Akhirnya Kumenemukanmu"Sudah diperiksa, Bu?" tanyaku mencoba tenang. Dalam situasi seperti ini, aku tak boleh ikut panik agar tidak gegabah dalam mengambil sikap."Sudah. Tapi masih tinggi demamnya. Ibu ngga tau lagi harus gimana. Kayaknya dia rindu kamu. Beberapa hari ini dia murung terus," jawab Ibu panik.Mendengar suara Ibu yang panik membuatku turut merasa cemas. Maklum saja, ini pertama kali kami hidup berjauhan dan diusia Caca yang masih terlalu kecil harus kehilangan ayah dan hidup berjauhan dengan Ibu secara bersamaan."Ibu jangan panik, ya? Obat penurun panasnya jangan lupa diminumkan. Sania usahain untuk pulang hari ini juga. Ibu tenang, ya?" "Iya. Tapi beneran ya, Nduk, jangan sampai ngga pulang. Ibu ngga tega melihat Caca sakit kayak gini," jawab Ibu memohon kepastian. "Sania janji, Bu. Sania usahain untuk pulang hari ini juga," jawabku meyakinkan sambil melirik jam yang bertengger di dinding.Setelah menutup panggilan dari Ibu aku terduduk lemas di bibir ranjang. Bibi
Akhirnya KumenemukanmuHatiku nelangsa saat beberapa orang yang membantu mengejar ojek itu kembali dengan tangan hampa. Deru kenalpot bus yang keluar masuk pintu terminal tak membuat rasa nelangsaku memudar. Lidahku kelu untuk sekedar meminta pertolongan kepada sesama manusia di sekitar terminal ini. Semuanya sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.Pikiranku buntu untuk sekedar berpikir langkah kedepannya yang harus aku ambil. Yang ada dapam pikiranku hanya kondisi Caca.Di dalam tas itu ada dompet juga ponsel yang merupakan barang yang penting. Jika dua barang itu hilang, bagaimana caraku untuk pulang? Bagaimana caraku untuk mengabari Ibu bahwa aku akan terlambat pulang atas musibah ini? Seandainya saja ada Mas Risky di rumah, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi.Mungkin dia akan memastikanku masuk ke dalam bus sebelum benar-benar pergi meninggalkan terminal ini. Ah lagi-lagi aku berhayal terlalu tinggi. Jika di rumah saja dia abai, bagaimana mungkin mau mengantar apalagi menu
Akhirnya Kumenemukanmu"Bu!" panggilnya lagi dengan nada suara sedikit lebih tinggi tanpa menoleh ke arahku.Aku yang sejak tadi masih tak percaya akhirnya bersuara juga."Iya, Pak. Ditunggu sebentar," jawabku pelan. Aku pun berdiri. Mendadak jantungku berdebar cepat melihat dia ada di sini. Haruskah aku meminta pertolongannya untuk bisa sampai di rumah? Pikiranku berjejalan tanda tanya dan kebimbangan sambil tanganku meracik es teh manis untuknya."Ini Pak, silahkan," ujarku dengan suara sepelan mungkin dan sedikit gemetar. Aku mengulurkan segelas teh manis melalui celah meja dekat etalase."Makasih, Bu," jawabnya. Kepala yang sejak tadi menekuri layar ponsel berujar sambil menoleh ke arahku."Sania? Ngapain kamu di sini? Katanya pulang kampung? Anakmu?" kagetnya. Mata itu menatapku tak percaya. Sementara aku menatap wajah itu dengan tatapan memelas."Saya kecopetan, Mas. Tas berisi uang dan ponsel hilang dibawa tukang ojek. Saya tak tahu garus bagaimana. Lalu pemilik warung ini men
Akhirnya Kumenemukanmu 13.1Desir halus mulai terasa di seluruh aliran darah dalam tubuhku. Rasa yang melumpuhkan logikaku sebagai status perempuan baik-baik. Dinding yang sudah kubangun pun perlahan runtuh karena larutnya rasa dalam hati yang mulai menyatu dengan hangatnya telapak tangan yang tengah menggenggam lembut tanganku.Aku terlena. Aku cinta tapi terhalang status antara kami. Aku ingin tapi aku tak berhak. Aku mau tapi tak dapat. Aku membuang napas kasar. Dinginnya AC mobil tak bisa membantu mendinginkan badanku yang sedang hangat oleh sikapnya. Rasa saling mencinta antara kami tak bisa menembus status yang menghalangi. Beginilah jika takdir belum memberi kesempatan kami untuk bersatu. Rupanya Allah masih memintaku untuk terus bersabar hingga satu hari itu akan tiba. Entahlah, apa boleh aku berharap begini? Mendadak hatiku menjadi layu manakala ponselnya berdering karena sebuah panggilan yang bertuliskan nama Adinda di layar ponselnya. Ah lagi-lagi aku lupa jika lelaki di
Akhirnya Kumenemukanmu 13.2"Seperti yang Mas lihat. Aku baik-baik saja. Tetapi menjadi tidak baik saat Mas mengakuiku sebagai istri di depan bapak dan ibu pemilik warung tadi," jawabku dengan suara sengau.Mas Risky terkekeh pelan. "Seandainya kamu datang sebelum aku memberi jawaban pada Adinda, aku akan benar-benar menjadikanmu istri. Tak peduli jika Mama tak setuju, aku siap diusir dari rumah," jawabnya yakin."Tapi aku tidak akan mau," sengitku. Aku memaku pandanganku ke arahnya."Kamu sungguh tidak ingin hidup bersamaku? Bukannya saat kita masih menjalin kasih dulu kamu punya harapan seperti itu?""Iya. Tapi tidak untuk kawin lari. Bagiku menikah tanpa restu itu seperti rumah tanpa tiang. Agama tanpa ibadah. Dan saat ini, seharusnya aku tak bisa hidup tanpa kamu. Tetapi bagaimana pun keadaannya hidup terus berjalan. Aku harus tetap maju sekalipun tak ada kaki untuk melangkah."Mas Risky menghentikan mobilnya sejenak. Ia memandangku dengan tatapan penuh tanya."Tapi aku ingin hidu
Akhirnya Kumenemukanmu Adakalanya sesuatu itu harus direlakan karena keadaan yang tak memungkinkan. Adakalanya juga mereka dengan teguh memperjuangkan apa yang diinginkannya dengan sekuat tenaga. Pun sama denganku yang harus merelakan rasa ini untuknya tetap tersimpan dalam dada. Jangan bilang aku munafik, karena aku hanya berusaha menjaga diri dari sesuatu hal yang bisa berujung dengan penyesalan. Ada banyak hati yang harus kujaga sebelum aku melangkah. Ada masa depan yang sedang kupertaruhkan saat aku hendak melangkah. Aku bukan lagi wanita yang bebas memilih jalan hidup sesuka hati. Kini aku adalah seorang ibu dengan satu putri yang berstatus janda. Tanpa aku memilih hal yang buruk pun, cap buruk identik dengan status janda yang kusandang. Tidak semua memang. Tetapi status janda cukup rawan menjadi bahan perbincangan atau menjadi salah satu yang disebut namanya ketika ada sesuatu hal yang terjadi dengan rumah tangga orang lain. Apalagi aku masih tinggal di kampung yang ketika ap
Akhirnya KumenemukanmuAku yang masih sibuk memotong sayur segera menoleh, kemudian tersenyum malu."Ngga kenapa-kenapa, Bu.""Sudah jangan mikir yang enggak-enggak. Lanjutin masak dulu biar Caca sarapan," titah Ibu.Aku mengangguk dan kemudian melanjutkan pekerjaan ini. Ibu pun sama. Kami berdua membagi tugas rumah tangga agar cepat selesai. Melihat semua masakan yang ada di atas meja makan, seketika hatiku tergerak untuk segera mencari pekerjaan. Ibu dengan mesin jahitnya hanya cukup untuk membiayai hidupnya sendiri. Sedangkan aku? Tak mungkin aku bergantung padanya."Bu, Sania izin keluar hari ini," ucapku membuka obrolan. Ibu yang tengah memegang jarum dan benang segera menoleh ke arahku. Kaca mata baca itu ia turunkan untuk bisa melihat diriku dengan mata telan jangnya."Kemana? Caca baru aja sembuh, masak sudah ditinggal?" Perhatiannya terpusat padaku sejenak. Mendapati Ibu seperti itu aku semakin sungkan untuk melanjutkan ucapanku. Serba riweh kalau hanya ada aku dan ibu mert
Akhirnya KumenemukanmuWanita yang kuhormati dengan sepenuh jiwa dan raga ini tengah terbaring lelap di atas pembaringan di kamarnya. Aku yang sedang membersihkan kamar tidurnya menyempatkan diri menikmati wajah renta tetapi masih semangat bekerja untuk menyambung hidup. Wajah lelah wanita yang penuh dengan perjuangan membesarkan Mas Yudha dengan tangannya sendiri tetapi Allah berkehendak lain. Usia manusia siapa yang tahu? Anak yang ia besarkan dengan harapan saat tua nanti menjadi pangayom hidupnya, nyatanya malah Allah ambil lebih dulu sebelum keinginannya terwujud.Tegakah aku untuk meninggalkannya seorang diri?Sayangnya aku masih punya hati untuk membalas kebaikan Mas Yudha dengan kasih yang kumiliki. "San," panggilnya saat aku sedang menyapu kotoran keluar rumah. Bergegas aku kembali ke kamarnya."Iya, Ibu? Ada apa?" tanyaku sambil memperhatikan tubuhnya yang tetap terpejam saat aku datang."Kepala Ibu pusing sekali. Sakit kayak ditusuk-tusuk. Sejak semalam juga ngga bisa tid
Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia
Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se
Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b
"Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be
Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.
Melihat wajah Mas Risky yang cemberut, aku malah tertawa. Lucu saja melihat wajah tampannya dibuat jelek dengan bibir yang maju beberapa senti. Namun saat aku tergelak, tanpa aba-aba Mas Risky berdiri dan mengangkat tubuhku hingga aku memekik kaget."Mas," pekikku. Dengan cepat tanganku mengalung ke lehernya. Mataku membulat sempurna menatap wajahnya yang tepat berada di depanku. Tapi tak urung, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya."Salah sendiri. Dibilang Mas lagi rindu malah cekikikan," kesalnya. Tapi tak urung wajah itu akhirnya tersenyum juga.Mas Risky meletakkan bobot tubuhku ke atas ranjang sederhana yang menjadi tempat bersatunya kami setelah akad beberapa waktu lalu. Ranjang yang menjadi saksi bahwa lelaki yang kerap kusebut dalam doaku benar-benar menyentuhku dengan segenap cinta dan kasih yang dia miliki."Habis Mas lucu sih." Aku masih saja tak bisa menahan bibirku untuk tidak tertawa."Kok lucu?" sela Mas Risky. Ia mengunci tubuhku di bawah tubuh gagahnya. Kedua tangann
Akhirnya Ku Menemukanmu 57"Mama sakit, Sayang." Mas Risky berujar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatapku dalam tak berkedip."Kita ke sana?" tawarku pelan."Tidak."Aku terkejut. Mataku membulat menatap wajah suamiku yang duduk di sebelahku. Begitu tegasnya ia menolak."Mas, Ibumu sedang sakit, bagaimana mungkin Mas tidak mau datang ke sana?" tanyaku tak percaya."Tidak akan datang sebelum Mama mau menerimamu sebagai menantunya." Mas Risky berujar tanpa menatapku.Aku tertegun mendengar ucapan Mas Risky. Sebegitu kerasnya ia berusaha untuk memaksa Bu Maria untuk menerima kehadiranku."Mas sudah lelah menuruti apa kemauan Mama. Sudahlah, biarkan ini jadi pelajaran buat dia. Biar Mama juga sadar kalau anaknya juga punya kemauan, ngga harus selalu menuruti kemauan Mama saja."Mas Risky kembali meraih sendok yang sebelum menerima telepon ia letakkan. Ia mulai melahap masakanku yang menurutku setelah mendengar kabar ini semua makanan di depanku ini jadi hambar. Padahal sebelumnya aku
"Kamu ngga apa-apa, Dek?" tanya Mas Risky setelah ia terbangun. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari pandangan matanya yang tak lepas menatapku. Telapak tangannya berulang kali memegang dahiku.Hatiku berbunga mendapati perhatian dari lelaki yang telah lama berpisah denganku."Aku ngga apa-apa, Mas. Jangan khawatir." Aku menenangkan. Kuubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang."Jangan puasa ya?" pintanya sedikit memaksa."Enggak, Mas. Aku puasa aja. Sayang lebaran kurang beberapa hari lagi. Aku juga sudah bolong banyak." Aku mengelak. "Kamu lagi sakit, Dek.""Enggak. Langsung sembuh pas ketemu Mas di sini," elakku. "Nih lihat sudah sembuh," sambungku sambil kupegang dahiku sendiri.Mas Risky terdiam menatapku sambil mengerjap. Perlahan seulas senyuman terkembang dari bibirnya yang kemerahan. Dimataku ketampanannya meningkat drastis karena lama tak berjumpa. Lebay ya? Biar saja. Aku cinta.Tangan Mas Risky yang kokoh itu meraih jemariku dengan lembut, lalu ia