Sagara dengan perasaan kesal dan terpaska, dia harus menuruti perintah dari Papanya. Menjemput Sahara.Di sinilah dia berdiri, tepat di depan pekarangan rumah bocah ingusan itu.Sudah sejak sepuluh menit yang lalu Sagara menunggu, namun sang empunya rumah belum menunjukkan batang hidungnya. Pria itu menyandarkan bokongnya di kap mobil, menunggu gadis yang berkencan dengannya itu keluar.Ketika Sahara melangkahkan kakinya keluar, gadis muda yang mengenakan seragam sekolah lengkap itu dibuat terkejut mendapati pria dewasa yang sudah tidak asing di matanya. Dia tidak tahu ini, apalagi yang direncanakan oleh orangtuanya?Lelaki itu tersenyum sinis melihat raut kaget tercetak jelas di wajah gadis yang dia anggap masih bocah itu. Otak Sagara yang cerdas mencetus sebuah ide yang brilian menurutnya. Jika dia tidak bisa membatalkan perjodohan ini, maka lelaki tampan itu akan membuat Sahara tidak akan tahan dengan sikap ketus dan dinginnya bila berada didekatnya. Dengan begitu bocah itu pasti
“Turun!”Sahara tersentak mendengar intonasi suara itu, sejak tadi matanya memang menatap jalanan, namun otaknya berada di tempat lain membuat gadis itu tidak sadar bahwa mobil sudah berhenti tepat didepan gerbang sekolahnya.Dengan penuh kekesalan Sahara membuka pintu mobil dan beranjak turun. Namun dia merasa sesuatu yang janggal, kakinya tidak kunjung menyentuh tanah dan gadis itu merasa tubuhnya tidak bisa bangkit dari jok mobil ini. Sekuat tenaga Sahara membawa tubuhnya untuk keluar dari mobil ini. Lagi-lagi gagal. Dia mendecak frustasi.Sagara yang melihat hal itu lantas mendengus dan menggelengkan kepalanya dengan geli.“Lepas dulu sabuknya, lalu turun!”Suara dingin itu kembali menginterupsi, membuat Sahara melirik dadanya. Sabuk pengaman itu masih melekat kuat ditubuhnya, dia menepuk keningnya dengan malu. Sahara mengumpat dalam hati, mendadak dia merasa menjadi manusia paling bodoh di bumi. Mengapa dia tidak sadar akan benda itu, pikirnya.“Te-ri-ma-ka-sih” ucap Sahara menek
Sepanjang perjalanan menuju butik Sahara lebih banyak diam, hanya sesekali saja dia menjawab pertanyaan dari Viona. Obrolan di dominasi oleh dua wanita paruh baya itu. Entah apa yang mereka bicarakan, Sahara tidak tertarik untuk sekedar menyimaknya. Otak gadis itu sibuk mensimulasikan rencana untuk menggagalkan pernikahan ini.Dia bahkan sempat ingin melakukan aksi mogok makan seperti biasa atau kabur dari rumah. Atau dia mengancam akan terjun dari atap rumahnya yang megah itu. Apapun itu dia ingin mencobanya nanti.“Ah, sudah sampai. Ayo Ra, turun!”Suara antusias sang Mami membunyarkan rencana yang mulai tersusun di kepalanya. Sahara mendengus sebal saat melihat wajah Liana yang begitu berbinar, seolah wanita itu yang hendak menikah. Setelah turun dari mobil, Sahara menarik tangan sang Mami untuk menepi sejenak.“Mami serius dengan pernikahan, ini?” Sahara berbisik pelan, menatap lurus wanita yang telah melahirkannya.Sedangkan Viona tidak menyadari Ibu dan anak yang tengah menepi d
Gadis itu memutar tubuhnya, mematut diri di pantulan cermin. Senyum manis merekah dibibir ranumnya. Sahara tidak pernah menyangka bahwa dia akan terlihat sangat anggun dengan kebaya yang melekat indah di tubuhnya. Dia tidak menduga akan secantik itu.Dulu, gadis cantik itu selalu bermimpi akan menikah dengan lelaki tampan dan gagah bak pangeran berkuda putih dalam negeri dongeng. Lelaki yang romantis.Namun itu hanya bunga dalam tidurnya, hanya mimpi. Mimpi seorang gadis remaja yang begitu mendambakan sosok lelaki yang akan menjadi pelindungnya kelak. Lelaki yang mencintainya. Sahara ingin lelaki seperti itu.Tetapi kini, kenyataan menamparnya untuk bangun dari mimpi indah itu. Realita yang mengharuskan dirinya menikah dengan lelaki yang begitu jauh perbedaannya usia keduanya. Alih-alih romantis justru lelaki yang begitu dingin, tidak ada cinta diantara keduanya.Dan Sahara akan menikah dengan lelaki seperti itu demi menjaga kehormatannya.“Sungguh ironis...” desis gadis itu meringis,
Melepas anak gadis untuk menikah tidaklah mudah, terlebih gadis itu putri satu-satunya yang dimiliki. Brata tidak merasa lega melihat putrinya menikah, meski pernikahan ini adalah kehendaknya sendiri. Pondasi pernikahan putrinya terlalu rapuh, untuk itu dia mewanti-wanti dan mengingatkan pria yang menjadi suami dari putrinya.“Sahara putriku satu-satunya” ucap pria tua itu memulai. “Aku menjaganya sepenuh hati, sejak dia hanyalah seorang bayi merah.” lanjutnya. Brata bahkan masih bisa merasakan kuap putrinya sewaktu masih bayi, tahu-tahu kini sudah menikah. Waktu terasa begitu cepat baginya.“Sekarang aku membagi tugas itu padamu.” Brata mencengkeram pelan bahu tegap Sagara. “Jagalah dia, lindungi putriku. Aku mempercayakan tanggung jawab besar ini untukmu. Jangan kecewakan aku.”Sahara berkaca-kaca mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut sang Papi, dadanya menghangat. Dia sangat menyayangi pria tua itu, sungguh. Di sampingnya Sagara hanya mengangguk patuh, dia mendenga
“Darimana kau mendapatkan benda, ini?” tanya Sagara menunjukkan benda yang berada di telapak tangannya.“Tentu saja dari situ!” jawab Sahara tersungut-sungut. Jari telunjuknya mengarah pada laci nakas yang masih setengah terbuka.Sagara mengumpat dalam hati, ini pasti perbuatan sang Papa, dia tahu itu. Sekarang bagaimana cara menjelaskan ini pada istrinya?Pria itu melirik Sahara yang wajahnya memerah, pasti gadis itu sedang berpikiran hal buruk tentang dirinya.“Hei, bocah. Ini bukan punyaku!” katanya menjelaskan. “Ini pasti ulah Papa. Papa yang—..”“Lalu aku percaya?” Sahara memotong ucapan itu. “Om mengkambing hitamkan Papa, untuk hal kecil itu. Kenapa tidak mengaku saja kalau kau memang mesum!”Rahang pria itu mengeras, dia berdacak pinggang. Sagara sungguh kesal mendengar Sahara yang terus memanggilnya dengan sebutan 'Om'.“Sudah kubilang itu bukan milikku!” ucapnya dengan lantang.“Kalau bukan milikmu, lalu milik siapa?” Sahara melipat kedua tangannya diatas perut, kebaya pengan
Sahara menatap kesal pada lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya. Padahal dia yang bersumpah akan membuat lelaki itu kesal dengan tingkahnya, justru dia yang dibuat terkesal-kesal. Bayangan dada bidang dan perut kotak-kotak masih berseliweran di otaknya, Bagaimana bisa Sagara masih bersikap santai setelah menodai mata sucinya, pikir gadis itu.“Apa-apaan?”Kedua alis Sahara terangkat sempurna saat pria itu menjejalkan sebuah bantal dan selembar selimut di tangannya.“Sana! Tidur di sofa!” titah Sagara seraya menunjuk sofa panjang yang tersedia di kamarnya.Perangainya kembali dingin, pria itu merutuki kebodohannya barusan. Dia tidak sadar telah melakukan hal konyol itu. Mungkin Sagara terbawa suasana. Apapun itu dia menyesal melakukannya.“Atau kalau kau tidak keberatan, tidur dilantai pun boleh.” lanjutnya lagi, melambai acuh pada Sahara yang sudah menganga lebar. Gadis itu tidak percaya mendengarnya.“Enak saja!” sembur Sahara. “Aku ini seorang istri, sesuka hati kau me
[Ra, kau tidak masuk sekolah lagi?]Pesan itu di kirim oleh Yuri. Sahara menikah di hari selasa kemarin, tidak ada satupun temannya yang di undang. Mereka hanya tahu dia cuti sekolah karena urusan keluarga. Sahara ingin merahasiakan pernikahannya rapat-rapat setidaknya sampai dia wisuda nanti.[Besok, Yur. Aku masuk!] Gadis itu membalas pesannya.Sebenarnya waktu cutinya habis itu lusa, bukan besok. Kalau boleh jujur Sahara lebih senang berada di sekolah saat ini. Dia bisa bertemu dengan teman-temannya, mengobrol dan memburu setiap makanan di kantin.Baru sehari gadis itu tinggal didekat Sagara, sudah hampir membuat kepalanya pecah. Belum lagi dia harus berjuang keras untuk mengenyahkan bayangan tubuh setengah telanjang suaminya itu.Sahara menggelengkan kepalanya berkali-kali, dia harus tetap waras. Gadis itu memilih untuk kembali menuju kamar seraya berbalas pesan dengan kawannya.Sedangkan Sagara, pria itu sejak tadi kesana dan kemari mencari keberadaan istrinya langsung merasa jen
“Baiklah, karena kalian sudah datang kemari, kita langsung saja.” Liana berkata seraya memandang wajah orang-orang yang duduk bersamanya bergantian, lalu berhenti tepat di wajah Saga. Dia menatap lekat wajah menantunya itu. “Saga, bagaimana masalahmu dengan wanita itu?”Saat itu, Saga sedang menatap istrinya yang terus menunduk, lantas terkesiap ketika Liana bertanya dengan tatapan tajam. Bukan hanya Liana, Saga merasakan semua mata sedang menatap padanya. Hal itu sedikit membuatnya gugup.Setelah menghela napas panjang, Saga balas menatap wanita yang menjadi mertuanya dengan tegas namun tetap berusaha sesopan mungkin.“Masalah kami sudah selesai, Mam. Aku sudah menepis gosip-gosip bohong yang dibuat oleh wanita itu. Dan, Maria sudah kubuat menyesal sekaligus menjadi bulanan masyarakat.” terang Saga dengan senyum puas. Dia kembali melirik Sahara yang tersenyum manis padanya, lalu dibalas dengan kedipan sebelah mata dan seketika membuat gadis itu tersipu merona.“Oh, kenapa dengannya?”
“Selamat sore nona Maria.” sapa Dokter seraya tersenyum dan menghampiri pasiennya.Maria tak membalas sapaan sang Dokter, kedua matanya masih tertuju pada dua orang polisi yang berdiri tegak tak jauh dari pintu setelah di tutupnya. Maria bertanya-tanya sendiri, untuk apa polisi itu berada di ruangannya? Mungkinkah karena skandal yang di sebarkan William? Atau Saga masih dendam padanya lalu melaporkan dirinya mengenai kasus penculikan istrinya? Tapi, itukan sudah lama!“Nona?” panggil Dokter itu lagi seraya menyentuh lengan Maria.“Eh, iya Dok?” sahut wanita itu akhirnya. Dia menatap sang Dokter dengan raut wajah yang pias bercampur cemas.“Kita cek kondisi nona terlebih dahulu, ya.” kata Dokter yang Maria ketahui bernama Sheina. Dr. Sheina memeriksa detak jantung Maria sejenak, lalu dilanjutkan dengan alat vital lainnya. “Dokter, apa yang terjadi padaku?” Maria bertanya setengah berbisik, berusaha mengabaikan dua polisi yang berdiri di sana. Dia sendiri sangat penasaran dengan kondi
“Darren datang untuk meminta maaf pada Nana, Lucas. Biarkan saja mereka menyelesaikan masalahnya berdua dulu.” ucap Winona menatap sang suami yang pandangannya masih tertuju pada Darren dan Nana di tepi kolam.“Masalah apa? Bukankah semuanya sudah selesai ketika lelaki itu mencampakkan anakku?” balas Lucas dengan nada yang dingin. Masih segar dalam ingatannya tentang malam itu, Nana dipulangkan oleh Darren tanpa perasaan, tanpa memberikan kesempatan, tidak peduli Nana bersimpuh di kaki Darren agar di beri kesempatan untuk menjelaskan. Darren seolah tertutup mata dan hatinya hanya karena merasa ditipu soal keperawanan. Sebagai seorang ayah melihat bagaimana putrinya dicampakkan sebegitu jahatnya, tentu saja hal itu melukai harga dirinya dengan membiarkan Darren menginjakkan kaki di rumahnya.“Lucas, tenangkan dirimu.” ujar Winona mencegat Lucas yang ingin menghampiri Darren dan Nana. “Biarkan mereka bicara berdua dulu, sekarang kita kembali ke dalam. Ada yang akan aku bicarakan dengan
Liana menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk dari luar. Bertanya-tanya sendiri, siapa yang mengetuk di luar sana kali ini. Mungkinkah putrinya lagi?Pintu itu kembali di ketuk, kini disertai suara pelayan yang berkata membawakan makanan untuknya. Liana melirik pada benda yang di sebut sebagai mesin waktu, jam makan siang sudah lewat cukup lama. Dia memang masih enggan keluar kamar. Melewatkan makan malam, sarapan pagi, dan sekarang Liana pun melewatkan makan siangnya.Meski tetap membukakan pintu untuk pelayan yang datang membawa makanan, tidak ada satu pun makanan yang di sentuhnya. Sampai membuat sang pelayan kebingungan dibuatnya.“Nyonya, anda tidak sarapan?” tanya pelayan perempuan yang umurnya lumayan muda. Dia melihat menu sarapan yang di antarnya pagi tadi masih tetap utuh di atas nampan.“Aku tidak lapar, Alma.” jawab Liana seraya memandang pelayan yang bernama Alma dengan senyum tipis.“Tapi, Nyonya ... anda harus makan.” ujar Alma dengan kepala tertunduk di depan sang
“Mau apa dia ke sini?”Terkejut. Tentu saja, tetapi Nana sebisa mungkin membuat raut wajahnya terlihat tenang dan terkendali. Pandangannya sempat menunduk beberapa saat , namun buru-buru dia mendongak kembali ketika Winona menyentuh tangannya.“Dia bilang ingin bicara denganmu.” jawab Winona kemudian, wanita itu menggeser duduknya agar lebih merapat pada sang putri. “Kau baik-baik saja, Sayang? Kalau tidak mau menemuinya, ibu akan menyuruhnya pergi.”Kepala Nana menggeleng pelan seraya menggigit bibir bagian dalamnya. “Apa ayah tahu Darren kemari?” tanyanya setengah berbisik.“Belum,” Winona menggeleng dengan kedua alis yang tertaut, “Sengaja ibu tidak bilang, ayahmu pasti akan marah kalau tahu dia kemari.”“Lalu, kenapa ibu ... tidak marah?” tanyanya lagi, sudut mata Nana sesekali melirik ke arah pintu ruang baca, khawatir tiba-tiba Darren keluar seolah menyadari keberadaannya.“Ibu marah, Nana. Tentu saja, marah. Bahkan ibu sempat mengusirnya, tetapi dia memohon agar diijinkan berte
Saga memutuskan kembali ke kantornya, namun saat sampai di sana dia menemukan kerumunan di depan lobi kantor. Puluhan orang wartawan serta Cameraman-nya tampak berkumpul menantikan kedatangan dirinya untuk diliput.“Papa, kenapa banyak wartawan di bawah sini?” Saga memilih menghubungi sang papa dan mengamati para wartawan itu dari dalam mobil.“Tidak apa-apa temui saja, mereka memang menunggumu untuk buka suara soal postingan klarifikasi serta bantahan yang dibuat William. Katakan saja yang sebenarnya.” balas Hanum dengan santai, membuat Saga menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.“Baiklah.” setelah itu Saga memutuskan sambungan telepon dan bergegas keluar dari mobil yang langsung diambil alih oleh petugas.Saga berjalan gagah di tengah-tengah barikade yang dibuat oleh sekuriti serta para petugas keamanan di kantornya. Mereka menggiring Saga hingga memasuki lobi dan membiarkan tuannya diwawancarai di sana, seraya terus menjaganya.“Tenang semuanya, bertanyalah satu-satu
“Tuan, saya sudah menemukan keberadaan Maria. Dia ada di pusat perbelanjaan, mungkin sedang berbelanja.” lapor William pada Saga melalu telepon, lelaki berwajah oval itu terus memantau Maria dari balik kaca mobil.“Terus pantau dan ikuti, kalau wanita itu menuju ke apartemennya pastikan kau yang lebih dulu tiba di sana. Aku akan menunggumu di dalamnya.” balas Saga, menatap lurus pada jalanan dan berusaha mengemudi dengan perhatian penuh. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Maria dan membuat wanita itu menyesal sudah berani bermain-main dengan dirinya.Kini, Saga tengah berdiri tegak dengan raut wajah yang dingin, melayangkan tatapan setajam belati pada wajah Maria yang berubah pias. Wanita itu sesekali melirik William yang mulai bangkit dari sofa dan berjalan di belakangnya. Seolah memastikan William tidak berbuat sesuatu yang mengancam nyawanya seperti dulu.“Takut, eh?” tanya pria itu dengan seringai mengejek, Saga sendiri merasa puas dengan reaksi dari wanita yang tengah hamil mud
“Sayang, kau belum menunjukkan rekaman itu pada orang tuamu?” Saga melakukan panggilan telepon dengan istrinya setelah kepergian ayah mertuanya, dia berada di ruang kerjanya sendiri saat ini dan berdiri menghadap dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota yang dihiasi gedung pencakar langit.“Emm, belum ... kenapa?” balas Sahara tersenyum salah tingkah di seberang telepon. Jari telunjuknya menggaruk ujung alis dengan canggung.Terdengar helaan napas berat dari mulut Saga, dia mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan. “Tadi, papi kemari.” desisnya.“Oh, ya? Mau apa?” tanyanya terkejut dan sedikit cemas. “Apa papi menghajarmu?”“Tidak, papi menghargai permintaanmu agar tidak menyentuhku.” jawabnya disertai gelengan, kemudian tersenyum mengingat permintaan itu adalah bukti cinta istrinya pada dirinya. “Terima kasih sudah mencintaiku begitu besar, saking besarnya sampai mampu menutupi kemarahan seorang Brata yang konon dikenal memiliki watak keras dan tegas.” godanya terkekeh.Sa
Hanum menyambut dengan ramah dan mempersilahkan Brata duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Dia tidak hanya berdua, Saga pun ada di antara mereka. Putranya itu mengulurkan tangan hendak bersalaman dengan mertuanya, tetapi Brata mengabaikannya dengan dingin. Membuat Saga menghela napas pelan, dan memakluminya sama sekali tidak merasa tersinggung.Brata datang ke kantor Hanum bukan untuk beramah tamah, dia ingin membuat perhitungan pada menantu dan besannya. Yang sedari awal sudah membohongi dirinya.“Aku merasa terhormat kau mau bertandang kemari.” ujar Hanum tersenyum pada Brata yang sudah mendudukan dirinya tepat berseberangan dengannya. “Aku benar-benar meminta maaf atas apa yang sudah dilakukan putraku.”Dia menoleh, memandang Saga yang berusaha mempertahankan senyumnya ketika Brata juga ikut menatapnya. Lalu, Hanum menepuk pundak putranya dengan tegas dan kembali menatap pada besannya yang menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa dengan sorot mata yang tajam.“Kalau kedatanganmu