“Dalam hidup ada indah ada buruk. Semua orang pasti mengalami keduanya.”
Aira—
***
Aira tergopoh-gopoh mengayun sepeda. Tidak peduli terjalnya jalan dan tidak peduli padatnya kendaraan kota. Yang nyaris ia ingat hanya bentakkan amarah ayahnya dari seberang telepon. Aira sudah mengira akibat ucapannya kala itu di kelas akan menimbulkan masalah baru serta hukuman baru.
Aira hanya diberi waktu dua puluh menit untuk sampai rumah, jika tidak hukuman yang akan diberikan menjadi dua kali lipat. "K
“Kalo mencintai gak disertai rasa sakit. Namanya bukan cinta tapi … gengsi.” »Andika Suar Harsa«***Andika mencopot jas almetnya dan mengembuskan napas panjang seraya tersenyum manis ke arah Fatin yang duduk di depannya. Perasaan Fatin amat bahagia ketika melihat kak Andi sembuh dan kembali ceria setelah Aira dikabarkan pulang ke rumah. "Kayaknya lo seneng banget, deh, sekarang! Padahal baru pulang KKN." Fatin meminum jusnya.
“Hanya kamu yang selalu mengerti akan lara yang tengahkualami.”Aira—***Kak Andi memandangi Aira yang tengah belajar sebagai tanda hukuman dari ayah. Tatapannya amat sendu bahkan tanpa sadar tangannya mengelus lembut kepala Aira. Gadis kecilnya selalu saja diberi hukuman karena hal yang menurut kak Andi bukan kesalahan. Aira menoleh perlahan saat elusan kak Andi terasa. "Kakak kenapa?" Aira menatap lekat manik mata kak Andi yang kini telah berderai. "Kakak selalu
32. Aira'sPURNAMA RASAHari ini purnama menjadi rajaBintang senantiasa bermanja pada malam Purnama menerima tawaHanyut pada nada, serayu malamDesir darah mengempas nestapaRangkulan penuh adalah
“Entah kamu kasian atau memang peduli. Perbedaan yang signifikan.”Aira—***Tumpukkan buku tebal nyaris di bawa dengan perasaan senang serta penuh harapan. Berandai-jika orang yang ia tuju dengan suka rela menerimanya. Sungguh, sejak pertama kali ia membeli semua buku-buku ini ada sercercah harap dalam kalbu bahwa ia bisa memberikannya pada orang yang tepat.Hati serta matanya nyaris menemukan setelah bertemu gadis yang berbeda dari yang lain. Bukan tentang kasta apalagi pengetahuannya, ia juga heran apa keistimewaan yang gadis itu miliki hingga yakin bahwa gadis itu mampu me
“Aku hidup sebagai manusia. Tapi, serasa hidup menjadi hewan yang tidak mempunyai tujuan.”»Aira«***Aira memandangi novel pemberian Ridwan bersama Salama yang duduk di sampingnya. "Kenapa Ridwan kasih kamu novel?" Salama menoleh ke arah Aira yang nyaris menggeleng pelan. "Katanya ini novel kakak dia. Dan harus aku jaga. Entah apa maksudnya?" Aira mendengus kesal dan menyandarkan punggungnya ke tribon kecil di ruang eskul sastra dan budaya. Mata Salama seketika memicing tajam seakan mengingat sesuatu hal. "Yang aku tau Ridwan emang punya kakak. Tapi, meninggal satu setengah tahun lalu. Di sini
“Ijinkan aku menyayangimu selayaknya aku menyayangi dia yang telah pergi!”—Ciko***Aira tersenyum riang kala melihat om Ciko berada tepat di depannya seraya membawa satu totebag. Om Ciko menunjukkan itu pada Aira walau Aira masih berdiri jauh di depannya. Aira berlari kecil menghampiri om Ciko lantas menyalimi tangan om Ciko. "Apa kabar Om?" Aira mengembuskan napas lega. "Baik." Om Ciko mengelus kepala Aira lantas menoleh ke arah dalam sekolah. "Lagi belajar 'kah?" Om Ciko kembali melirik ke arah Aira. Aira menggeleng cepat. "Nggak, kok.
“Aku kira hidup orang jenius enak!”—Ridwan***Ridwan melihat seisi rumah bu Adila heran. Pasalnya sejak tiga puluh menit lalu dirinya tak melihat Aira bahkan anggota keluarga yang lainnya. Mana gadis itu? Bukankah tadi sudah pulang?"Kenapa Ridwan?" tanya Bu Adila yang membuat Ridwan menoleh kaget seraya menggeleng. "Apa ada kesulitan mengenai soalnya?" Ridwan kembali menggeleng seraya menatap Bu Adila lekat membuat sang empu heran."Kenapa kamu menatap Ibu seperti itu?" Bu Adila merubah posisi duduknya, sedangkan Ridwan tersenyum ramah."Maaf, Bu. Aira kemana, ya?" tanya Ridwan yang membuat raut wajah Bu Adila seketika malas dan kembali sibuk pada pekerjaannya."Gak tau. Karena anak itu belum pulang," jawab Bu Adila seraya melanjutkan pekerjaannya.Ridwan sempat tertegun dengan respon Bu Adila yang sama sekali tidak terlihat senang. "Padahal kalo ada bisa belajar ba
“Sungguh dari relung hati paling dalam, aku sangat ingin menolongmu.”—Ridwan***Ridwan duduk di balkon kamarnya seraya melihat bintang yang bersinar terang malam ini. Sekepulangannya dari rumah bu Adila, miris, hatinya benar-benar gundah gelebah mendengar rintihan pilu Aira. Gadis kecil itu harus menangis lara akibat emosi ayahnya sebab dirinya pulang terlambat.Ridwan beberapa kali harus memejamkan matanya kala itu sebab tak tahan mendengar suara tangis Aira walau samar dari arah belakang rumahnya. "Aira," gumamnya sendu.Lantas Ridwan melihat layar ponselnya yang tertera foto Aira yang ia ambil secara diam-diam kala di aula. "Aku berharap … kehidupan kamu yang sebenarnya tak seperti kak May dulu!" Ridwan memejamkan matanya lantas berkelana pada kisah mediang kakaknya dulu yang harus mendapatkan siksaan fisik maupun batin dari kedua orang tuanya yang sekarang telah menelan pahitnya penyesalan.
Pandangan seketika terasa menghitam ketika menyadari kenyataan yang benar-benar pahit. -Andika Suar Harsa-***Kak Andi terus berteriak memanggil adiknya yang terkapar tak berdaya. Di sepanjang koridor juga Ridwan terus memikirkan mengapa semua terjadi di luar bayangan dan pikirannya. Mulai dari kak Andi yang ternyata kakak dari Aira lantas kenapa Aira pula harus mengalami apa yang kakaknya alami."Maysita Rachel Angelin!" Ridwan memeluk piala milik Aira dan menatap kak Andi yang memucat. "Jadi Kak Andi ... Kakaknya Aira?" Kak Andi menoleh hingga akhirnya sadar bahwa Ridwan ikut dengannya.Kak Andi belum menjawab ia hanya memandang piala tinggi yang Ridwan peluk erat. "Ini piala Aira?" Ridwan mengangguk dengan derai yang luruh.Kak Andi terduduk lemas dan menunduk sembari terisak. "Kenapa ketakutan itu harus terjadi?!" teriak kak Andi yang seketika menatap nyalang Ridwan.Napas Ridwan memburu ketika kak Andi berdiri d
Sekarang adalah waktu yang terlambat.***Aira pandang semua orang yang ada di depannya. Salama serta bu Ina duduk di barisan paling depan dan tersenyum ke arahnya. Sudah waktunya Aira menunjukkan bakat yang selama ini ia pendam, tidak ada orang yang ia sayangi di sana. Bahkan kak Andi yang berjanji akan datang malah tidak ada padahal waktunya sudah tiba.Lantas ibu, beliau ada di ruangan lain bersama Ridwan. Ibu benar-benar enggan menyaksikan anak bungsunya tampil di depan semua orang. Namun, siapa sangka perasaan ibu benar-benar tidak enak sejak duduk untuk menyaksikan olimpiade Ridwan seolah ada yang memperhatikannya.Lalu kak Andi yang kini tengah menggigit jari khawatir sebab ia telah berjanji pada Aira namun tiba-tiba ada acara yang mengharuskannya tetap di sini. "Mel. Gue harus pergi bisa kan?" Kak Andi memohon pada ketua timnya yang justru menggeleng tak habis pikir."Kalo lo mau pergi pergi aja! Tapi lo gak bakal lu
