Pasca pengantaran Laura ke rumah Mama malam itu terasa bagaikan di neraka yang Abraham rasakan. Jangankan buat bertemu, mengangkat telepon saja Laura enggan. Satu atau dua hari mungkin masih bisa dibilang wajar, tapi ini? Hampir setiap hari bahkan setiap waktu Abraham selalu menyempatkan diri datang langsung ke rumah Mama dan Laura selalu menolak segala bentuk komunikasi dengannya. Sejenak pikiran Abraham berlari pada percakapan singkatnya dengan Mama mertuanya itu.
“Kalian punya masalah apa sampai Laura kembali pulang kemari, Ab. Mama dan Papa bukan mau ikut campur, tapi misalkan ada yang bisa kami berdua lakukan nggak ada salahnya, kan?”
Abraham menatap Mama mertuanya itu dalam diam. Biar bagaimanapun masalah yang saat ini tengah ia hadapi dengan Laura biarlah menjadi masalah mereka berdua saja. Setidaknya untuk saat ini sampai Abraham memiliki waktu yang pas untuk menceritakan semuanya.
“Mama jujur menaruh curiga, Ab. Masalahnya Laura bahkan
Abraham duduk sembari menggenggam jemari yang terasa dingin karena pendingin ruangan. Abraham tidak ingat kapan terakhir kalinya menggenggam tangan Laura sedemikian eratnya seperti sekarang. Wajah perempuan yang amat sangat dicintainya itu terbaring tidak berdaya dengan selang dan perangkat yang tidak lumrah menempel di tangan dan wajahnya. Bahkan ketika tertidur begini saja Laura masih terlihat cantik. Bagaimana jika bibir yang tertutup rapat itu terbuka dan menyungging senyuman? Pasti akan berkali-kali lipat kecantikannya.“Laura—”Panggilan lirih yang Abraham lontarkan kesekian kalinya belum mendapat respon dari Laura. Laura masih dalam keadaan konstan. Tidak ada pergerakan bahkan sekecil apapun.“Laura—”Mendadak Abraham merindukan celotehan Laura di pagi hari yang selalu memarahinya ketika handuk bekas ia pakai ditinggalkan begitu saja di atas tempat tidur dan bukan diletakkan pada gantungan yang memang sengaja dis
Hari kedua masih tetap sama. Belum ada tanda-tanda Laura akan membuka mata. Bergiliran perawat masuk ke ruangan intensif bersama dengan Dokter Jarvis memantau perkembangan Laura. Mulai dari menstabilkan jalan pernapasan dan sirkulasi darah. Semua dilakukan secara maksimal oleh dokter terbaik. Dan suatu hal yang membuat Abraham tertegun tanpa berkata-kata adalah saat Dokter Jarvis tidak bisa memprediksi lamanya fase koma yang dialami Laura. Semakin lama koma berlangsung, maka semakin buruk pula prognosisnya. Atau dengan kata lain kerusakan pada sel otak akan semakin berat sehingga dapat mengakibatkan pasien koma mengalami kecacatan permanen atau bahkan lebih buruk dari itu, Laura tidak akan membuka matanya lagi.Penjelasan Dokter Jarvis memukul keras hati Abraham. Tidak tahu bagaimana ekspresi wajah yang ia tampilkan sekarang, Abraham tidak peduli lagi. Bahkan kepalan tangannya sendiripun meninggalkan bekas kuku karena terlalu kuat menggenggam. Tepukan yang diberikan Dokter Ja
“Mas … kok … jelek … sekali ….”Meskipun masih terbata-bata, namun euforia di dada Abraham tidak henti-hentinya bersorak. Tanpa berpikir panjang Abraham bergegas berlari keluar dari ruangan intensif, mengagetkan dua orang terkasihnya yang berjaga di luar ruangan. Secara kebetulan hanya ada Arabella dan Bunda yang menjadi ikut-ikutan panik ketika melihat laki-laki Wibisana yang mendadak berlari seperti kesetanan. Selang tak lama kemudian Abraham datang bersama Dokter Jarvis beserta beberapa perawat masuk ke ruang intensif.Di dalam ruang intensif semuanya diperiksa. Kestabilan denyut jantung, sirkulasi darah serta jalannya pernapasan juga tak luput dalam pemeriksaan. Meskipun belum lega seratus persen, tapi setidaknya Laura sudah berhasil melewati masa kritisnya, begitu pikir Abraham. Akan ada rangkaian pemeriksaan menyeluruh dan mendetail tentang kerja sistem dalam tubuh pasien pasca koma sebelum dipindahkan ke ruangan inap biasa
Hari telah berganti hari dan akhirnya Laura diizinkan untuk meninggalkan rumah sakit. Namun bukannya bahagia yang Laura rasakan melainkan sedih. Sedih karena Si Kembar tidak pulang bersamanya. Masih ada pemeriksaan lanjutan sembari menunggu kenaikan berat badan yang signifikan untuk keluar dari kotak inkubator. Dan kabar baiknya kemungkinan bulan depan Si Kembar sudah bisa ia jemput, tapi balik lagi semua itu tergantung kondisi yang bersangkutan.“Dadah Dalfa … dadah Dalfi ….”Ucapan perpisahan itupun juga Laura lakukan di balik kaca ruangan inkubator. Stok ASI sudah Laura serahkan sebanyak yang bisa ia hasilkan. Laura juga meminta pihak rumah sakit untuk segera menghubunginya kalau stok ASI untuk anak kembarnya itu menipis. Semuanya sudah dipersiapkan matang agar dua jagoannya tidak kekurangan apapun saat terpisah dengannya nanti. Sedih, tapi Laura harus merelakan meninggalkan jagoannya untuk sementara.Laura duduk di kursi belakang se
Galileo menampakkan wajahnya setelah sekian lama. Jika kemarin Laura menerima Freya di dalam kamar peraduannya, sayangnya tidak untuk kali ini. Laura menyapa Galileo ketika laki-laki itu tengah duduk bersandar sembari menyeruput minuman yang disuguhkan Mbak Omas di ruang tamu.“Sudah bisa jalan ternyata,” sapa Galileo ketika melihat Laura muncul menuruni tangga. Laki-laki itu menjabat tangan Laura kuat setelah diam beberapa saat.“Aku sudah dengar semuanya dari Freya semalam. Aku turut prihatin tapi juga turut senang atas kelahiran dua jagoan kalian,” kata Galileo melanjutkan.“Makasih, Mas. Ada banyak hal yang terjadi ketika melahirkan makanya baik aku maupun Mas Abe nggak sempat memberitahu siapa-siapa. Lagipula keadaanku nggak terlalu baik saat itu.”“Yah, andaikan aku tahu pun sepertinya nggak akan banyak membantu juga. Aku nggak punya wewenang untuk membantumu, apalagi memaksamu.”Hening …
Oliver akhirnya ditemukan. Anak laki-laki malang itu berada di pusat rehabilitasi anak dibawah naungan rumah sakit tempat Alana dulu dirawat. Oliver ditempatkan di dalam sebuah kamar tersendiri di mana hanya ada tempat tidur dan pendingin ruangan saja. Laura mendekati anak berusia hampir tujuh tahun itu perlahan. Sinar di matanya seakan meredup. Tanpa fokus pada siapa yang mengunjunginya kecuali menyibukkan diri pada selembar kertas dan pensil warna ditangan. Laura menoleh, seolah meminta penjelasan pada dokter yang berdiri disampingnya. āAnak ini sedikit terguncang. Kabarnya ketika ibunya meninggal, dia berada di sana sendirian. Sekarang saya sedang melakukan terapi dan berusaha mengembalikan emosinya.ā Beberapa pasien yang ditangani Dokter Kevin adalah anak-anak korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Dan Oliver divonis masuk dalam kategori itu. āDisamping itu saya juga curiga kalau anak ini tidak terlahir bisu. Melainkan karena masalah psikologis.ā
Laura masih belum dapat melupakan raut wajah Abraham ketika mendengar permintaannya beberapa hari yang lalu. Wajah tampan suaminya itu mendadak berubah dingin saat menutup pintu kamar mandi dan menghabiskan waktunya di sana. Laura tahu permintaannya kali ini cukup sulit. Status Oliver sudah jelas. Anak itu bukanlah darah daging Abraham namun kenapa Laura masih mengajukan permintaan yang membuat Abraham bingung? Entahlah. Laura juga tidak tahu. Laura hanya ingin mengikuti kata hati yang menuntunnya saja. Menginginkan anak orang lain agar menjadi miliknya mungkin terdengar gila. Dan Laura menyadarinya. Tapi mata tanpa dosa yang tengah menatapnya kala itu seakan meminta pertolongan. Seorang ibu mana yang tega ditatap dengan raut wajah memelas seperti itu? Laura pikir tentu tidak akan ada.“Memastikan kehidupan Oliver bisa kita lakukan dari jauh bukan berarti harus membawanya ikut serta pulang ke rumah.”Kata-kata Abraham terus terngiang-ngiang di kepala Laura.
Satu minggu pasca kedatangan Oliver di rumah. Mendadak rumah yang biasanya sepi menjadi ramai tak terkendali. Papa dan Mama Laura semakin sering singgah ke rumahnya dengan dalih menengok cucu. Oliver yang pemalu menjadi lebih berani mengutarakan keinginannya meski harus menggunakan bahasa tulisan. Oliver sering kali memberi selembar kertas bertuliskan kata ‘Bunda’ pada Laura. Sungguh kalau mata ini bukanlah ciptaan Sang Pemilik Semesta, pasti cairan bening ini sudah bolak-balik turun dengan derasnya. Laura merengkuh laki-laki kecil di depannya dengan sayang. Sejenak ia mengumpat dalam hati. Di mana otak Alana sampai hati meninggalkan anak tidak berdosa sendirian di dunia ini.“Iya, Sayang. Oliver juga boleh kok panggil Tante Bunda,” kata Laura tanpa mau melepaskan pelukannya.Bahu yang Laura peluk benar-benar kecil. Jadi bagaimana mungkin sanggup mengarungi dunia luar yang kejam sendirian.“Oliver senang tinggal di sini sama, Bunda?
Abraham menatap dalam diam ke pusara yang penuh dengan taburan bunga. Abraham masih tidak percaya jika perempuan yang dulu pernah memenuhi hatinya itu akan tertidur di sana dengan begitu cepat. Kita tidak bisa memprediksi umur manusia dan Abraham tentu saja tahu itu sejak lama. Meskipun tahun telah berganti, namun rasa tidak percaya itu masih membekas dihatinya. Perempuan itu amat sangat berarti dihatinya dan akan selalu menempati tempat khusus dihatinya. Tidak peduli apa yang dulu perempuan itu lakukan padanya, Abraham tetap akan selalu mengingat perempuan itu. Oliver menepuk pundaknya perlahanāmembawanya kembali pada kenyataan di depannya. āAyah, ayo kita pulang!ā ajak Oliver dengan tangan yang penuh dengan keranjang bunga. āSudah selesai kirim doanya? Ayah bisa kok menunggu sedikit lebih lama,ā tukas Abraham. Oliver menggeleng. āSudah cukup, nanti Oliver bisa melanjutkannya di rumah.ā āYakin? Nanti Bunda kira Ayah yang nggak sabaran ingin c
Begitu tahu istrinya tengah berbadan dua lagi, Abraham kembali mengaktifkan mode posesif pada dirinya sekali lagi. Semua anggota keluarga dilibatkan olehnya sampai-sampai membuat Laura geleng-geleng kepala. Bagi Laura, kewaspadaan Abraham saja sudah cukup tidak perlu sampai merepotkan anggota keluarga lainnya segala. Tapi Laura seakan lupa kalau perkataan Abraham tidak ada bedanya dari sebuah perintah dari Hitler yang artinya adalah mutlak. Tidak boleh melakukan ini dan itu, tidak boleh ke sana dan kemari selain untuk keperluan ke kamar mandi. Laura jadi teringat bagaimana obrolan random namun berakhir dengan kekesalan saat Abraham membalas sindirannya. āBegini ibaratnya kalau Mas di rumah terus pasti bahkan ke kamar mandi pun aku digendong ala tuan putri. Lebay banget sih aku!ā āKamu ingin aku melakukan itu? Ok, mulai besok aku akan membawa pekerjaanku ke rumah lagi untuk mengabulkan permintaanmu itu. No worry, Sweetheart. Iāll do it for you!ā See? Sindiran
Hampir setiap pagi kediaman Laura gaduh setiap harinya. Dua bayi besarnya sama-sama tidak membantu pekerjaannya sama sekali. Oliver yang tidak kunjung mau beranjak dari tempatnya sungguh memancing emosi Laura. āOliver, stop bermain dengan Si Kembar. Cepat mandi katanya kemarin ada piket kelas.ā Putra sulung Laura itu benar-benar memanfaatkan waktu luangnya untuk menyempatkan diri bermain dengan Si Kembar di dalam boks mereka. Mulanya Laura tersentuh, tapi setelah tahu Oliver menjadi terlambat ke sekolah karenanya, Laura benar-benar mencegahnya. Tapi tetap saja anak itu bersikap acuh dengan panggilannya. āOliver, tolong dengarkan Bunda, Nak. Nanti kamu terlambat datang ke sekolah.ā āOliverāā Satu kata dari Abraham langsung membuat Oliver menurut kemudian keluar dari kamar Laura menuju kamar mandi. Masih untung Abraham bisa membantu menghandle anak itu meskipun mereka berdua sering terlibat argumen tidak penting di lain kesempatan. Lain Oliver l
Tiga tahun kemudian ā¦ Tidak ada kebahagiaan yang kekal bagi Laura dan Abraham selain berkumpul bersama dengan keluarga. Baginya keluarga lebih dari segalanya. Berada di antara empat laki-laki benar-benar menguras tenaganya. Laura menemukan lagi satu sifat Oliver yaitu keras kepala. Terlalu keras kepala malahan. Oliver akan tetap keukeuh dengan pendirian serta kemauannya meski harus beradu argumen dengan lawan bicaranya. Laura terkadang harus menyerah karena salah satu sifatnya itu. Pembawaannya yang mendadak berubah dewasa, ditambah tubuh jangkungnya yang melebihi teman sebayanya, tidak akan ada yang percaya jika usia anak itu belum genap sepuluh tahun. Mendadak Laura merindukan Oliver yang dulu. Rasanya waktu berlalu sangat begitu cepat. Laura menghampiri Si Kembar. Dua jagoan yang beberapa bulan ini sedang aktif menjelajahi rumah benar-benar tidak bisa jauh dari jangkauan dan pengawasannya. Untuk itu kehadiran Mbak Omas ditengah-tengah keluarga kecilnya sangat memb
Satu bulan adalah masa percobaan yang Laura dan Abraham sepakati bersama untuk Oliver. Jika selama itu malah memperburuk keadaan Oliver, maka dengan terpaksa home schooling adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasinya. Atau dengan kata lain mereka diminta menyerah dan menerima semua kekurangan Oliver.Satu minggu pertama di sekolah. Oliver masih tidak menunjukkan respon apapun saat ditanya dalam hal pelajaran. Tapi anehnya setiap kali diminta mengerjakan soal di depan papan tulis, Oliver dapat dengan mudah menyelesaikannya dengan baik. Terlalu baik malah. Yang berarti putranya itu anak yang pintar, kan? Paling tidak itu yang telah Laura ketahui darinya. Jika tidak terlampau sibuk Laura dan Abraham akan datang bergantian melihat kegiatan apa saja yang dilakukan Oliver selama di sekolah. Nihil. Oliver hampir tidak melakukan apapun kalau bukan gurunya yang meminta. Soal pertemanan jangan ditanya. Jelas belum ada teman disekitaran Oliver. Berdiri ditengah kelas saat perten
Satu minggu pasca kedatangan Oliver di rumah. Mendadak rumah yang biasanya sepi menjadi ramai tak terkendali. Papa dan Mama Laura semakin sering singgah ke rumahnya dengan dalih menengok cucu. Oliver yang pemalu menjadi lebih berani mengutarakan keinginannya meski harus menggunakan bahasa tulisan. Oliver sering kali memberi selembar kertas bertuliskan kata ‘Bunda’ pada Laura. Sungguh kalau mata ini bukanlah ciptaan Sang Pemilik Semesta, pasti cairan bening ini sudah bolak-balik turun dengan derasnya. Laura merengkuh laki-laki kecil di depannya dengan sayang. Sejenak ia mengumpat dalam hati. Di mana otak Alana sampai hati meninggalkan anak tidak berdosa sendirian di dunia ini.“Iya, Sayang. Oliver juga boleh kok panggil Tante Bunda,” kata Laura tanpa mau melepaskan pelukannya.Bahu yang Laura peluk benar-benar kecil. Jadi bagaimana mungkin sanggup mengarungi dunia luar yang kejam sendirian.“Oliver senang tinggal di sini sama, Bunda?
Laura masih belum dapat melupakan raut wajah Abraham ketika mendengar permintaannya beberapa hari yang lalu. Wajah tampan suaminya itu mendadak berubah dingin saat menutup pintu kamar mandi dan menghabiskan waktunya di sana. Laura tahu permintaannya kali ini cukup sulit. Status Oliver sudah jelas. Anak itu bukanlah darah daging Abraham namun kenapa Laura masih mengajukan permintaan yang membuat Abraham bingung? Entahlah. Laura juga tidak tahu. Laura hanya ingin mengikuti kata hati yang menuntunnya saja. Menginginkan anak orang lain agar menjadi miliknya mungkin terdengar gila. Dan Laura menyadarinya. Tapi mata tanpa dosa yang tengah menatapnya kala itu seakan meminta pertolongan. Seorang ibu mana yang tega ditatap dengan raut wajah memelas seperti itu? Laura pikir tentu tidak akan ada.“Memastikan kehidupan Oliver bisa kita lakukan dari jauh bukan berarti harus membawanya ikut serta pulang ke rumah.”Kata-kata Abraham terus terngiang-ngiang di kepala Laura.
Oliver akhirnya ditemukan. Anak laki-laki malang itu berada di pusat rehabilitasi anak dibawah naungan rumah sakit tempat Alana dulu dirawat. Oliver ditempatkan di dalam sebuah kamar tersendiri di mana hanya ada tempat tidur dan pendingin ruangan saja. Laura mendekati anak berusia hampir tujuh tahun itu perlahan. Sinar di matanya seakan meredup. Tanpa fokus pada siapa yang mengunjunginya kecuali menyibukkan diri pada selembar kertas dan pensil warna ditangan. Laura menoleh, seolah meminta penjelasan pada dokter yang berdiri disampingnya. āAnak ini sedikit terguncang. Kabarnya ketika ibunya meninggal, dia berada di sana sendirian. Sekarang saya sedang melakukan terapi dan berusaha mengembalikan emosinya.ā Beberapa pasien yang ditangani Dokter Kevin adalah anak-anak korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Dan Oliver divonis masuk dalam kategori itu. āDisamping itu saya juga curiga kalau anak ini tidak terlahir bisu. Melainkan karena masalah psikologis.ā
Galileo menampakkan wajahnya setelah sekian lama. Jika kemarin Laura menerima Freya di dalam kamar peraduannya, sayangnya tidak untuk kali ini. Laura menyapa Galileo ketika laki-laki itu tengah duduk bersandar sembari menyeruput minuman yang disuguhkan Mbak Omas di ruang tamu.“Sudah bisa jalan ternyata,” sapa Galileo ketika melihat Laura muncul menuruni tangga. Laki-laki itu menjabat tangan Laura kuat setelah diam beberapa saat.“Aku sudah dengar semuanya dari Freya semalam. Aku turut prihatin tapi juga turut senang atas kelahiran dua jagoan kalian,” kata Galileo melanjutkan.“Makasih, Mas. Ada banyak hal yang terjadi ketika melahirkan makanya baik aku maupun Mas Abe nggak sempat memberitahu siapa-siapa. Lagipula keadaanku nggak terlalu baik saat itu.”“Yah, andaikan aku tahu pun sepertinya nggak akan banyak membantu juga. Aku nggak punya wewenang untuk membantumu, apalagi memaksamu.”Hening …