Rianti mempercepat langkahnya. Ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk memenuhi rasa penasarannya. Jantungnya berdebar keras kala matanya sudah menangkap sosok yang tadi dicarinya itu, masih mengenakan gaun seksi dengan percaya diri.Sesekali wajah cantik itu tersenyum, semakin menambah kesan glamor dalam dirinya. Dulu, hal itu yang menjadikan Rianti kagum. Luar biasa sekali putranya karena bisa mendapatkan wanita secantik Stephanie. Tapi, bukan hanya itu yang menjadi perhatian Rianti saat ini. Sosok pria yang berada di samping Stephanie lah yang semakin membuatnya tercengang.Stephanie menggandeng lengan pria itu dengan eratnya, tersenyum, dan memberikan tatapan mesra layaknya pada sang kekasih. "Hendra..." lirih Rianti.'Ya Tuhan, apakah mereka benar-benar berbuat hal yang di luar nalar? Di tempat ini?' pikirnya dalam hati. Meskipun tubuh Rianti sedikit menggigil karena memikirkan teori menjijikkan yang terus membayangi benaknya, dia tetap harus meneruskan langkah untuk membuntuti
Sofia sangat menyadari tentang perubahan ekspresi dari Ruslan, namun dia tidak peduli. Dia terus melempar senyum kepada Axel, hingga adegan itu berakhir dengan Luna yang merengek pada papanya untuk segera masuk ke mobil. "Lebih baik kamu segera bawa Luna untuk bermain," ujar Sofia. Lebih tepatnya mengusir secara halus. Ruslan hanya mengangguk pasrah, dibanding harus melihat adegan yang memuakkan lagi lebih baik ia bersegera memasuki mobil dan segera melajukan mobilnya menjauh dari Sofia dan Axel.Kekhawatiran jelas nampak dari wajah Sofia. Dia terus menatap mobil Ruslan yang sudah menjauh dari pandangannya. Bagaimanapun, sejujurnya sulit untuk membiarkan putrinya berdua saja dengan mantan suaminya itu. Telapak tangan besar milik Axel menepuk pelan bahu kanan Sofia untuk menenangkannya. "Tenanglah, aku sudah mengutus orang untuk mengawasi gerak-geriknya." Sudah jauh-jauh hari ia mempersiapkan semuanya, termasuk keamanan yang ketat untuk Luna.Sofia menoleh, tersenyum kaku pada Axel.
Tangan putih nan mulus milik Stephanie melingkar erat di pinggang Hendra yang tengah menghisap puntung rokok dengan santainya. Mata sipit milik Hendra masih fokus menatap pemandangan bawah dari jendela hotel. "Apa papa udah pastikan si tua bangka itu tak sadarkan diri di rumah sakit?" tanya Stephanie dengan lembut."Hmm." Enggan rasanya Hendra membahas persoalan Rianti. Jujur saja, ia pun tak menyangka jika ia harus menyingkirkan wanita yang pernah dicintainya itu dengan kedua tangannya sendiri. Jika saja Rianti tak ikut campur dalam urusan pribadinya, mungkin wanita itu akan hidup baik-baik saja sampai detik ini.Stephanie melepas pelukannya. "Tapi, kenapa papa tidak membuatnya kehilangan nyawa sekalian?" "Rencana kita akan berantakan jika sampai membunuhnya."Helaan napas keluar dari bibir Stephanie. "Tua bangka itu akan membeberkan semuanya ke Ruslan, pa. Dia akan membuat boneka kita berpaling dan menjadi musuh, bukankah justru hal itu yang membuat rencana kita akan jatuh?""Tena
"Apa? Ibu Ruslan sedang kritis di rumah sakit?" teriak Axel ketika tengah menelepon salah satu rekannya yang ada di Jakarta. Saat ini ia sudah selesai mengikuti seminar dan bergegas menuju ke restauran untuk dinner bersama Sofia. "Oke, baiklah. Kabarkan aku berita selanjutnya."Axel menutup panggilan, beralih pada Sofia yang sedari tadi menatapnya bertanya-tanya. "Ibu Ruslan sedang kritis dan dirawat di rumah sakit.""Apa? Bagaimana bisa? bukankah sebelumnya dia masih sehat-sehat saja?" "Itulah yang membuatku terkejut, laporan dari rekanku sementara, dia ditusuk oleh orang yang tak dikenal ketika keluar dari hotel.""Di tusuk? Memangnya, ada urusan apa dia sampai pergi ke hotel?""Bukankah kamu sudah membuatnya curiga terhadap perilaku Stephanie? Aku yakin dia sedang membuntuti Hendra dan Stephanie ke hotel, karena mereka berdua juga terlihat memesan salah satu kamar di hotel tersebut.""Apakah Hendra yang melakukannya?" tebak Sofia. Dia berpikir, hal itu pasti bukanlah suatu yang k
Bau rumah sakit yang khas mulai merasuk ke lubang hidung Riana ketika ia melangkahkan kakinya menuju kamar ICU tempat Rianti dirawat. Ia segera memakai maskernya ketika bau khas yang tak ia sukai itu mulai membuat dadanya sesak. Ia menatap lurus ke arah depan, hatinya tak begitu perih ketika beberapa saat yang lalu ia mendengar kabar ibunya yang sedang kritis di rumah sakit. "Hah!" Riana meraup udara yang terperangkap di dalam masker dengan buasnya. Rasa sakitnya kini masih dihuni oleh Sasha yang ia anggap sudah mengkhianatinya.Matanya mulai berembun, langkahnya melambat. Fokusnya hanya mengingat tentang kejadian terakhir ketika bertengkar dengan Sasha. Belum pernah persahabatan mereka ternoda karena kisah cinta sebelumnya. Mendadak sekelebat memori mulai bermunculan dalam otaknya. Dulu Sasha selalu dikelilingi oleh para pria. Bukan hanya karena parasnya yang cantik, namun juga karena sifat tomboy yang justru membuat para lelaki terpikat untuk menaklukkannya.Sedang Riana? Ia meman
Dada Ruslan terasa begitu nyeri ketika mendapati sang ibu terbaring lemah di atas ranjang pasien. Sungguh, ia tidak sanggup untuk berpisah jauh dari wanita yang sudah melahirkannya itu. Pikirannya semakin melanglang jauh, entah apa yang akan terjadi jika Rianti pergi meninggalkan dirinya selamanya."Ibu, maaf Ruslan baru datang," ujarnya lirih ketika mendekatkan wajahnya di telinga Rianti. Tangan Ruslan menggenggam erat tangan Rianti yang berkeriput, mengelusnya dan menciumnya pelan. Dia terus menatap sosok ibunya yang lemah, mengabaikan kehadiran dua adik yang berdiri di sebrangnya tengah menatap Ruslan dengan wajah datar.Reynald dan Riana memilih diam, enggan menanggapi atau menimbrung dalam kesedihan yang dialami kakaknya. Mereka tak biasa berakrab ria dengan Ruslan. "Apa polisi sudah mengungkapkan siapa pelakunya?" tanya Ruslan pada kedua adiknya. Ia masih tak dapat mencerna kejadian apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya."Belum.""Sial!" umpat Ruslan.Ruslan meraup wajahnya
"Aku, adalah orang yang akan memberitahu tentang segala rahasia kepadamu."Ruslan terkejut ketika mendengar suara perempuan, terdengar serak dan sedikit rendah, begitu asing di telinganya."Rahasia? Siapa kamu sebenarnya? Jangan main-main denganku!""Kamu tak perlu mengetahui siapa aku, yang jelas aku mengetahui penyebab ibumu yang tak sadarkan diri. Oh ya, pertama-tama menghindarlah dulu dari istri cantikmu. Dia sedang mengawasi mu dari belakang."Reflek Ruslan menoleh ke belakang, lalu tak sengaja menatap Stephanie yang berada dua langkah di belakangnya. Wajah Stephanie terlihat terkejut namun dapat menguasai ekspresinya kembali. "Kamu sedang apa?" tanya Ruslan pada Stephanie."Emm, aku menyusul karena bingung melihatmu yang tiba-tiba keluar dari ruangan." Stephanie menjawab sekenanya. Ia sedikit kaget karena kepergok oleh Ruslan, padahal dia sudah berhati-hati menguntitnya dari belakang."Aku hanya menjawab panggilan dari rekan kantor yang menghubungi tentang masalah kerjaan. Aku