“Kenyataan yang menyakitkan serta fakta yang mengejutkan.”***Ibu menghentikan taxi saat merasa ada seseorang yang membuntutinya sejak keluar gedung sekolah. Kebetulan hari ibu tidak membawa mobil sebab alasan yang tak pasti. Tujuan ibu adalah rumah sakit tempat ayah dirawat. Waktu sudah menunjukkan sore yang larut, suasana yang sepi lantas semilir angin yang membuat buku punduk merinding.Ibu masih merasa was-was walaupun sudah di dalam taxi sebab ada satu mobil hitam yang seperti mengikutinya. "Pak bisa lebih cepat?" Supir taxi mengangguk dan membuat ibu bernapas lega saat mobil hitam tersebut tidak lagi mengikutinya.Perasaan ibu beberapa hari ini tidak enak, seakan ada yang mengganjal di hatinya, ditambah kesembuhan ayah yang sama sekali belum terlihat. Rasa lelah karena harus ada kelas tambahan untuk Ridwan serta memikirkan Aira yang nampak berbeda … menurut ibu.Bahkan, ibu terus memandang Aira yang begit
Kenyataannya, yang kau sia-siakan justru adalah hal paling berarti yang tak pernah meminta lebih selain kasih sayang.***Aira mematung ketika melihat apa yang terjadi di hadapannya. Lama sekali Aira lupa pada dunia yang terus memutar waktunya. Hingga ia sadar apa yang tengah ia lihat adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya."AYAH!" Aira berlari menghampiri ayah yang sudah kesulitan bernapas di lantai dengan tumpahan air.Aira menangis dan mengangkat kepala ayah sembari meminta tolong. "Ayah bangun, Aira mohon Ayah!" Aira berteriak dan terus menepuk pipi ayahnya.Nyaris dengan pelan Aira kembali menaruh kepala ayah ke lantai dan berlari ke luar rumah. "Tolong ayahku!" teriak Aira terus menerus hingga segerombolan warga datang dan menolongnya. Baru pertama kali Aira melihat ayahnya tak berdaya, membuat dirinya tidak berhenti menangis. Bahkan hingga pertolongan untuk ayah ada Aira masih terisak pilu sembari menggenggam
“Dalam hidup ada dua waktu. Siang dan malam. Siang di mana kita diperintahkan untuk mencari penyambung hidup lantas malam waktunya kita istirahat. Tapi kapan aku akan istirahat di malam itu dengan tenang?”*Buatlah waktu tanpa disia-siakan, buatlah tawa tanpa ada luka sebelumnya. Penyesalan itu akan selalu datang kapan dan bagaimana pun caranya. Tapi, banyak orang yang menyia-nyiakan waktu dan tawa itu.Lalu, hanya luka dan duka yang selalu diberikan pada orang yang mereka bilang mempunyai kesalahan. Kesalahan yang hanya tercipta dari garis kehidupan yang telah diaturkan Tuhan. Kodrat yang telah ditentukan justru selalu dibuat bahkan dibicarakan sebagai kesalahan begitu mengancam."Kamu baik-baik saja, kan, Aira?" Pertanyaan lumrah yang selalu Aira dengar dari orang-orang baru di sekitarnya. Orang-orang yang tanpa diceritakan telah mengerti akan kehidupan yang tengah terjad
“Bertemu denganmu seakan nyata tak semu. Pertanda apa?”—Aira's***Aira nampak sendu memandangi rumah pohon miliknya sekarang ini. Dengan pelan ia menaiki dan berdiri di terasnya seraya memandang asrinya hutan. Benar-benar rindu sebab lama tak kunjung akan sunyi nan sepi tempat ini. Tempat di mana ia memulai semuanya dengan senyum lagi, dan percaya bahwa hidup tak selamanya seperti ini.Hanya beberapa saat ia semangat lantas sekarang semangat itu perlahan hilang diterpa lelah yang timbul pada hati kecilnya lantas sakit akan luka rohani nan jasmaninya.Aira yang kali ini mengeluh pada orang lain lantas memaksa bahagia di kala badai ada di depan matanya. "Kak Rachel! Kira-kira aku bakalan bahagia gak?" Naas Aira bertanya pada dirinya sendiri lantas pada siapa? Tidak ada siapa pun di sana hanya ada burung hutan yang bersuara nyaring di atas pohon.Tapi, siapa yang tak akan menoleh kala dipanggil?
“Waktunya semakin menipis.”—Aira's***Panasnya begitu terik siang ini. Bel pulang telah usai dinyalakan, siswa nan siswi bergembolan berlari kencang pun ada yang santai untuk segera pulang. Bagi mereka rumah adalah istana paling indah. Tapi, Aira apa kabar? Rumah bagi Aira adalah nereka. Mereka bilang rumah adalah tempat istirahat paling enak dan nyaman, tapi kata Aira rumah itu ….“Enak, tapi banyak durinya." Aira menoleh ketika satu kalimat itu terdengar di telinganya, dan ya. Salah satu dari anak sekolah itu tengah memegang satu buah sirsak mentah yang masih memiliki duri tajam.Entah dari mana buah itu berasal? Aira sendiri malah mengangkat bahu acuh dan kembali berjalan dengan tatapan kosong. Deru mesin mobil yang baru saja melewati dirinya sangatlah familiar. Mobil milik Ibu begitu santai melewatinya tanpa sudi berhenti dan menyapa.Sakit rasanya, ketika diacuhkan bak setan yang
“Waktu? Adalah hal paling berharga yang banyak orang sia-siakan.”—Aira's***"Kebahagiaan Aira itu singkat asal terpatri Kak. Kalo Kakak yang lebih dulu pergi … siapa yang akan jaga Aira di sini? Siapa yang akan peluk Aira ketika menangis di sini? Tapi, jika Aira yang pergi lebih dulu maka semua orang akan bahagia dengan itu semua." Aira meluruhkan air matanya."Stop! Gak akan ada orang yang bahagia ketika setengah dari jiwanya pergi Aira." Kak Andi akan terus kekeh dengan apa yang ada di hatinya."Aira capek Kak!" Bagi kak Andi keluhan ini rasanya baru ia dengar pertama kali. Aira yang selalu bilang bahwa ia kuat kini ia bilang lelah? Mengapa? Mana Aira yang selalu ingin terlihat kuat."Aira harus apa sekarang Kak?" Pertanyaan singkat yang nyaris membuat kak Andi membisu. Mengapa adiknya seperti ini?"Kamu baik-baik aja, kan, Dek?" Mulut kak Andi malah berkata demikian yang memb
“Selama matahari terang perjuanganku lantas sesingkat matahari terbit kebahagiaanku.”—Aira's***Fatin dan Kak Andi terus mengeryit ke pinggir jalan untuk mencari adik mereka Aira. Sungguh, hati kak Andi benar-benar gundah ketika waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tanda-tanda Aira belum kunjung terlihat di pandangannya.Bahkan Fatin sudah beberapa kali mengelus bahu kak Andi untuk menguatkan kekasihnya agar tetap semangat mencari Aira. "Andi. Aira paling keluar rumah buat jajan bukan kemana-mana," katanya lembut yang membuat kak Andi menoleh sekilas sebab masih fokus mengendarai."Tapi, gue takut dia pergi kayak kemarin. Menghilang beberapa hari sebab tadi sore ayah sama ibu mukulin dia karena hal sepele yang belum gue ketahui karena apa?" Tatapan kak Andi amatlah sendu yang nyaris membuat Fatin mengembuskan napas sumarah.Fatin tak lagi berkata kala mendengar pernyataan kak Andi. Perasaann