Akhirnya KumenemukanmuTak ada yang bisa kulakukan selain berdoa memohon jalan pada Allah. Meminta kemudahan dan pertolonganNya disetiap sujudku. Hanya ini yang bisa kilakukan setelah aku berusaha berjuang dengan kedua tangan yang kumiliki.Bukankah tugas manusia hanya bersabar dan sholat sambil menunggu pertolongan dari Allah setelah kita berusaha?Selain itu usaha yang dapat kutempauh jika pertolongan Allah tak kunjung datang aku harus berhutang diwarung Mbak Ani untuk modal usaha. Hutang bahan utama untuk membuat pesanan kue. Tapi aku masih ingin menunggu pertolongan Allah datang padaku. Aku tak mau gegabah memilih jalan keluar yang kiranya akan membebani diriku sendiri nantinya.Puas berdzikir dan berdoa aku melipat kembali mukena pemberian Mas Yudha saat kami baru menikah dulu. Bakda Magrib ini seharusnya aku menghadiri acara pengajian di rumah Ibu. Tetapi karena musibah tadi, sungguh, ini diluar dugaanku. Biar kukirim doa untuk Ibu dari rumahku sendiri saja.Setelah itu, aku dud
Akhirnya Kumenemukanmu 18.2"Harus, Bu. Ada anak yang butuh dibesarkan dengan hasil tangan saya sendiri," jawbaku legowo.Legowo melepas segala hal yang diharapkan untuk hidup bahagia hanya bersama gadis kecilku. Ah takdir, terkadang menyesakkan."Besok nambah sepuluh biji lagi ya, Mbak? Ini uangnya yang kemarin," ujar Ibu penjual sambil menyerahkan beberapa lembar uang puluhan."Alhamdulillah, makasih ya, Bu?" ujarku dengan mata berbinar. Aku mendekap uang itu di dada. Ada rasa haru dan bangga ketika aku bisa menghasilkan uang sendiri setelah sekian tahun hanya mengandalkan pemberian dari suami. Kini dengan tanganku sendiri aku bisa menghasilkan rupiah tanpa bekerja ikut orang lain. Ada kebanggaan tersendiri yang terselip dalam dada."Eh ngapain di sini? Nitip dagangan disini? Ngga dikasih sama pacarmu yang kemarin?" Suara Bulik Fida tiba-tiba saja mengagetkanku. Ia datang dengan motornya sambil membawa beberapa kantong plastik. Entah apa isinya.Seketika aku memasukkan uang dalam s
Akhirnya Kumenemukanmu 19.1Cinta, terkadang membuat kita menjadi lemah. Dia bisa menghancurkan semangat hidup yang seharusnya berkobar dengan indah. Adakalanya dia juga membuat kita kehilangan kesadaran sebagai makhluk ciptaan Tuhan.. Namun tak jarang cinta datang membawa kehidupan. Kehidupan yang indah meskipun dia tak dapat diraih. Dia akan selalu menjadi warna dalam hidup meskipun hanya menjadi perasa. Bisa dirasa tapi tak tergapai.Pengorbanan untuk membuat cinta tetap menjadi suci harus dibayar dengan senyum indah dari bibirnya. Tak akan kubiarkan senyum itu hilang dari pandangan mata agar siapapun bisa merasakan betapa indahnya cinta itu.Namun aku tak terima jika cinta yang kukorbankan dinodai oleh penghianatan. Ada rasa sakit melihat dia berjalan dengan mesranya bersama dia yang menjadi duri. Semudah itukah?Lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Menangisinya dalam setiap sujudku. Bibirku pun tak bosan menyebut dia dalam setiap doaku. Terlebih ketika aku melihat cinta yang kukor
Akhirnya Kumenemukanmu Rasa syok atas musibah dan syok akan kebahagiaan saat bertemu dengannya membuat sendi-sendi dalam tubuhku mendadak menjadi lemas tak berfungsi. Debaran dalam dadaku tak mau berhenti seiring dengan wajahnya yang tepat berada di depanku. Aku menikmati pemandangan ini. Hidungku menikmati saat-saat aroma tubuhnya yang menguar seiring dengan gerak angin yang menerpa wajahku. Wangi ini. Pandangannya menyapu sekeliling, kemudian pandangan mata itu terhenti disebuah balai yang satu pintunya terbuka. Tanpa permisi tangan kekar itu mengangkat tubuhku menuju tempat yang menjadi pandangan terakhirnya. Tiba-tiba saja tubuhku berada di atas angin dalam gendongannya. Bolehkah sejenak saja kunikmati saat-saat seperti ini? "Pegangan ya?" pintanya. Mas Risky berjalan dengan cepatnya menembus gerimis dengan dua kaki yang menjadi penopang tubuhnya. Pasangan hidup, sejak aku memutuskan untuk pergi dari hidupnya, aku tak lagi memikirkan soal pasangan hidup. Bahkan sentuhannya
Akhirnya Kumenemukanmu Rumah yang biasanya damai kini penuh dengan kehadiran orang-orang yang tak kuharapkan kedatangannya. Aku bak pesakitan yang sedang menghadapi persidangan atas kasus keji yang sama sekali tak pernah kulakukan.Semua pandangan mata tertuju padaku yang tengah memeluk Caca dengan tangisnya. Bagaimana hati seorang ibu tak sakit melihat tubuh sang anak gemetar karena takut dan isak tangis yang terdengar memilukan.Hatiku bak diiris dengan belati tajam melihat keadaan Caca. Seandainya saja aku tak hidup sendiri, mungkin Caca tak akan ada di ruangan ini bersamaku. Seandainya saja ibu masih ada, ia yang akan pasang badan membela menantunya."Sebenarnya ada apa, Mbak Sania?" tanya Pak RT memulai pembicaraan. Tangannya terangkat ke atas memebri tanda untuk orang-orang yang ada di sekitar ruang tamu ini untuk memberi waktu sejenak aku berbicara.Kupandangi beberapa orang yang ada di dalam ruang tamu ini. Mata Mbak Intan mentapaku tajam beserta ibunya. Tatapan sinis dan sin
Akhirnya Kumenemukanmu"Jika itu kamu yang meminta, maka maafkan aku, aku tidak bisa," jawabku tegas. Aku menatap wajah lelaki yang selalu hadir dalam mimpiku sejak aku tahu perselingkuhan yang dilakukan Adinda dengan mata kepalaku sendiri."Mengapa? Harusnya kamu senang bisa kembali dekat denganku," ujarnya tak terima. Ia merubah posisi duduknya menjadi berhadapan denganku. Mata itu membingkai wajahku dengan tatapan dalam.Suasana yang syahdu membuat getar-getar rasa seakan menuntut haknya. Hawa dingin yang menusuk kulit menjadikan harapan untuk tangan kekar itu memberikan sedikit saja sentuhan hangatnya. Tetapi suara-suara yang berisik dalam hati membuat kepalaku tersadar akan situasi yang ada di depanku saat ini."Kamu pikir aku akan dengan santainya bisa menutupi rasaku padamu di depan orang-orang? Rasa canggung atau binar kasih itu pasti akan terbit dari mataku saat kita berada dalam satu atap. Dan jika ini kamu yang meminta, bukan tak mungkin mereka mengira ada sesuatu antara ak
Akhirnya Kumenemukanmu 21.1Segerombolan orang dengan pakaian mahal yang melekat dalam tubuhnya sudah berada di depan daun pintu yang kubuka separuh. Mataku terperanjat melihat beberapa orang yang tiba-tiba saja hadir di depan rumahku. Terlebih seorang perempuan yang tengah menggendong bayi dengan pakaian feminim yang menjadi identitas kesehariannya.Suara bayi mengoceh membuatku tiba-tiba merasa rindu akan Kiaa. Tak sabar rasanya untuk segera membuka pintu lebar-lebar dan menikmati wajah bayi mungil yang berada dalam dekapan ibunya. Terlebih wajah bapaknya Kiaa. Ehh.Beruntung aku sudah memakai hijab lengkap sehingga tak perlu berlari untuk mengambil kerudung sebelum bertemu mereka."Siang Ibu Sania," ucap suara perempuan itu yang dibuat layaknya anak kecil. Bayi dalam gendongannya itu menolehkan kepalanya padaku dan seketika wajah itu tersenyum ceria bak tengah mengajakku bercanda.Mataku berbinar melihat bayi kecil yang sudah kutinggalkan beberapa minggu lalu. Kini bayi itu sudah s
Akhirnya Kumenemukanmu Kepalaku masih sibuk mencerna permintaan Bu Maria. Tumpukan kue yang menjadi orderan palsu juga masih teronggok sia-sia. Dapur masih berantakan belum kubereskan. Sepertinya jika aku berangkat sekarang sangat tidak memungkinkan."Kalau hari ini saya belum bisa, Nyonya. Masih ada yang harus saya kerjakan di rumah sebelum saya tinggal pergi dalam waktu yang lama," jawabku apa adanya."Biar saya jemput besok, saya juga ada janji ketemu dengan mitra usaha di kota ini. Bisa sekalian mampir nanti," sahut Mas Risky yang sejak tadi hanya diam menyimak.Kulihat sesekali ia mencuri pandang ke arah kakiku yang masih tertempel plester di atasnya. Sudah tidak bengkak tetapi bekas lukanya belum sepenuhnya hilang. Satu kakiku yang tidak terluka kuarahkan untuk menutupi kaki yang lainnya. Aku malu jika mendapati Mas Risky tengah melihat luka ini."Boleh juga." Bu Maria menyahuti. Mata Bu Maria menikmati pemandangan di sekitar ruang tamu milikku. Pandangan matanya terhenti tepat
Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia
Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se
Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b
"Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be
Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.
Melihat wajah Mas Risky yang cemberut, aku malah tertawa. Lucu saja melihat wajah tampannya dibuat jelek dengan bibir yang maju beberapa senti. Namun saat aku tergelak, tanpa aba-aba Mas Risky berdiri dan mengangkat tubuhku hingga aku memekik kaget."Mas," pekikku. Dengan cepat tanganku mengalung ke lehernya. Mataku membulat sempurna menatap wajahnya yang tepat berada di depanku. Tapi tak urung, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya."Salah sendiri. Dibilang Mas lagi rindu malah cekikikan," kesalnya. Tapi tak urung wajah itu akhirnya tersenyum juga.Mas Risky meletakkan bobot tubuhku ke atas ranjang sederhana yang menjadi tempat bersatunya kami setelah akad beberapa waktu lalu. Ranjang yang menjadi saksi bahwa lelaki yang kerap kusebut dalam doaku benar-benar menyentuhku dengan segenap cinta dan kasih yang dia miliki."Habis Mas lucu sih." Aku masih saja tak bisa menahan bibirku untuk tidak tertawa."Kok lucu?" sela Mas Risky. Ia mengunci tubuhku di bawah tubuh gagahnya. Kedua tangann
Akhirnya Ku Menemukanmu 57"Mama sakit, Sayang." Mas Risky berujar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatapku dalam tak berkedip."Kita ke sana?" tawarku pelan."Tidak."Aku terkejut. Mataku membulat menatap wajah suamiku yang duduk di sebelahku. Begitu tegasnya ia menolak."Mas, Ibumu sedang sakit, bagaimana mungkin Mas tidak mau datang ke sana?" tanyaku tak percaya."Tidak akan datang sebelum Mama mau menerimamu sebagai menantunya." Mas Risky berujar tanpa menatapku.Aku tertegun mendengar ucapan Mas Risky. Sebegitu kerasnya ia berusaha untuk memaksa Bu Maria untuk menerima kehadiranku."Mas sudah lelah menuruti apa kemauan Mama. Sudahlah, biarkan ini jadi pelajaran buat dia. Biar Mama juga sadar kalau anaknya juga punya kemauan, ngga harus selalu menuruti kemauan Mama saja."Mas Risky kembali meraih sendok yang sebelum menerima telepon ia letakkan. Ia mulai melahap masakanku yang menurutku setelah mendengar kabar ini semua makanan di depanku ini jadi hambar. Padahal sebelumnya aku
"Kamu ngga apa-apa, Dek?" tanya Mas Risky setelah ia terbangun. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari pandangan matanya yang tak lepas menatapku. Telapak tangannya berulang kali memegang dahiku.Hatiku berbunga mendapati perhatian dari lelaki yang telah lama berpisah denganku."Aku ngga apa-apa, Mas. Jangan khawatir." Aku menenangkan. Kuubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang."Jangan puasa ya?" pintanya sedikit memaksa."Enggak, Mas. Aku puasa aja. Sayang lebaran kurang beberapa hari lagi. Aku juga sudah bolong banyak." Aku mengelak. "Kamu lagi sakit, Dek.""Enggak. Langsung sembuh pas ketemu Mas di sini," elakku. "Nih lihat sudah sembuh," sambungku sambil kupegang dahiku sendiri.Mas Risky terdiam menatapku sambil mengerjap. Perlahan seulas senyuman terkembang dari bibirnya yang kemerahan. Dimataku ketampanannya meningkat drastis karena lama tak berjumpa. Lebay ya? Biar saja. Aku cinta.Tangan Mas Risky yang kokoh itu meraih jemariku dengan lembut, lalu ia