Jika dilihat dari luar, kafe RealTaste terlihat seperti kafe pada umumnya yang menonjolkan suasana nyaman dan sederhana. Lokasinya strategis membuat banyak yang mengunjungi kafe ini, baik dari golongan pelajar, mahasiswa, ataupun orang dewasa. Cat dinding berwarna biru langit dipadukan dengan hiasan kayu menambah kesan hangat dalam kafe.
Rara yakin menu disini ramah di kantong pelajar seperti dirinya. Buktinya, pelajar dari sekolah elit lain tampak asik menikmati suasana di kafe. Rara duduk di kursi paling ujung, ia tidak ingin menjadi pusat perhatian. Seorang pelayan mendekati Rara dan menyerahkan buku menu.
“Saya boleh nunggu teman saya dulu?” tanya Rara menatap pelayan.
Pelayan itu tersenyum ramah, “Baik. Nanti silakan panggil saya kalau anda ingin memesan.” Pelayan itu berlalu dari hadapan Rara.
Rara membuka buku menu itu perlahan. Matanya melotot melihat harga yang tertera di buku menu itu. Rata – rata harga yang tertara adalah dua digit pertama.
Terima kasih sudah membaca! Mohon dukungannya~
Naren menatap orang yang ia panggil ‘Tuan Besar’ itu. Naren hanya dapat menatap punggung yang tampak tegas itu dalam keheningan, karena pria di hadapannya masih sibuk mengurus tumpukan berkas.“Ada apa Naren?” tanya pria itu sembari menyimpan berkasnya.“Saya ingin membuat laporan mengenai apa yang terjadi hari ini,” ujar Naren sopan.“Saya mendengarkan,” balas pria itu.“Hari ini, Nona Rara bertemu Sandra, ia adalah murid baru di kelas kami. Sandra bertanya mengenai identitas saya, dan Nona Rara mengatakan kami hanya teman SMP. Kemudian, Sandra bertanya mengenai mengapa anda tidak membawa Nona Rara saat perayaan perusahaan Jarvis. Nona Rara menjawab kalau ia sibuk,” ucap Naren menjelaskan.“Wah, pintar juga anak itu,” komentar pria itu pendek.“Tuan Besar, saya ingin menyelidiki lebih jauh mengenai Sandra Carissa. Kemudian, Nona Rara khawatir kalau ada yang bertan
“Ada apa, Bi?” tanya Naren menatap wanita berumur itu. “Bibi belum bilang kalau hari ini pelayan khusus Nona Rara, Bi Ica dan Bi Nia pulang jam sepuluh malam,” ungkap Bi Santi menatap Naren. “Nona Rara sudah bilang ke saya. Tapi, apakah ini sudah dibahas dengan Tuan Besar?” tanya Naren. “Ah itu…” Bi Santi tampak berpikir. Naren menghela napas, ia menepuk pundak Rara. “Nona,” “Jangan bangunkan Nona Rara,” cegah Bi Santi. “Saya gak bisa ngobrol dengan benar kalau Nona Rara masih disini,” balas Naren kembali berusaha membangunkan Rara. “Saya kan su-“ “Bi, bisa bantu saya bangunkan Nona Rara?” sela Naren. Bi Santi akhirnya mengalah, ia mendekati Rara dan menepuk pelan pipi Rara. Rara yang merasa terganggu berusaha bangun dan mengumpulkan kesadarannya. “Uhh…Naren? Bi Santi?” Rara tampak kebingungan. “Nona, ayo saya antar ke kamar,” ucap Bi Santi lembut. “Tidak Bi. Saya saja yang mengantar Nona
Rara mengacungkan jempolnya ke Chef Dino. “Ini enak banget, aku jatuh cinta sama masakan Chef.” “Suatu kehormatan, Nona,” Chef Dino menunduk sopan. Chef Dino kembali sibuk di dapur. Rara menatap Bi Nia, Bi Ica, dan Bi Santi yang berdiri tak jauh darinya. Rara sedikit heran, biasanya Bi Santi akan memberi perintah pada pelayan lain, ditambah Bi Nia dan Bi Ica yang terlihat tak nyaman dengan kehadiran Bi Santi. “Selamat pagi, Nona,” Naren datang dengan membawa amplop putih. Naren melangkahkan kakinya ke samping Rara, berdiri tegak. Rara menatap Naren bingung. “Ngapain lo?” tanya Rara sembari berbisik. Naren memberikan amplop putih ke Rara, “Buka ini dan bacakan. Ini perintah Tuan Besar.” “Emang isinya apa?” tanya Rara sembari membuka amplop putih. Naren tak menjawab apapun, matanya menatap Bi Santi yang sudah tampak gelisah. Bi Ica dan Bi Nia ikut tegang karena keduanya sedikit terlibat. Rara membaca isi surat itu,
Rara tampak melamun di meja kelasnya. Ia menghela napas perlahan, masih terbayang di benaknya ucapan Bi Santi. Rara bertanya pada Naren mengenai maksud dari ucapan Bi Santi, tetapi si lawan bicara hanya mengangkat bahunya. “Ra,” panggil Amel dari depan pintu kelas. Rara mendekati Amel dan menatapnya dengan tanya. “Kak Rai mau ngomong sama lo nih,” Amel mendorong Rara agar keluar dari kelas. Amel tanpa peduli kembali masuk ke kelas. Raihan menyimpan ponselnya di jas sekolah. Ia menatap Rara yang menatapnya dengan pandangan tidak suka. “Mau apa?” tanya Rara. Raihan mengulurkan tangannya. Rara hanya menatap uluran tangan Raihan tanpa berniat menyambut uluran tangan. “Niat gue baik,” ujar Raihan menarik kembali tangannya. Rara tak menanggapi apapun, ia sibuk menatap sekitarnya yang lebih menarik dipandang. Raihan menghela napas, “Gue mau minta maaf atas omongan gue kemarin.” “Tenang aja Kak, gue udah nerima
“Bener kok, kata Naren. Gue disana sama nenek,” tanggap Rara tersenyum. “Kalau lo yang ngomong gini, gue baru percaya,” sahut Sandra sembari menatap Rara. Naren tak menanggapi perkataan Sandra. Kalau ditanya, ia pun tidak percaya dengan Sandra sepenuhnya. Naren masih menyimpan rasa curiga, meskipun saat ia mencari tau tentang Sandra hanya pujian yang ia terima mengenai sosok gadis itu. “Oh iya, gue denger dari bokap, entar lagi perayaan tujuh belas tahun berdirinya perusahaan bokap lo,” ucap Sandra menatap ponselnya. “Lo datang gak?” tanya Sandra menyimpan ponselnya di atas meja. “Um…” Rara melirik Naren sekilas, khawatir salah menjawab. Naren balas menatap Rara dengan wajah tak pedulinya. “Gue datang kok,” ucap Rara. “Gak sabar deh. Soalnya perusahaannya Kidan kalau ngadain perayaan itu gak main – main. Om Zarhan pernah nyewa dua hotel yang berbeda dan orang yang hadir dibolehin nginep,” ujar Sandra semangat. “Wah kere
Rara terkekeh kecil, “Bercanda lo gak lucu.” “Tapi, Ra gue itu peka,” kata Sandra menunjuk dirinya sendiri dengan bangga. “Pas ngobrol sama gue aja matanya lirik lo terus.” Rara mengerutkan keningnya, ia menggeleng pelan. Kemudian ia membawa nampannya ke tempat sampah, berniat membuang sisa makanan. Sandra mengikuti langkah Rara sembari meyenggol lengan Rara. “Gue serius, Ra,” ucap Sandra menoleh ke Rara sekilas. “Kita lihat entar aja,” tanggap Rara, ia kembali mengingat kejadian saat dijadikan bahan taruhan. Sandra mengangguk kecil, ia melambaikan tangannya pada Naren dan Jevan yang mencari keduanya. Sandra menarik lengan Rara, begitu Naren dan Jevan berdiri di belakangnya. Rara melirik Jevan sekilas, entah perasaannya saja wajah Jevan tampak canggung dan kaku. “Gue canggung banget sama dia,” ucap Jevan pelan. Naren yang mendengarnya, menanggapi, “Padahal dibawa santai aja.” “Lo gak akan ngerti, Ren,” Jevan menatap Naren dengan tatapan m
Naren mengerutkan keningnya. Ia bingung dengan tingkah gadis di hadapannya. “Maksudnya gue izin ke Sandra dulu mau nemuin lo,” ralat Rara. “Iya kenapa?” tanya Naren. “Gue tadi belum sempat izin ke lo. Sandra main narik gue aja,” ujar Rara menatap Naren. Naren mengangguk, “Oh iya. Have fun.” ‘Kenapa lo gak cegah gue ikut? Gue takut.’ batin Rara. “Jevan kayanya gak ikut deh,” kata Rara berusaha mengkode Naren agar mencegahnya pergi. Naren terkekeh kecil, ia menatap Rara sekilas, “Itu juga gue tau. Tapi, Ra lo harus mulai terbiasa sama kehidupan lo yang sekarang. Lihat dulu aja, kalau lo gak nyaman gue bakal jemput lo.” “Lo sadar ternyata?” tanya Rara cemberut. “Gue sadar, Ra. Tapi, ini kehidupan. Lo harus coba oke?” bujuk Naren menyinggungkan senyumnya. Rara terdiam beberapa saat, kalau dipikir – pikir sudah satu bulan kehidupannya berubah. Tetapi, dirinya belum bisa menyesuaikan diri dengan baik.
Tak terasa, mereka sudah selesai bermain di wahana bermain sepuasnya. Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, dan kini mereka makan malam untuk mengisi cacing perut yang sudah berteriak protes. “Gila bisa – bisanya lo mukul hantu bohongan,” tunjuk Kaira pada Farhan. Farhan hanya tertawa sebagai balasan. Ia ingat saat kejadian di rumah hantu, ia tanpa sengaja memukul pegawai yang bertugas karena sudah membuatnya terkejut. “Pasti nih anak kalau kesel bawaannya kekerasan,” Putri menopangkan dagunya. Joel mengambil posisi duduk di samping Putri, “Atau ke klub malam.” “UHUK UHUK!” Rara terkejut mendengar pembicaraan itu. Ia sedang meminum cola dan asik mendengarkan percakapan mereka. “Lo gak apa?” Sandra memberikan tisu ke Rara yang duduk di sebelahnya. Rara mengangguk, ia menerima tisu pemberian Sandra. Matanya menatap teman – temannya yang menatapnya dengan heran, kecuali Sandra dan Jevan. “Dari muka lo, kayanya lo gak
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu