“Siapa?” tanya Rara cepat.Leo berdeham kecil. Ia menatap sekitarnya, memastikan tidak ada orang yang mendengarkan percakapan keduanya. Leo mendekat pada Rara kemudian berbisik pada telinga gadis itu.Rara mengerutkan keningnya. Gadis itu menatap Leo dengan tanya.“Lo nyuruh gue untuk nunggu sampai hari selesai pensi?” tanya Rara memastikan.“Iya, gue akan kasih tahu jawabannya ke lo. Dengan satu syarat, selama persiapan pensi, gue harap lo gak minta siapapun untuk cari tahu tentang identitas gue,” pinta Leo.“Tapi kalau seandainya ada yang nyari tahu, terus gue gak tahu orang itu nyari tahu tentang lo dan orang itu kasih informasi lo ke gue. Itu gimana?” tanya Rara.Terlintas di benak gadis itu sosok Naren yang menjaga keamanan untuknya.Leo terdiam sejenak kemudian ia terkekeh kecil, “Maksud lo Naren kan?”Rara membulatkan matanya, gadis itu bingung bagaimana bisa Leo tahu tentang identitas asli Naren.“Gue gak ngerti maksud lo,” ucap Rara.“Gue udah tahu tentang Naren. Dia bodygua
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Keempat sahabat itu sudah bersiap untuk berkumpul di ruang osis. Keempatnya sedang berjalan di koridor sekolah menuju tempat berkumpul.“Gisel, entar lo aja ya yang ngetuk pintunya,” ucap Sandra.“Jangan gue, gue gak mau,” sahut Gisel cepat.“Kalau gitu lo ya, Jev?” tanya Sandra menoleh ke belakang.“Oke, gue bagian ngetuk pintu terus Naren entar bagian masuk duluan ke ruang osisnya,” timpal Jevan menyenggol lengan Naren.Naren menatap Sandra kemudian ia menatap Jevan. “Iya terserah, gue ikut aja,” balasnya tak peduli.Sandra mengangkat alisnya mendengar ucapan Naren yang terdengar pasrah. Gadis itu melirik Rara yang terlihat biasa saja.“Kebiasaan lo, harus punya pendirian dong Naren,” ucap Sandra cepat.“Dia itu bukannya gak pendirian, tapi emang gak peduli aja. Jadi diiyain biar cepat selesai,” timpal Rara.“Gue aja yang ngetok pintu entar, terus –”Belum sempat Sandra menyelesaikan ucapannya. Naren dan Jevan sudah berdiri di depan keduanya.“Oh t
Naren melirik Jevan dan Rara yang masih mengobrol. Lelaki itu mengeluarkan ponselnya secara perlahan kemudian ia memotret plat nomor yang mengikuti mobil mereka. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi mobil.“Pak Naren, ada yang bapak pikirkan?” tanya sopir di sebelahnya.“Tidak Pak, fokus saja menyetir. Saya ingin beristirahat,” balas Naren.Naren memejamkan kedua matanya perlahan. Lelaki itu memutuskan untuk mengabaikan mobil yang mengikuti. Ia ingin beristirahat saja dulu.Setengah jam kemudian“Pak, Naren masih tidur?” tanya Rara.“Iya Nona muda, apa perlu dibangunkan?” tanya sopir itu.Rara menatap Naren yang masih memejamkan mata. Saat mengantarkan Jevan pulang pun, lelaki itu hanya melambai sebentar kemudian kembali menutup mata.“Bangunkan saat sudah sampai di depan rumahnya saja Pak. Antarkan dia pulang ya,” pinta Rara.“Baik Nona muda,” sahut sopir itu.Rara keluar dari mobil sedannya. Gadis itu melambai pelan kemudian langsung masuk ke dalam kediamannya.“Selama
Rara menatap wajah serius Naren. Gadis itu menggeleng kecil sebagai jawaban.“Nona Ra-”“Gue udah selesai makan,” ucap Rara segera berdiri.Gadis itu melangkah ke dapur untuk menyimpan piring kotor. Dirinya yang terbiasa mencuci piring kotor, hari ini memilih untuk mengabaikannya. Gadis itu tahu kalau Naren terus memperhatikannya.“Selamat malam Naren,” ucap Rara.Rara berjalan dengan cepat. Gadis itu bergegas masuk ke dalam kamarnya dan mengunci ruangan pribadinya.“Naren kenapa suka banget introgasi orang, gue jadi takut,” monolog Rarar.Rara melangkah ke kamar mandi kemudian segera menggosok gigi dan mencuci muka. Setelah selesai, gadis itu langsung menarik selimutnya hingga ke bawah dagu.Rara kembali membuka matanya. Gadis itu melangkah ke jendela kamarnya, ia dapat melihat para pengawal berjalan di sekitar taman, menjaga keamanan sekitar.“Baru kali ini gue liha
“Gak suka apa Nak?” tanya Ayah Zarhan bingung.“Aku ingin cerita hal kaya gitu ke ayah, tapi aku yang cerita bukan lewat Naren,” kata Rara.“Kamu ingin mengatakannya langsung?” tanya Ayah Zarhan memastikan.Rara dengan semangat mengangguk.“Lalu tugas Naren apa? Dia itu diminta untuk begitu karena ayah harus tahu kondisimu setiap hari,” ujar Ayah Zarhan.“Aku ngerti maksud ayah, tapi jangan terlalu sering minta Naren untuk kasih laporan ke ayah,” pinta Rara memelas.“Lalu tugas Naren akan seperti apa?” tanya Ayah Zarhan.“Dia cukup ngawasin aku aja, gak harus terus laporan,” jawab Gisel melirik Naren sekilas.“Itu tidak bisa,” tolak Ayah Zarhan.“Kenapa?”“Kalau Naren tidak memberi laporan otomatis ayah tidak bisa tahu kegiatan kamu. Ditambah ayah juga punya -”“Aku paham, tapi aku b
Naren sudah sampai di kediaman Rara. Lelaki tampan itu segera melangkah masuk, sesekali ada pelayan yang menyapanya.“Bi Ica, Nona Rara dimana?” tanya Naren.“Nona sedang ada di halaman belakang,” jawab Bibi Ica.“Tida ada yang -”“Naren tenang dulu. Ini masih di rumahnya, lagipula Nona Rara meminta kami untuk membereskan hal lain,” potong Bibi Ica.Naren mengangguk kecil. Ia segera melangkah ke halaman belakang dengan langkah lebar. Lelaki itu menatap punggung gadis itu. Ia menghela napas pelan kemudian mendekat pada Rara.“Nona, saya sudah datang,” kata Naren seraya membungkuk sopan.Rara yang sedang memberikan makan ikan menoleh sebentar pada Naren. Kemudian gadis itu kembali fokus melihat ikan.“Darimana aja lo?” tanya Rara.“Saya ke kantor dulu, ada keperluan,” jawab Naren.“Tumben banget lo gak kasih kabar ke gue atau ke orang sini,” komentar Rara tanpa menatap Naren.“Saya lupa memberitahu Nona dan pelayan disini. Saya minta maaf,” balas Naren.Rara hanya mengangguk kecil. Gad
Jevan duduk di sebelah Naren yang sedang makan. Sekarang waktunya istirahat. Para panitia dipersilakan untuk jajan atau berbaring sebentar.“Rara sama Sandra mana?” tanya Jevan menatap Naren.Naren mengangkat bahunya tidak tahu.“Gak lo awasin Rara nya? Atau lo udah percaya sama Sandra sepenuhnya?” tanya Jevan.“Bukan gitu, gue rasa lingkungan sekolah masih aman,” jawab Naren.“Lo udah percaya sama Sandra sepenuhnya?” tanya Jevan penasaran.Naren terdiam sejenak mendengar pertanyaan Jevan. Ingin menjawab, tetapi ia juga ragu untuk menjawab.“Mungkin,” kata Naren.“Kenapa mungkin?”“Awalnya gue percaya sama dia, tapi sekarang gue ragu sama dia,” terang Naren.Jevan mengerutkan kening. Ia sudah mengenal Sandra sejak kecil, lelaki itu yakin sahabat masa kecilnya adalah orang yang baik dan tidak berbuat hal di luar dugaan.“Emangnya Sandra buat masalah sama lo degan Rara?” tanya Jevan bingung.“Kalau dari perspektif gue sebagai seorang pengawal, dia buat masalah. Tapi kalau sebagai teman,
Begitu pintu dibuka Rara mendapati sang ayah tertawa dengan wanita cantik. Wanita cantik itu terlebih dahulu berhenti tertawa karena ia sadar ada Rara.“Nona Rara,” ucap wanita cantik itu.Ayah Zarhan menatap putrinya terkejut. “Loh Nak? Kamu sedang apa disini?”“Aku nyari Na-” Rara menghentikan ucapannya. Ia langsung berpikir kalau ucapannya dapat membuat Naren terkena masalah.“Nak?” Ayah Zarhan mendekat pada Rara lalu duduk di sebelahnya.“Ayah kenapa bareng dia? Dia sekretaris ayah?” tanya Rara mengalihkan pembicaraan.“Bukan Nona,” sahut wanita cantik itu.“Bukannya kamu udah pernah bertemu dengannya? Dia yang mengantar kamu ke ruangan ini,” ujar Ayah Zarhan.Rara menatap wanita cantik yang masih berdiri itu. Ia menatap wanita itu dari atas ke bawah, usianya mungkin tidak terlalu jauh dengan ibunya.“Tadinya aku lupa, tapi sekarang ingat. Nama ibu siapa?” tanya Rara.“Bukannya dia sempat memperkenalkan diri padamu?”“Memang pernah?” tanya Rara balik. “Yang aku ingat tentang ibu i
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu