari atas sampai ke bawah.Aku tercekat. Kenapa Bella meragukanku? Apakah dia ragu karena gamis dan kerudung panjangku ini? Cara dia menatapku seperti menyepelekan. Atau ini mungkin hanya perasaanku saja, ya? Ah, terserahlah. Aku tidak punya waktu untuk memikirkannya saat ini.“Ini In!” Kak Jo datang dan meyodorkan tas kerja Mas Bara.“Sini, a
****“Kamu ngadu apa pada Mas Bara?” Tetiba Bella melontarkan pertanyaan yang menuduh itu.“Aku gak bilang apa-apa. Kenapa memang?” Aku balik bertanya.“Pasti kamu jelek-jelekin aku, kan? Makanya Mas Bara keliatan ketus gitu ke aku?”“Aku tidak ada bilang apa-apa, maaf!”“Eh, maaf, kamu kekasihnya Mas Bara, ya?” Ara menyela.“Kenapa emang?” jawab Bella ketus.“Aku liat dan dengar sendiri, kalau Indri udah jelek-jelekin kamu pada Mas Bara.” Ara berdusta.“Beneran?” tanya Bella tampak mulai terhasut.“Iya, heran deh! Perempuan ini murahan banget! Udah jelas jelas Mas Haga menceraikan dia, masih juga bertahan di rumah besar kelurga itu, eh, rupanya ada maunya. Dia mau mencari perhatian Mas Bara. pantes diajak rujuk Mas Haga dia tak mau.” Ara makin memanasi.“Eh, Indri! Dengar ya, jujur, aku gak suka kamu masih bertahan di rumah Mas Bara. Secara, ya kamu itu sudah janda! Jandanya Mas Haga, iya, kan?” tukas Bela.Aku bergeming, enggan meladeni ucapan mereka berdua. Tak mau stress, a
====“In, Bara ke mana ya? Papa tadi nelpon, katanya Bara gak ke kantor?” Mama menghampiriku di dalam kamar.“Oh. Anu, Ma. Anu ….” Aku tergagap.“Anu apa? Nomornya juga gak aktif saat dihubungi?”“Iya.”“In, kamu tahu sesuatu? Tadi dia bareng kamu, kan, perginya, Nak?”“Iya, Ma. Sebenarnya Indri mau cerita ke Mama, tapi duluan Mama yang datang ke kamar Indri, ya, sudah sekarang aja, Indri ngomongnya, ya, Ma?”“Ada apa, sih, sepertinya serius banget?”“Iya, serius banget. Makanya Indri takut ngomongnya. Takut Mama kaget.”“Ada apa? Ceritalah, In! Tentang Bara, ya?”“Bukan tentang Mas Bara, Ma, tetapi tentang Mas Haga.”“Tentang Haga? Gak usah cerita kalau tentang dia! Mama lagi nyari Bara! Bukan nyari Haga! Kamu tahu dia di mana saat ini?”“Ya, ini ada hubungannya dengan Mas Bara, Ma.”Wanita itu terdiam sesaat. Wajahnya sedikit menegang.“Bara baik-baik saja, kan, In?” tanyanya mulai gelisah.“Mas Bara baik-baik saja, Ma. Justru Mas Haga yang kurang baik.”“Tentu saja Haga tidak bai
*****“Anu, Pa. mengenai Haga.” Mama melanjutkan dengan nada sedikit ragu.Aku dan Mas Bara saling tatap. Lalu bersama-sama menoleh ke arah Mama dan Papa bergantian.“Tidak usah terlalu Mama pikirkan! Biarkan saja, kita tunggu saja bagaimana perkembangannya!” Papa menjawab datar.“I – iya, sih, Pa. Maksdu Mama, Haga … Haga, anu.”“Ma, jangan terlalu Mama pikirkan si Haga. Dia sudah dewasa.”“Iya, Pa. Tetapi saat ini, Haga tengah sakit.”Papa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. Benda pipih itu diletakkan perlahan di atas meja, di depannya.“Mama sudah tahu, kalau Haga sakit?” tanya Papa terkejut.“Lho, Papa juga sudah tahu kalau Haga sakit?” Mama tak kalah terkejut. Pun aku dan Mas Bara.