Ruslan mencoba kembali memanggil nomor si pemanggil. Namun nihil, nomor tersebut sudah tidak aktif. Ia mengacak rambutnya frustasi, apakah ia sebodoh itu? Hingga ia mengetahui semua kejadian ini dari orang lain?Apa yang sebenarnya terjadi?***Silau matahari yang sedikit menyembul di balik gorden jendela mulai mengganggu ketenangan Sofia yang sedang mengarungi mimpi dalam lelapnya. Perlahan ia mulai menggeliatkan tubuh dan membuka matanya dengan perlahan.Hal pertama yang ia tatap adalah dinding putih polos tanpa hiasan apapun. Meskipun matanya sedikit terasa berat untuk terbuka, namun Sofia masih terus berusaha menatap sekeliling dan akhirnya dia menemukan jam dinding ketika menolehkan kepalanya ke arah kanan. "Jam 11," gumamnya.Kepalanya mendadak berdenyut nyeri, membuatnya meringis kesakitan. Sofia masih belum mengingat persis apa yang terjadi semalam, hingga akhirnya ia terperanjat bangun ketika otaknya sudah mampu memproses ingatan dengan baik.Deretan ingatan tentang semalam
Setelah bersusah payah Axel meyakinkan Sofia agar mau mengikat janji dengannya, kini adalah saatnya hari yang telah ditunggu olehnya tiba. Hari dimana dia mempersunting seorang wanita yang ia cintai setelah Nella."Aku bahagia mengulang kembali saat-saat dimana aku mempersunting seorang wanita yang istimewa." Netra Axel tak lepas dari Sofia yang nampak cantik dengan balutan wedding dress nya. Sofia semakin cantik dan mempesona di matanya. "Kamu sangat cantik dengan gaun putih itu, Sayang."Rona pipi Sofia memerah dibuatnya. Dia tersenyum bahagia karena selalu diperlakukan istimewa oleh Axel. Mendadak, Sofia merasa dejavu. Dulu dirinya juga disanjung dan diperlakukan istimewa oleh Ruslan saat akan menikah dengannya, namun sifat aslinya perlahan terkuak setelah menikah. Dada Sofia kembali terasa sesak, tangannya sedikit gemetar mengingat masa-masa itu. "Sayang, kamu kenapa?"tanya Axel setelah melihat gelagat Sofia yang nampak aneh. Tadinya dia melihat Sofia begitu bahagia, namun sekara
Sunyi dan sepi dirasakan Riana saat memandang langit gelap di luar rumah. Dia menyesap kembali teh hangat yang sudah dibuat Rosa untuknya. Riana menutup matanya, merasakan dinginnya udara malam yang masuk menyegarkan paru-parunya.Air matanya tiba-tiba menetes tanpa diminta. Masih teringat jelas, memori-memori indah saat keluarganya masih utuh dan berkumpul di rumah yang hangat penuh canda tawa. Belum ada Sofia, hanya mereka berempat. Ruslan, Reynald, Riana dan ibunya. Semua masih indah sebelum Sofia datang dan drama berkelanjutan terjadi. Sudah setahun lamanya peristiwa yang pedih itu terjadi, tapi memori itu masih kuat menancap dalam ingatannya.Ah, andai Riana tak menyetujui apa yang menjadi ambisi sang kakak dan ibu, tentu semua tak akan menjadi berantakan seperti ini. Ibunya tak akan dibunuh, Ruslan tak akan dipenjara, Reynald tak akan cacat dan dirinya tak akan kehilangan sahabat tercintanya.Apa kabar Jimmy? Bodohnya dia sempat merindukan pria yang sempat menjadi incarannya itu
"Apa Ruslan sudah menemui mu kemarin?" tanya Axel saat dia sudah berganti pakaian lebih sopan di depan Sofia. Dia ikut duduk di sebelahnya setelah menyerahkan segelas minuman bersoda."Darimana kau tahu?" "Ruslan yang memberitahuku sebelumnya." Sofia hanya menganggukkan kepalanya lalu meminum air soda yang disajikan hingga tersisa separuh."Apa karena itu kau menangis?" tanya Axel lagi. Terdiam sejenak, Sofia menatap buih-buih soda yang mengapung di gelasnya. "Dia... meminta maaf padaku.""Lalu kau sudah memaafkannya?"Kembali Sofia menganggukkan kepala. "Ya, meskipun hatiku masih terluka.""Luka di hatimu akan sembuh seiring bertambahnya waktu.""Benar.""Dan juga kalau kau sudah bertemu dengan tambatan hati yang baru."Manik Sofia bergeser menatap Axel yang terlihat begitu segar seperti sehabis mandi, dapat Sofia lihat dari ujung rambutnya yang masih basah. Padahal Sofia tidak merasa menunggu Axel terlalu lama tadi, tapi ternyata pria itu menyempatkan diri untuk mandi. "Apa ada t
Seharusnya Sofia merasa senang saat dia melihat keadaan Ruslan yang sekarang nampak begitu menyedihkan. Bahkan keadaan Ruslan lebih buruk dari keadaan dirinya dulu saat masih tinggal di rumah keluarga Ho. Namun Sofia malah merasa sebaliknya, hatinya ikut perih melihat keadaan Ruslan yang begitu kurus dan memucat."Aku tak tahu, kapan lagi bisa menemui Lucas dan Luna, bisa jadi ini adalah kali terakhir bagiku menemui mereka." Ruslan menatap sendu pada kedua anaknya dari arah kejauhan. Dia enggan untuk menemui mereka dan memilih untuk berbincang sejenak dengan Sofia.Kini, tak ada lagi sosok Ruslan yang tampan nan gagah seperti dulu.Tak ada lagi sosok Ruslan yang bertubuh atletis dan terawat.Tak ada lagi sosok Ruslan yang berpakaian bagus dan rapi.Tak ada lagi sosok Ruslan yang penuh percaya diri dan pemberani.Tak terasa pelupuk mata Sofia basah oleh air mata kesedihan karena mengenang masa lalu. Masa yang tak akan lagi dia ulang meskipun kini sudah dibayar kontan dengan berbagai pe
"Apa aku bisa percaya dengan ucapanmu?" Axel menyipitkan mata, menatap Ruslan dengan penuh menyelidik. Hatinya sedikit ada keraguan, mengingat Ruslan yang tiba-tiba saja berpindah haluan untuk membeberkan kelemahan Hendra. Bisa saja Ruslan sedang sandiwara dan tiba-tiba menusuknya dari belakang, bukan?Lembaran-lembaran berwarna putih yang berada di genggamannya kini ia pegang erat. Axel memang yakin jika lembaran penting yang diberikan Ruslan adalah fakta. Fakta tentang penyelewengan dan berbagai tindak kriminal yang dilakukan Hendra.Wajah Ruslan yang sudah sedari awal tampak memucat kini bertambah memburuk, saat ia menghela napasnya di hadapan Axel. Ruslan mengusap wajahnya dan menjawab, "Aku sudah berada di penghujung jurang, untuk apa aku terus maju saat aku sudah tahu kalau aku akan terjatuh?"Masih terdiam bibir Axel, matanya dapat melihat jelas kesedihan yang dipancarkan wajah Ruslan saat mengucapkan kalimat tadi. "Ibuku sudah mati terbunuh, adik lelakiku celaka dan anak yan
Suasana rumah yang beberapa waktu lalu masih ramai dipenuhi oleh banyak penghuni, kini terasa sepi dan begitu dingin. Ruslan menaiki anak tangga yang sedikit berdebu dengan lemas. Ia bagai tak memiliki semangat dan tenaga bahkan untuk sekedar berjalan menyusuri rumah. Hatinya sudah hancur berkeping-keping, tak ada lagi yang utuh di dalam sana.Penyesalan demi penyesalan bermunculan seiring kakinya menaiki anak tangga. Berat rasanya masih bertahan hidup disaat tak seorangpun yang menungguinya di rumah, yang memberinya semangat dan menyokongnya untuk terus maju. "Ibu...," lirihnya saat ia sudah berada di lantai dua. Matanya berembun saat ia menatap foto yang terpajang di dinding. Tiba-tiba terdengar suara ban koper yang beradu dengan lantai, membuat Ruslan seketika menoleh. "Riana? Mau kemana kamu?" Sesaat Ruslan lupa dengan keberadaan sang adik yang masih ada.Penampilan Riana begitu kacau, wajahnya sembab dan membengkak akibat mengeluarkan air mata terus menerus. "Nyusul Reynald ke
Gertakan dari Hendra cukup membuat sekujur tubuh Stephanie gemetar karena ketakutan, setelah itu Hendra pergi meninggalkan Stephanie yang masih terduduk kaku dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Dalam keheningan, Stephanie mengacak rambutnya kasar dan berteriak kencang untuk meluapkan rasa sesak yang menyiksanya. Tangisan Stephanie memenuhi seluruh penjuru ruangan milik Hendra, tidak ada seorangpun yang berada di luar memberanikan diri untuk bertanya. Semenjak kepulangannya dari tempat pemakaman Rianti, Stephanie mulai mengalami mimpi buruk yang menghantui. Sosok Rianti datang dengan wajah yang menyeramkan, mendatangi mimpi seolah meminta pertanggungjawaban. 'Ini konyol!' Begitulah umpatan Stephanie saat pertama kali mengalami mimpi buruk itu. Namun siapa sangka, kalau mimpi buruk tersebut terus terjadi berulang kali. Saat kapanpun Stephanie terlelap, mimpi itu akan selalu hadir.Stephanie bahkan merasakan trauma yang dalam karena mimpi-mimpi buruk tersebut. Pikirannya mulai
Axel masih duduk termenung diam meskipun Ruslan sudah beberapa menit yang lalu meninggalkan rumahnya. Dalam benaknya masih memikirkan alasan Ruslan yang tiba-tiba saja mendatangi kediamannya dan menanyakan dalang dibalik pembunuhan ibunya. Sejujurnya ini semua sudah melenceng jauh dari rencana dan perkiraan awal. Ia tak pernah menyangka bahwa Hendra nekat membunuh Rianti demi menutupi kepentingan dirinya sendiri.Yang lebih mengejutkannya lagi, Ruslan seperti akan berkhianat dengan papanya dan berbalik haluan untuk menyerang.Axel merogoh ponsel dalam saku celananya dan mencari nama seseorang di daftar kontak."Halo." Suara seseorang segera menyapa setelah Axel meneleponnya."Aku ingin kau mengikuti terus gerak-gerik Ruslan. Jangan sampai ada yang terlewat!" titan Axel."Baik, Tuan."Setelah menutup panggilan, Axel membuka sebuah pesan yang baru saja mendarat di aplikasi chatnya.[Mamaku membuat makan malam banyak hari ini, apa kau bersedia untuk datang dan menghabiskannya? Kebetulan
Tangan Ruslan mengepal erat, ia mengeratkan giginya untuk menahan amarah yang sudah sampai berada di puncak ubun-ubun. Pertanyaan dari Hendra entah mengapa membuatnya muak.Jika saja setengah kewarasan dalam dirinya sudah hilang, sudah pasti ia akan menghabisi Hendra karena menurutnya bermuka dua. Ruslan sudah sepenuhnya yakin, bahwa ada sesuatu hal yang besar disembunyikan dari Hendra dari dirinya. Riana sudah terus berbicara tentang Stephanie yang katanya adalah pelaku pembunuhan ibunya. Ruslan tahu, meskipun Riana tidaklah sepintar Stephanie, tak mungkin adiknya itu berbual tanpa bukti. Lagipula, sebenarnya sudah dari dulu dirinya juga merasa kalau memang ada yang janggal dengan Stephanie.Untuk saat ini ia akan memilih mengalah dihadapan Hendra dan Stephanie, demi ibunya yang membutuhkan sebuah ketenangan di peristirahatan terakhirnya.Esok, sesegera mungkin dia akan mengakhiri semuanya."Benar, Pa. Aku yakin ibu pasti tidak akan menyangka jika aku akan bersikap seperti ini." Mat