Share

Menunjukkan Bukti

last update Last Updated: 2024-05-19 05:58:46

BAB 7

MENUNJUKKAN BUKTI

 Dalam perjalanan pulang, kami tidak banyak bicara. Kepalaku rasanya mau pecah dengan semua kemungkinan dan kebenaran yang ada. Juga, mengenai alasan mengapa orang tuaku menyembunyikan rahasia krusial seperti ini jika memang benar aku memiliki saudara kembar.

 "Aku harus memastikan kebenaran dari semua ini! Apa pun yang terjadi. Nama baik adalah taruhannya." Tekadku dalam hati. 

 

 "Kamu baik-baik saja, Aisyah?" tanya Yudha, seraya melirik. Dia tetap fokus mengemudikan mobilnya untuk mengantarku kembali ke apartemen.  

 "Ya? Maaf. Banyak sekali yang tak kumengerti, Yud. Rasanya seperti mimpi, dalam dua hari saja aku dihadapkan pada beberapa peristiwa yang sama sekali tak dapat kupahami.” 

 "Bertahanlah, aku rasa tak lama lagi semua ini akan terjawab. Segera lakukan apa yang kusampaikan tempo hari karena  hanya itu satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa dirimu tidak bersalah, Aisyah. Kamu tidak seperti yang mereka tuduhkan sekarang ini.” Ucapan Yuda membuatku merasa tenang. Dia memang selalu bisa  meredakan segala situasi sulit yang aku alami selama ini dengan dalih persahabatan. 

Waktu sudah beranjak sore, kondisi jalanan pun sudah mulai padat. Sesekali Yudha melirik padaku, Ah, andai saja tidak ada dia entah bagaimana aku harus menjalani ini semua sendirian.

“Kita beli makan take away aja, ya?” ungkap Yudha yang kujawab dengan anggukan.

 Kami memasuki area restoran cepat saji dan memilih jalur take away. Aku menyerahkan semua pesanan pada Yudha. Menyandarkan tubuh dan memejamkan mata. Itu yang kulakukan.

Tak butuh waktu lama, semua pesanan sudah didapatkan dan kami pun segera meluncur untuk kembali ke apartemen.

 "Aisyah, kamu ingat tidak kalau kita dulu sering bolos sekolah waktu SMA hanya untuk menonton bioskop?” tanya Yudha tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang sama sekali enggak penting.

 "Ehm.” Aku hanya mendeham tanpa membuka mata.

 "Hahaha. Isi kepalamu itu hanya ada Adnan, ya." 

 Aku tidak menjawab, hanya tersenyum simpul. Memang benar, aku tidak pernah berhenti mendambakan pria itu sampai kini, bahkan ketika dia  sudah mempermalukan aku di depan banyak orang, dan hati ini  membelanya dengan alasan, "Wajar dia seperti itu jika meyakini bahwa wanita yang dicintainya telah berhubungan dengan pria lain. Pria mana pun pasti akan kecewa." Namun, ada rasa sakit yang membuncah di dada, kenapa Mas Adnan tidak memilih untuk membicarakan dulu sebelum bertindak.

 Setibanya di apartemen, aku langsung masuk kamar untuk menunaikan salat Asar yang hampir habis waktunya, begitu pun Yudha, ia salat di kamar sebelah.

 Selesai salat, aku memilih duduk berlama-lama di atas sajadah dan memanjatkan segala pinta, khususnya untuk jalan yang akan kutempuh saat ini karena aku yakin hanya cara ini satu-satunya yang akan mengembalikan nama baikku.

Ketukan kecil di pintu menyadarkan ku, rupanya aku sudah terlalu lama membiarkan Yudha menunggu.

“Ya ....”

“Aisyah, kamu baik-baik saja?” tanyanya dari balik pintu.

“Iya, sebentar aku keluar.”

Setelah melipat mukena dan meletakkannya di atas sajadah, gegas kukenakan hijab instan dan menemui Yudha.

“Makanlah dulu, makan siang kita sudah sangat terlambat,” ujarnya seraya meletakkan makanan yang telah ia buka dan susun di atas mini bar.

 “Yud, aku mau telepon Ibu,” ucapku.

“Ya, lebih cepat lebih baik, tapi sekarang ... selesaikan dulu makanmu. Isi perutmu jangan sampai sakit,” ucap Yudha dengan mulut penuh makanan. Aku mengangguk dan melanjutkan makan walau tanpa selera.

 "Ibu tidak mau mengangkat teleponku,” lirihku setelah beberapa kali melakukan panggilan ke nomor Ibu. Aku merasa kecewa dan marah, ingin cepat-cepat menyelesaikan semua masalah yang membelenggu kepala, masalah yang membuatku jatuh terperosok begitu dalam dan  membuatku kehilangan banyak hal. 

Ya, setelah kejadian kemarin. Namaku benar-benar tercemar. Kulihat namaku dikeluarkan tanpa konfirmasi dari beberapa WAG komunitas literasi yang di dalamnya aku didaulat sebagai Founder sekaligus Mentor, tak apa. 

Akan kubuktikan jika aku memang tidak bersalah dan setelah semuanya selesai, aku akan kembali. Namun, jika memang kejadian kemarin telah mematikan karierku, aku ikhlas.

 "Coba kamu kirim pesan, Aisyah. Siapa tahu Ibu membaca pesannya." 

 "Baiklah, semoga saja Ibu membacanya." 

 Aku kemudian mengirimkan pesan teks yang berisi, [Bu, tolong Aisyah.  Beri Aisyah kesempatan untuk membuktikan bahwa yang di foto itu benar-benar bukan Aisyah, Bu.] kirim.

Beberapa menit berlalu, pesanku tidak ada balasan, jangankan membalas, ternyata dibaca pun tidak. Entah nomorku diblokir atau jaringan internetnya sengaja dimatikan karena tanda centang di aplikasi chating itu hanya satu. 

 "Bagaimana? Sudah dibaca pesannya?" 

 Aku menggeleng, tertunduk lesu. 

 "Bagaimana cara menjelaskan semuanya jika mereka tidak memberikan aku kesempatan untuk membela diri dan mengatakan kebenarannya?" 

 "Tenang, Aisyah. Aku yakin pasti ada jalan. Berikan mereka sedikit waktu untuk berpikir. Kita tunggu saja dulu. Jika masih belum dibalas juga, sepertinya harus mencoba cara lain." 

 

“Cara lain?”

“Ya, sedang kupikirkan.”

 Aku pasrah dan mengikuti usulan Yudha. Setelah menunggu lebih dari sepuluh menit tanpa kepastian apa pun, hingga akhirnya …. 

 

Satu notifikasi pesan masuk yang berasal dari aplikasi chatting.  Aku membukanya dengan hati berdebar-debar. Memicingkan mata, berharap bahwa sang pengirim pesan adalah Ibu dan ternyata benar!

 "Yudha! Yudha!" 

  "Dibalas?" Yudha baru selesai membuat dua gelas teh untuk kami minum bersama. 

 "Iya! Ibu membalas pesanku." 

 "Apa katanya?" 

Gegas kubuka pesan balasan dari Ibu.

[Caranya?]

Hanya itu balasan yang dikirimkan Ibu. Tak apa, ini sudah cukup untuk membuka komunikasi di antara kami. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera kukirimkan pesan terpenting untuk Ibu.

[Baiklah, jangan membuat kami kecewa lagi, Aisyah.]

Itu merupakan balasan selanjutnya dari Ibu, aku mengucap syukur. Akhirnya aku akan segera memberikan bukti yang merupakan kunci dari masalah ini.

 Malam ini aku sungguh tidak dapat memejamkan mata  hingga waktu Subuh menjelang. Tak sabar ingin segera  melaksanakan apa yang telah direncanakan. 

Sebentar lagi sudah masuk waktu Subuh, segera kuambil wudu dan melaksanakan salat sunat qabliah dan dilanjut dengan salat wajib.

Dering ponsel berkali-kali, membuatku terbangun. Rupanya setelah salat tadi aku tertidur di atas sajadah.

  Telepon dari Yudha.

[Aku di depan pintu.] 

Gegas aku keluar kamar untuk membukakan pintu tanpa melepas mukena.

“Kok belum siap?” tanya Yudha saat melihat aku masih mengenakan mukena dengan wajah kuyu.

“Maaf, aku ketiduran,” jawabku seraya melihat jam yang tergantung di dinding. Ya Tuhan, sudah jam delapan! Ternyata selama itu aku tertidur.

“Bersiaplah, aku sudah membawakan sarapan,” ucap Yudha seraya melangkah menuju mini bar.

Tanpa menjawab aku masuk kamar dan gegas membersihkan diri lalu bersiap.

Kini, kami telah di perjalanan menuju rumah sakit untuk bertemu dengan Dokter yang tentu saja untuk urusan membuat janji sudah dilakukan Yudha, entah kapan dia melakukan itu yang pasti aku dijadwalkan bertemu Dokter pukul 9.30 WIB.

 

 Setelah sampai, kami menitipkan catatan pada resepsionis agar memberitahukan orang tuaku bahwa aku menunggu di lantai dua. 

 "Baik, kami akan menyampaikan pesan Anda." 

 “Terima kasih.”

 

 "Aisyah, aku tidak  ikut masuk. Aku tunggu di luar saja. Jangan sampai kebersamaan kita menjadikan masalah baru untukmu. Bisa saja orang tuamu salah sangka padaku jika melihat aku bersamamu kan?" 

 Ucapan Yuda ada benarnya. Ayah dan Ibu memutuskan untuk tidak percaya dengan kata-kata putri mereka sendiri, terlebih pada orang asing tanpa ikatan darah, meskipun mereka sudah mengenal Yuda dengan baik sejak kami kecil. 

 "Tenang saja. Aku akan tunggu sampai semuanya selesai.”

Aku mengangguk.

 Yudha membalikkan badan dan berjalan keluar.

“Yudha ....” 

Laki-laki itu menghentikan langkahnya yang belum jauh saat mendengar aku memanggilnya.

“Ya, ada apa?”

“Terima kasih,” ucapku dengan menahan rasa hangat di kelopak mata.

“Ah, kamu ini. Sudah, sana naik.”

Aku tersenyum dan segera naik ke lantai dua untuk bertemu dengan Dokter.

 Aku duduk dengan gelisah sambil menunggu orang tuaku, masih ada waktu sekitar tiga puluh menit. Setelah lima belas menit  berlalu, akhirnya Ibu dan Ayah datang. 

 Wajah mereka tetap dingin, sama seperti waktu itu. Tidak memberikan pelukan hangat atau ucapan kasih sayang seperti yang biasanya mereka lakukan. Terlebih Ayah, yang sedari tadi memalingkan wajah dariku.

Related chapters

  • Akad Tanpa Malam Pertama    Bukti

    BUKTI “Buktikan, jangan hanya buang-buang waktuku saja!” Ayah berkata dengan tanpa menoleh ke arahku. Dingin, sikapnya sangat dingin. Hatiku teriris mendengar ucapannya. Ayah yang dulu selalu memperlakukan aku dengan hangat, kini berubah drastis menjadi pembenci paling hebat. Namun, aku tidak bisa menyalahkan mereka yang kecewa atas foto-foto itu. Orang tua manapun, sebebas apa pun mereka mempersilakan sang anak untuk bersosial, pasti akan sakit dan kecewa jika tahu bahwa anaknya sudah menodai diri sendiri, memberikan tubuh pada lelaki tanpa ikatan pernikahan. "Aku sudah membuat janji dengan Dokter Diana. Aku yakin hasilnya nanti akan meruntuhkan rasa kecewa dan marah Ayah padaku," jelasku. Keduanya duduk di kursi tunggu. Ibu masih diam dengan wajah dinginnya. Ayah mendecak kasar. Dia menjawab ucapanku dengan nada tinggi, "kamu masih berani memanggil kami Ayah dan Ibu?" Aku terdiam. Memangnya bagaimana lagi aku harus memanggil mereka? Ikatan darah kami tidak akan pernah