“Indri juga sudah tahu tentang Haga?” Papa menoleh ke arahku.Aku megangguk.“Maaf, Pa, sengaja ini kami rahasiakan dari Papa. Kami khawatir Papa kaget, lalu terkena serangan.” Mama terlihat menyesal.“Justru Papa yang sengaja menyembunyikan informasi ini dari kalian, khawatir kalian kaget,
****“Aku panggilkan dokter! Tidak usah khawatir, Haga sudah melewati masa kritisnya!” ucap Mas Bara lalu bergegas ke luar ruangan.“Haga, ini Mama, Nak!” Mama memanggil nama anaknya.“Mas Haga, syukurlah kamu sudah sadar, ini Ara, Mas!” Ara spontan melepas jemari suaminya yang masih manaut jemariku.Aku melangkah menjauh, kembali ke posisiku semula. Seorang Dokter dan dua orang perawat buru-buru masuk, meminta semuanya menepi. Dokter memeriksa dengan seksama. Terlihat wajahnya terang, mengulas senyum pada Ara.“Selamat, Pak Haga sudah melewati masa kritisnya, Bu Ara! Suami Ibu akan baik-baik saja!” ucap sang Dokter tersneyum pada Ara.“Terima kasih, Dokter,” jawab Ara sambil tersenyum. Aku melihat senyum penuh kepalsuan di wajahnya. Entahlah, aku melihat kelicikan di senyum itu.“Selamat Pak Haga! Buka saja matanya, Pak! Pelan-pelan, ya! Jangan dipaksa! Bapak baik-baik saja, bukan?” ucap Dokter itu menyapa Mas Haga.Mas Haga perlahan membuka kelopak matanya.“Mama …,” l
*****“Pa, kok gak dimakan rotinya?” Mama kebingungan.“Hilang seleranya mungkin, Ma. Sama seperti aku. Aku juga tetiba eneg. Oh, iya, Indri. Kamu hari ini ke butik, kan? Kata Bela kalian ada janji hari ini, meneruskan pembicaraan kerja sama waktu itu.” Mas Bara menatapku.“Ya, Kak Jo sudah memberitahuku,” jawabku datar.“Kamu berangkat sendiri? Atau aku antar?” tanya Mas Barra lagi.Mas Haga tetiba melotot kepada Mas Bara. Tatapan tidak senang itu terlihat nyata. Mas Bara sepertinya sadar makna tatapan adiknya.“Oh, aku buru-buru, In. Kamu nyetir sendiri aja, ya! Ini pakai mobil yang ini!” Mas Bara menyodorkan kunci mobil. Kunci bekas mobil Mas Haga. Ragu, aku meraihnya.“Lho, terus aku yang mau bawa mobil Mas Haga, gimana, Mas?” Ara protes.“Kalau memang kamu mau keluar rumah juga, silahkan pesan taksi, ok! Atau naik angkot juga bisa. Banyak kok, angkot lewat di depan sana!” Mas Bara bangkit.“Bara berangkat, Ma!” pamitnya pada Ibunya. Lalu berjalan pergi.“Hati-hati!” Mama
****“A—apa? Mama bilang apa barusan?” Ara terperangah. Wanita itu seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Baik, Ara! Mama akan ulangi, dengarkan baik-baik! Kamu perlu tahu, bahwa Indri mungkin memang bukan istri pilihan bagi Haga. Haga tidak mencintai Indri. Dia lebih memilih kamu! Tetapi, Indri adalah menantu pilihan bagi kami. Indri adalah menantu kebanggaan kami. Oleh karena itu, kami sengaja memberikan dia mahar yang istimewa dari kami. Rumah ini dengan seluruh fasilitas yang ada di dalam sini.”“Oh, jadi rumah ini beserta isinya adalah mahar untuk Indri? Pantes dia bertahan di sini. Meskipun sudah ditalak Mas Haga. Dasar perempuan matre!” Ara menatapku sinis.“Boleh saja Haga mentalak dia, Indri bukan lagi istrinya, tetapi satu yang perlu kau tahu. Indri tak akan pernah menjadi mantan menantu bagi kami. Dia tetap menantu kami. Selamanya! Andaipun kelak Indri menikah dnegan laki-laki lain, maka hubungan kami tak akan pernah berubah. Siapapun suaminya, mak
POV Johana“Pak Bayu, ini benerankah?” lirihku seraya mengerjapkan mata berkali-kali.“Hem,” gumamnya, menunduk. Sedikit lagi, wajah dengan kumis tipis itu kian menunduk. Dia mendekati wajahku, mengikis jarak di antara kami. Kini benar-benar tak berjarak.Kurasakan sentuhan kumis tipis itu menyentuh kulit wajahku. Kurasakan sentuhan bibir itu menyentuh lembut keningku. Ini tidak mimpi, ini benar-benar nyata. Pak Bayu mengecup lembut tepat di keningku.“Maaf,” bisiknya lalu menatap tepat di manik manik mataku.Aku menunduk. Mulutku masih membisu. Bibir dan lidah ini masih terasa begitu kelu. Otakku masih sibuk berpikir, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Pak Bayu bisa berubah seperti ini. Kenapa dia berubah setelah beberapa jam yang lalu masih menolak untuk menemaniku ke rumah Indri.“Jo, maaf, mungkin ini agak mengejutkan bagimu. Tapi, aku serius. Aku menyukaimu. Setelah empat hari berpikir dan merenung, bahkan hingga tadi siang saat kau menelponku, aku masih belum bisa memutuskan.
“Indri, Sayang! Tunggu Suster!” Seseorang menghentikan kami dari kejauhan.Panggilan itu berasal dari seorang pria yang sesaat tadi masih sangat kucintai. Namun, detik ini sangat kubenci. Sangat kubenci, tak tersisi, tak terjarak, amat sangat kubenci.“Sayang, kamu tenang saja, ya! Aku akan mengurus semuanya, semua akan baik-baik saja!” ucapnya dengan napas terengah-engah.Aku tak perduli. Kupalingkan wajah menghindari tatapannya. Kutepis kasar saat tangan itu mencoba menyentuh lenganku. Bisu, aku tetap memilih membisu. Dia adalah putra sulung keluarga Wijaya. Bara Wijaya namanya. Sedetik tadi aku masih sangat cinta. Namun, detik ini dan detik berikutnya, dia sudah tak bermakna. Aku membenci dia seperti aku membenci keluarganya. Mereka sama saja. Termasuk Mas Bara.“Indri, aku pastikan putri kamu akan baik-baik saja. Aku akan kembalikan kepadamu secepatnya, tapi kamu harus berjanji satu hal padaku. Bahwa kamu akan baik-baik saja. Indri, kamu dengar aku?”“Suster, saya mau pulang
Kembali POV Indri“Indri!”Aku tersentak, segera aku menoleh ke arah pintu. Ibu dan ayah melangkah masuk dengan wajah lesu. Seorang pria berpakaian rapi ikut masuk, Pak Hendrik, pengacara keluarga mertuaku. Dia didampingi oleh seorang pria lain yang tak kukenal. Kenapa mereka yang datang. Lalu ke mana kedua mertuaku?“In, kamu yang tenang, ya, Nak! Jangan panik!” Ibu mendekatiku.“Ibu, mana anakku?” buruku tak sabar.“Jangan menangis, Nak! Ingat kondisimu masih sangat lemah! Jaga kesehatanmu! Tolong bersabarlah!” bujuk Ibu membelai kepalaku.“Bayiku mana, Bu? Ke mana Mama mertuaku? Ayah …?” Aku menoleh ke arah ayah yang terlihat tak kalah lesu.“In, kamu tenag dulu, Pak Hendrik dan Bapak ini akan menjelaskan kepada kita. Tenang, ya, Nak!” Ayah ikut membujukku.“Ini ada apa sih, sebenarnya? Aku tidak butuh penjelasan apa-apa! Aku hanya ingin anakku! Tolong kembalikan anankku!" se”gahku makin kebingungan. Syak melanda hatiku. Perasaanku benar-benar tak enak sekarang.“Pak Hendri
“Mbak mau ke mana? Bayinya mau dibawa ke mana?” Ibu berusaha menjejeri langkahnya.“Mau pulang! Bayi ini milik Haga. Haga itu anakku! Bayi ini adalah penggantinya!” ucap mama menghilang di balik pintu.“Mbak! tunggu dulu! Benar itu bayi Nak Haga mendiang, dia itu cucu kita! Kita akan rawat sama –sama! Mbak!” panggil Ibu, terdengar suara Ibu makin menjauh.Kupencet tombol yang tersedia di dinding, di atas bagian kepala ranjang pasien. Tak ada yang bisa aku lakukan selain memanggil para perawat. Tubuhku masih terllau lemah untuk mengejar bayiku yang dilarikan oleh mama mertua.“Ada apa, Bu Indri?” Dua orang perawat memasuki ruanganku dengan langkah terburu-buru.“Tolong bayiku, Suster! Bayiku diculik!” laporku dengan suara bergetar menahan tangis. Sesak dan prasangka buruk mencekik kalbu. Betapa aku ingin menjerit sejadinya. Namun, luka bekas jahitan ceaser di perutku masih belum begitu kering. Aku harus berusaha tetap tenang.“Lho, bayi Ibu ke mana? Bukannya tadi digendong oleh nene
“Bay! Tunggu!” Mas Arga spontan melepas pelukan pada Mas Bara. Dia berlari kecil ke luar ruangan. “Bayu! Aku bilang tunggu!” Panggillannya masih sempat terdengar sekali lagi.Mas Bara mendekatiku. “Sepertinya Bayu sangat terluka,” bisiknya di dekat telingaku. Aku hanya membisu.Bella menyisi, memberi ruang yang lebih lebar untuk Mas Bara. “Aku keluar nyusul Mas Arga, ya! Kasihan Mas Bayu, sepertinya sangat terpukul,” pamitnya.Aku dan Mas Bara mengangguk. “Aku boleh pinjam hape kamu, Sayang?” tanyanya beberapa saat kemudian.“Boleh, ambil saja? Tapi, buat apa?” tanyaku seraya menunjuk ponselku di atas nakas.“Sebentar, aku akan telpon Johana. Kami maukan bicara dengannya?”“Kak Jo?”“Ya.”“Untuk apa?”“Minta dia menghibur Bayu!”“Oh, tapi … Mas Bayu tidak menyukainya.”“Ya, aku tahu itu. Tapi, saat Johana bisa mengobati lukanya, cinta bisa saja tumbuh setelahnya.”“Ya, bisa jadi. Aku akan coba.”Mas Bara meraih ponselku, lalu menyalakannya. Benda itu lalu dia serahkan padaku.“Hey,
====“Kamu udah sadar, In! Alhamdulillah.”Seseorang menyapaku. Suara itu sepertinya sering kudengar, tetap aku lupa siapa pemiliknya. Aku juga masih bingung, di mana kini aku berada. Apa yang telah terjadi, dan kenapa aku di sini, semuanya masih samar. Kupaksa membuka kelopak mata. Terasa sangat sulit. Aroma khas karbol dan obat, menyerang cuping hidung. Sepertinya aku berada di rumah sakit. Apa yang telah terjadi? Kenapa aku di sini? Rasa penasaran itu membuatku semakin berusaha memaksa mata yang melekat sempurna itu untuk terbuka.Awalnya hanya terlihat gelap, perlahan seperti ada titik yang bercahaya, makin lama makin lebar. Samar kulihat langit-langit ruangan, putih bersih. Kualihkan menatap dinding, semuanya di cat berwarna putih. Semakin yakin ini adalah rumah sakit. Kenapa aku berada di sini? Lelah otakku berpikir, tak jua ingatanku mengimformasikan tentang itu.“Indri, kamu baik-baik saja, bukan?”Suara laki-laki itu semakin jelas terdengar. Kurasakan tang
