Edwin baru terbangun setelah lima belas menit dari azan Subuh. Tentu saja dia sangat menyesal, sebab tak bisa mengikuti salat jamaah di masjid dekat hotel. CEO itu segera mengambil air wudu, lalu melaksanakan kewajiban dua rakaat di kamarnya, dilanjutkan dengan zikir dan doa kepada Allah, agar masalahnya cepat selesai.Setelah selesai, Edwin membuka ponselnya untuk melihat kenangan video pernikahan dengan Audrey."Kamu sangat cantik waktu itu, Sayang. Asal kau tahu, meskipun kita sedang marahan, tetapi hati ini selalu merindukanmu. Maafkan keluargaku yang pernah menghinamu saat pesta pernikahan kita berlangsung, bahkan sampai selesai," gumam Edwin, lalu mulai bernostalgia tentang kejadian satu tahun yang lalu.**Di sebuah hotel megah, Edwin dan Audrey akan melaksanakan pesta pernikahan mereka. Di bagian tengah, terdapat meja dan kursi yang sudah dihias sedemikian rupa, untuk acara ijab kabul.Akad nikah sudah selesai dilaksanakan. Edwin sempat melihat Audrey yang merasa tak nyaman du
Edwin segera mengakhiri lamunannya, yang membuatnya semakin merasa bersalah pada Audrey, karena peristiwa saat pesta nikah."Lebih baik aku segera mencari bukti dan bergerak cepat, sebelum Athena melakukan perbuatan yang tidak-tidak lagi padaku. Aku juga harus berhati-hati, dan nggak akan pernah mau dibujuk lagi sama dia!" tekad Edwin, lalu segera bersiap-siap ke kantor.**Jadwal meeting dan semua pekerjaan di kantor Edwin hari ini telah usai. Semuanya berjalan dalam waktu yang singkat, sehingga masih ada banyak waktu untuk mencari bukti, kalau yang terjadi kemarin, hanya fitnah dari Athena. Setelah Edwin selesai merapikan isi tas kerjanya, dia keluar dari ruangan."Permisi, Pak. Saya mau melaporkan tentang track record perusahaan milik Pak Rey," kata sekretarisnya, dengan membawa beberapa map.Edwin berpikir sejenak, sepertinya hal itu juga bisa untuk mengungkap fakta tentang perbuatan Athena."Bagaimana, Pak? Apakah Bapak buru-buru?" tanya sekretarisnya lagi, karena Bosnya hanya d
Edwin bersembunyi di balik mobil Athena. Tempat parkir cukup sepi. Suami Audrey melihat pemilik kendaraan roda empat itu berjalan mendekat, sambil membawa koper dan tas kecil. Tentu saja dengan muka cemberut."Sial banget, sih, hari ini! Bukannya Edwin datang ke gue buat cari 'selimut' karena bertengkar sama Audrey! Eh, malah gue yang diusir dari apart ini!" Athena bicara sendiri, sambil memasukkan koper ke bagasi. Tiba-tiba, muncul Edwin dari samping mobilnya.Athena melotot. "Edwin! Ngapain kamu di sini?""Buka pintu mobil lu, dan jangan masuk! Kalau memang lu masih mengharapkan gue!" bisik Edwin, yang langsung dituruti oleh Athena, karena bingung harus berbuat apa.Edwin tersenyum. "Bagus!" Dia segera mengambil video dan foto sebuah alat penyemprot asap beracun di langit-langit mobil.Athena mengerutkan dahi. "Kenapa lama banget, sih? Kamu lagi ngapain, Edwin?""Sudah. Sampai ketemu lagi, ya!" sahut Edwin ramah, agar Athena tak curiga."Oke.
