“Ra, tunggu Ra!”Melihat istri serta mertuanya menghilang di balik pintu lift membuat Saga menghembuskan napas kasar, dia melangkah cepat menuju lift lainnya dan berharap bisa cepat menuju lantai dasar. Usia yang tidak muda lagi membuat langkah Viona tidak segesit putranya, wanita itu menunggu salah satu lift terbuka dan membawanya ke bawah.Maria melihat kepergian mereka dengan senyum lebar, merasa puas sendiri. Dia sangat yakin bahwa keberuntungan akan berpihak kepadanya kali ini. Maria memutuskan mengikuti mereka, menuju kebawah bersiap menonton drama yang dia ciptakan sendiri, pasti akan semakin menarik.“Sayang, Mama tak membawa mobil. Meminta supir di rumah untuk menjemput pun pasti akan lama. Sebaiknya kita berlari sedikit menuju jalan dan mencegat taksi.” ucap Liana dengan cepat, dia menatap putrinya yang berwajah bengong dan tatapan kosong meski kakinya tetap melangkah. “Sayang?” Liana memanggil sekali lagi seraya mengguncang tangan yang di genggamnya. Sahara tersadar seketi
Andai tidak ada kejadian seperti ini, andai Saga tidak pernah tidur dengan Maria, Sahara mungkin akan merasa nyaman dalam dekapan hangat suaminya dan enggan melepaskannya. Namun kini, sehangat dan senyaman apapun pelukan itu rasanya tak sama seperti dulu lagi. Sahara berusaha untuk melepaskan pelukannya.“Jangan lepaskan, jangan menjauh dariku, jangan pergi... kumohon,” Saga membisikkan kata-kata itu dengan suara yang sedikit bergetar. Dia benar-benar takut istrinya tak percaya padanya, lalu pergi meninggalkan dirinya. Sahara yang semula berontak lantas terdiam, memejamkan matanya rapat-rapat, air mata terus mengalir tanpa henti. Hatinya sakit, sangat sakit. Kenangan selama mereka di Jepang seakan berputar dalam kepalanya, seolah mengingatkan betapa bahagianya mereka kala itu. Juga tentang lamaran yang terlambat, namun sangat romantis dan berkesan. Semakin membuatnya sakit ketika kembali mengingat apa yang sudah suaminya lakukan.Sahara membuka matanya, berniat untuk menatap wajah
Brata, seorang pria paruh baya berkarakter tegas dan mudah meledak-ledak. Ketika mendengar putri kesayangannya dikhianati oleh suaminya sendiri, sudah pasti dia murka, sangat murka.Rasa ingin memberikan pelajaran pada pria yang menjadi menantunya sangat menggebu-gebu dan berkobar dalam dada, andai Liana tak menenangkan dan meminta dirinya untuk fokus pada Sahara terlebih dahulu, sudah pasti Brata mendatangi Saga dan menghajarnya detik itu juga.Melihat putrinya menangis tersedu di pelukan sang istri, seketika memunculkan rasa bersalah dalam dirinya. Menyiksa relung jiwanya.Harusnya aku tidak memberikan Saga kesempatan pada saat itu. Tidak, harusnya aku memang tidak memaksanya menerima perjodohan itu sedari awal.Penyesalan demi penyesalan memenuhi dirinya, dan selalu datang diakhir. Brata menyadari penyesalan bisa datang pada siapapun, dan dengan cara apapun. Untuk saat ini yang bisa dia lakukan adalah mendekati dua wanita yang di cintainya. Duduk diantara mereka dengan Sahara yang
Besok saja kita jelaskan semua ini ke sana, sekarang sudah malam.” ujar Hanum menatap istrinya yang duduk gelisah, lalu melirik putranya yang duduk tak jauh dari Viona. “Dan kau, tenanglah. Kalian baru saja pulang dari Jepang sore ini, biarkan Sahara beristirahat dan mendinginkan kepalanya.”“Lebih cepat, lebih baik. Aku akan datang ke sana dengan atau tanpa kalian sekalipun.” balas Saga pada Hanum yang membuang napas kasar. Kemudian dia bangkit dari duduknya dan melangkah.“Tidak ada yang mengijinkan kau pergi.” kata Hanum dengan suara bariton yang berat, seketika menghentikan langkah kaki Saga tanpa membalik badan. “Tetap disini dan ceritakan bagaimana kau bisa dijebak perempuan itu. Aku masih tak menyangka anakku bisa dijebak semudah itu. Lihat, betapa lemahnya kau sebagai laki-laki.” Viona menggeleng dan menghela napas panjang mendengar perkataan suaminya itu, lalu menatap punggung putranya dengan sendu.“Papa, kucing mana yang tidak bernafsu melihat ikan di depan matanya sendiri
Sesuai tebakan Sahara, Liana sama sekali tidak mengijinkan putrinya itu untuk keluar rumah. Khawatir Sahara nekat bertemu dengan Saga, dan hanya menambah luka untuk putrinya. Liana tidak menginginkan itu terjadi.Tetapi, dengan sedikit rentetan kalimat rayuan dari Nana akhirnya mampu meluluhkan hati Liana yang sedang sekeras batu.Sengaja memilih waktu setelah jam makan siang, karena menurutnya akan punya banyak waktu bagi Nana dan Sahara merayu Liana agar di ijinkan keluar.“Baiklah, asal jangan pulang terlalu sore.” kata Liana waktu itu, menatap anak dan keponakannya bergantian.“Sampai malam, mam?” rayu Sahara sedikit menawar.“No, sore ini harus sudah ada di rumah. Kalau tidak mau, ya sudah, silahkan tetap dirumah.” putus Liana bulat-bulat yang berhasil membuat putrinya menghela napas berat lalu mengangguk pasrah.Nana memalingkan wajah untuk menyembunyikan tawa, lalu berdehem dan memandang Liana dengan senyum manis.“Tenang saja, tante. Andai sore nanti dia tak ingin pulang, aku
Berbeda dengan Nana yang enggan menatapnya, William menatap lurus wanita yang berdiri tak jauh dari Sahara. Walau batinnya cukup terkejut dengan kehadiran wanita itu, William terus menatap lekat wanita di masa lalunya. Seolah Nana adalah objek paling menarik di dunia ini, sehingga matanya tersihir untuk terus melihatnya.Kemudian kepala Sahara menyembul dari bahu Saga dan menatapnya dengan alis tertaut, membuat objek yang sedang di pandangnya menjadi terhalangi. William segera menundukkan kepalanya.“Siapa di belakangmu?” Sahara bertanya pada suaminya, menunjuk William dengan lirikan mata.Saga menyerongkan tubuhnya sedikit untuk melihat kebelakang, karena ketegangan yang memenuhi dirinya, ketakutan akan Sahara yang tidak memaafkan dan menolak percaya padanya membuat Saga seolah melupakan keberadaan pria itu.“Dia William, teman papa.” jawab Saga kemudian, kembali menatap Sahara yang masih menelisik William. Dia ingat, gadis itu memang belum pernah bertemu dengan William, meski pria
Nana mencuci wajahnya di depan wastafel, lalu menyambar tissue yang tersedia di sana dan mematut wajah di depan cermin. Ada beberapa orang yang diam-diam menatapnya, ada juga yang terang-terangan. Nana balas menatap orang yang melihatnya terang-terangan dengan senyuman, walau matanya sedikit sembab. Pupil matanya pun tampak memerah di kiri kanan.Wanita itu belum mengecek ponselnya, ketika kembali menuju taman yang dia temukan hanya kekosongan, tidak ada lagi sepupu dan suaminya. Nana mengedarkan pandangannya menatap sekeliling, berusaha mencari keberadaan Sahara, sampai akhirnya dia terduduk di bangku dan mengeluarkan ponsel. Baru itulah dia tahu, sepupunya itu meminta Nana untuk menyusul ke apartemen Saga.“Dia itu menyebalkan dan suka seenaknya, mentang-mentang punya suami.” Nana menggerutu disertai senyum tipis. “Seenaknya menyuruhku ke sana, buat apa coba?” masih menggerutu dan tertawa.Menertawakan dirinya sendiri, yang tidak seberuntung Saga. Sahara memiliki hati yang lapang
“Sedang apa disini?” tanya Daren, menatap lekat mantan istrinya dan sesekali melirik pria yang berada di sisi Nana. “Sakit?”“Tidak,” kepala Nana menggeleng dan menarik napas pelan, lalu menunduk melihat kakinya, “Cuma terluka sedikit.”Daren bergeming mendengar Nana mengucapkan kata 'terluka'. Menurutnya terdengar agak lain di telinga saat wanita itu mengucapkannya, seolah menyiratkan perasaan terluka karena hal lain. Dan, membuatnya teringat atas apa yang dia perbuat pada mantan istrinya itu.“Nana, sebenarnya ada yang ingin aku bicara—...”“Tidak ada yang perlu di bicarakan lagi, Mas.” potong Nana menggeleng lemah dengan senyum pahit. Daren bernapas lambat saat melihat senyum Nana. Sedangkan William mengkerutkan keningnya mendengar Nana menyebut pria itu dengan sebutan 'Mas'. Beberapa detik setelahnya, barulah dia sadar dan teringat dengan wajah Daren yang tidak asing. Dia mantan suami Nana.“Tuan Daren, kita harus cepat. Dokter sudah menunggu.” ucap seseorang menyela pembicaraan
“Baiklah, karena kalian sudah datang kemari, kita langsung saja.” Liana berkata seraya memandang wajah orang-orang yang duduk bersamanya bergantian, lalu berhenti tepat di wajah Saga. Dia menatap lekat wajah menantunya itu. “Saga, bagaimana masalahmu dengan wanita itu?”Saat itu, Saga sedang menatap istrinya yang terus menunduk, lantas terkesiap ketika Liana bertanya dengan tatapan tajam. Bukan hanya Liana, Saga merasakan semua mata sedang menatap padanya. Hal itu sedikit membuatnya gugup.Setelah menghela napas panjang, Saga balas menatap wanita yang menjadi mertuanya dengan tegas namun tetap berusaha sesopan mungkin.“Masalah kami sudah selesai, Mam. Aku sudah menepis gosip-gosip bohong yang dibuat oleh wanita itu. Dan, Maria sudah kubuat menyesal sekaligus menjadi bulanan masyarakat.” terang Saga dengan senyum puas. Dia kembali melirik Sahara yang tersenyum manis padanya, lalu dibalas dengan kedipan sebelah mata dan seketika membuat gadis itu tersipu merona.“Oh, kenapa dengannya?”
“Selamat sore nona Maria.” sapa Dokter seraya tersenyum dan menghampiri pasiennya.Maria tak membalas sapaan sang Dokter, kedua matanya masih tertuju pada dua orang polisi yang berdiri tegak tak jauh dari pintu setelah di tutupnya. Maria bertanya-tanya sendiri, untuk apa polisi itu berada di ruangannya? Mungkinkah karena skandal yang di sebarkan William? Atau Saga masih dendam padanya lalu melaporkan dirinya mengenai kasus penculikan istrinya? Tapi, itukan sudah lama!“Nona?” panggil Dokter itu lagi seraya menyentuh lengan Maria.“Eh, iya Dok?” sahut wanita itu akhirnya. Dia menatap sang Dokter dengan raut wajah yang pias bercampur cemas.“Kita cek kondisi nona terlebih dahulu, ya.” kata Dokter yang Maria ketahui bernama Sheina. Dr. Sheina memeriksa detak jantung Maria sejenak, lalu dilanjutkan dengan alat vital lainnya. “Dokter, apa yang terjadi padaku?” Maria bertanya setengah berbisik, berusaha mengabaikan dua polisi yang berdiri di sana. Dia sendiri sangat penasaran dengan kondi
“Darren datang untuk meminta maaf pada Nana, Lucas. Biarkan saja mereka menyelesaikan masalahnya berdua dulu.” ucap Winona menatap sang suami yang pandangannya masih tertuju pada Darren dan Nana di tepi kolam.“Masalah apa? Bukankah semuanya sudah selesai ketika lelaki itu mencampakkan anakku?” balas Lucas dengan nada yang dingin. Masih segar dalam ingatannya tentang malam itu, Nana dipulangkan oleh Darren tanpa perasaan, tanpa memberikan kesempatan, tidak peduli Nana bersimpuh di kaki Darren agar di beri kesempatan untuk menjelaskan. Darren seolah tertutup mata dan hatinya hanya karena merasa ditipu soal keperawanan. Sebagai seorang ayah melihat bagaimana putrinya dicampakkan sebegitu jahatnya, tentu saja hal itu melukai harga dirinya dengan membiarkan Darren menginjakkan kaki di rumahnya.“Lucas, tenangkan dirimu.” ujar Winona mencegat Lucas yang ingin menghampiri Darren dan Nana. “Biarkan mereka bicara berdua dulu, sekarang kita kembali ke dalam. Ada yang akan aku bicarakan dengan
Liana menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk dari luar. Bertanya-tanya sendiri, siapa yang mengetuk di luar sana kali ini. Mungkinkah putrinya lagi?Pintu itu kembali di ketuk, kini disertai suara pelayan yang berkata membawakan makanan untuknya. Liana melirik pada benda yang di sebut sebagai mesin waktu, jam makan siang sudah lewat cukup lama. Dia memang masih enggan keluar kamar. Melewatkan makan malam, sarapan pagi, dan sekarang Liana pun melewatkan makan siangnya.Meski tetap membukakan pintu untuk pelayan yang datang membawa makanan, tidak ada satu pun makanan yang di sentuhnya. Sampai membuat sang pelayan kebingungan dibuatnya.“Nyonya, anda tidak sarapan?” tanya pelayan perempuan yang umurnya lumayan muda. Dia melihat menu sarapan yang di antarnya pagi tadi masih tetap utuh di atas nampan.“Aku tidak lapar, Alma.” jawab Liana seraya memandang pelayan yang bernama Alma dengan senyum tipis.“Tapi, Nyonya ... anda harus makan.” ujar Alma dengan kepala tertunduk di depan sang
“Mau apa dia ke sini?”Terkejut. Tentu saja, tetapi Nana sebisa mungkin membuat raut wajahnya terlihat tenang dan terkendali. Pandangannya sempat menunduk beberapa saat , namun buru-buru dia mendongak kembali ketika Winona menyentuh tangannya.“Dia bilang ingin bicara denganmu.” jawab Winona kemudian, wanita itu menggeser duduknya agar lebih merapat pada sang putri. “Kau baik-baik saja, Sayang? Kalau tidak mau menemuinya, ibu akan menyuruhnya pergi.”Kepala Nana menggeleng pelan seraya menggigit bibir bagian dalamnya. “Apa ayah tahu Darren kemari?” tanyanya setengah berbisik.“Belum,” Winona menggeleng dengan kedua alis yang tertaut, “Sengaja ibu tidak bilang, ayahmu pasti akan marah kalau tahu dia kemari.”“Lalu, kenapa ibu ... tidak marah?” tanyanya lagi, sudut mata Nana sesekali melirik ke arah pintu ruang baca, khawatir tiba-tiba Darren keluar seolah menyadari keberadaannya.“Ibu marah, Nana. Tentu saja, marah. Bahkan ibu sempat mengusirnya, tetapi dia memohon agar diijinkan berte
Saga memutuskan kembali ke kantornya, namun saat sampai di sana dia menemukan kerumunan di depan lobi kantor. Puluhan orang wartawan serta Cameraman-nya tampak berkumpul menantikan kedatangan dirinya untuk diliput.“Papa, kenapa banyak wartawan di bawah sini?” Saga memilih menghubungi sang papa dan mengamati para wartawan itu dari dalam mobil.“Tidak apa-apa temui saja, mereka memang menunggumu untuk buka suara soal postingan klarifikasi serta bantahan yang dibuat William. Katakan saja yang sebenarnya.” balas Hanum dengan santai, membuat Saga menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.“Baiklah.” setelah itu Saga memutuskan sambungan telepon dan bergegas keluar dari mobil yang langsung diambil alih oleh petugas.Saga berjalan gagah di tengah-tengah barikade yang dibuat oleh sekuriti serta para petugas keamanan di kantornya. Mereka menggiring Saga hingga memasuki lobi dan membiarkan tuannya diwawancarai di sana, seraya terus menjaganya.“Tenang semuanya, bertanyalah satu-satu
“Tuan, saya sudah menemukan keberadaan Maria. Dia ada di pusat perbelanjaan, mungkin sedang berbelanja.” lapor William pada Saga melalu telepon, lelaki berwajah oval itu terus memantau Maria dari balik kaca mobil.“Terus pantau dan ikuti, kalau wanita itu menuju ke apartemennya pastikan kau yang lebih dulu tiba di sana. Aku akan menunggumu di dalamnya.” balas Saga, menatap lurus pada jalanan dan berusaha mengemudi dengan perhatian penuh. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Maria dan membuat wanita itu menyesal sudah berani bermain-main dengan dirinya.Kini, Saga tengah berdiri tegak dengan raut wajah yang dingin, melayangkan tatapan setajam belati pada wajah Maria yang berubah pias. Wanita itu sesekali melirik William yang mulai bangkit dari sofa dan berjalan di belakangnya. Seolah memastikan William tidak berbuat sesuatu yang mengancam nyawanya seperti dulu.“Takut, eh?” tanya pria itu dengan seringai mengejek, Saga sendiri merasa puas dengan reaksi dari wanita yang tengah hamil mud
“Sayang, kau belum menunjukkan rekaman itu pada orang tuamu?” Saga melakukan panggilan telepon dengan istrinya setelah kepergian ayah mertuanya, dia berada di ruang kerjanya sendiri saat ini dan berdiri menghadap dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota yang dihiasi gedung pencakar langit.“Emm, belum ... kenapa?” balas Sahara tersenyum salah tingkah di seberang telepon. Jari telunjuknya menggaruk ujung alis dengan canggung.Terdengar helaan napas berat dari mulut Saga, dia mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan. “Tadi, papi kemari.” desisnya.“Oh, ya? Mau apa?” tanyanya terkejut dan sedikit cemas. “Apa papi menghajarmu?”“Tidak, papi menghargai permintaanmu agar tidak menyentuhku.” jawabnya disertai gelengan, kemudian tersenyum mengingat permintaan itu adalah bukti cinta istrinya pada dirinya. “Terima kasih sudah mencintaiku begitu besar, saking besarnya sampai mampu menutupi kemarahan seorang Brata yang konon dikenal memiliki watak keras dan tegas.” godanya terkekeh.Sa
Hanum menyambut dengan ramah dan mempersilahkan Brata duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Dia tidak hanya berdua, Saga pun ada di antara mereka. Putranya itu mengulurkan tangan hendak bersalaman dengan mertuanya, tetapi Brata mengabaikannya dengan dingin. Membuat Saga menghela napas pelan, dan memakluminya sama sekali tidak merasa tersinggung.Brata datang ke kantor Hanum bukan untuk beramah tamah, dia ingin membuat perhitungan pada menantu dan besannya. Yang sedari awal sudah membohongi dirinya.“Aku merasa terhormat kau mau bertandang kemari.” ujar Hanum tersenyum pada Brata yang sudah mendudukan dirinya tepat berseberangan dengannya. “Aku benar-benar meminta maaf atas apa yang sudah dilakukan putraku.”Dia menoleh, memandang Saga yang berusaha mempertahankan senyumnya ketika Brata juga ikut menatapnya. Lalu, Hanum menepuk pundak putranya dengan tegas dan kembali menatap pada besannya yang menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa dengan sorot mata yang tajam.“Kalau kedatanganmu