======Sebuah mobil kudengar memasuki halaman. Pagi ini semua anggota keluarga sudah berangkat ke Medan. Untul melaksanakan acara lamaran Mas Arga. Aku tinggal sendirian. Perjalanan yang harus ditempuh selama dua jam, di tambah kondisi jalan yang berkelok-kelok, menguatkan keputusan Bapak, bahwa aku tidak usah ikut. Setelah menitipkan pesan kepada tetangga samping rumah agar menjagaku, mereka berangkat setelah salat Subuh tadi pagi.Ketukan halus terdengar di depan, berulang dan berirama. Sepertinya pengemudi mobil itu adalah tamu Bapak, tak tahu kalau Bapak dan Ibu tak di rumah.Aku beranjak dari pembaringan, meraih jilbab instan yang kuletak di kepala ranjang, lalu berjalan pelan menuju pintu depan.“Mas Bara ….” Lirih kusebut nama pemuda itu. Dia berdiri tegak di hadapanku. Orang yang sangat kurindu. Hampir sebulan ini tak pernah bertemu. Hanya lewat chat, ataupun telpon, yang justru menambah sesak di dalam kalbu.Tetapi pagi ini, saat mentari mulai mengintip dari ufuk timu
POV Bella========Masih ragu, kutimang-timang benda pipih yang ada di tanganku. Ingin sekali aku berbicara dengan Mas Bara sekali lagi, sebelum acara lamaranku esok hari. Entah mengapa, hati kecilku menghiba. Ingin mendapat izin darinya. Meski kutahu, dia tak akan pernah peduli akan aku, juga tentang hari yang paling bersejarah sekalipun dalam hidupku. Karena baginya, tak ada artinya diriku.Esok hari bersejarah dalam hidupku. Kuminta Mas Arga agar segera melamarku, ya, aku yang meminta. Sebab, bila aku menunggu inisiatif darinya, bisa jadi hal itu tak akan pernah terlaksana. Mas Arga terlalu santai dalam menjalani hubungan ini. Katanya, jika memang jodoh, aku pasti akan diraihnya. Tinggal masalah waktu, tak perlu terburu-buru.Bagaimana mungkin dia bisa meraihku, jika dia tak segera menghalalkan aku? Tetapi itulah Mas Arga. Dia lebih suka tenggelam dalam dunianya sendiri. Organisasi kepemudaan yang yang di ketuainya. Organisasai yang menyita waktunya, hingga lupa akan
=====“Mas Bara, aku merasakan hadirmu di sini! Ternyata aku sangat mencintaimu,” lirihku tanpa membuka mata. Sengaja aku tak membuka mata, kutakut hayalanku akan sirna, aku takut, bayangan kekasih hatiku akan lenyap seketika.“Begitukah? Terima kasih, Sayang! Terima kasih banyak! Tapi, tolong buka matamu! Lihat aku sebentar! Aku harus balik ke Medan, sebelum ketahuan Mas Arga!”Spontan aku membuka kelopak mata. Kaget luar biasa.Ternyata ini bukan hayalan, hadirnya bukan bayangan. Mas Baraku ada di sini, di depanku, dengan sebuah jaket terulur di tangannya. Dan Bella menyaksikan semuanya.“Mas!” Kutegakkan tubuh dari sandaran merapikan jilbab yang berkibar tertiup angin kering pegunungan.“Ya, ini aku, Sayang. Pakai jaketnya, ya!”“Pergi, sebelum Mas Arga emosi lagi!” “Iya, Kamu yang kuat dalam perjalanan ini. Andai ada bandara di sana! Aku akan menerbangkanmu pakai pesawat saja.”“Iya, aku paham. Aku tahu kamu teramat mengkhawatirkan aku, tapi kamu harus pergi sekarang!”“Pak