Jevan mengikuti langkah Rara dari belakang. Lelaki itu tersenyum kecil, melihat Rara yang tampak sibuk dengan memilih barang yang ada di depannya.
"Lo ngasih kado buat siapa?" tanya Jevan menyamakan langkahnya dengan Rara.
Rara menoleh pada Jevan, ia tersenyum manis. "Cuman untuk orang yang gue kenal," tanggap Rara.
Jevan terdiam beberapa saat, ia kemudian mengangguk kecil.
"Apa gue kenal sama orangnya?" tanya Jevan, penasaran.
"Kenapa lo penasaran?" tanya Rara.
"Gue enggak penasaran," sanggah Jevan.
Rara mengambil sepatu putih di depannya. Ia menunjukkan sepatunya pada Jevan,
"Apa ini cocok untuk orang yang mau gue kasih?" tanya Rara.
"Iya itu bagus. Sepatu olah raga banyak fungsinya," jawab Jevan.
Rara membawa sepatu putih itu ke kasir. Gadis itu meletakkan sepatu putih itu ke kasir.
"Tolong bungkus ini," ujar Rara.
Pelayan kasir itu mengangguk. Tangannya mulai sibuk d
"Buka pintunya Narendra!" seru seseorang dari luar. Naren memutar bola matanya mendengar suara yang tak asing di telinganya. Lelaki itu membuka pintu dengan perlahan. Seorang wanita melengos begitu saja dan sengaja menabrak pundak Naren. Naren menghela napas melihat wanita yang telah melahirkannya. "Saya tidak mempunyai uang," ucap Naren datar. Wanita itu masih mencari uang di ruang tamu. Dengan sengaja memecahkan akuarium sebagai bentuk memaksa. "Bukankah waktu itu kamu bilang, kamu punya uang?" sentak wanita itu. "Saya terakhir mengabari anda adalah saya tidak punya uang," jawab Naren. "Lalu saya harus bagaimana?" tanya Naren bingung. "Saya tidak tahu, saya mohon jangan buat kacau. Saya baru saja -" Wanita itu menarik kerah Naren dengan paksa. "Tunjukan uangnya!" bentak wanita itu. "Ibu, saya gak ada uang. Saya sudah memakainya," balas Naren tenang. Wanita itu terkekeh kecil, "Dipakai untuk apa?" tanyanya. "Saya memakainya untuk membeli sepatu dan beberapa keperluan
Rara menatap gaun hitam yang ada di depannya. Ia memakai gaun hitam itu kemudian menatap pantulan dirinya di cermin. "Oke, gue harus bersiap nanti malam," ucap Rara.Hari ini adalah hari makan malam keluarga Jevan. Seperti yang direncanakan di awal, ia akan berpura - pura menjadi kekasih Jevan. Rara mengambil ponselnya yang bergetar. Ia menatap layar ponselnya sebelum menjawab panggilan itu."Halo Jev," sapa Rara. "Halo Ra, lo siap kan?" tanya Jevan."Iya gue siap. Jangan lupa yang waktu itu kita bahas," pesan Rara. "Oke, gue sudah mengingatnya. Lo harus tampil cantik ya biar meyakinkan mereka yang hadir di makan malam nanti." pesan Jevan."Tentu saja, gue akan berusaha keras biar lo dan Sandra terbebas," timpal Rara semangat."Hahaha, lo lucu banget," kekeh Jevan."Hah? Lucu?" "Gue akan jemput lo saat jam tujuh malam di rumah lo," ucap Jevan berdeham kecil."Oke, gue akan tunggu lo," sahut Rara.Jevan memutuskan panggilan teleponnya. Rara membuka aplikasi catatan di benda pipih
"Nona cantik sekali," puji Bibi Ica. Rara menatap pantulan dirinya di cermin. Ia menarik napasnya kemudian menghembuskan napasnya perlahan. Gadis itu tersenyum manis. "Nona, Tuan Jevan sudah menunggu di luar," kata Bibi Nia. Rara mengangguk. "Bi, aku gak terlihat aneh, kan?" tanya Rara. "Tidak Nona. Nona cantik sekali," tanggap Bibi Nia. Rara akhirnya keluar dari ruangan khusus gaun. Gadis itu keluar dari rumahnya. "Jevan!" seru Rara melambaikan tangan. Jevan yang sedang memainkan ponselnya, segera menghentikan kegiatannya. Ia mengangkat kepalanya. Seketika lelaki itu merasa dunianya berbunga. Rara terlihat cantik dengan gaun hitam model off shoulder. "Wow lo cantik banget Ra," puji Jevan. "Makasih. Lo juga tampan," tanggap Rara ceria. Rara menatap penampilan Jevan dari atas ke bawah. Lelaki di depannya memakai jas hitam dan dasi berwarna hitam. "Gue gak salah milih lo," ucap Jevan. "Sebenarnya, gue takut banget kelihatan aneh. Tapi ternyata enggak ya," kata Rara. "
"Jadi ada yang bisa jelaskan, apa yang terjadi antara kalian?" tanya Ayah Haris. Rara dan Jevan berpandangan. Rara memilih bungkam daripada ia salah berbicara. "Kita gak seperti yang ayah pikirkan," terang Jevan. Ayah Haris mengangkat alisnya, "Memangnya kamu tahu pikiran ayah?" "Tidak," jawab Jevan singkat. "Sebaiknya kalian jelaskan pada ayah tentang kejadian hari ini," pinta Ayah Haris. "Jev, lo aja yang jelaskan," bisik Rara pelan. Jevan meneguk ludahnya, ia berdeham kecil. "Ini adalah rencana aku agar terhindar dari perjodohan yang mau dilakukan," aku Jevan hati - hati. "Dengan mengaku pada Bu Sri kalau kamu punya pacar?" tanya Ayah Haris, memastikan. "Iya Om. Aku disini membantu Jevan agar dia dan Sandra tidak dijodohkan lagi," sahut Rara. "Lalu apa benar kamu adalah pacar Jevan?" tanya Ayah Haris menatap Rara. "Dia -" "Bukan Om. Saya hanya teman Jevan," tegas Rara. Ayah Haris mengangguk. Ia melirik putranya yang terlihat sedih. "Kamu memangnya tidak ada peras
Rara membuka kedua matanya perlahan. Hari ini adalah hari Naren kembali masuk ke sekolah. Rara mulai bersiap untuk ke sekolah. Setengah jam kemudian, Rara sudah selesai. Gadis cantik itu turun dari lantai atas. Baru saja ia masuk ke dalam ruang makan, ia dikejutkan dengan sosok Naren yang berdiri dengan tegap. "Lo padahal gak usah berdiri gitu," kata Rara tak enak. "Tidak masalah, Non," sahut Naren. Rara menatap Naren. "Lo udah sarapan?" tanya Rara. Naren berdeham pelan. Ia mengkode Rara agar tidak banyak berbicara. Sayangnya, Rara tidak mengerti dengan kode Naren. Gadis itu memilih menggeser piring yang ada di dekatnya kemudian mengambil roti bakar dan meletakannya di piring itu. "Lo makan dulu, Ren," kata Rara. Bibi Nia yang berdiri tak jauh dari Rara, segera berbisik, "Nona, ada aturan kalau bawah tidak bisa makan dengan tuan rumah." Rara menoleh pada Bibi Nia. Ia menepuk dahinya pelan, baru sadar kalau ia melakukan kesalahan. Rupanya Naren tadi itu memperingatinya. "Bi,
Sandra yang sedang meneguk minumnya, tiba – tiba tersedak.“Uhuk uhuk.” Sandra memegang dadanya yang terkejut.“Eh, lo gak apa?” tanya Rara sedikit panik seraya mengambil tissue di dekatnya.Sandra menerima tisu pemberian Rara, gadis cantik itu menatap sang sahabat kesal. Ia memukul pelan bahu Rara.“Omongan lo sembarangan,” ucap Sandra.Rara hanya tersenyum kecil, “Tapi serius lo gak suka sama Naren?”“Siapa yang gak suka sama Naren?” Sandra malah bertanya balik.“Jadi lo suka ya?” tanya Rara lagi.“Iya. Dia juga sahabat baik gue sama kaya lo dan Jevan,” tanggap Sandra santai.“Ngomong – ngomong San, lo udah ada rencana abis ini mau kemana?” tanya Rara.“Maksud lo kuliah ya?” tanya Sandra memastikan.Rara mengangguk. Tangannya fokus mengeluarkan buku pelajaran yang akan berlangsung di jam pertama.“Gue rencananya mau ambil les untuk SBMPTN, tapi untuk jurusan yang gue mau, belum kepikiran,” terang Sandra.“Gak coba ambil bisnis?” tanya Rara.“Entahlah, lo sendiri gimana?” tanya Sandr
Rara turun dari mobil. Gadis itu menatap bangunan perusahaan sang ayah, ia terkadang masih tak percaya kalau ia adalah anak semata wayang dari pemilik bangunan tinggi itu.“Nona Rara, menurut informasi dari Naren, ada yang menunggu Nona di lobi,” terang sopirnya.“Terima kasih ya Pak. Bapak tunggu aja ya, saya mau ke ayah saya dulu,” ucap Rara tersenyum.Rara masuk ke dalam bangunan itu. Ia otomatis menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang, dengan memakai seragam sekolah. Rara dalam hati meringis karena tidak berganti baju terlebih dahulu. Mata Rara menatap kesana kemari, ia mencari sosok yang katanya menunggunya. Gadis itu mengerutkan kening saat melihat seorang wanita cantik mendekat padanya.“Anda Rara? Anak dari Pak Zarhan?” tanya wanita cantik itu.“Iya, anda siapa?” tanya Rara bingung.“Saya diminta oleh Pak Zarhan untuk mengantar anda ke lantai atas. Mari ikuti saya,” ucap wanita itu ramah.Rara mengikuti langkah wanita itu dari belakang. Wanita itu membawanya ke lift.
“A-ayah,” ucap Rara terkejut.Rara tanpa sengaja menjatuhkan ponsel ayahnya. Gadis itu menatap ponsel ayahnya yang jatuh lalu menatap ayahnya yang mendekat ke arahnya.“Ayah, aku gak sengaja jatuhin HP,” sesal Rara.Ayah Zarhan menerima ponsel yang diberikan putrinya, ia tersenyum hangat.“Tidak apa Nak,” balas Ayah Zarhan tenang.“Maaf Yah, layarnya sampai retak ya, biar aku -”“Tidak perlu Nak, Ayah akan menyuruh orang untuk memperbaiki,” potong Ayah Zarhan. “Oke. Masih bisa nyala ya kan, Yah?” tanya Rara cemas.Ayah Zarhan mengecek ponselnya, pria itu mengangguk sebagai jawaban. Ia menunjukan layar ponselnya pada Rara.“Ini masih nyala,” ucap Ayah Zarhan.Rara memperhatikan layar ponsel sang ayah. Tiba – tiba saja tertera panggilan masuk dengan emotikon cinta. Rara buru – buru mengalihkan pandangannya.Ayah Zarhan dengan canggung menarik kembali ponselnya.“Siapa Yah?” tanya Rara bersikap tidak tahu.“Oh bukan siapa – siapa,” balas Ayah Zarhan.Rara melirik ponsel ayahnya yang lag
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu