Hari sudah menunjukkan pukul 5 sore, Rea merasa sekujur tubuhnya begitu sangat sakit hingga membuatnya malas bergerak untuk memasak. Tidak disangka Jeno pulang lebih awal, padahal selama 2 Tahun pernikahannya pria itu jarang atau tidak pernah pulang tepat waktu apalagi pulang lebih awal.
Ada apa? Apa yang terjadi?Pintu mobil terbuka, dan tubuh tegap Jeno keluar lantas berjalan menuju pintu. Pria itu mengetuk pintu menunggu seseorang membukanya, tapi setelah menunggu beberapa menit pintu tidak juga dibuka.Jeno menatap pintu dengan alis berkerut, di kantor sudah dibuat kesal dan di rumah pun sama. Tidak biasanya Rea begitu lama membukakan pintu, seharusnya jam segini Rea berada di dapur memasak makan malam dan seharusnya tidak butuh waktu lama untuk membuka pintu.Merasa kesal Jeno mengetuk pintu rumah berulang kali, hingga membuat buku tangannya sakit. "Ke mana wanita itu pergi? Apa dia keluar rumah tanpa izin dariku?" Karena pemikiran buruk Jeno segera merogoh ponsel dari saku jasnya dan mendial kontak Rea.Rea yang lemah pun mendengar suara dering ponselnya yang ada di atas nakas, perlahan tangannya terulur untuk mengambil benda pipih itu dan melihat siapa yang menghubunginya. Seharusnya ia tahu siapa yang menelefonnya, kalau bukan Jeno siapa lagi? karena yang tahu nomor ponselnya hanyalah Jeno, dan yang tersimpan di ponsel Rea juga hanya milik pria itu tidak ada kontak lain."Kamu di mana? Cepat buka pintu!" Suara dingin langsung masuk ke gendang telinga Rea, saat bibir pucatnya terbuka Jeno sudah menutup telefon tanpa menunggu jawaban darinya.Jeno tak peduli sedang di mana Rea saat ini, yang terpenting wanita itu cepat datang dan membukakan pintu.Rea masih merasa sakit, tapi sudah lebih baik dari sebelumnya. Wanita itu turun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar, menuruni tangga dengan kaki telanjang membuat tubuhnya yang sakit jadi sedikit menggigil.Jalannya jadi lambat membuat orang yang berada di depan merasa tidak sabaran. "I-iyaa sebentar!" serunya saat dekat dengan pintu. "Iya, sebentar aku bukakan," katanya seraya membuka kunci dan menarik handle pintu.Wajah datar Jeno langsung terlihat di hadapannya. "Je-jeno, kamu sudah pulang?" tanyanya gugup dan takut.Jeno menatap penampilan Rea yang sedikit berantakan, wajah pucat, pakaian masih sama seperti tadi pagi. Apa dia juga belum mandi? Jorok sekali!"Kenapa membuka pintu saja lama?" ketus Jeno, pria itu lagi-lagi menerobos masuk dan pergi tanpa menunggu jawaban pertanyaannya tadi.Rea menutup pintu perlahan dan kembali berjalan mengikuti langkah lebar Jeno, tubuhnya sangat sakit hingga ia tidak bisa mengimbangi langkah suaminya. Pria itu mengerutkan kening saat ia hampir masuk kamar, tapi Rea masih tertinggal di belakang.Pria itu menautkan alisnya heran karena Rea tak seperti biasanya. Iya, dia tahu kalau Rea hanya punya satu ginjal, karena satu ginjal lainnya ada pada tubuh ibunya, tapi hal seperti itu tidak akan membuat orang seperti Rea yang arogan menjadi sakit, kan? Wanita itu selama ini tidak pernah menunjukkan kalau dirinya sakit."Kenapa kamu berantakan sekali?" tanya Jeno saat mereka sudah berada di dalam kamar."Aku ... "Belum juga Rea selesai bicara Jeno menyela. "Segera mandi dan siapkan makan malam untukku!" titah Jeno dengan nada dingin."Jeno, tapi aku tidak masak hari ini, dan tubuhku sedang sa--""Kamu ini jorok dan malas sekali, jam berapa ini? Kamu belum mandi dan memasak! Lalu seharian ini apa yang kamu lakukan?" Dengan kasar Jeno menarik tangan Rea ke dalam kamar mandi, Rea yang sedang tidak enak badan merasa menggigil dan sedikit limbung, tapi Jeno tidak menyadarinya.Entah mengapa pria itu jadi kesal, dan melampiaskannya pada Rea. Rea disuruh berdiri di bawah shower, Jeno memutar tuas keran dan air dingin pun mengguyur tubuh Rea. Rea gemetar, wajahnya menunduk, rambut panjang nan hitamnya menutupi wajahnya yang pucat, dress wanita itu seketika basah membuat ukiran indah yang tercetak.Rea tentu saja wanita yang sempurna, dia terlahir dari keluarga berada dan sangat cukup bahkan lebih dari cukup. Wajahnya cantik, kulitnya putih, mulus tanpa cacat meski kini lebih kurus dan terlihat layu dari dua tahun lalu. Sayang, wanita secantik dan sesempurna dia harus terdampar di dalam dunia Jeno yang kejam."Apa kamu mau mandi tetap memakai baju?" Suara dingin Jeno terdengar, tapi tidak dengan hawa panas di dalam darahnya.Rea tergugu, wanita itu mengangkat wajahnya dan menatap Jeno dengan mata yang memerah. Pria itu sudah membuka kemeja putihnya dan melepaskan pakaian dari tubuhnya yang kekar.Tidak mau membuat Jeno semakin kesal, kedua tangan Rea pun segera bergerak perlahan membuka resleting yang ada di bagian punggungnya. Karena sakit membuat gerakan tangannya lambat dan sedikit gemetar, Jeno yang tak sabaran membalik tubuh Rea hingga menghadap dinding.Pria itu membuka reseleting dress milik istrinya sedikit kasar dan seketika dress itu jatuh begitu saja di lantai. Di bawah guyuran air shower yang dingin, Rea merasakan hawa panas yang berasal dari napas Jeno yang memburu bahunya.Kulit dan tubuh yang indah tentu saja tidak bisa membuat seorang pria normal bisa menahan diri, apalagi mereka sudah sah menjadi suami istri, Jeno tentu bebas melakukan apa saja pada istrinya.Saat bibir pria itu menyapu pundak Rea, wanita itu berpaling untuk bertanya mengapa Jeno pulang lebih awal tak seperti biasanya. Namun, tubuhnya yang lemah tak dapat bertahan lama berada di bawah guyuran air dingin. Tubuh bagian depan Rea menempel pada dinding dan Jeno segera membaliknya, menatap wajah cantik meski tanpa make up, bibir wanita itu tampak bergetar karena kedinginan.Jeno tak tahan jika tidak segera menciumnya dengan ganas, dan penuh gairah. Rea tidak paham kenapa Jeno tiba-tiba seperti ini, apakah mereka akan melakukan hubungan intim sekarang? Tapi, Jeno tidak memakai alat pengaman seperti biasanya, bukankah Jeno tidak mau membuat Rea hamil?"Je-jeno, ka-kamu belum memakai pengaman. Ah!" Rea mengerang sakit saat Jeno menekan kedua bahunya ke dinding."Kenapa, apa kamu tidak mau hamil anakku?"Rea menggeleng cepat, tentu saja dia sangat mau. Tapi ... dengan hubungan dia dan Jeno yang seperti ini, apakah baik jika punya anak? Apakah Jeno akan berubah jika dia hamil? Atau Jeno akan tetap membencinya dan anaknya kelak ikut tersiksa melihat kebencian ayahnya terhadap dirinyaTidak, Rea tidak siap melihat anaknya terluka karena hubungan ayah dan ibunya yang demikian!Jeno melakukan apa yang dia mau, mengeluarkan benihnya di dalam tubuh Rea. Rea menangis di dalam dekapan Jeno sore ini, entah apa yang ada dalam hati wanita itu.***Rea masih duduk di kursi rias dengan handuk kimono yang membalut tubuhnya, rambut panjangnya dililit handuk kecil warna putih, wajahnya menunduk lesu, sementara Jeno sudah memakai celana pendek dan kaus polos warna biru.Rea ingin meminum pil KB yang ada di dalam laci meja riasnya, pil yang Jeno berikan saat mereka pertama kali melakukan hubungan intim dan saat itu Jeno lupa memakai pengaman.Jeno langsung menyuruh Arya untuk membelikan pil KB saat itu dan memberikannya pada Rea untuk diminum. Pria itu tidak mau punya anak dari wanita yang dia anggap tidak layak, tapi mengapa sekarang pria itu begitu santai dan membuat Rea yang merasa takut. Apakah ini rencana baru Jeno untuk menghukum dirinya?Rea belum siap mengandung, hidupnya sudah menderita dan tidak mau menambah penderitaan dengan mengandung anak dengan hubungannya yang seperti ini. Rea ingin minum obat, tapi Jeno tidak juga keluar dari kamar."A-aku tidak memasak hari ini, aku kira kamu seperti biasa tidak akan makan di rumah, dan selalu makan di luar bersama Aruna." Rea berbicara dengan nada rendah, dan sedikit bergetar.Jeno tidak menjawab, pria itu masih fokus menyisir rambut di belakang Rea. "A-ada apa? Apakah kamu ada masalah dengan kekasihmu?"Kata-kata Rea menggelitik hati Jeno, dia lantas tersenyum miring dan melemparkan sisir ke atas meja rias membuat Rea jadi sedikit kaget.Kedua tangan Jeno menekan bahu Rea, mencondongkan tubuh dan mendekatkan bibirnya ke dekat telinga Rea. "Kenapa? Apa kamu cemburu?"Rea bingung harus menjawab apa, jawab cemburu atau tidak cemburu? Ia takut apa pun jawabannya akan membuat Jeno marah. "Apakah kamu peduli dengan jawabanku?" Jeno menjauhkan diri dari Rea, berdiri di belakang wanita itu dan menatap penampilannya dari pantulan cermin. "Tidak," jawabnya tak acuh.Rea menghela napas dan tidak lagi memikirkan jawabannya. "Kalau begitu aku tidak mau menjawabnya," katanya pelan."Besok Aruna akan tinggal di rumah ini, aku harap kamu bisa menerimanya dengan baik dan jangan buat masalah." Jeno naik ke atas ranjang dan membaringkan tubuhnya dengan santai.Tidak pernah tahu kalimatnya tadi membuat tubuh Rea seketika membeku, tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya jika setiap hari melihat kemesraan suami dan selingkuhannya. "Apa aku boleh keberatan?" tanya Rea dengan nada dingin, suara yang dingin sedingin hatinya saat ini.Jeno menaikkan satu sudut bibirnya. "Bahkan kamu tidak berhak menolak apa pun keputusanku. Aruna akan tinggal di sini dan kamu harus men
Jam sudah pukul 10 malam, Jeno bangun dari berbaringnya dan membuat Aruna kaget saat melihat Jeno akan beranjak pergi. Aruna baru saja dari dapur, membuatkan teh hangat yang sudah ia campur dengan obat perangsang. "Sayang, kamu mau pergi ke mana?" tanya wanita itu melangkah mendekat dengan cangkir teh di tangannya."Aku akan pulang, aku sudah mengurung Rea di kamar mandi selama 4 jam."Aruna terdiam mendengar jawaban Jeno, saat wanita itu hanya diam saja Jeno pun kembali berkata. "Aku pulang, jaga dirimu baik-baik," katanya seraya mengelus pipi kekasihnya, lalu ia kembali melangkah pergi."Sayang, tunggu!" Aruna kembali mengejar Jeno yang sudah meraih gagang pintu, wanita itu segera berdiri di hadapannya. "Mm, aku sudah membuatkan teh ini untukmu, kamu minumlah dulu, Sayang," bujuknya, Aruna sudah merencanakan hal ini agar Jeno tak punya pilihan lain selain segera menikahinya, tak mungkin membiarkan rencananya harus gagal.Jeno tersenyum, lantas mengelus rambut Aruna lembut. "Aku ter
Hari sepertinya sudah pagi, Rea yang hanya tidur beberapa saat saja kini membuka matanya perlahan. Ditatapnya wajah yang berada di atas kepalanya, dia masih terlelap, sangat tampan dan terlihat lembut. Namun, hati Rea terasa pahit saat mengingat pada kenyataannya Jeno tak dapat berlaku lembut padanya.Rea berusaha menoleh untuk melihat jam di atas nakas. Sudah pukul 4 pagi, Rea ingin mandi, tubuhnya lengket semua, tapi Jeno masih erat memeluknya. Andai hubungan mereka tak sekacau ini, Rea pasti akan dengan senang hati menggoda pria ini dan bercinta di pagi hari.Tangannya berusaha melepaskan tangan kekar Jeno dari pinggangnya, tapi dengan cepat tangan Jeno kembali mempererat pelukannya kembali sampai membuat Rea merasa sesak napas.Terpaksa Rea mendorong dada Jeno dengan tenaganya yang lemah, tapi Jeno malah menyeringai. "Ada apa?" Suara berat khas bangun tidur keluar dari mulut Jeno, bibir tipisnya yang seksi bergerak indah.Rea untuk sesaat tertegun, mata dan hatinya memang masih di
Merasa kesal pria itu pun akhirnya beranjak pergi, dan langsung keluar dari kamar dan menutup pintu dengan keras hingga terdengar dentamannya ke dalam kamar mandi. Jeno menghindari Rea karena ia takut menyakiti wanita itu lebih parah lagi, awalnya dia ingin menghabiskan waktu pagi ini penuh keromantisan, tapi sikap wanita itu malah membuatnya kesal.Rea menangis setelah kepergian Jeno, hatinya terasa sakit dan hancur. Sebegitu tidak terimanya Jeno atas perkataannya yang menjelekkan kekasihnya. Rea tidak bicara sembarangan, mendapatkan perlakuan seperti ini membuat dirinya semakin ragu untuk memberitahukan apa yang dia ketahui pada Jeno.Dia juga tidak punya bukti perselingkuhan Aruna, tapi jika saja Jeno bisa bersikap baik padanya sedikit saja mungkin dia akan punya keberanian UU nntuk mengatakannya pada pria itu, dan membuat rencana untuk mengorek rahasia Aruna bersama-sama. Namun, karena cinta Jeno yang buta, apakah pria itu akan percaya jika ia mengatakan sesuatu yang buruk tentang
Saat Jeno dan Aruna diam saja, Rea pun tersedak, mungkin mereka merasa kesal saat sesi ciuman mereka terganggu atas kehadirannya tadi. "Oh, ma-maaf jika aku mengganggu kalian tadi. Aku mohon maafkan aku ya, aku tunggu di meja makan, oke." Rea mengulas senyuman, lalu segera melangkah ke ruang meja makan.Sesampainya di sana Rea berdiri di sisi meja, wajahnya menunduk dengan perasaan berkecamuk, sesak rasanya hati wanita itu. Rea menengadahkan wajah agar air mata tak jadi jatuh, menarik napas dalam dan mengusap wajahnya yang tampak sangat sedih.Terdengar langkah kaki mendekat, buru-buru ia mengubah ekspresi wajah dan menyiapkan senyum palsunya. "Ah, ayo silakan duduk. Aruna semoga kamu suka dengan menu makanan yang aku masak malam ini. Ini juga yang pertama kalinya Jeno memakan makanan yang aku masak. Semoga kamu suka ya." Ada bagian hatinya yang teriris sembilu kala mengatakan kalimat itu.Tentu saja Rea sudah tahu selera makanan apa yang Jeno sukai, minuman, warna favorite, hewan, Ho
Sinar mentari menerobos melewati celah-celah jendela yang tak tertutup sempurna begitu menyilaukan di mata Rea. Wanita itu mengangkat tangannya dan menutupi wajah, Rea bangun dan menoleh ke sampingnya.Jeno sudah tidak ada di sisinya, padahal semalam pria itu tertidur pulas setelah puas memenuhi hasratnya. Rea memeluk kedua lutut, mengingat begitu menggebu hasrat Jeno semalam, bahkan tanpa alat pengaman. Memaksa Rea untuk membalas setiap perlakuannya seperti saat ia sedang semangat-semangatnya mengejar cinta pria itu.Dulu bahkan Rea sangat berusaha melakukan yang terbaik untuk memuaskan hasratnya demi mengambil hati Jeno, bergerak lincah layaknya seorang jalang yang binal. Namun, saat ini. Cintanya masih sama, tapi rasanya sudah terasa hambar. Itu semua karena sikap Jeno selama ini yang selalu memberi luka lara bagi batin dan fisiknya.Rea segera turun dari tempat tidur dengan selimut yang melilit tubuh polosnya, segera ia membersihkan diri dan turun ke lantai bawah. Karena lelah ia
Wanita itu hanya bisa mengangguk patuh, merasakan anggukan kekasihnya Jeno pun melepas pelukannya dan kembali mengusap bawah mata Aruna yang terlihat sembab. "Jangan menangis lagi, aku akan lakukan yang terbaik." Jeno tersenyum, senyum yang tidak pernah ia urai saat bersama Rea.Bahkan di foto pernikahannya dia tidak menunjukkan senyum kebahagiaan, di gambar itu Jeno begitu terlihat hanya ada keengganan yang sangat jelas, hanya Rea saja yang tampak tersenyum bahagia.***Rea berdiri dengan kedua tangan dilipat di bawah dada, pandangannya lurus pada sebuah potret besar yang terpajang di sebuah dinding. Di sana dirinya sangat cantik dengan gaun pengantin yang mewah, tentu saja keluarga Andara akan selalu memberikan yang terbaik untuk putri tunggal mereka.Namun, sejak ia menikah dengan Jeno hidupnya yang dulu bak putri raja kini berubah drastis menjadi upik abu. Rea menyeka sudut matanya, potret ini awalnya dipajang di kamar mereka, tapi Jeno dengan marah membantingnya ke lantai dan men
Rea benar-benar terkejut dibuatnya, wanita itu berbalik badan dan membeliak saat melihat Jeno berjalan ke arahnya. segera ia meremas gulungan foto di tangannya dan menempatkannya di sisi tubuh. "Aku ....""Apa itu?" sela Jeno, jarinya menunjuk pada kertas ditangan Rea. Ada sedikit ketakutan di hati wanita itu, apa yang dia takutkan? Jeno mengatakan apapun yang berhubungan dengannya tidak akan peduli, lalu kenapa dia merasa takut?"Ini foto ...." Rea ragu saat melihat tajamnya mata elang pria itu, Jeno menatap raut wajah Rea yang pucat dan sedikit gugup, membuat Jeno merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan.Rea tidak juga menjawab pertanyaan Jeno, tidak pula menunjukkan gulungan kertas yang sedikit lecek karena digenggam dengan erat oleh Rea. Jeno terus saja menatap wajah wanita itu, membuat Rea seperti akan dieksekusi mati."Berikan padaku!" Jeno merebut gulungan kertas foto itu dari Rea, membuat wanita itu benar-benar merasa takut, apakah Jeno akan marah? Tidak mungkin pria it
Satu minggu telah berlalu, Jeno tampak tegar untuk menghadiri pesta pernikahan Rea dan Arfan hari ini. Setelan jas tuxedo warna cream membalut tubuhnya yang proporsional. Maryam dan Arya yang sudah siap pun menunggu di lantai bawah, mereka menatap ke arah tangga saat terdengar suara langkah kaki menuruninya.Maryam tampak sedih melihat putranya saat ini, dia tahu betapa hancur hatinya meski terlihat begitu tegar. Arya juga hanya bisa menunduk, dia tak bisa pura-pura tegar seperti bosnya saat ini. "Ibu sudah siap? Kita berangkat sekarang, jangan sampai terlambat," kata pria tampan itu.Maryam benar-benar tak tahan melihat kepedihan sang putra, hingga kini ia menangis di hadapannya. "Nak, apa kamu yakin akan datang? Ibu tidak mau melihatmu terluka lebih dalam lagi, Jeno. Sebaiknya kamu jangan pergi saja," pinta Maryam.Jeno lalu menatap kepada ibunya. "Apa bedanya, Bu? Pada kenyataannya pisau ini sudah melukai jantungku, datang atau tidak, tetap saja aku akan mati perlahan.""Jangan ber
Rea segera berlari keluar dari ruang meja makan yang terasa begitu menyesakkan baginya, meninggalkan Jeno yang tertegun melihat kepergian Rea begitu saja. Jeno merasa sangat terpukul dengan ungkapan perasaan Rea barusan, membuat seluruh yang ada dalam dirinya menjadi luluh lantah tak beraturan.***Rea keluar dari villa, dia ingin menenangkan diri pergi ke taman. Air matanya tak berhenti mengalir, tak bisa ia pungkiri memang masih ada Jeno di dalam hatinya. Melupakan cinta memanglah tidak mudah, tapi bayangan buruk masa lalu membuatnya tak ingin mengulangnya lagi.Saat ia sampai di sana, wanita itu justru melihat Arfan yang duduk sendirian. Arfan juga melihat Rea yang datang sambil menangis, Arfan bergerak berdiri untuk bertanya. "Rea, ada apa denganmu. Apa yang terjadi?""Arfan!" Rea berlari mendekat dan tanpa Arfan duga wanita itu memeluknya.Pria itu tidak tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Rea menangis seperti ini. Pria itu hanya membalas pelukan Rea dan menenangkannya, membi
Dengan penuh kebanggaan Jeno membawa ikan hasil tangkapannya menuju area lain, di mana para pengunjung bisa memanggang ikan hasil tangkapannya sendiri setelah dibersihkan oleh pelayan.Kali ini biarkan Rea yang bertugas dengan dibantu Arfan tentunya. Arfan sibuk membolak-balik ikan dan Rea memberi bumbu pada ikan. Sementara Arya dan Rayan tampak asyik bermain game di gawai, beda lagi dengan Jeno yang terus saja memperhatikan kebersamaan Rea dan Arfan di depan matanya.Sungguh hal yang membuat pandangannya sakit dan perih."Fan, sepertinya yang itu sudah matang, tinggal ikan yang besar saja yang belum," kata Rea seraya menunjuk ikan-ikan yang sudah matang di atas panggangan."Iya, yang ini sebentar lagi," timpal Arfan.Rea lantas melangkah pergi untuk mengambil nampan yang sudah dilapisi daun pisang, lalu ia membawanya dan berusaha memindahkan ikan yang sudah matang itu ke atas nampan. "Aku antarkan ini dulu ke meja, Fan. Nanti aku kembali," kata Rea, dan Arfan mengangguk saja.Rea ber
Wajah Arya yang awalnya serius, kini semakin serius saat menatap wajah Jeno membuat pria di hadapannya itu semakin penasaran dan ingin segera tahu apa hal yang sudah terjadi. "Kejadian di hutan itu bukanlah kecelakaan, ini ada unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakai nyonya Rea."Mendengar hal itu Jeno melebarkan kelopak matanya menatap Arya. "Benarkah?" tanyanya ingin tahu lebih lanjut.Arya mengangguk. "Di hutan bagian utara itu seharusnya tidak ada pemburu yang masuk, tapi mengapa ada luka tembak senapan angin yang ada di salah satu bagian tubuh kuda yang tadi siang nyonya Rea tunggangi. Karena hal itulah kuda yang dia tunggangi tiba-tiba tak dapat terkendalikan," jelas pria berkacamata bening itu.Jeno sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia dengar ini. Siapa yang ingin mencelakai Rea?"Mungkin saja ada pengunjung yang tidak tahu, hingga ia masuk ke area hutan yang dilarang untuk berburu?" tanya Jeno, dalam hal ini ia berusaha berpikir positif.Arya tersenyum tipis, lanta
Jeno saat ini menikmati kebersamaannya dengan Rea, duduk berdua menunggangi kuda. Sedekat ini, hingga ia dapat merasakan harum tubuh seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. "Apakah bisa lebih cepat? Aku tidak suka terlalu dekat denganmu, Tuan Jeno Bramantio!" ketus Rea dengan wajah kesalnya, sungguh ia sangat risi ada Jeno yang terus menempel padanya saat ini.Jeno tersenyum, tentu saja ia tidak ingin moment ini berlalu terlalu cepat. Kalau bisa ia ingin menghentikan detik waktu agar tetap bisa sedekat ini dengan wanitanya. "Kenapa harus terburu-buru, pemandangannya sangat bagus, apakah kamu tidak mau menikmatinya?""Aku sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan bagus ini jika itu bersamamu! Karena jika bersamamu, semua hal adalah seperti neraka bagiku," balas Rea.Jeno termenung sejenak, terbayang perlakuan buruknya di masa lalu membuat hatinya tergores, tanpa Rea tahu kedua bola mata Jeno berubah memerah karena penyesalan. "Aku tahu, aku memang bagai neraka untukmu. Maafkan
Hari kedua di resort hanya bermain tembak jitu, itu pun berakhir dengan Rea yang tiba-tiba kehilangan mood. Sehingga mereka pulang lebih awal. Arfan tidak tahu apa yang terjadi pada Rea karena sejak pulang dari tempat tembak jitu wanita itu sama sekali tidak mau bangun dari tempat tidur bahkan tidak keluar untuk makan malam, membuat Arfan menjadi khawatir.Pria itu membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan juga segelas air putih. Arfan berjalan mendekat dan meletakan nampan di atas nakas, lantas melihat Rea yang hanya tidur miring dengan kedua mata terbuka.Arfan dengan perhatian berjongkok di hadapan wanita itu dan mengusap sisi kepalanya. "Makan malam dulu, nanti kamu sakit. Ingat kamu punya riwayat masalah perut? Meski sudah sembuh kamu tetap harus menjaga kesehatanmu. Tadi Ray juga tanya kenapa kamu tidak keluar makan malam, aku jawab kamu sedang tidak enak badan. Ayolah, sekarang moment liburan Ray, apa kamu ingin merusaknya?"Mendengar kata-kata Arfan, Rea pun bar
Seharian ini cukup dua permainan saja, mereka sudah kelelahan dan memutuskan kembali ke villa karena hari juga sudah hampir sore. Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama ibunya, sementara dia tetap membonceng saja di belakang Arya.Lagian lebih enak membonceng, santai seraya bebas curi-curi pandang ke samping menatap wanitanya yang berada di atas motor bersama pria lain. Rasanya panas, tapi mau bagaimana lagi, tahan saja lah!Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai juga di villa. Arfan segera mengambil alih Rayan dari gendongan Rea karena anak kecil itu tertidur kelelahan. Jeno tidak merebutnya, dia tidak mau egois dalam hal ini."Aku akan membawanya ke kamar kami," kata Arfan meminta izin pada Jeno, Jeno pun melirik Rea yang diam saja, dan dia juga hanya menjawabnya dengan anggukan.Setelah mendapat izin, Arfan segera masuk lebih dulu disusul Rea. Sementara Jeno masih termenung di luar bersama Arya menatap kepergian mereka. "Ini takan berlangsung lama," gumam Jeno y
Selesai sarapan semua orang kini keluar dari villa menggunakan motor racing, seperti biasa Rea bersama dengan Arfan, sementara Jeno bersama dengan Arya yang mengapit Rayan di antaranya.Jeno benar-benar tidak mau lepas dari Rayan, begitupun dengan anak kecil itu yang begitu nyaman dengan Jeno yang ia panggil 'Om'. Mereka berhenti pada tempat pertama yakni area panahan, ada beberapa pengunjung resort yang juga sudah datang untuk melakukan olahraga yang melatih ketepatan, fokus dan ketangkasan ini.Jeno dan semua orang turun dari motor lantas mengambil tempat masing-masing. Jeno tentunya dengan Rayan, begitupun Rea seperti biasa dengan Arfan, dan Assistant Arya seperti biasa hanya asyik seorang diri saja.Dibantu dengan pemandu sekaligus yang membantu pengunjung saat ingin bermain. Rayan dengan gagahnya memegang busur kecil dan Jeno memberikan anak panah kepadanya. "Seperti ini pegangnya," kata Jeno mengarahkan.Rea tersenyum memperhatikan putranya yang terlihat gagah dan tangkas, tapi
Acara jalan-jalan malam di taman sudah selesai, Rayan sampai tertidur di gendongan Jeno kala mereka sampai di villa. Arya yang memang tidak ikut hanya jaga kandang saja, saat mereka kembali pria itulah yang membukakan pintu."Selamat malam," sambut Arya kepada semua orang."Malam," sahut Jeno dan segera masuk villa, sementara Arfan dan Rea hanya menanggapinya dengan senyuman.Setelah semua orang masuk, Arya pun segera menutup pintu dan menguncinya. Saat hendak berpisah Jeno berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Selamat malam dan selamat beristirahat untuk kalian," ucapnya pada Arfan dan Rea seraya tersenyum.Di telinga Rea entah kenapa ucapan Jeno dan senyuman Jeno seperti ejekan, membuatnya sangat kesal sehingga ia tidak ingin menjawabnya sama sekali. "Anda juga, Tuan Bramantio." Hingga pada akhirnya Arfan saja yang menjawab.Jeno tersenyum dan mengangguk lantas berbalik badan kembali dan membawa Rayan masuk kamar. Kini giliran mereka berdua, mereka tampak ragu untuk masuk kama