Gadis itu menjadi yang pertama membuka mata saat pagi menyapa. Pelupuk matanya terasa berat, menandakan dirinya masih mengantuk karena Saga melakukannya hingga larut malam. Tetapi, rasa kantuk itu langsung menguap begitu melihat suaminya yang tertidur sangat lelap, wajahnya terlihat tenang dan damai.Senyum Sahara melengkung manis ketika membelai lembut wajah pria itu, dia merasa lega dan senang akhirnya bisa memberikan hak pria itu sendiri. “Pagi...” Sahara menyapa dengan riang ketika melihat suaminya ikut membuka mata, wajah gadis itu merona dengan semburat yang cantik saat Saga meremas pelan tangannya, lalu mengecup singkat di sana sebagai bentuk balasan sapaan gadis itu sendiri.“Jam berapa sekarang?” suara yang serak khas bangun tidur terdengar menggelitik di telinga Sahara.“Sembilan.” jawabnya singkat.Saga nampak menganggukkan kepalanya, mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan penglihatannya. Ketika melihat tubuh keduanya hanya di balut selimut tebal yang sama, pria itu se
Sang bagaskara mulai menenggelamkan diri di ufuk barat, menandakan akan adanya pergantian siang menuju malam. Saga dan Sahara memasuki villa yang selama satu minggu ini mereka tempati.Hari ini adalah hari terakhir mereka di Jepang, sebenarnya mereka ingin menghabiskan hari terakhir ini untuk berkeliling sampai malam. Namun Sahara mengeluhkan tubuhnya yang sudah lengket dan ingin segera mandi, jadi keduanya memutuskan untuk kembali ke villa.Saga membantu Sahara melepaskan mantelnya, lalu ketika pria itu hendak melepaskan sepatu kets yang dipakai gadis itu sendiri, dia menahannya.“Aku bisa sendiri,” ucap Sahara dengan sungkan, “Harusnya kau jangan terlalu memperlakukanku seperti ini, aku bukan seorang putri raja.” katanya lagi disertai tawa kecil.Saga hanya mengangguk dan tersenyum, seraya mengusap pucuk kepala istrinya, “Aku hanya mencoba untuk melakukan sesuatu yang membuatmu senang selagi aku bisa.”Sahara mengernyitkan dahinya mendengar itu, rasanya terdengar agak lain dalam tel
Langit sudah berubah gelap ketika Sahara menginjakkan kakinya keluar villa, rumput-rumput kecil dan halus yang melapisi permukaan tanah meredam suara langkah kakinya. Dia ingat villa ini memiliki satu penjaga yang selalu berada di pos kecil tepat di depan bangunan ini.“Sumimasen (permisi)...” Sahara menyapa pria setengah baya berwajah khas yang sedang menikmati secangkir teh hangat. Pria itu bergegas mendekati Sahara yang berdiri tidak jauh dari pos jaganya.“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” pria itu membungkuk setengah badan untuk membalas sapaan Sahara. “Anu... Apa anda melihat suamiku?” Sahara mengatakan maksudnya dengan bahasa Inggris. “Pria yang selalu bersamaku?” gadis itu memperjelas pertanyaannya ketika pria tua itu tampak mengernyit.“Ah, tentu. Tuan itu baru saja keluar.” jawabannya mampu membuat jantung Sahara berhenti berdetak. “Tapi sudah kembali lagi.”“Kembali lagi?” tanya gadis itu tergesa, Sahara mengirup napasnya dengan cepat seolah baru saja menemukan udara segar
Ketika pagi menyapa, Saga dan Sahara, juga Jeck, keluar dari kamar masing-masing seraya menarik koper.Melihat Jeck berdiri di antaranya, gadis itu kembali mengingat kejadian semalam. Dia sudah membentak pria muda itu, lalu melihatnya yang bertelanjang dada hanya mengenakan handuk. Sahara merasa malu dan canggung secara bersamaan ketika bertemu pandang dengan Jeck. Begitu pula dengan Jeck, dia merasakan hal yang sama.“Selamat pagi, Tuan dan Nona. Apa semua sudah siap untuk kembali ke Indonesia?” Jeck menyapa dengan sopan setelah membungkukkan badan di depan keduanya, pandangannya menunduk dan hanya bisa menatap Tuannya sebatas ujung tangan.“Tentu." Saga yang menjawab, dia meraih tangan Sahara untuk di genggam dan menariknya berjalan bersama. Jeck mengikuti mereka dari belakang.Sahara menurut dan mensejajari langkah kaki suaminya, namun raut wajahnya tampak seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi dia ragu dan memilih untuk menahannya. Saga, pria yang selalu menjadi pengamat terbaik
Liana memeluk Sahara dengan erat begitu putrinya kembali menginjakkan kaki di tanah air. Sensasi yang dirasakan Liana ketika memeluk putrinya masih sama seperti dia menimang gadis itu saat masih bayi dulu, rasanya waktu berjalan begitu cepat, sekarang bayinya itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang semakin dewasa.Ya, dia lebih cepat dewasa. Liana menyadarinya ketika melihat sorot gadis itu yang terlihat tenang, terkendali, seperti hamparan air di dalam kolam. Liana menangkupkan kedua tangan di setiap sisi wajah Sahara setelah melepaskan pelukannya.“Melihat wajahmu yang secerah mentari, kau pasti sangat menikmati liburannya.” kata Liana tersenyum hangat. “Bukankah begitu?”Sahara balas tersenyum manis seiring kepalanya yang mengangguk. “Disana menyenangkan, rasanya aku tak ingin pulang, kalau saja tidak ingat masih ada Mami dan Papi yang menungguku di sini.” katanya terkekeh renyah.“Bukan hanya Mami dan Papi yang menunggumu disini, tapi Mama juga. Apa kau melupakan Mama mertuamu
Satu hari setelah Maria mendapatkan ancaman dari William. Wanita itu berniat untuk menemui Kenzo, bos sekaligus kekasihnya itu harus membantunya keluar dari masalah ini. Setidaknya Kenzo harus bisa menjauhkan William dari hidupnya.Hari itu Maria sedang bersiap dan mematut penampilannya di depan cermin rias. Visual yang sempurna. Wajah cantik yang dia warisi dari sang ibu, dengan iris mata berwarna biru pucat, mata asli yang dia dapatkan dari gen ayahnya. Sebenarnya ada rahasia yang tidak diketahui siapapun, seperti asal usulnya. Tidak banyak yang tahu, bahwa ibunya adalah seorang mantan PSK. Maria ada dan lahir karena sebuah kesalahan dan kecerobohan ibunya dimasa lalu. Memiliki wajah cantik, ibu Maria memanfaatkannya dengan menjadi wanita panggilan, semula ibunya itu menerima klien yang bergunta-ganti namun ketika bertemu dengan ayahnya, ibu Maria mendapatkan tawaran untuk melayani ayahnya saja atau menjadi wanita simpanan pria berdarah Prancis tersebut. Dari sanalah semuanya bera
“Apa maksudnya ini, Ken? Kau jangan bercanda!”Maria mengepalkan kedua tangannya dengan erat, sesuatu dalam dadanya terbakar, membuatnya sakit, sesak, marah, kecewa. Namun, Maria mencoba mengatur napasnya yang mulai tak beraturan, berusaha tenang. Kenzo hanya sedang mengerjainya, pikir Maria. Sayangnya pikiran hanya sebatas pikiran, melihat bagaimana cara Kenzo menatap wanita di pangkuannya, benar-benar membuat Maria geram.“Aku tidak bercanda,” jawab lelaki itu dengan senyum lebar. “Kami akan segera menikah.”Lagi, fakta itu membuat Maria tercengang sekaligus menyesakkan dada. Bagaimana manapun dia mencintai pria itu, dan hanya Kenzo yang selalu memahami dirinya selama ini. “Kenapa?” kepala Maria menggeleng lemah, mata birunya basah. “Kenapa kau mengkhianatiku?”“Dengar, Maria.” kata Kenzo dengan suara tegas. “Aku harus menikah dan membutuhkan keturunan untuk mewarisi semua hartaku, untuk meneruskan silsilah keluargaku, sedangkan kau adalah wanita yang sama sekali tidak menginginka
Maria memasuki apartemennya dengan langkah gontai dan wajah tertekuk suram. Suasana hatinya benar-benar buruk dan hancur, sama hancurnya dengan kondisi apartemen yang dia tinggalkan beberapa jam lalu.Maria mengedarkan pandangannya menatap seluruh ruangan yang seperti kapal pecah, dengan langkah cepat dia memasuki dan malah mendapati Chio yang sedang meringkuk di atas lantai dengan kondisi terikat di seluruh tubuh dan mulutnya. Mata Chio segera mendelik dan mencoba mengeluarkan suara, meronta-ronta ingin dilepaskan.“Oh God!” seru Maria terkejut. Bergegas mendekat, dengan susah payah dia membuka ikatan tali itu. “Siapa yang mengikat simpulnya sekacau ini!” Maria berdiri dan mencari benda tajam untuk memutuskan ikatan di tubuh asistennya, setelah menemukan dia memotongnya dengan kasar. Lalu menarik lakban hitam yang menutupi mulut pria itu.“Syukurlah kau datang, kita kemalingan!” ujar Chio cepat setelah mulutnya terbebas, meski tepi bibirnya terasa perih saat Maria menarik lakbannya
“Baiklah, karena kalian sudah datang kemari, kita langsung saja.” Liana berkata seraya memandang wajah orang-orang yang duduk bersamanya bergantian, lalu berhenti tepat di wajah Saga. Dia menatap lekat wajah menantunya itu. “Saga, bagaimana masalahmu dengan wanita itu?”Saat itu, Saga sedang menatap istrinya yang terus menunduk, lantas terkesiap ketika Liana bertanya dengan tatapan tajam. Bukan hanya Liana, Saga merasakan semua mata sedang menatap padanya. Hal itu sedikit membuatnya gugup.Setelah menghela napas panjang, Saga balas menatap wanita yang menjadi mertuanya dengan tegas namun tetap berusaha sesopan mungkin.“Masalah kami sudah selesai, Mam. Aku sudah menepis gosip-gosip bohong yang dibuat oleh wanita itu. Dan, Maria sudah kubuat menyesal sekaligus menjadi bulanan masyarakat.” terang Saga dengan senyum puas. Dia kembali melirik Sahara yang tersenyum manis padanya, lalu dibalas dengan kedipan sebelah mata dan seketika membuat gadis itu tersipu merona.“Oh, kenapa dengannya?”
“Selamat sore nona Maria.” sapa Dokter seraya tersenyum dan menghampiri pasiennya.Maria tak membalas sapaan sang Dokter, kedua matanya masih tertuju pada dua orang polisi yang berdiri tegak tak jauh dari pintu setelah di tutupnya. Maria bertanya-tanya sendiri, untuk apa polisi itu berada di ruangannya? Mungkinkah karena skandal yang di sebarkan William? Atau Saga masih dendam padanya lalu melaporkan dirinya mengenai kasus penculikan istrinya? Tapi, itukan sudah lama!“Nona?” panggil Dokter itu lagi seraya menyentuh lengan Maria.“Eh, iya Dok?” sahut wanita itu akhirnya. Dia menatap sang Dokter dengan raut wajah yang pias bercampur cemas.“Kita cek kondisi nona terlebih dahulu, ya.” kata Dokter yang Maria ketahui bernama Sheina. Dr. Sheina memeriksa detak jantung Maria sejenak, lalu dilanjutkan dengan alat vital lainnya. “Dokter, apa yang terjadi padaku?” Maria bertanya setengah berbisik, berusaha mengabaikan dua polisi yang berdiri di sana. Dia sendiri sangat penasaran dengan kondi
“Darren datang untuk meminta maaf pada Nana, Lucas. Biarkan saja mereka menyelesaikan masalahnya berdua dulu.” ucap Winona menatap sang suami yang pandangannya masih tertuju pada Darren dan Nana di tepi kolam.“Masalah apa? Bukankah semuanya sudah selesai ketika lelaki itu mencampakkan anakku?” balas Lucas dengan nada yang dingin. Masih segar dalam ingatannya tentang malam itu, Nana dipulangkan oleh Darren tanpa perasaan, tanpa memberikan kesempatan, tidak peduli Nana bersimpuh di kaki Darren agar di beri kesempatan untuk menjelaskan. Darren seolah tertutup mata dan hatinya hanya karena merasa ditipu soal keperawanan. Sebagai seorang ayah melihat bagaimana putrinya dicampakkan sebegitu jahatnya, tentu saja hal itu melukai harga dirinya dengan membiarkan Darren menginjakkan kaki di rumahnya.“Lucas, tenangkan dirimu.” ujar Winona mencegat Lucas yang ingin menghampiri Darren dan Nana. “Biarkan mereka bicara berdua dulu, sekarang kita kembali ke dalam. Ada yang akan aku bicarakan dengan
Liana menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk dari luar. Bertanya-tanya sendiri, siapa yang mengetuk di luar sana kali ini. Mungkinkah putrinya lagi?Pintu itu kembali di ketuk, kini disertai suara pelayan yang berkata membawakan makanan untuknya. Liana melirik pada benda yang di sebut sebagai mesin waktu, jam makan siang sudah lewat cukup lama. Dia memang masih enggan keluar kamar. Melewatkan makan malam, sarapan pagi, dan sekarang Liana pun melewatkan makan siangnya.Meski tetap membukakan pintu untuk pelayan yang datang membawa makanan, tidak ada satu pun makanan yang di sentuhnya. Sampai membuat sang pelayan kebingungan dibuatnya.“Nyonya, anda tidak sarapan?” tanya pelayan perempuan yang umurnya lumayan muda. Dia melihat menu sarapan yang di antarnya pagi tadi masih tetap utuh di atas nampan.“Aku tidak lapar, Alma.” jawab Liana seraya memandang pelayan yang bernama Alma dengan senyum tipis.“Tapi, Nyonya ... anda harus makan.” ujar Alma dengan kepala tertunduk di depan sang
“Mau apa dia ke sini?”Terkejut. Tentu saja, tetapi Nana sebisa mungkin membuat raut wajahnya terlihat tenang dan terkendali. Pandangannya sempat menunduk beberapa saat , namun buru-buru dia mendongak kembali ketika Winona menyentuh tangannya.“Dia bilang ingin bicara denganmu.” jawab Winona kemudian, wanita itu menggeser duduknya agar lebih merapat pada sang putri. “Kau baik-baik saja, Sayang? Kalau tidak mau menemuinya, ibu akan menyuruhnya pergi.”Kepala Nana menggeleng pelan seraya menggigit bibir bagian dalamnya. “Apa ayah tahu Darren kemari?” tanyanya setengah berbisik.“Belum,” Winona menggeleng dengan kedua alis yang tertaut, “Sengaja ibu tidak bilang, ayahmu pasti akan marah kalau tahu dia kemari.”“Lalu, kenapa ibu ... tidak marah?” tanyanya lagi, sudut mata Nana sesekali melirik ke arah pintu ruang baca, khawatir tiba-tiba Darren keluar seolah menyadari keberadaannya.“Ibu marah, Nana. Tentu saja, marah. Bahkan ibu sempat mengusirnya, tetapi dia memohon agar diijinkan berte
Saga memutuskan kembali ke kantornya, namun saat sampai di sana dia menemukan kerumunan di depan lobi kantor. Puluhan orang wartawan serta Cameraman-nya tampak berkumpul menantikan kedatangan dirinya untuk diliput.“Papa, kenapa banyak wartawan di bawah sini?” Saga memilih menghubungi sang papa dan mengamati para wartawan itu dari dalam mobil.“Tidak apa-apa temui saja, mereka memang menunggumu untuk buka suara soal postingan klarifikasi serta bantahan yang dibuat William. Katakan saja yang sebenarnya.” balas Hanum dengan santai, membuat Saga menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.“Baiklah.” setelah itu Saga memutuskan sambungan telepon dan bergegas keluar dari mobil yang langsung diambil alih oleh petugas.Saga berjalan gagah di tengah-tengah barikade yang dibuat oleh sekuriti serta para petugas keamanan di kantornya. Mereka menggiring Saga hingga memasuki lobi dan membiarkan tuannya diwawancarai di sana, seraya terus menjaganya.“Tenang semuanya, bertanyalah satu-satu
“Tuan, saya sudah menemukan keberadaan Maria. Dia ada di pusat perbelanjaan, mungkin sedang berbelanja.” lapor William pada Saga melalu telepon, lelaki berwajah oval itu terus memantau Maria dari balik kaca mobil.“Terus pantau dan ikuti, kalau wanita itu menuju ke apartemennya pastikan kau yang lebih dulu tiba di sana. Aku akan menunggumu di dalamnya.” balas Saga, menatap lurus pada jalanan dan berusaha mengemudi dengan perhatian penuh. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Maria dan membuat wanita itu menyesal sudah berani bermain-main dengan dirinya.Kini, Saga tengah berdiri tegak dengan raut wajah yang dingin, melayangkan tatapan setajam belati pada wajah Maria yang berubah pias. Wanita itu sesekali melirik William yang mulai bangkit dari sofa dan berjalan di belakangnya. Seolah memastikan William tidak berbuat sesuatu yang mengancam nyawanya seperti dulu.“Takut, eh?” tanya pria itu dengan seringai mengejek, Saga sendiri merasa puas dengan reaksi dari wanita yang tengah hamil mud
“Sayang, kau belum menunjukkan rekaman itu pada orang tuamu?” Saga melakukan panggilan telepon dengan istrinya setelah kepergian ayah mertuanya, dia berada di ruang kerjanya sendiri saat ini dan berdiri menghadap dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota yang dihiasi gedung pencakar langit.“Emm, belum ... kenapa?” balas Sahara tersenyum salah tingkah di seberang telepon. Jari telunjuknya menggaruk ujung alis dengan canggung.Terdengar helaan napas berat dari mulut Saga, dia mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan. “Tadi, papi kemari.” desisnya.“Oh, ya? Mau apa?” tanyanya terkejut dan sedikit cemas. “Apa papi menghajarmu?”“Tidak, papi menghargai permintaanmu agar tidak menyentuhku.” jawabnya disertai gelengan, kemudian tersenyum mengingat permintaan itu adalah bukti cinta istrinya pada dirinya. “Terima kasih sudah mencintaiku begitu besar, saking besarnya sampai mampu menutupi kemarahan seorang Brata yang konon dikenal memiliki watak keras dan tegas.” godanya terkekeh.Sa
Hanum menyambut dengan ramah dan mempersilahkan Brata duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Dia tidak hanya berdua, Saga pun ada di antara mereka. Putranya itu mengulurkan tangan hendak bersalaman dengan mertuanya, tetapi Brata mengabaikannya dengan dingin. Membuat Saga menghela napas pelan, dan memakluminya sama sekali tidak merasa tersinggung.Brata datang ke kantor Hanum bukan untuk beramah tamah, dia ingin membuat perhitungan pada menantu dan besannya. Yang sedari awal sudah membohongi dirinya.“Aku merasa terhormat kau mau bertandang kemari.” ujar Hanum tersenyum pada Brata yang sudah mendudukan dirinya tepat berseberangan dengannya. “Aku benar-benar meminta maaf atas apa yang sudah dilakukan putraku.”Dia menoleh, memandang Saga yang berusaha mempertahankan senyumnya ketika Brata juga ikut menatapnya. Lalu, Hanum menepuk pundak putranya dengan tegas dan kembali menatap pada besannya yang menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa dengan sorot mata yang tajam.“Kalau kedatanganmu