Apakah dia tidak takut tertangkap polisi? Takut ada, tapi anak buah abinya selalu melepaskannya bahkan tanpa melaporkan ke abinya karena berbagai alasan. Diva selalu bisa membuat anak buah abinya itu luluh dalam mode memelasnya. Tapi sialnya kali ini yang menangani adalah omnya sendiri. Maka mungkin tamatlah riwayat seorang DIVA BALAP LIAR dengan julukan “Speed Demon” ya, itu julukan khas dari Diva. Kecuali temans atu tim, jarang yang tahu jika dia seorang wanita, karena jarangnya dia membuka helem.
***MEYYIS***
Malam ini Diva benar-benar tidur di dalam penjara. Dia sedikit merasa kedinginan karena tidur tanpa alas. Untungnya, yang ada dalam penjara juga bukan penjahat kelazs kakap yang beringas.
Sementara itu di rumah, abinya Diva baru saja pulang bertugas dari luar kota. Dia baru saja melepas sepatunya dan meletakkannya di rak yang berada di depan. Uminya membukakan pintu. Dia menerima tas yang diulurkan oleh suaminya. S
Sementara itu, Zafiq menyetir motor trailnya dengan sedikit mengantuk karena memang dia baru pulang. Dia berkali-kali menarik napas agar tidak kalap saat tiba di kantor polisi. Dia tahu, bahwa anaknya itu memang tidak bisa di kekang. Tetapi sungguh tidak menyangka jika anaknya akan seliar itu. Bahkan berani mencuri keluar rumah tanpa permisi. Zafiq merasa sudah gagal sebagai ayah dalam mendidiknya. Dia sduah melihat plang kantor polisi di wilayah otoritasnya. Dia melajukan motornya lebih lambat untuk kemudian berbelok memasuki area kantor tersebut.***Meyyis***Zafiq mnyetandarkan motornya kemudian melangkah jenjang ke dalam. Anak buahnya yang kebetulan papasan dengannya menghormat tanda takdim padanya. Lelaki itu balas menghormat seklejap. Dia langsung masuk ke ruangan Helmy. “Mas, maaf aku sengaja memasukkan dia ke sel. Menurut pengakuan Dedy, ini sudah yang ke tiga kalinya dia mendapati Diva balap liar den terjaring razia.” Zafiq memb
“Ah, busyet ini pilihan yang sulit. Di penjara seumur hidup, bisa-bisa tua di penjara? Tidak kawin, mati sia-sia. Di pesantren? Duh, pakai kerudungan macam umi gerah, panas, nggak modis. Ini bokap ngasih pilihan zonk semua? Bagai makan buah si, si, si ... si apa aku lupa. Simpanse kali? Apa tidak ada, hukumannya jalan-jalan ke Catalunya nonton Marques berlaga gitu?” batin Diva. Dia tidak percaya dua opsi itu begitu sulit.“Cepat! Sebelum Abi berubah pikiran jadi dibuang ke pulau Papua sana biar di makan gorila sekalian.” Gertak Zafiq.***MEYYIS***“Abi jangan! Maafin Diva. Janji nggak akan lagi balapan.” Diva nyengir dan mengangkat dua jarinya.“Mau Abi maafkan? Pilih, penjara atau pesantren?” Diva menggaruk leher sampingnya yang tidak gatal. Dia memilih-milih berulang kali di dalam pikirannya. Akhirnya jatuh pada pilihan pesantren. Maka Zafiq segera mengucap syukur dalam ha
“Tidak bisa, Sayang. Kamu ‘kan tahu Abi bagaimana kalau sudah memutuskan? Bukankah kamu sendiri yang setuju? Harus tanggung jawab dengan pilihan itu. kalau Umi kangen, bisa menjengukmu.” Fitri bangkit dan melanjutkan mengelap perabotan. Walau ada pembantu, tidak semuanya dikerjakan pembantu. Dia masih ikut melakukan pekerjaan rumah.“Yah, gagal minta bantuan Umi. Sepertinya memang nasib ‘Speed Demon’ berakhir jadi anak pesantren,” batin Diva.***Meyyis***Malam ini sesuai kesepakatan Diva akan pegi ke pesantren Kyai Mustafa Syafi’i. Tidak ada lagi waktu untuk mengelak. Janjinya harus ditepati. Hanya tiga tahun mungkin akan selesai sangat cepat. Demikian pikir Diva. Anggap saja piknik jalan-jalan untuk mendapatkan suasana baru. Sepanjang perjalanan Diva hanya merengut saja. Dia masih merasa jengkel walau sebenarnya itu pilihannya sendiri. pilihan yang mungkin lebih baik dari
