Akhirnya Kumenemukanmu 21.1Segerombolan orang dengan pakaian mahal yang melekat dalam tubuhnya sudah berada di depan daun pintu yang kubuka separuh. Mataku terperanjat melihat beberapa orang yang tiba-tiba saja hadir di depan rumahku. Terlebih seorang perempuan yang tengah menggendong bayi dengan pakaian feminim yang menjadi identitas kesehariannya.Suara bayi mengoceh membuatku tiba-tiba merasa rindu akan Kiaa. Tak sabar rasanya untuk segera membuka pintu lebar-lebar dan menikmati wajah bayi mungil yang berada dalam dekapan ibunya. Terlebih wajah bapaknya Kiaa. Ehh.Beruntung aku sudah memakai hijab lengkap sehingga tak perlu berlari untuk mengambil kerudung sebelum bertemu mereka."Siang Ibu Sania," ucap suara perempuan itu yang dibuat layaknya anak kecil. Bayi dalam gendongannya itu menolehkan kepalanya padaku dan seketika wajah itu tersenyum ceria bak tengah mengajakku bercanda.Mataku berbinar melihat bayi kecil yang sudah kutinggalkan beberapa minggu lalu. Kini bayi itu sudah s
Akhirnya Kumenemukanmu Kepalaku masih sibuk mencerna permintaan Bu Maria. Tumpukan kue yang menjadi orderan palsu juga masih teronggok sia-sia. Dapur masih berantakan belum kubereskan. Sepertinya jika aku berangkat sekarang sangat tidak memungkinkan."Kalau hari ini saya belum bisa, Nyonya. Masih ada yang harus saya kerjakan di rumah sebelum saya tinggal pergi dalam waktu yang lama," jawabku apa adanya."Biar saya jemput besok, saya juga ada janji ketemu dengan mitra usaha di kota ini. Bisa sekalian mampir nanti," sahut Mas Risky yang sejak tadi hanya diam menyimak.Kulihat sesekali ia mencuri pandang ke arah kakiku yang masih tertempel plester di atasnya. Sudah tidak bengkak tetapi bekas lukanya belum sepenuhnya hilang. Satu kakiku yang tidak terluka kuarahkan untuk menutupi kaki yang lainnya. Aku malu jika mendapati Mas Risky tengah melihat luka ini."Boleh juga." Bu Maria menyahuti. Mata Bu Maria menikmati pemandangan di sekitar ruang tamu milikku. Pandangan matanya terhenti tepat
Akhirnya Kumenemukanmu Persiapan untuk pindah ke rumah kerja yang baru tak membutuhkan waktu yang lama karena aku hanya membawa satu tas besar berisi pakaianku dan Caca.Kubersihkan segala kotoran yang ada di tiap sudut rumah sebelum kutinggalkan dalam waktu yang lama. Kukemas setiap kenangan tentang Mas Yudha yang ada dalam rumah ini untuk kusimpan rapat dalam hatiku. Kenangan yang terkadang membuatku menyesali perbuatanku yang kurang bersyukur atas kehadirannya.Perlahan air mataku berlinang. Hidupku tak tentu arah. Kakiku hanya mengikuti kemana takdir membawaku. Akan sangat berbeda jika dia masih ada di dunia ini sekalipun aku harus mengubur keinginan untuk bersanding dengan orang yang selalu kusebut dalam doaku."Mama kenapa menangis?" tanya Caca saat aku sedang berdiri di depan meja kompor, bersandar pada dinding. Gerakan tanganku terhenti saat ingatanku disusupi serpihan kenangan akan kisah kami berdua di dapur ini.Dia yang tak banyak perhatian dengan kata tetapi lebih dengan
Akhirnya Kumenemukanmu"Sudah siap?" tanya Mas Risky setelah berdiri dari kursi tempatnya duduk.Aku mengangguk cepat. Kemudian lelaki di depanku itu meraih tas besar yang kubawa untuk dimasukkan ke dalam mobil."Tunggu sebentar ya, Mas. Aku mau nitip kunci sama Bude sebentar," ujarku menghentikan langkahnya. Ia melepas pegangan tangan di hendel pintu untuk memberikan waktu sejenak padaku menyelesaikan urusanku."Iya, saya tunggu. Caca disini saja sama Om, ya?" pinta Mas Risky. Aku tak lagi mendengar pembicaraan mereka karena kakiku mulai melangkah ke rumah Bude Nikmah."Eehhh cantik bener, mau kemana?" ucap suara yang sangat kukenali dan seketika menghentikan langkahku yang hendak masuk ke halaman rumah Bude Nikmah. Ia datang bersama Mbak Intan dan ibunya. Ah rupanya mereka berada dalam satu lingkup pertemanan yang sama.Aku membuang napas kasar sebelum meladeni ucapan perempuan yang tadinya masih kuhormati itu. Urung masuk ke rumah Bude, kuputuskan untuk meladeni ucapan mereka seje