    Last Updated : 2024-05-20
  • Akad Tanpa Malam Pertama    Misteri

    Misteri"Ibu, Ayah … apakah aku memiliki saudara kembar?"“M-maksudmu?”“Ya, Aisyah bertanya apa selama ini Aisyah memiliki saudara kembar?” Aisyah bertanya dengan harapan mendapat jawaban yang bisa menimbulkan titik terang untuk masalahnya.Aku bertanya kepada Ayah yang dari bahasa tubuhnya dapat kutangkap jika Ayah sedang berusaha menutupi sesuatu. Terlebih saat di rumah sakit tadi, secara tak sengaja aku beberapa kali melihat Ibu dan Ayah memainkan mata seolah memberi kode.“Aisyah, kamu adalah putri kami satu-satunya, tak ada alasan kamu untuk menanyakan hal ini kepada kami karena memang hanya kamu seorang, Nak.” “Maaf,Ayah, bagaimana dengan foto itu? Orang yang ada dalam foto itu sangat mirip denganku, sementara foto itu asli tanpa rekayasa.”Ayah kembali termenung, kali ini kedua alisnya tertaut, sementara Ibu menghela napas dalam. Wanita yang melahirkanku itu tampak seperti tak tenang.“Ayah, Ibu, Aisyah ingin menunjukkan sesuatu,” ucapku seraya membuka tas tangan yang sedar

    Last Updated : 2024-05-21
  • Akad Tanpa Malam Pertama    Masih Misteri

    Bab 10: “Kita harus ceritakan semuanya pada Aisyah, Yah.””Ibu benar, tapi bukankah kita juga belum tahu yang sebenarnya terjadi? Ayah akan mencari informasi dulu, setelah yakin, baru Ayah akan ceritakan semuanya pada Aisyah.”“Kita harus kembali ke panti itu, Yah, semoga ada petunjuk.”“Iya, sekarang Ibu fokus sehat dulu. Kalau Ibu seperti ini, gimana kita bisa pergi ke panti?”Panti? Ayah dan Ibu bicara soal panti, apa sebenarnya yang disembunyikan orang tuaku? Kuputar gagang pintu seraya mengucap salam, “Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam. Kok, lama sekali, Nak?”“Maaf, Yah, tadi Yudha telepon katanya mau ke sini, jadi Aisyah tunggu dulu tapi lama. Ya, udah ditinggal saja.”“Oalah, anak baik itu mau ke sini?” Kujawab pertanyaan Ayah dengan anggukan. Tidak mungkin kuberitahukan pada Ayah bahwa aku bertemu dengan ibunya Mas Adnan, dan mengenai kondisi mantan suamiku itu. Selama ini Ayah mengenal Mas Ardan sebagai pria yang taat agama, mustahil terjerumus pada hal-hal yang ber

    Last Updated : 2024-05-22
  • Akad Tanpa Malam Pertama    PoV Yudha

    PoV Yudha“Hei! Siapa itu!” Terdengar seruan Om Rahadi dari luar kamar dan refleks membuatku berlari menghampiri.“Ada apa, Om?” tanyaku.“Ada seseorang mengendap barusan.”“Ke mana sekarang, Om?”“Lari ke arah sana.” Aku mengikuti arah yang ditunjukkan Om Rahadi, masih terlihat seseorang berlari menjauh, gegas aku mengejarnya, tak begitu sulit. Kini jarak kami sudah semakin mendekat dan jelas terlihat kalau dia ... seorang wanita!“Hei, Tunggu!” aku semakin melebarkan langkah untuk segera dapat menyusulnya.“Tunggu!” Kini aku telah benar-benar dapat mengejarnya, kucengkeram pergelangan tangan dan menyeretnya ke tempat yang lebih sepi.“Siapa kamu dan apa maksudmu?”“Lepas, Yudha! Sakit!”Dia menyebut namaku yang artinya dia mengenalku! Dan sepertinya aku tidak asing dengan suaranya.“Ti-Tiara? Apa benar ini kamu, Tiara?” “Ya, ini aku.” Jawabnya seraya melepas masker dan topi yang dikenakannya.“Ngapain kamu di sini? Dan tadi, apa yang kamu lakukan?” selidikku.“Hanya mengikutimu.”

    Last Updated : 2024-05-23
  • Akad Tanpa Malam Pertama    Misteri Sebelah Anting

    Misteri sebelah antingSudah dua hari tak ada kabar apa pun dari Yudha. Tumben, aneh sekali dia. Sejak di rumah sakit tempo hari, dia tak pernah muncul lagi. Tentang perempuan yang Ayah pergoki tengah mengendap pun tak jelas infonya, hilang bersama dengan si pencari info.Ponsel Yudha pun selama dua hari ini tidak aktif. Ah, apa dia ke Singapore, ya? Bukankah selama ini Yudha selalu bolak-balik Singapore untuk mengurus bisnis ayahnya. “Ya, sudahlah nanti juga dia nongol sendiri.” “Syah ....” Terdengar panggilan Ibu dari arah belakang dan sukses membuatku melonjak.“Ibu ....” Tak bisa kusembunyikan rasa kagetku.“Aisyah lagin mikirin apa? Kok, sekaget itu?“Enggak, Bu, Aisyah hanya kepikiran Yudha. Kok, sudah dua hari ini enggak ada kabar sama sekali.“Hmm, mungkin Nak Yudha sedang banyak urusan dan gak sempat kasih kabar,” ucap Ibu bijak.“Maybe,” jawabku seraya menghampiri Ibu dan duduk di sampignya.Aku menatap wajah Ibu yang katanya lebih mirip aku, padahal menurutku terbalik, a

    Last Updated : 2024-05-24
  • Akad Tanpa Malam Pertama    Siapa yang Melakukan ini?

    BAB 13_Siapa yang Melakukan Ini?Ya,Tuhan! Aku baru menyadarinya jika tadi Tiara hanya mengenakan sebelah anting, dan ... anting itu, ya, tak salah lagi ... sebelah antingnya, ada padaku!Gegas aku mengejarnya, aku tidak akan bertanya lagi kenapa ia menggunakan anting sebelah saja. “Ini bukan satu kebetulan, aku yakin itu!” Kupercepat langkah, Tiara jangan sampai lolos. Aku harus mendapat jawaban saat ini juga.“Aisyah ....” Tiba-tiba seseorang memanggil sehingga menghentikan langkahku.“Mama ....”“Sudah? Kita pulang?”“Ehm, itu, Ma ... sebentar, Ma, Aisyah ada perlu dulu,” ucapku seraya melanjutkan langkah tanpa menunggu jawaban Mama yang bertanya, ”Ada apa? Yudha kenapa?”Kini aku telah sampai di lobi rumah sakit dan mataku tak dapat menemukan Tiara, ke mana dia? Secepat itu dia pergi? Aku celingukan mencarinya, tetapi masih juga tak kutemukan. Si*l! Kuputuskan untuk kembali ke ruangan Yudha, dengan langkah gontai dan kepala dijejali beribu pertanyaan aku menuju kamar Yudha.Sa

    Last Updated : 2024-05-25
  • Akad Tanpa Malam Pertama    Bertahanlah Yudha!

    Bertahanlah, Yudha!Astagfirullah!Mas Adnan dan Yudha pernah menjadi saingan bisnis dan berujung kekalahan pada Mas Adnan, tetapi ... Mas Adnan? Ah, tidak mungkin!Segera aku mengusir pikiran itu. Tidak mungkin! Mas Adnan orang baik dan saleh tidak mungkin melakukan hal kotor itu dan lagi kini Mas Adnan tengah dirawat karena percobaan bu nuh diri. Ya Tuhan! Kembali pikiran negatif hinggap di kepalaku. Mas Adnan bisa melakukan percobaan bu nuh diri tidak menutup kemungkinan juga bisa membayar orang untuk mencelakai Yudha, bukankah melakukan itu tidak harus dengan tangan sendiri? Apalagi seorang Adnan, tidak sulit baginya mengeluarkan berapa pun untuk kepuasan hatinya. Bukankah Mas Adnan juga seorang manusia?Akan tetapi, jika benar Mas Adnan pelakunya, lantas mengapa dia melakukan percobaan bu nuh diri? Lalu misi menghabisi Yudha untuk apa?“Aaarrghh ....” Aku meremas kepala dan mencengkeram rambut dengan kuat sebagai luapan emosi yang tak dapat kutumpahkan.“Syah ... kenapa? Ada apa?

    Last Updated : 2024-05-26
  • Akad Tanpa Malam Pertama    Dokter Pramudya Aksana

    Dokter Pramudya Aksana.Sudah tiga hari Yudha berada di ruang ICU, selama itu pula belum ada perkembangan yang lebih baik. Aku hanya bisa menatapnya melalui dinding kaca. Hari ini, aku berencana akan meminta izin pada Dokter supaya bisa masuk. Ingin rasanya membisikkan kalimat-kalimat penyemangat untuk Yudha.Dokter yang menangani Yudha belum datang, menurut informasi yang kuterima beliau akan datang sekitar satu jam lagi. Kugunakan waktu itu untuk sarapan, saat berangkat tadi aku tak sempat sarapan karena ingin segera sampai di rumah sakit dan melihat keadaan Yudha.Tepat saat aku mengangkat sendok untuk memasukkan suapan terakhirku ke mulut, netra ini menangkap pemandangan yang cukup membuat dada ini berdesir.Di ujung koridor, tepatnya di sebuah taman kecil, Mas Adnan duduk di kursi roda dengan ditemani Sheila, adik perempuannya.Tatapannya lurus ke depan. Kosong. Sementara Sheila asyik dengan ponselnya. Tak ingin mereka melihatku, segera membayar makanan dan pergi dari tempat itu

    Last Updated : 2024-05-27

Latest chapter

  • Akad Tanpa Malam Pertama    ENDING

    Bab 80 TAMAT “Masa, sih, itu bukan dia? Mirip banget, Ah.” ~@Dyannie_Alexander.. “Katanya udah ada konfirmasi kalau itu bukan dia, masalahnya udah beres.” ~@Adelia Bellez. “Jaman sekarang emang ngeri banget! Semua bisa dimanipulasi jadi semirip mungkin. Semangat, Kak!” ~@Rina Novita. “Kayaknya emang bukan dia deh. Itu mah cuman orang yang gak suka sama dia. Dia kan penulis sukses, makanya pada iri terus sengaja ngejebak dia pake foto palsu.” ~@Noeroel Arifin. “Ini bukan pengalihan isu, kan? Atau klarifikasinya bohong biar dia dapet simpati, terus bukunya laris lagi?” ~@HambaAllahpalingtaat. “Gue tim Kakak ini, sih, dari dulu, gak pernah ikut ngehujat.” ~@Rafika_Duri.Merasa bosan dan kesepian, pagi hariku setelah sarapan diawali dengan membuka komentar-komentar di media sosial. Ujaran kebencian yang waktu itu sempat memenuhi setiap postingan mengenai diriku, kini mulai reda. Padahal, dulu mereka orang-orang yang sama sekali tidak mengenal aku secara nyata sampai memburu ke ak

  • Akad Tanpa Malam Pertama    Adnan Minta Rujuk

    BAB 79_Adnan Minta RujukBeberapa minggu kemudian, di sebuah ballroom hotel ternama …. Beberapa orang sibuk berlalu lalang, memasang pernak-pernik, menghias ruangan itu dengan beberapa yang memberikan kesan mewah dan indah. Sebagiannya lagi sibuk mendekorasi, mengatur kursi-kursi untuk tamu undangan, tata letak bunga-bungaan untuk menambah kesan mewah, dan panggung utama yang menjadi puncak perhatian dari kedua mempelai. Aku ikut andil dalam proses mempersiapkan semua ini agar hasilnya sesuai dengan yang diinginkan. Sementara Azmina …. “Aisyah!” Gadis itu memanggilku dari arah belakang. Dia datang dengan wajah berseri bersama calon suaminya, Raja yang juga memberikan kesan hangat padaku. “Mina, kok, malah ke sini? Harusnya kamu istirahat. Nanti malam, kan, acaranya jangan sampe kecapean kamu kecapean, lho,” ucapku merasa khawatir. Azmina tiba-tiba memelukku dengan erat sambil berucap, “Jangan khawatir, habis ini aku langsung pulang, kok. Aku ke sini mau bilang makasih ban

  • Akad Tanpa Malam Pertama    Dilamar

    Bab 78Dilamar Malam hari setelah pulang dari acara jalan-jalan bersama keluarga, aku langsung membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian bersiap-siap untuk Salat Magrib berjamaah di ruang keluarga dengan Ayah sebagai imamnya. Azmina yang masih dalam proses belajar mengenal agama lebih dalam, ikut bergabung bersama kami. Aku sangat bersyukur sekali kepada karunia dan kebahagiaan yang Allah berikan padaku. Semoga kebahagiaan dan kehangatan ini bertahan selamanya. Ayah yang sejak lama tidak mengimami salatku dan Ibu dengan dalih sibuk oleh pekerjaannya, kini mulai berubah. Begitu pula dengan Ibu yang hanya sesekali masak dan lebih sering membeli lauk di luar, kini mulai membiasakan dirinya lagi untuk memasak demi keluarganya yang sudah lengkap. Kedatangan Azmina mengembalikan angin lama yang telah hilang di keluarga kami. Usai salat berjamaah, aku dan Azmina langsung masuk kamar. Kami bercengkerama sebentar sambil menunggu azan Isya tiba. “Aisyah, kamu dan Yudha bagaiman

  • Akad Tanpa Malam Pertama    Kehangatan itu kembali kurasakan

    Bab 77_Kehangatan itu kembali kurasakan “Azmina?” Pria paruh baya itu menatapku dengan tatapan bingung. Dia mengaga selama beberapa menit di depan pintu masuk rumah. Sementara aku menunduk dengan canggung. “Sebenarnya bukan pilihan untuk datang ke sini, tapi Raja enggak bisa dihubungi, mungkin dia lagi enggak di apartemen atau lagi sibuk kerja—” “Ya Allah, Alhamdulillah.” Pria itu memeluk tubuhku dengan erat tanpa mengizinkan aku menyelesaikan alasanku datang kemari. Aku? Entah kenapa tak ingin menolak apalagi berontak. Dia mengusap-ngusap punggungku dengan lembut sambil berkata, “Tidak apa-apa, Sayang. Kamu tidak usah memberikan alasan apa pun untuk pulang ke rumahmu sendiri. Maafkan Ayah dan Ibu, ya.” Mendengar ucapannya, hatiku terenyuh. Tanpa sadar, air mataku jatuh tanpa diminta. Bercucuran sampai membasahi baju yang ia gunakan di bagian dada. Aku menangis seperti anak kecil. Dari dalam rumah, terdengar suara seseorang yang sangat aku kenali. “Siapa, Yah? Kok, lama? Ayo,

  • Akad Tanpa Malam Pertama    PoV Azmina

    Bab 76_Pov Azmina Pria itu datang sambil membawa sebuah keranjang kecil berisi bunga yang ia taburkan di atas pusara Ibu, kemudian menengadahkan tangannya untuk berdoa dengan wajah serius, tetapi tenang. Aku mendorong tubuh Raja untuk menjauh, lalu mendekat pada pria itu sembari menodongnya dengan pertanyaan yang penuh dengan perasaan dendam. “Apa yang Anda lakukan di sini? Berani-beraninya Anda datang ke pemakaman Ibu saya!” Dia menyelesaikan doanya, masih berdiam diri di depan pusara Ibu, menjawab pertanyaanku tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. “Ayah datang untuk mendoakan Ibu angkat kamu, Nak. Ayah juga ingin menyampaikan rasa terima kasih karena dia sudah membesarkan dan memberikan kamu kasih sayang selama Ayah dan Ibu tidak ada di sisimu.” Aku tertawa kecil mengejek ucapan tidak masuk akalnya. Kenapa laki-laki biadab ini berperilaku seolah-olah dia adalah orang tuaku yang berbudi setelah meninggalkan aku selama ini? Setelah aku harus bertahan hidup sebagai pela*ur

  • Akad Tanpa Malam Pertama    Ibu, kenapa meninggalkanku?

    Bab 75_Bu, Kenapa meninggalkanku? 77 panggilan tidak terjawab, 105 pesan belum terbaca selama tiga hari. Semuanya berasal dari orang yang sama. Aku ingin sekali mengabaikan semua pesan-pesan itu, tetapi selain dia tidak ada satupun orang di dunia ini yang berpihak padaku, yang menjadi tumpuan dan sandaranku … tidak ada. Apalagi saat ini pikiranku sangat berantakan gara-gara kondisi Ibu. Persetan dengan Rahadi! Dia harus menerima semua konsekuensinya! “Pak, berhenti di depan sana saja, ya, depan toserba.” Sopir taksi meng-iyakan permintaanku. Aku segera turun dan berlari menuju bangunan besar dan megah, lingkungan apartemen yang hanya bisa dimiliki oleh orang tertentu terlepas dari harta kekayaan mereka. Kutekan kata sandi apartemen itu melalui monitor layar sentuh di pintu apartemen. Setelah berhasil terbuka, aku langsung berlari dan memeluknya dengan erat, menangis tersedu-sedu menumpahkan semua kekesalan dan rasa sakit yang membuat isi kepalaku berantakan. Pria itu tertegu

  • Akad Tanpa Malam Pertama    Inikah yang terbaik?

    Bab 74_Inikah yang Terbaik? Kepalaku berdenyut sakit saat mata ini perlahan menangkap cahaya terang dan nuansa putih sebuah ruangan. Kemudian, aroma pekat dan pahit … seperti bau obat-obatan, mulai menusuk indra penciumanku. “Silau dan bau obat.” Adalah kesan pertamaku saat berhasil tersadar sepenuhnya. Aku menoleh ke sekeliling, memperhatikan setiap detail kecil ruangan itu. Lalu terfokus pada tubuhku, tangan yang dipasangi jarum infus, dengan monitor detak jantung di samping kanan. Lalu … seorang pria yang sangat aku kenali sosoknya, tengah tertidur dalam keadaan duduk, dengan kepalanya yang menelungkup di samping ranjang. “Yud ….” ucapku dengan suara lemah dan serak. Namun, entah mengapa dia langsung terbangun setelah kupikir tidurnya nyenyak karena terdengar suara dengkuran halus. “Aisyah? Kamu sudah sadar?” Dia menatapku seolah tidak percaya. “Ya Allah, terima kasih! Akhirnya doa-doaku dijawab! Alhamdulillah, Ya Allah!” “Yud ….” Aku ingin bertanya lebih banyak mengen

  • Akad Tanpa Malam Pertama    PoV Tiara

    Bab: 73_PoV Tiara, “Pak Yudha ke mana, ya? Kok, saya nggak lihat dia dari tadi,” tanyaku pada salah satu karyawan yang sedang melintas. “Pak Yudha? Kalau tidak salah lihat, dia keluar dengan tergesa pagi tadi. Memangnya dia tidak bilang apa-apa sama Bu Tiara?” tanyanya balik. Mungkin dia merasa kebingungan, kenapa seorang sekretaris pribadi tidak mengetahui di mana keberadaan Yudha karena seharusnya aku yang mengatur semua jadwal kerjanya, ke mana dia harus pergi dan apa yang harus ia kerjakan hari ini, seharusnya begitu. “Begitu, ya? Ya sudah, terima kasih,” ucapku setelah termenung beberapa saat. Wanita itu mengangguk dan berjalan kembali menuju ruang kerjanya. Aku sendiri memilih untuk memeriksa ke ruangan Yudha. Selain Yudha, hanya aku yang bisa keluar masuk kapan pun ke ruangan itu. Aku melangkah menuju meja kerja Yudha. Sayangnya tak kutemukan apa pun di sana. Padahal, aku berharap dia meninggalkan pesan atau apa pun itu untuk memberitahukan ke mana dia pergi. “Dia sam

  • Akad Tanpa Malam Pertama    Jangan panggil aku, "Nak!"

    Bab 72_ Jangan panggil aku “Nak”! Aku melangkah lunglai menuju ruang inap Ibu. Hatiku sakit saat melihat keadaannya yang tidak kunjung membaik. Pakaiannya kotor, sorot matanya kosong, dan yang keluar dari mulutnya hanya … perihal tragedi malam itu. “Tipu … aku ditipu … mati … masuk penjara … semuanya hancur,” ujar Ibu. Aku mendekatinya, kemudian duduk di samping ranjang Ibu. “Ibu, sudah berapa lama tidak potong rambut?” Benar, rambut putihnya yang sudah menjamur dimana-mana, telah memanjang tidak rapi. “Azmina bantu potong, ya. Ibu tunggu sebentar di sini.” Aku meminjam gunting pada salah satu perawat di rumah sakit. Namun, saat mencoba untuk memotong rambut Ibu, dia malah memberontak. Memukul keras tanganku hingga gunting yang aku pegang jatuh ke lantai. “Pergi! Pergi kamu! Pergi kamu penipu! Semuanya gara-gara kamu! Dasar manusia biadab tidak tahu diuntung! Sudah baik suami saya ke kamu! Kamu malah menipu kami!” teriak nya keras. Tidak berhenti sampai sana, kini Ibu de

DMCA.com Protection Status