PoV Yudha
"Yudha, aku lagi senang sekali!" Mataku membulat penuh, antusias dengan topik pembicaraannya. Kami duduk saling berhadapan sembari menikmati secangkir kopi di sebuah kafe dengan nuansa alam terbuka. Belakangan ini kami jarang bertemu karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing. "Apa itu? Katakan padaku hal yang membuatmu sebahagia ini." Gadis berhijab yang memiliki senyuman termanis di dunia itu kembali tersenyum seraya menutup mulut dengan jemari lentiknya. Tiba-tiba wanita yang lebih pantas disebut Bidadari itu bangkit dari duduknya. Aku mengerutkan kening. Mengelus-ngelus dagu yang tidak ditumbuhi oleh janggut sedikit pun. "Aku mau menikah dengan Mas Adnan," ungkapnya seraya mengangkat tangan kirinya dan tampaklah tersemat cincin melingkar di jari manisnya. "Menikah? Kamu tidak bercanda, ‘kan?" tanyaku memastikan. "Tentu tidak. Mas Adnan sudah melamarku kemarin dan kami setuju untuk segera menikah, begitu pula dengan keluarga besar, mereka semua senang mendengar kabar ini." Aku terdiam seribu bahasa. Ada satu pukulan dahsyat dari benda tumpul yang mendarat, menghujam ke dalam jantung dengan presisi yang akurat … benda itu tak kasat mata. Hati dan pikiranku seketika tidak bisa bekerja dengan normal. Semuanya kacau! "Yud, kok, diam?" "Ini … kabar bahagia buatku juga." Suaraku mengecil, sedikit parau. Beruntung Aisyah tidak menyadari apa yang sebenarnya aku rasakan. "Tentu saja, bukankah kamu yang bilang dari dulu. Kalau aku bahagia, kamu juga bahagia, begitu, ‘kan? Atau kamu lupa?" "Aku tidak lupa. Mana mungkin aku lupa dengan momen-momen indah kita. Hanya saja, ini menyakitkan buatku Aisyah," gumamku dalam hati. "Yud? Kok, melamun, sih? Aku memberitahu tahu kamu karena ini penting buatku, dan kamu orang yang penting juga dalam hidupku, Yudha." "Iya, terima kasih sudah menganggapku begitu." Selanjutnya, dia terus berceloteh riang, sementara aku sibuk menata hati. Pria itu … pria bernama Adnan yang selalu disebutkan namanya bersamaan dengan pujian dari Aisyah, hatiku teremas setiap kali mendengarnya. "Bayangkan, kami sudah berpacaran selama tiga tahun dan kemarin dia tiba-tiba melamarku dengan cincin dan bunga, romantis sekali, ‘kan?" "Iya … sangat romantis." *** Semua urusan hari ini sengaja aku selesaikan lebih awal agar bisa pulang lebih cepat. Meski aku tidak yakin hasilnya bisa maksimal karena isi kepala ini penuh oleh ucapan Aisyah. Apa aku salah memendam perasaan ini? Perasaan yang membuatku merasa gila setiap harinya saat melihatmu bersama pria lain. Aisyah, kamu kelihatan bahagia sekali setiap bertemu dengan pria itu. Senyuman Aisyah yang selalu lebih lebar ketika Adnan menemuinya, dan aku hanya bisa mengamati mereka dari kejauhan. Kami sudah berteman sejak kecil. Wanita ini adalah cinta pertamaku, bahkan perasaan aneh ini masih bertahan hingga. Lagipula, tidak mungkin pria dan wanita bersahabat tanpa melibatkan perasaan salah satu dari mereka, ‘kan? Aku menatap foto masa kecil kami yang tertawa bersama. "Baiklah. Asalkan kamu bahagia, aku akan memendam perasaan ini selamanya. Tidak apa-apa merasa sakit jika itu bisa membuatmu tersenyum setiap harinya, meski bersama pria lain." *** Sudah tiga hari sejak Aisyah mengumumkan rencana pernikahannya dan selama itu pula hati ini dilanda galau. Hari ini, undangan darinya tiba yang dikirimkan melalui pos. "Aku mohon, datang saat acara akad nikah! Sahabatku harus datang!" Begitulah isi catatan sticky note yang berada di atas kertas undangan. Aku menarik napas dalam, mencoba untuk legowo. "Apa, sih, yang kau pikirkan Yudha? Sudah. Relakan saja, atau ... tetap mengejar?" Untuk memberikan kejutan pada Aisyah, aku sengaja mengirimkan chatting padanya bahwa aku tidak bisa datang karena harus ke Singapore, ada masalah dengan bisnis keluargaku di sana. Dua minggu kemudian, dengan kepingan-kepingan hati yang berusaha kutata kembali, aku datang untuk menghadiri pesta pernikahannya lebih awal. Ya, kuputuskan untuk menyaksikan wanita terkasihku saat acara akad nikah yang mungkin hanya akan dihadiri oleh keluarga inti, dan orang-orang terdekat saja. Menurut jadwal yang tertera di dalam surat undangan, acara akad nikah akan diadakan pukul 13.00 WIB dan jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 12.49 WIB. Aku memukul setir dengan perasaan kesal, barisan kendaraan yang bergerak lambat di depanku membuat waktuku terbuang banyak di jalanan. "Aku berharap kamu bahagia dengan pria pilihanmu, Aisyah." Setelah melewati waktu beberapa saat lamanya dalam jebakan kendaran lain, akhirnya kendaraanku bisa bergerak leluasa dan segera kutancap gas karena waktu sudah menunjukan sepuluh menit berlalu dari acara yang di jadwalkan. "... mulai saat ini, kamu bukan istriku lagi, aku menjatuhkan talak untukmu!" Langkah lebarku seketika terhenti tepat saat memasuki ruangan ini karena mendengar kalimat yang berasal dari arah depan, tepatnya dari meja akad nikah. Ya, kalimat itu diucapkan oleh seorang lelaki yang berpakaian pengantin. Untuk sesaat, aku mematung tak percaya. Sementara di depan sana, keadaan mulai riuh. Dapat kulihat jelas Aisyah yang berusaha mempertahankan harga dirinya seorang diri. Keadaan menjadi tidak terkendali setelah laki-laki yang menjadi pelabuhan cinta Aisyah itu melemparkan sejumlah foto di depan orang tua, Penghulu, dan Saksi. Keadaan Aisyah semakin kacau, pujaan hatiku itu menangis meraung dan seolah tak ada satu pun berpihak padanya. Aku sakit melihatnya dipermalukan di depan banyak orang, dibuang dan dihina oleh keluarganya sendiri karena pernyataan Adnan mengenai perilaku bejatnya dengan seorang pria. "Ih serius? Wanita jalang seperti ini yang mau dinikahi oleh Adnan? Gila!" Aku mendengar ucapan seseorang, sepertinya dari pihak keluarga Adnan. “Bersyukurlah diceraikan sekarang, gak kebayang kalo sampe pernikahan mereka berlanjut. Ngeri!” “Enggak nyangka, ya, beda banget sama penampilannya!” “Sudah biasa! Jaman sekarang penampilan dan kelakuan bisa saling bertolak belakang.” Berbagai hujatan yang dilontarkan terdengar olehku dan itu cukup membuat sesak. Tak ingin mendengar lagi yang lebih pedas dari mulut mereka, aku putuskan untuk membubarkan mereka yang hadir. Cukup susah awalnya, tetapi akhirnya semua bisa diatasi dan mereka mulai meninggalkan ruangan ini. Sementara itu, Aisyah masih berjuang sendiri. Tak ada satu pun yang membelanya, termasuk aku.Ya, aku lebih memilih meninggalkan ruangan ini dan kembali ke mobil. Duduk di belakang kemudi seraya meremas kasar rambutku. Aku kecewa, datang dengan berniat memberikan kejutan padanya, nyatanya malah aku sendiri yang terkejut dengan apa yang terjadi. Aisyah, benarkah kamu seperti itu? Benarkah kamu seperti yang dituduhkan lelaki itu? Lalu bukti foto itu? Ah, semuanya cukup membuat aku frustrasi dan kecewa padamu Aisyah! Tidak! Bukan ini yang aku harapkan, Aisyah. Harusnya ini menjadi hari bahagiamu bukan? Kenapa malah begini? Kenapa kamu harus menangis di pesta pernikahanmu sendiri? Kenapa kamu harus dipermalukan di depan semua orang oleh pria yang kamu cintai dengan tulus? Kenapa orang tuamu begitu kejam memperlakukan putri berharga mereka. Cukup lama aku hanya berdiam diri di dalam mobil hingga akhirnya aku melihat Aisyah berlari seperti sedang mengejar seseorang dan masih mengenakan baju pengantinnya. Aku menyalakan mesin dan bergerak mengikutinya.BAB 7MENUNJUKKAN BUKTI Dalam perjalanan pulang, kami tidak banyak bicara. Kepalaku rasanya mau pecah dengan semua kemungkinan dan kebenaran yang ada. Juga, mengenai alasan mengapa orang tuaku menyembunyikan rahasia krusial seperti ini jika memang benar aku memiliki saudara kembar. "Aku harus memastikan kebenaran dari semua ini! Apa pun yang terjadi. Nama baik adalah taruhannya." Tekadku dalam hati. "Kamu baik-baik saja, Aisyah?" tanya Yudha, seraya melirik. Dia tetap fokus mengemudikan mobilnya untuk mengantarku kembali ke apartemen. "Ya? Maaf. Banyak sekali yang tak kumengerti, Yud. Rasanya seperti mimpi, dalam dua hari saja aku dihadapkan pada beberapa peristiwa yang sama sekali tak dapat kupahami.” "Bertahanlah, aku rasa tak lama lagi semua ini akan terjawab. Segera lakukan apa yang kusampaikan tempo hari karena hanya itu satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa dirimu tidak bersalah, Aisyah. Kamu tidak seperti yang mereka tuduhkan sekarang ini.” Ucapan Yuda membuatku m
BUKTI “Buktikan, jangan hanya buang-buang waktuku saja!” Ayah berkata dengan tanpa menoleh ke arahku. Dingin, sikapnya sangat dingin. Hatiku teriris mendengar ucapannya. Ayah yang dulu selalu memperlakukan aku dengan hangat, kini berubah drastis menjadi pembenci paling hebat. Namun, aku tidak bisa menyalahkan mereka yang kecewa atas foto-foto itu. Orang tua manapun, sebebas apa pun mereka mempersilakan sang anak untuk bersosial, pasti akan sakit dan kecewa jika tahu bahwa anaknya sudah menodai diri sendiri, memberikan tubuh pada lelaki tanpa ikatan pernikahan. "Aku sudah membuat janji dengan Dokter Diana. Aku yakin hasilnya nanti akan meruntuhkan rasa kecewa dan marah Ayah padaku," jelasku. Keduanya duduk di kursi tunggu. Ibu masih diam dengan wajah dinginnya. Ayah mendecak kasar. Dia menjawab ucapanku dengan nada tinggi, "kamu masih berani memanggil kami Ayah dan Ibu?" Aku terdiam. Memangnya bagaimana lagi aku harus memanggil mereka? Ikatan darah kami tidak akan pernah
Misteri"Ibu, Ayah … apakah aku memiliki saudara kembar?"“M-maksudmu?”“Ya, Aisyah bertanya apa selama ini Aisyah memiliki saudara kembar?” Aisyah bertanya dengan harapan mendapat jawaban yang bisa menimbulkan titik terang untuk masalahnya.Aku bertanya kepada Ayah yang dari bahasa tubuhnya dapat kutangkap jika Ayah sedang berusaha menutupi sesuatu. Terlebih saat di rumah sakit tadi, secara tak sengaja aku beberapa kali melihat Ibu dan Ayah memainkan mata seolah memberi kode.“Aisyah, kamu adalah putri kami satu-satunya, tak ada alasan kamu untuk menanyakan hal ini kepada kami karena memang hanya kamu seorang, Nak.” “Maaf,Ayah, bagaimana dengan foto itu? Orang yang ada dalam foto itu sangat mirip denganku, sementara foto itu asli tanpa rekayasa.”Ayah kembali termenung, kali ini kedua alisnya tertaut, sementara Ibu menghela napas dalam. Wanita yang melahirkanku itu tampak seperti tak tenang.“Ayah, Ibu, Aisyah ingin menunjukkan sesuatu,” ucapku seraya membuka tas tangan yang sedar
Bab 10: “Kita harus ceritakan semuanya pada Aisyah, Yah.””Ibu benar, tapi bukankah kita juga belum tahu yang sebenarnya terjadi? Ayah akan mencari informasi dulu, setelah yakin, baru Ayah akan ceritakan semuanya pada Aisyah.”“Kita harus kembali ke panti itu, Yah, semoga ada petunjuk.”“Iya, sekarang Ibu fokus sehat dulu. Kalau Ibu seperti ini, gimana kita bisa pergi ke panti?”Panti? Ayah dan Ibu bicara soal panti, apa sebenarnya yang disembunyikan orang tuaku? Kuputar gagang pintu seraya mengucap salam, “Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam. Kok, lama sekali, Nak?”“Maaf, Yah, tadi Yudha telepon katanya mau ke sini, jadi Aisyah tunggu dulu tapi lama. Ya, udah ditinggal saja.”“Oalah, anak baik itu mau ke sini?” Kujawab pertanyaan Ayah dengan anggukan. Tidak mungkin kuberitahukan pada Ayah bahwa aku bertemu dengan ibunya Mas Adnan, dan mengenai kondisi mantan suamiku itu. Selama ini Ayah mengenal Mas Ardan sebagai pria yang taat agama, mustahil terjerumus pada hal-hal yang ber
PoV Yudha“Hei! Siapa itu!” Terdengar seruan Om Rahadi dari luar kamar dan refleks membuatku berlari menghampiri.“Ada apa, Om?” tanyaku.“Ada seseorang mengendap barusan.”“Ke mana sekarang, Om?”“Lari ke arah sana.” Aku mengikuti arah yang ditunjukkan Om Rahadi, masih terlihat seseorang berlari menjauh, gegas aku mengejarnya, tak begitu sulit. Kini jarak kami sudah semakin mendekat dan jelas terlihat kalau dia ... seorang wanita!“Hei, Tunggu!” aku semakin melebarkan langkah untuk segera dapat menyusulnya.“Tunggu!” Kini aku telah benar-benar dapat mengejarnya, kucengkeram pergelangan tangan dan menyeretnya ke tempat yang lebih sepi.“Siapa kamu dan apa maksudmu?”“Lepas, Yudha! Sakit!”Dia menyebut namaku yang artinya dia mengenalku! Dan sepertinya aku tidak asing dengan suaranya.“Ti-Tiara? Apa benar ini kamu, Tiara?” “Ya, ini aku.” Jawabnya seraya melepas masker dan topi yang dikenakannya.“Ngapain kamu di sini? Dan tadi, apa yang kamu lakukan?” selidikku.“Hanya mengikutimu.”
Misteri sebelah antingSudah dua hari tak ada kabar apa pun dari Yudha. Tumben, aneh sekali dia. Sejak di rumah sakit tempo hari, dia tak pernah muncul lagi. Tentang perempuan yang Ayah pergoki tengah mengendap pun tak jelas infonya, hilang bersama dengan si pencari info.Ponsel Yudha pun selama dua hari ini tidak aktif. Ah, apa dia ke Singapore, ya? Bukankah selama ini Yudha selalu bolak-balik Singapore untuk mengurus bisnis ayahnya. “Ya, sudahlah nanti juga dia nongol sendiri.” “Syah ....” Terdengar panggilan Ibu dari arah belakang dan sukses membuatku melonjak.“Ibu ....” Tak bisa kusembunyikan rasa kagetku.“Aisyah lagin mikirin apa? Kok, sekaget itu?“Enggak, Bu, Aisyah hanya kepikiran Yudha. Kok, sudah dua hari ini enggak ada kabar sama sekali.“Hmm, mungkin Nak Yudha sedang banyak urusan dan gak sempat kasih kabar,” ucap Ibu bijak.“Maybe,” jawabku seraya menghampiri Ibu dan duduk di sampignya.Aku menatap wajah Ibu yang katanya lebih mirip aku, padahal menurutku terbalik, a
BAB 13_Siapa yang Melakukan Ini?Ya,Tuhan! Aku baru menyadarinya jika tadi Tiara hanya mengenakan sebelah anting, dan ... anting itu, ya, tak salah lagi ... sebelah antingnya, ada padaku!Gegas aku mengejarnya, aku tidak akan bertanya lagi kenapa ia menggunakan anting sebelah saja. “Ini bukan satu kebetulan, aku yakin itu!” Kupercepat langkah, Tiara jangan sampai lolos. Aku harus mendapat jawaban saat ini juga.“Aisyah ....” Tiba-tiba seseorang memanggil sehingga menghentikan langkahku.“Mama ....”“Sudah? Kita pulang?”“Ehm, itu, Ma ... sebentar, Ma, Aisyah ada perlu dulu,” ucapku seraya melanjutkan langkah tanpa menunggu jawaban Mama yang bertanya, ”Ada apa? Yudha kenapa?”Kini aku telah sampai di lobi rumah sakit dan mataku tak dapat menemukan Tiara, ke mana dia? Secepat itu dia pergi? Aku celingukan mencarinya, tetapi masih juga tak kutemukan. Si*l! Kuputuskan untuk kembali ke ruangan Yudha, dengan langkah gontai dan kepala dijejali beribu pertanyaan aku menuju kamar Yudha.Sa
Bertahanlah, Yudha!Astagfirullah!Mas Adnan dan Yudha pernah menjadi saingan bisnis dan berujung kekalahan pada Mas Adnan, tetapi ... Mas Adnan? Ah, tidak mungkin!Segera aku mengusir pikiran itu. Tidak mungkin! Mas Adnan orang baik dan saleh tidak mungkin melakukan hal kotor itu dan lagi kini Mas Adnan tengah dirawat karena percobaan bu nuh diri. Ya Tuhan! Kembali pikiran negatif hinggap di kepalaku. Mas Adnan bisa melakukan percobaan bu nuh diri tidak menutup kemungkinan juga bisa membayar orang untuk mencelakai Yudha, bukankah melakukan itu tidak harus dengan tangan sendiri? Apalagi seorang Adnan, tidak sulit baginya mengeluarkan berapa pun untuk kepuasan hatinya. Bukankah Mas Adnan juga seorang manusia?Akan tetapi, jika benar Mas Adnan pelakunya, lantas mengapa dia melakukan percobaan bu nuh diri? Lalu misi menghabisi Yudha untuk apa?“Aaarrghh ....” Aku meremas kepala dan mencengkeram rambut dengan kuat sebagai luapan emosi yang tak dapat kutumpahkan.“Syah ... kenapa? Ada apa?
Bab 80 TAMAT “Masa, sih, itu bukan dia? Mirip banget, Ah.” ~@Dyannie_Alexander.. “Katanya udah ada konfirmasi kalau itu bukan dia, masalahnya udah beres.” ~@Adelia Bellez. “Jaman sekarang emang ngeri banget! Semua bisa dimanipulasi jadi semirip mungkin. Semangat, Kak!” ~@Rina Novita. “Kayaknya emang bukan dia deh. Itu mah cuman orang yang gak suka sama dia. Dia kan penulis sukses, makanya pada iri terus sengaja ngejebak dia pake foto palsu.” ~@Noeroel Arifin. “Ini bukan pengalihan isu, kan? Atau klarifikasinya bohong biar dia dapet simpati, terus bukunya laris lagi?” ~@HambaAllahpalingtaat. “Gue tim Kakak ini, sih, dari dulu, gak pernah ikut ngehujat.” ~@Rafika_Duri.Merasa bosan dan kesepian, pagi hariku setelah sarapan diawali dengan membuka komentar-komentar di media sosial. Ujaran kebencian yang waktu itu sempat memenuhi setiap postingan mengenai diriku, kini mulai reda. Padahal, dulu mereka orang-orang yang sama sekali tidak mengenal aku secara nyata sampai memburu ke ak
BAB 79_Adnan Minta RujukBeberapa minggu kemudian, di sebuah ballroom hotel ternama …. Beberapa orang sibuk berlalu lalang, memasang pernak-pernik, menghias ruangan itu dengan beberapa yang memberikan kesan mewah dan indah. Sebagiannya lagi sibuk mendekorasi, mengatur kursi-kursi untuk tamu undangan, tata letak bunga-bungaan untuk menambah kesan mewah, dan panggung utama yang menjadi puncak perhatian dari kedua mempelai. Aku ikut andil dalam proses mempersiapkan semua ini agar hasilnya sesuai dengan yang diinginkan. Sementara Azmina …. “Aisyah!” Gadis itu memanggilku dari arah belakang. Dia datang dengan wajah berseri bersama calon suaminya, Raja yang juga memberikan kesan hangat padaku. “Mina, kok, malah ke sini? Harusnya kamu istirahat. Nanti malam, kan, acaranya jangan sampe kecapean kamu kecapean, lho,” ucapku merasa khawatir. Azmina tiba-tiba memelukku dengan erat sambil berucap, “Jangan khawatir, habis ini aku langsung pulang, kok. Aku ke sini mau bilang makasih ban
Bab 78Dilamar Malam hari setelah pulang dari acara jalan-jalan bersama keluarga, aku langsung membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian bersiap-siap untuk Salat Magrib berjamaah di ruang keluarga dengan Ayah sebagai imamnya. Azmina yang masih dalam proses belajar mengenal agama lebih dalam, ikut bergabung bersama kami. Aku sangat bersyukur sekali kepada karunia dan kebahagiaan yang Allah berikan padaku. Semoga kebahagiaan dan kehangatan ini bertahan selamanya. Ayah yang sejak lama tidak mengimami salatku dan Ibu dengan dalih sibuk oleh pekerjaannya, kini mulai berubah. Begitu pula dengan Ibu yang hanya sesekali masak dan lebih sering membeli lauk di luar, kini mulai membiasakan dirinya lagi untuk memasak demi keluarganya yang sudah lengkap. Kedatangan Azmina mengembalikan angin lama yang telah hilang di keluarga kami. Usai salat berjamaah, aku dan Azmina langsung masuk kamar. Kami bercengkerama sebentar sambil menunggu azan Isya tiba. “Aisyah, kamu dan Yudha bagaiman
Bab 77_Kehangatan itu kembali kurasakan “Azmina?” Pria paruh baya itu menatapku dengan tatapan bingung. Dia mengaga selama beberapa menit di depan pintu masuk rumah. Sementara aku menunduk dengan canggung. “Sebenarnya bukan pilihan untuk datang ke sini, tapi Raja enggak bisa dihubungi, mungkin dia lagi enggak di apartemen atau lagi sibuk kerja—” “Ya Allah, Alhamdulillah.” Pria itu memeluk tubuhku dengan erat tanpa mengizinkan aku menyelesaikan alasanku datang kemari. Aku? Entah kenapa tak ingin menolak apalagi berontak. Dia mengusap-ngusap punggungku dengan lembut sambil berkata, “Tidak apa-apa, Sayang. Kamu tidak usah memberikan alasan apa pun untuk pulang ke rumahmu sendiri. Maafkan Ayah dan Ibu, ya.” Mendengar ucapannya, hatiku terenyuh. Tanpa sadar, air mataku jatuh tanpa diminta. Bercucuran sampai membasahi baju yang ia gunakan di bagian dada. Aku menangis seperti anak kecil. Dari dalam rumah, terdengar suara seseorang yang sangat aku kenali. “Siapa, Yah? Kok, lama? Ayo,
Bab 76_Pov Azmina Pria itu datang sambil membawa sebuah keranjang kecil berisi bunga yang ia taburkan di atas pusara Ibu, kemudian menengadahkan tangannya untuk berdoa dengan wajah serius, tetapi tenang. Aku mendorong tubuh Raja untuk menjauh, lalu mendekat pada pria itu sembari menodongnya dengan pertanyaan yang penuh dengan perasaan dendam. “Apa yang Anda lakukan di sini? Berani-beraninya Anda datang ke pemakaman Ibu saya!” Dia menyelesaikan doanya, masih berdiam diri di depan pusara Ibu, menjawab pertanyaanku tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. “Ayah datang untuk mendoakan Ibu angkat kamu, Nak. Ayah juga ingin menyampaikan rasa terima kasih karena dia sudah membesarkan dan memberikan kamu kasih sayang selama Ayah dan Ibu tidak ada di sisimu.” Aku tertawa kecil mengejek ucapan tidak masuk akalnya. Kenapa laki-laki biadab ini berperilaku seolah-olah dia adalah orang tuaku yang berbudi setelah meninggalkan aku selama ini? Setelah aku harus bertahan hidup sebagai pela*ur
Bab 75_Bu, Kenapa meninggalkanku? 77 panggilan tidak terjawab, 105 pesan belum terbaca selama tiga hari. Semuanya berasal dari orang yang sama. Aku ingin sekali mengabaikan semua pesan-pesan itu, tetapi selain dia tidak ada satupun orang di dunia ini yang berpihak padaku, yang menjadi tumpuan dan sandaranku … tidak ada. Apalagi saat ini pikiranku sangat berantakan gara-gara kondisi Ibu. Persetan dengan Rahadi! Dia harus menerima semua konsekuensinya! “Pak, berhenti di depan sana saja, ya, depan toserba.” Sopir taksi meng-iyakan permintaanku. Aku segera turun dan berlari menuju bangunan besar dan megah, lingkungan apartemen yang hanya bisa dimiliki oleh orang tertentu terlepas dari harta kekayaan mereka. Kutekan kata sandi apartemen itu melalui monitor layar sentuh di pintu apartemen. Setelah berhasil terbuka, aku langsung berlari dan memeluknya dengan erat, menangis tersedu-sedu menumpahkan semua kekesalan dan rasa sakit yang membuat isi kepalaku berantakan. Pria itu tertegu
Bab 74_Inikah yang Terbaik? Kepalaku berdenyut sakit saat mata ini perlahan menangkap cahaya terang dan nuansa putih sebuah ruangan. Kemudian, aroma pekat dan pahit … seperti bau obat-obatan, mulai menusuk indra penciumanku. “Silau dan bau obat.” Adalah kesan pertamaku saat berhasil tersadar sepenuhnya. Aku menoleh ke sekeliling, memperhatikan setiap detail kecil ruangan itu. Lalu terfokus pada tubuhku, tangan yang dipasangi jarum infus, dengan monitor detak jantung di samping kanan. Lalu … seorang pria yang sangat aku kenali sosoknya, tengah tertidur dalam keadaan duduk, dengan kepalanya yang menelungkup di samping ranjang. “Yud ….” ucapku dengan suara lemah dan serak. Namun, entah mengapa dia langsung terbangun setelah kupikir tidurnya nyenyak karena terdengar suara dengkuran halus. “Aisyah? Kamu sudah sadar?” Dia menatapku seolah tidak percaya. “Ya Allah, terima kasih! Akhirnya doa-doaku dijawab! Alhamdulillah, Ya Allah!” “Yud ….” Aku ingin bertanya lebih banyak mengen
Bab: 73_PoV Tiara, “Pak Yudha ke mana, ya? Kok, saya nggak lihat dia dari tadi,” tanyaku pada salah satu karyawan yang sedang melintas. “Pak Yudha? Kalau tidak salah lihat, dia keluar dengan tergesa pagi tadi. Memangnya dia tidak bilang apa-apa sama Bu Tiara?” tanyanya balik. Mungkin dia merasa kebingungan, kenapa seorang sekretaris pribadi tidak mengetahui di mana keberadaan Yudha karena seharusnya aku yang mengatur semua jadwal kerjanya, ke mana dia harus pergi dan apa yang harus ia kerjakan hari ini, seharusnya begitu. “Begitu, ya? Ya sudah, terima kasih,” ucapku setelah termenung beberapa saat. Wanita itu mengangguk dan berjalan kembali menuju ruang kerjanya. Aku sendiri memilih untuk memeriksa ke ruangan Yudha. Selain Yudha, hanya aku yang bisa keluar masuk kapan pun ke ruangan itu. Aku melangkah menuju meja kerja Yudha. Sayangnya tak kutemukan apa pun di sana. Padahal, aku berharap dia meninggalkan pesan atau apa pun itu untuk memberitahukan ke mana dia pergi. “Dia sam
Bab 72_ Jangan panggil aku “Nak”! Aku melangkah lunglai menuju ruang inap Ibu. Hatiku sakit saat melihat keadaannya yang tidak kunjung membaik. Pakaiannya kotor, sorot matanya kosong, dan yang keluar dari mulutnya hanya … perihal tragedi malam itu. “Tipu … aku ditipu … mati … masuk penjara … semuanya hancur,” ujar Ibu. Aku mendekatinya, kemudian duduk di samping ranjang Ibu. “Ibu, sudah berapa lama tidak potong rambut?” Benar, rambut putihnya yang sudah menjamur dimana-mana, telah memanjang tidak rapi. “Azmina bantu potong, ya. Ibu tunggu sebentar di sini.” Aku meminjam gunting pada salah satu perawat di rumah sakit. Namun, saat mencoba untuk memotong rambut Ibu, dia malah memberontak. Memukul keras tanganku hingga gunting yang aku pegang jatuh ke lantai. “Pergi! Pergi kamu! Pergi kamu penipu! Semuanya gara-gara kamu! Dasar manusia biadab tidak tahu diuntung! Sudah baik suami saya ke kamu! Kamu malah menipu kami!” teriak nya keras. Tidak berhenti sampai sana, kini Ibu de