Akhirnya KumenemukanmuPov Ar Risky GunawanMalam ini sudah lewat beberapa hari dari malam pengantinku dan Adinda. Aku paham sebagai perempuan pasti dia menginginkan malam sakral yang menjadi dambaan setiap pasangan pengantin baru yang penuh cinta. Aku pun sama, tapi itu sebelum bersamanya.Namun sejak kehadiran dia yang tiba-tiba mengalihkan duniaku, perlahan rasaku pada Adinda yang terkikis malah membuatku tak sampai hati menyentuhnya.Aku memang menikah tanpa cinta, tapi aku tak sampai hati menodai pernikahan ini karena hubungan yang tak ada cinta di dalamnya. Aku tak sampai hati menyentuhnya hanya karena naf su belaka.Aku salah. Seharusnya aku bisa tegas mengambil sikap padanya sebelum pernikahan ini terjadi. Tetapi aku terlalu lemah dalam bertindak. Aku pengecut."Capek, Mas?" tanya Adinda saat aku baru saja pulang dari resto. Ada beberapa masalah yang membuatku harus turun tangan sendiri membantu Pak Tio. Orang kepercayaan Mama itu mengaku tak sanggup mengatasinya.Aku sedang d
Akhirnya KumenemukanmuSebuah pertikaian terjadi di depan mataku membuatku asal berucap dan menyakiti hati Sania. Aku tak tega melihat air matanya mengalir dengan rasa nelangsa yang terbaca dari raut wajahnya yang sendu.Dalam hati aku ingin sekali memeluknya, menjadi sandaran hatinya saat kesedihan menyapanya. Tetapi sayang, statusku sebagai suami orang membuatku menjaga jarak. Juga karena ada Caca diantara kami saat ini yang membuatku tak bebas melakukan apapun pada Sania. Meskipun aku hanya memegang wajahnya. Hanya genggaman tangan yang bisa kulakukan di belakang tubuh Caca yang sedang memeluk ibunya."Dimana makam almarhum suamimu?" tanyaku memecah lamunannya. Tanganku sudah terlepas dari tangannya karena gerak tubuh Caca yang membuat Sania harus membenarkan posisi duduknya."Mau ngapain?" tanyanya. Wajah itu menatapku penuh selidik. Keningnya berkerut menuntut jawab."Mau ngapain ke makam emangnya?" sengitku. "Ya kali Mas Risky mau ngapain gitu," selanya."Kita mau ke makam ayah
Akhirnya KumenemukanmuHari-hari mulai kujalani sebagai baby sister di rumah Mas Risky dengan hati tak menentu. Satu sisi aku menahan gejolak dalam jiwaku yang selalu meletup-letup saat melihat sikap Adinda pada Mas Risky yang menurutku manis sekali. Disisi yang lain mereka bebas melakukan apapun karena telah sah menjadi sepasang suami istri.Namun wajah datar Mas Risky akan perlakuan Adinda membuat segumpal daging dalam dadaku bersorak gembira karena ia tak memberikan respon pada sikap Adinda. Mas Risky cenderung abai pada wanita yang telah sah dinikahinya itu.Terdengar jahat sekali memang, tapi aku pun tak bisa mengingkari isi hati. Aku juga tak mau disebut munafik, tapi aku pun enggan merebut. Selama aku masih kuat menahan gejolak dalam dada dan Adinda tak bersikap buruk, aku akan bertahan seperti ini. Biar tangan Tuhan yang memisahkan mereka, aku cukup memintanya disepertiga malamku."Aku bisa ambil sendiri. Kamu makan aja," ujar Mas Risky saat Adinda hendak mengambil piring di h
Akhirnya KumenemukanmuBadan yang berjongkok untuk menyapa Kiaa itu lantas berdiri saat melihat seseorang dengan motor matic berhenti tepat di depan pintu gerbang. Seseorang itu menekan klakson yang membuat senyum merekah terbit dari bibirnya yang kemerahan."Aku berangkat ya, Mbak?" sapa Adinda setelah mencium gemas pipi Kiaa."Hati-hati, Mbak," ucapku."Sip." Adinda menjawab dengan jempolnya."Hai, Ca, Tante berangkat dulu, ya?" sapanya pada Caca.Caca menjawab dengan lambaian tangan dan senyum terkembang dari bibirnya. "Selamat bekerja, Tante," teriak Caca.Kulihat seseorang itu memasangkan helm pada kepala Adinda dengan sorot mata penuh cinta. Bibir itu merekah saat Adinda berhasil menekan pengait helm sebelum badan langsingnya naik ke atas motor yang dikendarai seseorang itu. Lambaian tangan Adinda mengakhiri pemandangan di depanku.Adinda, dia menjadi sosok yang penuh teka teki. Ada apa dengan dirinya dan Mas Risky sebenarnya. Bagaimana hubungan keduanya? Apa karena aku hadir di
Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia
Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se
Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b
"Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be
Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.
Melihat wajah Mas Risky yang cemberut, aku malah tertawa. Lucu saja melihat wajah tampannya dibuat jelek dengan bibir yang maju beberapa senti. Namun saat aku tergelak, tanpa aba-aba Mas Risky berdiri dan mengangkat tubuhku hingga aku memekik kaget."Mas," pekikku. Dengan cepat tanganku mengalung ke lehernya. Mataku membulat sempurna menatap wajahnya yang tepat berada di depanku. Tapi tak urung, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya."Salah sendiri. Dibilang Mas lagi rindu malah cekikikan," kesalnya. Tapi tak urung wajah itu akhirnya tersenyum juga.Mas Risky meletakkan bobot tubuhku ke atas ranjang sederhana yang menjadi tempat bersatunya kami setelah akad beberapa waktu lalu. Ranjang yang menjadi saksi bahwa lelaki yang kerap kusebut dalam doaku benar-benar menyentuhku dengan segenap cinta dan kasih yang dia miliki."Habis Mas lucu sih." Aku masih saja tak bisa menahan bibirku untuk tidak tertawa."Kok lucu?" sela Mas Risky. Ia mengunci tubuhku di bawah tubuh gagahnya. Kedua tangann
Akhirnya Ku Menemukanmu 57"Mama sakit, Sayang." Mas Risky berujar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatapku dalam tak berkedip."Kita ke sana?" tawarku pelan."Tidak."Aku terkejut. Mataku membulat menatap wajah suamiku yang duduk di sebelahku. Begitu tegasnya ia menolak."Mas, Ibumu sedang sakit, bagaimana mungkin Mas tidak mau datang ke sana?" tanyaku tak percaya."Tidak akan datang sebelum Mama mau menerimamu sebagai menantunya." Mas Risky berujar tanpa menatapku.Aku tertegun mendengar ucapan Mas Risky. Sebegitu kerasnya ia berusaha untuk memaksa Bu Maria untuk menerima kehadiranku."Mas sudah lelah menuruti apa kemauan Mama. Sudahlah, biarkan ini jadi pelajaran buat dia. Biar Mama juga sadar kalau anaknya juga punya kemauan, ngga harus selalu menuruti kemauan Mama saja."Mas Risky kembali meraih sendok yang sebelum menerima telepon ia letakkan. Ia mulai melahap masakanku yang menurutku setelah mendengar kabar ini semua makanan di depanku ini jadi hambar. Padahal sebelumnya aku
"Kamu ngga apa-apa, Dek?" tanya Mas Risky setelah ia terbangun. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari pandangan matanya yang tak lepas menatapku. Telapak tangannya berulang kali memegang dahiku.Hatiku berbunga mendapati perhatian dari lelaki yang telah lama berpisah denganku."Aku ngga apa-apa, Mas. Jangan khawatir." Aku menenangkan. Kuubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang."Jangan puasa ya?" pintanya sedikit memaksa."Enggak, Mas. Aku puasa aja. Sayang lebaran kurang beberapa hari lagi. Aku juga sudah bolong banyak." Aku mengelak. "Kamu lagi sakit, Dek.""Enggak. Langsung sembuh pas ketemu Mas di sini," elakku. "Nih lihat sudah sembuh," sambungku sambil kupegang dahiku sendiri.Mas Risky terdiam menatapku sambil mengerjap. Perlahan seulas senyuman terkembang dari bibirnya yang kemerahan. Dimataku ketampanannya meningkat drastis karena lama tak berjumpa. Lebay ya? Biar saja. Aku cinta.Tangan Mas Risky yang kokoh itu meraih jemariku dengan lembut, lalu ia