"Maaf, Pak, Bu. Saya pamit ke kantor, ada pekerjaan yang harus diselesaikan," ujar Edwin.Fandi dan Lia pun mengizinkan. Usai Edwin menjabat dan mencium kedua mertuanya, dia mengucap salam, lalu keluar. "Ya Allah, ada apa lagi ini?" gumamnya seraya naik ke mobil, dan segera melaju ke kantor.Edwin terus membaca doa naik kendaraan dan berzikir selama menyetir. Sampai di kantor, dia segera menemui Sinta di ruangannya."Masuk!" perintah Sinta dari dalam, usai Edwin mengetuk pintu.Pria itu masuk, dan duduk di depan Sinta yang mondar-mandir. "Ada apa sebenarnya?"Kakaknya itu melemparkan sebuah map. "Lihat saja hasil riset bagian pemasaran!""Apa ini?" Edwin mengerutkan kening, lalu membuka lembaran-lembaran kertas yang berisi rating jelek dan komentar pedas dari para pelanggan, juga data penjualan yang anjlok."Kamu ini bisa pimpin perusahaan nggak, sih? Kerjaannya keluyuran nggak jelas! Ada meeting pagi ini juga telat!" bentak Sinta.Edwin menepok jidat. "Astagfirullaah! Kenapa aku bisa
"Assalaamu'alaikum," salam Edwin, setelah sampai di rumah mertuanya.Audrey membukakan pintu dan menjawab salam. Sejenak pandangan keduanya bertemu. Ragu, Audrey menjabat dan mencium tangan suaminya."Bagaimana kabarmu, Sayang?" tanya Edwin, lembut.Audrey memaksakan senyum. "Alhamdulillaah baik. Silakan masuk, Mas."Edwin dan Audrey duduk berdampingan di ruang tamu."Aku minta maaf, ya, Mas," ujar Audrey, sembari menunduk dan menitikkan air mata.Edwin menyandarkan kepala istrinya di pundak. "Aku yang seharusnya minta maaf, Audrey. Kita sama-sama belajar dari kejadian ini, ya? Mulai sekarang, kita harus saling percaya.""Sudah, lah, Mas. Kita tidak usah membahas apa yang sudah terjadi. Fokus dengan hari esok. Baik aku maupun kamu, sama-sama memupuk kasih dan sayang itu kembali, dan memperhatikan tumbuh-kembang Dianti," pinta Audrey.Keduanya mengurai pelukan. Edwin mengangguk sambil menghapus air mata istrinya. "Bapak sama Ibu, di mana?" tanya CEO itu."Beliau berdua lagi di sawah,
Zofia sedang mondar-mandir di ruang tamu. Joe, Sinta, Evan, dan Natasha duduk di sofa sambil menunduk. Tak ada yang berani melihat Mama mereka."Kalian ini gimana, sih? Masa nggak bisa mempengaruhi Edwin supaya balik ke rumah ini? Malah di rumah Fandi yang kecil dan super sederhana itu, padahal Papanya kaya, tanah di mana-mana! Keenakan Audrey. Ini bahaya, Edwin bisa makin mabuk cinta!" teriak Zofia, diiringi muka merah, membuat kerutannya semakin terlihat.Tangan wanita paruh baya itu mengepal, dada sesak, dan pikirannya seperti mendidih."Bu-bucin mak-sudnya, Ma?" Sinta memberanikan diri untuk bertanya."Ya itu! Terserah bahasa kalian mau menyebutnya apa. Yang jelas, kali ini, kalian sudah membuat Mama kecewa, terutama Sinta!" gertak Zofia.Sinta tak terima, lalu berdiri. "Apa maksud Mama? Memangnya, ini semua karena aku? Orang nggak tahu apa-apa juga! Athena yang udah buat fitnah! Aku cuma menerima laporan. Marahin calon menantu kesayangan Mama itu.""Udah, duduk!" nasehat Joe deng
Pagi yang cerah. Galang membeli banyak sekali perlengkapan bayi dan beberapa helai pakaian khusus busui. Dia duduk di belakang kemudi, lalu menunduk untuk melihat arlojinya."Dua jam lagi, Edwin pasti sudah berangkat ke kantor. Sebaiknya aku mengintai rumah orang tua Audrey," gumamnya, lalu menginjak pedal gas, melaju ke arah jalanan.Kendaraan tidak begitu ramai, sehingga perjalanan Galang cukup lancar. Dia mampir ke drive thru untuk membeli makanan dan minuman. sehingga bisa mengisi perut sembari menyetir. Sampai di sebuah perkampungan, dia memarkirkan mobil di pinggir jalan yang cukup luas, beberapa meter dari rumah Fandi. Sesuai harapan Galang, tampak dari jendela mobil depannya, Edwin keluar dan memakai sepatu. Setelah itu, Audrey menjabat dan mencium tangan suaminya."Drama yang bagus! Dari luar, tetangga mengira rumah tangga kalian harmonis. Namun, bagaimana dengan Audrey? Dia pasti kesepian!" Galang mengepalkan tangan, sambil matanya menyorot tajam ke arah Edwin di depan sana.
Menjelang petang, Edwin pulang. Dahinya berkerut saat melihat tiga paper bag."Apa ini?" gumamnya, lalu membuka isinya.Ada beberapa pakaian bayi, baju khusus busui, dan juga mainan untuk bayi. "Assalaamu'alaikum," salamnya, sembari memasukkan paper bag ke meja ruang tamu.Istrinya keluar dengan menggendong Dianti. Dia menjawab salam.Edwin mendekat, lalu bertanya, "Kamu beli baju busui sama buat Dianti? Terus, ada mainan juga?""Enggak, Mas. Itu tadi, mmm ...." Audrey tak meneruskan ucapannya, melainkan langsung meraih punggung tangan suaminya untuk dijabat dan dicium. "Sebentar." Edwin menaruh tas kerjanya, lalu membuka catatan kecil di tali paper bag. "Selamat atas kelahiran putri pertamanya, dan menjadi ibu baru. Semoga Adik Dianti menjadi putri yang salihah dan berbakti kepada kedua orang tua. Kalau ada apa-apa, bilang ke aku. Insyaa Allaah, selalu siap membantu. Jika suamimu jarang pulang, mungkin kamu bisa curhat padaku. Galang."Pupil mata Audrey melebar, tak menyangka Galan
Di rumah sakit, Arumi sadar. Evan sudah membayar semua biaya perawatannya, serta meminta suster untuk menjaganya. Kini dia berbaring sendirian dalam ruangan serba putih.Arumi mengirimkan pesan pada Evan dan Sinta, bahwa dia tidak jadi mengungkit permasalahan tentang uang senilai tanah hak miliknya. Semua sudah dia ikhlaskan, karena tak mau rasa tamak menguasainya.Adik almarhum Juna takut, kalau itu akan mempengaruhi kesehatannya dan mendatangkan penyakit fisik, ataupun penyakit hati. Dia ingin sehat, hidup bahagia dan tak ada rasa benci, apalagi pada saudara sendiri. Zofia lega mendengarnya.Sejak sebulan lalu, sebenarnya perusahaan milik almarhum Juna mengalami penurunan omset. Gaya hidup Zofia dan keluarganya kini tak semewah dulu. Semua kebutuhan hidup yang bisa dipangkas, mereka kurangi sebisa mungkin. Mereka pun tak bisa menyombongkan harta lagi, seperti saat Juna masih hidup.Para tetangga seolah bahagia melihat mereka yang kini tak bisa menghina orang lain lagi, hanya karena
Satu pekan kemudian, Arumi kembali datang. Kali ini, ada Evan, Natasha dan Sinta yang menemani Zofia, agar tidak khawatir ketika menghadapi adik almarhum Juna."Aku tahu, Mbak Zofia tidak memberikan uang yang aku minta, karena tanah yang seharusnya menjadi milikku itu, tidak Mbak jual, tetapi justru dibagi rata pada anak-anak, yakni Evan, Sinta dan Edwin. Iya, kan?" tanya Arumi, membuat semua yang mendengarnya pun kaget setengah mati."Halah! Itu cuma akal-akalan kamu saja karena ada dendam tertentu sama kami. Iya, kan? Jangan fitnah, dong!" kesal Zofia.Arumi menyunggingkan senyum miring. "Kenapa, Mbak? Takut? Aku sudah punya banyak buktinya. Mulai dari foto-foto, terus salinan kepemilikan surat tanah dan juga sebuah flashdisk berisi banyak video saat pembagian itu. Kenapa Mas Juna memberikan sesuatu yang bukan haknya?"Wanita berjilbab itu menaruhsebuah map bersampul hijau dan sebuah flashdisk ke atas meja.Zofia menggertakkan gigi, lalu membuka dokumen itu. Semua bukti itu asli, te
Audrey sedang duduk di ruang tamu, berhadapan dengan Dianti dan Dino. "Alhamdulillaah, kalian kini bisa sadar bahwa perbuatan kalian itu salah. Mama sudah memaafkan kalian berdua.""Makasih, Ma," sahut Dianti."Terima kasih, Mama. Maafkan Dino yang selama ini mengekang Dianti. Kami sungguh anak yang durhaka," timpal Dino, dengan wajah tertunduk dalam.Sang Mama mangut-mangut. "Sudah, nggak perlu disesali. Mulai sekarang, Dino harus berbakti pada orang tua. Dianti juga, jangan mengulangi perbuatan yang salah!" "Iya, Ma. InsyaaAllaah," jawab keduanya, bersamaan.Dianti beranjak dari kursi, lalu memeluk Audrey dengan erat. Mulai terdengar tangisan keduanya. Sementara itu, air mata mulai menggenang di kedua netra Dino karena merasa sangat menyesal. Dari ruang tengah, Fandi muncul bersama Lia yang membawa tiga gelas minuman."Alhamdulillaah, akhirnya kalian semua berdamai. Kakek harap, kalian akan terus seperti ini dan tak ada lagi sandiwara atau sejenisnya, hanya karena silau harta," na
Pagi menjelang siang, cuaca cukup cerah. Galang mematut diri di depan cermin."Meskipun gue udah sedikit tua, tapi masih ganteng. Ya, siapa tahu, Audrey mau melabuhkan hatinya sama gue, meskipun kemarin sempat memuji-muji suaminya." Pria itu bergumam. Memang, dia belum menikah sampai sekarang. Dari sekian banyak perempuan yang pernah dekat dengannya, belum juga ada yang cocok dan klik di hati. Galang segera memacu mobilnya, setelah menyuruh satpam untuk menjaga rumah baik-baik.Sampai di depan rumah almarhum Edwin, semua sudah berkumpul. Kedatangan Galang berbarengan dengan Audrey, Fandi, dan Lia yang datang menggunakan taksi online. "Assalaamu'alaikum, Pak, Bu," sapa Galang.Fandi dan Lia menjawab salam. Mereka berbasa-basi sebentar. Sementara itu, Audrey mengembuskan napas kasar karena jenuh dan mulai merasa bahwa Galang sedang menarik simpatinya."Mari masuk, supaya bisa segera dimulai rapatnya," ajak Audrey, yang langsung disetujui oleh orang tuanya.Galang memandang punggung m
Hari terus berlalu. Audrey berusaha menghilangkan sakit hati karena tak diajak untuk menyaksikan pernikahan anaknya. Ya, meskipun dapat kiriman foto atau videonya, tetapi masih ada rasa sedih karena tak bisa memberikan restu secara langsung pada Dianti.Dia memilih untuk melanjutkan aktivitasnya berjualan baju di toko bersama Hana. Penghasilannya semakin meningkat begitu pesat, sampai bisa mendaftarkan haji plus, bertiga bersama Fandi dan Lia.Namun, hal itu tak diketahui oleh Zofia atau kakak-kakak iparnya. Para tetangga sekitar rumah almarhum Edwin pun tak ada yang mendengar tentang kabar tersebut. Selama ini, Audrey selalu bersedekah serta membayar zakat secara diam-diam, kepada orang fakir-miskin yang berhak menerimanya. 'Alhamdulillaah, tak menyangka bisa sampai di titik ini. Dulu, mau daftarkan Dianti kuliah aja nggak bisa. Andai anak itu nurut sama orang tua, pasti aku akan sekolahkan dia di perguruan tinggi, demi meraih apa yang menjadi cita-citanya. Bukan malah menikah dini
Audrey sedang istirahat sesudah melayani pembeli toko baju, yang memang ramai seperti biasa. Dia bersyukur bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan kedua orang tua. Sebagian lagi disisihkan untuk orang yang tidak mampu.Ponselnya berdering berulang kali. Dia penasaran, lalu segera dicek.[Kasihan sekali, ya, Bu. Ternyata kita dulu sudah salah sangka, bukan Bu Audrey yang durhaka, melainkan mertua dan kakak-kakak ipar beliau yang kejam.] Isi pesan di grup warga komplek.[Saya benar-benar nggak menyangka, masa iya ada mertua sejahat itu? Memisahkan anak gadis bernama Dianti dari Mamanya sendiri?][Astagfirullaah. Kakak-kakaknya juga kejamnya minta ampun.][Benar pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Alias sama aja! Andai kita orang kaya, mungkin bisa bela Bu Audrey, supaya mendapatkan Dianti kembali. Diajak pulang kampung, biar nggak ketularan kejam!]Tanpa sadar, Audrey menitikkan air mata membaca pesan-pesan di grup ibu-ibu tersebut. Antara sedih meratapi keadaan, tetapi juga se
Beberapa hari kemudian, Audrey mendapat kabar bahwa Juna meninggal. Semua kembali berduka. Audrey, Fandi dan Lia hanya melayat sebentar karena masih sakit hati dengan perlakuannya dulu. Zofia pun tidak memintakan maaf pada mereka. Dianti bersalaman dengan mereka bertiga, tetapi hanya terdiam saat ditinggal mereka pergi.**Lima bulan kemudian. Zofia kini sakit-sakitan dan sedikit linglung. Semua paman-bibi Dianti mulai mempersiapkan pernikahan Dianti. Audrey tak pernah diajak setiap kali kedua mertua dan semua kakak ipar membahas persiapan acara pernikahan anaknya sendiri.Pernikahan Dianti akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Audrey tahu bahwa semua anggota keluarga almarhum Edwin dibelikan kain seragam, kecuali dia.Akhirnya, Audrey membeli kain sendiri yang agak mirip, lalu menjahitkannya di tempat tetangganya dulu, bernama Nurin. "Jadi, Mbak beli kain sendiri buat gamis di hari pernikahan anak Mbak sendiri?" tanya Nurin."Iya. Sudah nasib. Entah, kapan kebahagiaan itu akan
Satu bulan berlalu. Audrey menjalani rutinitasnya berjualan di toko baju bersama Hana. Zofia sudah tak mau peduli lagi pada menantunya itu, serta semakin ketat melarang Dianti untuk menemui Audrey, karena khawatir menantunya itu akan menghalangi perjodohan Dianti dengan Dino.Tak hanya itu, Juna juga meminta mobil Edwin yang terparkir di garasi rumah putranya. Audrey mempersilakan karena memang itu bukan miliknya, sekaligus legowo menyerahkan kunci, BPKP, STNK dan SIMnya tanpa meminta syarat apapun. Harta dunia memang titipan dan tak bisa dimiliki selamanya, sehingga Audrey ikhlas dan tidak melakukan protes apapun. Kini, mobil itu digunakan oleh Natasha dan Sinta secara bergantian jika ingin pergi ke manapun. Audrey tak pernah ambil pusing bagaimana sikap Juna, Zofia dan kakak-kakak iparnya, melainkan lebih fokus pada perkembangan tokonya. Modal dari uang Edwin, dia gunakan untuk memperbarui produk baju dan promosi di media sosial. Dalam tiga bulan, omsetnya pun naik pesat.Saat hari
Audrey menghitung uang yang jumlahnya cukup banyak milik almarhum suaminya di lemari, yang merupakan hasil dari perusahaan Juna dalam beberapa hari terakhir. Penghasilan itu dikirimkan langsung ke rumah oleh seorang bendahara kantor.Beberapa hari kemudian, ada dua orang rekan kerja Edwin yang datang untuk menagih utang. Besoknya ada lagi, lalu beberapa hari berikutnya.Audrey menggunakan uang Edwin untuk melunasi hutang-hutang itu. Setelah lewat dua pekan, tak ada lagi yang menagih, Audrey membagi-bagi uang di dalam tas milik almarhum suaminya.Sepertiga untuk membayar hutang pada Rudi, sepertiga lagi untuk Dianti dan sepertiga sisanya Audrey pakai untuk menyambung hidup.Sementara surat tanah tempat berdiri rumah megah milik Edwin, Audrey biarkan supaya diambil oleh Juna, karena ada bagian warisan untuk keluarga almarhum suaminya.Beberapa hari kemudian, Rudi memberi pesan ke Audrey bahwa dia ingin datang ke rumah. Mamanya Dianti pun mengundang Hana untuk datang juga, supaya terhind