Berbelanja bersama membeli perabotan untuk rumah baru memanglah menyenangkan untuk pasangan pengantin baru seperti Laura dan Abraham. Padahal dahulu Abraham menyerahkan semuanya pada Laura dan hanya meninggalkan visa black card untuk bertransaksi. Semenjak pengakuan Abraham kemarin semuanya berubah total. Sikap cuek Abraham meleleh bersama dengan tuntutan ciuman yang diberikan laki-laki itu pada Laura. Ciuman yang membuat Laura merona saat bayangan akan hal itu terlintas dalam benaknya. Keinginan Abraham atas dirinya membuat Laura bergidik ngeri. Sisi gelap dari suaminya perlahan mulai Laura pa
Keberangkatan Abraham tanpa Laura mengundang drama. Abraham mogok bicara. Berulang kali Laura menelepon ponselnya juga tidak diangkat—hanya pesan suara yang ia terima. Laura tentu saja kesal. Badan boleh besar, tapi tingkah seperti balita. Padahal satu hari sebelumnya Laura sudah bilang tidak bisa pergi bersama. Cutinya terlalu mendadak dan Becca tentunya kewalahan jika ia tiba-tiba lepas tangan. Opsi yang diberikan Laura sebenarnya cukup bagus. Laura baru bisa menyusul dua hari setelahnya, setelah semua pekerjaannya selesai. Namun Abraham tidak bisa menerimanya dan sekarang laki-laki itu tengah merajuk dengan menolak semua panggilan teleponnya. Geram? Jelas jangan ditanya. Bahkan Becca pun juga merasakan imbasnya.
Abraham menatap Drey dengan tatapan tidak bersahabat. Seolah daerahnya didatangi oleh pejantan lain dan membuatnya siap siaga ingin mengusirnya. Tarikan dipinggang Laura makin mengetat bersamaan dengan tatapan Abraham yang sama sekali tidak goyah meskipun telah Laura cubit perutnya.“Drey, ini suamiku,” kata Laura—memecahkan ketegangan di antara mereka. “Mas, ini Drey temanku waktu SMA dulu. Kami nggak sengaja ketemu tadi.”Kedua laki-laki disamping Laura
Laura benar-benar kewalahan mengimbangi permainan Abraham. Suaminya itu benar-benar brutal di atas ranjang. Tidak hanya berlangsung sekali, tapi juga berulang kali dan tentu sulit bagi Laura untuk menolaknya. Gejolak dalam diri Laura ternyata terlalu besar untuk sekedar mempertahankan nalar yang selama ini sedang ia coba pelajari. Desakan kebutuhan Abraham atas dirinya tidak main-main. Abraham menguasai tubuh Laura dari pagi sampai menjelang pagi lagi. Seperti halnya saat ini. Hentakan demi hentakan kembali memenuhi inti kenikmatan Laura. Laura tidak mempu lagi menahan desahan demi desahan karena goncangan dahsyat menghujam dirinya. Erangan Abraham pun ikut lolos ketika Laura membenamkan tangannya disela rambut dan meremas kuat disela-sela tautan lidah mereka. Saling mengecap di setiap permukaan dan
Pulau Bali adalah salah satu dari sekian banyak destinasi yang dikunjungi pasangan yang ingin memadu kasih dengan pasangan mereka. Bayangkan ada berapa banyak jiwa setiap tahunnya yang berkunjung ke sana baik itu wisatawan dalam ataupun luar. Bahkan angka kunjungannya melebihi jumlah penduduk asli Bali itu sendiri. The Island of Paradise adalah satu dari banyak gelar yang disematkan untuk Bali. Hampir setiap tempat di Bali memanjakan mata wisatawan yang berkunjung di sana. Contohnya Ubud yang kental dengan suasana sawah dan hutannya, Bedugul yang indah dengan pegunungan serta danau-danau sekitarnya, atau mungkin daerah Kuta yang familier dengan pantainya. Semua tergantung dari selera tiap individu. Selama tiga hari di Bali kemarin Laura tidak banyak mengeksplorasi tempat-tempat eksotis lainnya. Laura hanya berkeliling di area Seminyak dan selebihnya hany
Masih dalam suasana pasca honeymoon tampaknya Abraham tidak mau terpisah dari istrinya. Pagi itu benar-benar menjadi pagi bersejarah untuk Laura. Ia mengira Abraham akan langsung pergi setelah menurunkannya di depan lobby gedung kantor, nyatanya tidak. Abraham malah ikut masuk ke dalam lobby sembari menggandeng tangan Laura sampai di depan pintu lift. “Loh, Mas mau ke mana?” tanya Laura heran saat suaminya itu malah ikut masuk kapsul lift.
Laura mengira perilaku aneh Abraham tidak akan berlangsung lama, nyatanya tidak. Suami Laura itu tampak menikmati keseharian barunya mengekori ke mana Sang Istri pergi. Dua hari berlalu sejak kehebohan yang telah Abraham perbuat di depan lobby kantornya, belajar dari kesalahan sebelumnya tampaknya Abraham mulai bertindak hati-hati. Suami Laura itu hanya mengantarnya sampai depan lobby bawah dekat area parkiran. Area yang cukup aman untuk mereka berdua berciuman sebagai salam perpisahan tanpa takut dipergoki orang. Sebetulnya ini hanyalah akal-akalan Abraham saja sebag
Rumah minimalis dua lantai, dinding bercat putih, dan pagar berwarna hitam telah siap dihuni oleh pasangan pengantin yang resmi menikah dua bulan lalu. Rumah inilah yang akan menjadi tempat di mana Laura dan Abraham menjalin kasih, membesarkan anak-anak mereka kelak dan menghabiskan masa tua bersama. Betapa Laura menjadi orang yang paling bahagia. Satu unit tenda telah terpasang di depan rumah. Kursi beserta meja telah tersusun rapi dengan balutan kain berwarna putih. Hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu Laura beserta keluarganya. Tasyukuran pindah rumah akan digelar malam ini dengan mengundang remaja masjid sebagai pembaca ayat-ayat suci Al-qur’an yang dipimpin oleh ketua takmir. Acara pun dimulai setelah Abraham mengucapkan sepatah dua patah kata sambutan selaku tuan rumah. Laura menengadahkan telapak tangannya—mengucap rasa syu
Gigi adalah satu-satunya penghubung antara Laura dan Galileo. Sudah sejak satu tahun yang lalu Laura mempercayakan Galileo untuk merapikan susunan dari giginya yang terbilang rapi namun tidak cantik. Dan sekarang tinggal memilih waktu yang tepat saja untuk melepasnya.“Yang bener?!?” Laura tiba-tiba saja melebarkan matanya karena kabar yang Galileo berikan. Galileo mengangguk mantap ketika sesi kontrol gigi itu berakhir. “Aku jadi nggak sabar. Kapan rencananya?”“Kita lihat dua sampai tiga bulan ke depan ya. Aku harus pastikan gigimu nggak
Abraham menatap dalam diam ke pusara yang penuh dengan taburan bunga. Abraham masih tidak percaya jika perempuan yang dulu pernah memenuhi hatinya itu akan tertidur di sana dengan begitu cepat. Kita tidak bisa memprediksi umur manusia dan Abraham tentu saja tahu itu sejak lama. Meskipun tahun telah berganti, namun rasa tidak percaya itu masih membekas dihatinya. Perempuan itu amat sangat berarti dihatinya dan akan selalu menempati tempat khusus dihatinya. Tidak peduli apa yang dulu perempuan itu lakukan padanya, Abraham tetap akan selalu mengingat perempuan itu. Oliver menepuk pundaknya perlahan—membawanya kembali pada kenyataan di depannya. “Ayah, ayo kita pulang!” ajak Oliver dengan tangan yang penuh dengan keranjang bunga. “Sudah selesai kirim doanya? Ayah bisa kok menunggu sedikit lebih lama,” tukas Abraham. Oliver menggeleng. “Sudah cukup, nanti Oliver bisa melanjutkannya di rumah.” “Yakin? Nanti Bunda kira Ayah yang nggak sabaran ingin c
Begitu tahu istrinya tengah berbadan dua lagi, Abraham kembali mengaktifkan mode posesif pada dirinya sekali lagi. Semua anggota keluarga dilibatkan olehnya sampai-sampai membuat Laura geleng-geleng kepala. Bagi Laura, kewaspadaan Abraham saja sudah cukup tidak perlu sampai merepotkan anggota keluarga lainnya segala. Tapi Laura seakan lupa kalau perkataan Abraham tidak ada bedanya dari sebuah perintah dari Hitler yang artinya adalah mutlak. Tidak boleh melakukan ini dan itu, tidak boleh ke sana dan kemari selain untuk keperluan ke kamar mandi. Laura jadi teringat bagaimana obrolan random namun berakhir dengan kekesalan saat Abraham membalas sindirannya. “Begini ibaratnya kalau Mas di rumah terus pasti bahkan ke kamar mandi pun aku digendong ala tuan putri. Lebay banget sih aku!” “Kamu ingin aku melakukan itu? Ok, mulai besok aku akan membawa pekerjaanku ke rumah lagi untuk mengabulkan permintaanmu itu. No worry, Sweetheart. I’ll do it for you!” See? Sindiran
Hampir setiap pagi kediaman Laura gaduh setiap harinya. Dua bayi besarnya sama-sama tidak membantu pekerjaannya sama sekali. Oliver yang tidak kunjung mau beranjak dari tempatnya sungguh memancing emosi Laura. “Oliver, stop bermain dengan Si Kembar. Cepat mandi katanya kemarin ada piket kelas.” Putra sulung Laura itu benar-benar memanfaatkan waktu luangnya untuk menyempatkan diri bermain dengan Si Kembar di dalam boks mereka. Mulanya Laura tersentuh, tapi setelah tahu Oliver menjadi terlambat ke sekolah karenanya, Laura benar-benar mencegahnya. Tapi tetap saja anak itu bersikap acuh dengan panggilannya. “Oliver, tolong dengarkan Bunda, Nak. Nanti kamu terlambat datang ke sekolah.” “Oliver—” Satu kata dari Abraham langsung membuat Oliver menurut kemudian keluar dari kamar Laura menuju kamar mandi. Masih untung Abraham bisa membantu menghandle anak itu meskipun mereka berdua sering terlibat argumen tidak penting di lain kesempatan. Lain Oliver l
Tiga tahun kemudian … Tidak ada kebahagiaan yang kekal bagi Laura dan Abraham selain berkumpul bersama dengan keluarga. Baginya keluarga lebih dari segalanya. Berada di antara empat laki-laki benar-benar menguras tenaganya. Laura menemukan lagi satu sifat Oliver yaitu keras kepala. Terlalu keras kepala malahan. Oliver akan tetap keukeuh dengan pendirian serta kemauannya meski harus beradu argumen dengan lawan bicaranya. Laura terkadang harus menyerah karena salah satu sifatnya itu. Pembawaannya yang mendadak berubah dewasa, ditambah tubuh jangkungnya yang melebihi teman sebayanya, tidak akan ada yang percaya jika usia anak itu belum genap sepuluh tahun. Mendadak Laura merindukan Oliver yang dulu. Rasanya waktu berlalu sangat begitu cepat. Laura menghampiri Si Kembar. Dua jagoan yang beberapa bulan ini sedang aktif menjelajahi rumah benar-benar tidak bisa jauh dari jangkauan dan pengawasannya. Untuk itu kehadiran Mbak Omas ditengah-tengah keluarga kecilnya sangat memb
Satu bulan adalah masa percobaan yang Laura dan Abraham sepakati bersama untuk Oliver. Jika selama itu malah memperburuk keadaan Oliver, maka dengan terpaksa home schooling adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasinya. Atau dengan kata lain mereka diminta menyerah dan menerima semua kekurangan Oliver.Satu minggu pertama di sekolah. Oliver masih tidak menunjukkan respon apapun saat ditanya dalam hal pelajaran. Tapi anehnya setiap kali diminta mengerjakan soal di depan papan tulis, Oliver dapat dengan mudah menyelesaikannya dengan baik. Terlalu baik malah. Yang berarti putranya itu anak yang pintar, kan? Paling tidak itu yang telah Laura ketahui darinya. Jika tidak terlampau sibuk Laura dan Abraham akan datang bergantian melihat kegiatan apa saja yang dilakukan Oliver selama di sekolah. Nihil. Oliver hampir tidak melakukan apapun kalau bukan gurunya yang meminta. Soal pertemanan jangan ditanya. Jelas belum ada teman disekitaran Oliver. Berdiri ditengah kelas saat perten
Satu minggu pasca kedatangan Oliver di rumah. Mendadak rumah yang biasanya sepi menjadi ramai tak terkendali. Papa dan Mama Laura semakin sering singgah ke rumahnya dengan dalih menengok cucu. Oliver yang pemalu menjadi lebih berani mengutarakan keinginannya meski harus menggunakan bahasa tulisan. Oliver sering kali memberi selembar kertas bertuliskan kata ‘Bunda’ pada Laura. Sungguh kalau mata ini bukanlah ciptaan Sang Pemilik Semesta, pasti cairan bening ini sudah bolak-balik turun dengan derasnya. Laura merengkuh laki-laki kecil di depannya dengan sayang. Sejenak ia mengumpat dalam hati. Di mana otak Alana sampai hati meninggalkan anak tidak berdosa sendirian di dunia ini.“Iya, Sayang. Oliver juga boleh kok panggil Tante Bunda,” kata Laura tanpa mau melepaskan pelukannya.Bahu yang Laura peluk benar-benar kecil. Jadi bagaimana mungkin sanggup mengarungi dunia luar yang kejam sendirian.“Oliver senang tinggal di sini sama, Bunda?
Laura masih belum dapat melupakan raut wajah Abraham ketika mendengar permintaannya beberapa hari yang lalu. Wajah tampan suaminya itu mendadak berubah dingin saat menutup pintu kamar mandi dan menghabiskan waktunya di sana. Laura tahu permintaannya kali ini cukup sulit. Status Oliver sudah jelas. Anak itu bukanlah darah daging Abraham namun kenapa Laura masih mengajukan permintaan yang membuat Abraham bingung? Entahlah. Laura juga tidak tahu. Laura hanya ingin mengikuti kata hati yang menuntunnya saja. Menginginkan anak orang lain agar menjadi miliknya mungkin terdengar gila. Dan Laura menyadarinya. Tapi mata tanpa dosa yang tengah menatapnya kala itu seakan meminta pertolongan. Seorang ibu mana yang tega ditatap dengan raut wajah memelas seperti itu? Laura pikir tentu tidak akan ada.“Memastikan kehidupan Oliver bisa kita lakukan dari jauh bukan berarti harus membawanya ikut serta pulang ke rumah.”Kata-kata Abraham terus terngiang-ngiang di kepala Laura.
Oliver akhirnya ditemukan. Anak laki-laki malang itu berada di pusat rehabilitasi anak dibawah naungan rumah sakit tempat Alana dulu dirawat. Oliver ditempatkan di dalam sebuah kamar tersendiri di mana hanya ada tempat tidur dan pendingin ruangan saja. Laura mendekati anak berusia hampir tujuh tahun itu perlahan. Sinar di matanya seakan meredup. Tanpa fokus pada siapa yang mengunjunginya kecuali menyibukkan diri pada selembar kertas dan pensil warna ditangan. Laura menoleh, seolah meminta penjelasan pada dokter yang berdiri disampingnya. “Anak ini sedikit terguncang. Kabarnya ketika ibunya meninggal, dia berada di sana sendirian. Sekarang saya sedang melakukan terapi dan berusaha mengembalikan emosinya.” Beberapa pasien yang ditangani Dokter Kevin adalah anak-anak korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Dan Oliver divonis masuk dalam kategori itu. “Disamping itu saya juga curiga kalau anak ini tidak terlahir bisu. Melainkan karena masalah psikologis.”
Galileo menampakkan wajahnya setelah sekian lama. Jika kemarin Laura menerima Freya di dalam kamar peraduannya, sayangnya tidak untuk kali ini. Laura menyapa Galileo ketika laki-laki itu tengah duduk bersandar sembari menyeruput minuman yang disuguhkan Mbak Omas di ruang tamu.“Sudah bisa jalan ternyata,” sapa Galileo ketika melihat Laura muncul menuruni tangga. Laki-laki itu menjabat tangan Laura kuat setelah diam beberapa saat.“Aku sudah dengar semuanya dari Freya semalam. Aku turut prihatin tapi juga turut senang atas kelahiran dua jagoan kalian,” kata Galileo melanjutkan.“Makasih, Mas. Ada banyak hal yang terjadi ketika melahirkan makanya baik aku maupun Mas Abe nggak sempat memberitahu siapa-siapa. Lagipula keadaanku nggak terlalu baik saat itu.”“Yah, andaikan aku tahu pun sepertinya nggak akan banyak membantu juga. Aku nggak punya wewenang untuk membantumu, apalagi memaksamu.”Hening …