“Dasar bucin, ah masa bodoh mau bucin, mau apa yang penting aku akan cepat laksanakan hukuman ini dan kembali ke jalanan.” Diva masih melongo sehingga Halimah kembali lagi ke dalam.“Mari, Ukhti saya tunjukkan kamarnya.” Abinya Diva terlalu fokus pada cerita Kyai Mustofa sehingga tidak menyadari bahwa anaknya masih dibelakangnya.***MEYYIS***Hari berjalan demikian lambannya. Abinya sudah pamit pulang. tinggalah Diva seorang diri. dia hanya duduk manis di ranjangnya. Beberapa teman sedang hafalan, mungkin juga sedang sekedar bercanda. Diva tidak peduli. Wanita putih dengan tinggi badan seratus tujuh puluh itu hanya berdiam diri.Sore sudah menjelang. Untuk adaptasi, dia hanya ikut-ikutan saja. Kebetulan Halimah putri Kyai sendiri yang diutus menjadi pengawas Diva. Abinya mengatakan bahwa Diva sangat liar. “Ukhti, sudah bisa mengaji?” tanya Halimah.&ld
“Memangnya kamu mau ke mana?” Gus Han memecah kebekuan, karena Diva diam saja dari tadi. Diva menoleh ke arah lelaki itu tajam. “Maksudku, apakah kamu akan pulang ke rumah? ini sudah malam dan tidak ada angkot jam segini.” Gus Han mencoba melunakkan hati Diva agar tetap tnggal di pesantren.***Meyyis***Diva menyorot tajam ke arah Gus Han. Dia sepertinya mengobarkan permusushan. “Lo itu ganteng-ganteng lemot, ya? Mana mungkin aku berani pulang? Gue mau ke rumah temen.” Gus Han memandnag ke arah Diva sekejap.“Aku antar.” Hanafi hanya memberikan solusi dari pada nanti wanita itu kabur, dia yang susah. Pasti abinya menyuruh dia yang bertanggung jawab dan mencarinya.“Kamu serius? Baiklah! Aku ambil tasnya dulu.” Diva mengubah panggilannya dari LO Gue menjadi AKU Kamu. Hanafi mengerutkan keningnya kemudian menggeleng. “Kenapa? Geleng-gele
“Diva!” Gus Han mengangkat tubuh Diva. Remaja itu memandang lekat wajah panik Gus Han. Diva belum pernah merasa diperhatikan seperti itu. Biasanya teman-teman akan mengangkatnya dengan tandu. Tapi tidak dengan Gus Han. Dia langsung mengangkatnya.“Yah, cupu! Gitu aja sudah terjatuh.” Sebagai mantan pembalap, Gus Han merasa geram akan ledekan itu.“Karena ini duel antara gank kamu dan gank kami, aku mau tanding ulang.” Semua yang hadir terdiam. Tidak terkecuali Diva.“Dia bukan tandinganmu, hemm ... Gus Han.” Gus Han memancarkan mata elangnya ke arah Diva.“Dia sudah membuatmu seperti ini. Begini aja, Div. Aku akan balapan dnegan dia. Kalau aku menang, kau turuti aku. Jika aku kalah, kau berhak mendapatkan dukunganku untuk keluar dari pondok. Aku akan membantumu.” Diva terlihat berbinar. Dia yakin jika tidak akan Gus Han menang. Walau dia sud
“Apa yang kalian lakukan tadi?” Gus Han dan Diva hampir bersamaan ingin menjawab. akhirnya Gus Han angkat bicara dahulu setelah keduanya saling ingin menyuruh siapa yang duluan bicara.“Jadi, kami memang keluar, Bi. Ana mengantar Diva karena memiliki urusan yang belum selesai. Tapi tadi Diva karena mungkin mengantuk jadi mau jatuh dan saat Ana tolong kita jatuh bersama.” Kyai Mustofa Syafi’i diam.“Saya yang salah, Pak Jenggot Putih. Saya yang meminta Gus Han menemani.” Kyai Mustofa Syafi’i menurun tensi kemarahannya. Dia ingin tertawa saat Diva memanggilnya Pak Jenggot Putih. Sedangkan Nyai sudah tertawa dengan tangan ditutup ke mulut agar tidak terlalu lepas.“Kenapa malam-malam, tidakkah bisa siang hari?” Mereka kompak menggeleng. Kyai mustofa menautkan alisnya kemudian meneruskan bertanya. “Tidak bisa? Emang urusannya apa, sih?” Kyai Mustof
“Lebih dari yakin, Gus. Saya yang bersalah, kenapa Gus Han yang hanya menanggungnya. Saya juga harus bertanggung jawab.” Diva menunduk. Gus Han melihat sisi yang lain dari Diva. Dia yang arogan dan kekanak-kanakan penuh emosi, kini menjadi seorang wanita yang berpikir bijak dan sangat dewasa. Gus Han yang biasanya menunduk, kini sersi tatap dengan Diva. Dia mencari sebuah kebohongan lewat attap matanya. Semua natural, tidak ada indikasi kecurangan di sana.***Meyyis***Kyai Mustofa terlihat berbinar. Dia akan segera melamarkan Diva untuk sang putra angkatnya tersebut. sebagai abi, sepertinya Kyai Mustofa tidak peka bahwa antara putra angkatnya dan putrinya Halimah saling memendam rasa. Gus Han hanya diam saja. Dia tidak berani lagi membantah ketika Kyai Mustofa Syafi’i sudah memberikan dawuh.“Kau tidak bercanda, Diva? Besok Abi dan Umi akan melamar ke rumahmu untuk memeberi tahu abimu. Persiapkan
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga