Sekitar pukul lima sore, Siera tampak tertawa sembari terus menatapi Galen. Bocah itu masih saja memegangi kertas gambarnya, sambil sesekali tersenyum.
Mereka baru saja pulang dari acara uang tahun itu. Seperti yang sudah Siera terka, acaranya memang menyenangkan, seru, khas perayaan ulang tahun anak-anak.
Bagian terbaiknya adalah saat si empunya pesta membuat sebuah acara lomba kecil-kecilan. Anak-anak yang datang diminta menggambar di kertas yang disediakan. Pemenangnya, dipilih berdasarkan voting anak-anak lain.
Galen tidak menang, tetapi bocah itu tak berhenti tersenyum pada gambarnya sejak tadi. Penasaran, Siera pun menanyai.
"Senang, Gal? Dari tadi enggak berhenti senyum?"
Galen mengangguk. Matanya berbinar pada gambar hasil buatan yang dipegang. "Ada Papah, Gal, sama Kak Ciela. Gal senang, udah bisa kayak Gio."
"Gio?"
"Anak tetangga depan." Arkan datang dari dapur dengan dua gelas jus j
Hari ini Dean ada kelas siang, pukul 11.20 wib. Sebelum ke kampus, pria itu menyempatkan diri mendatangi mini market milik Arkan, kenalan Siera yang belum apa-apa sudah membuat Dean kesal kemarin-kemarin.Ada yang sedikit berubah hari ini. Dean ke kampus tidak dari rumah. Pria itu berangkat dari rumah Nara.Kemanusiaan. Iba. Mengingat tiga tahun kebersamaan mereka, kemarin, usai Siera pergi tanpa sudi mendengar penjelasan, Dean memutuskan mengantar sang mantan kekasih atau lebih sedap dipanggil mantan selingkuhan pulang.Tak hanya mengantar, lelaki itu juga tinggal di sana hingga pagi, sebut itu menginap, demi merawat Nara yang benar-benar demam.Sungguh tak ada intensi lain, Dean hanya tak ingin Nara sendirian saat sakit. Dan pagi ini, sebelum mengajar, Dean akan menceritakan, menjelaskan dan meluruskan semua pada si mantan istri.Sudah memasuki mini market, kaki Dean langsung menuju rak di mana biasa Siera berdiri. N
Arkan menaikkan alis, memicing sedikit pada Siera yang sedang setengah berbaring di ranjang.Perempuan itu ia bawa ke rumah, setelah tadi sempat pingsan di toko. Dokter di klinik tempat Siera diperiksa berkata Siera demam biasa dan hanya butuh banyak istirahat agar cepat pulih.Barusan, setelah Siera sadar dan Arkan bantu menghabiskan semangkuk bubur, pria itu bertanya mengapa bisa sampai sakit.Jawaban yang diberikan Siera sedikit tak bisa Arkan mengerti. Siera bilang, ia akan demam sehari setelah menangis."Yakin kamu? Bukan karena kelelahan kerja dan banyak pikiran?" Arkan memberikan tiga buah tablet yang harus Siera telan.Yang ditanyai mengangguk sungguh. "Aku jarang sakit. Tapi, kalau nangis, besoknya pasti demam." Ia menyerahkan kembali obat tadi pada Arkan."Ini harus diminum." Arkan menunjuk obat dengan dagu."Masukin ke gelas, larutkan dulu. Aku enggak bisa minum obat utuh gini," jel
Sedang mengambil tas di loker, Siera mendapati ponsel di saku bergetar. Perempuan itu memeriksa, satu pesan datang dari kotak dengan nama Papah Arkan.Isinya, cukup aneh. Ayahnya Gal itu memberitahu akan menjemput, Siera diminta menunggu sebentar.Aneh, karena pesan sederhana itu membuat pipi Siera merona. KEnapa? Ia tidak tahu. Padahal, ini bukan pertama kalinya Arkan datang untuk menjemputnya.Apa status mereka yang sudah berubah membuat tindakan sederhana itu menjadi sesuatu yang perlu dipandang istimewa?Berjalan keluar dari mini market, Siera memutuskan menunggu di area parkir belakang. Perempuan itu duduk di salah satu pohon rindang di sana.Pacar. Pertama kali Siera mendengar istilah itu adalah ketika SMA. Saat teman sebangkunya, Utari, mengenalkan Dimas yang saat itu adalah ketua kelas sebagai pacar.Dua orang, saling menyukai, mengikat diri dalam sebuah hubungan. Berpacaran. Status itu membuat beb
Dean hampir tertidur dalam posisi duduk di sofa, kala telinga menangkap suara dari luar. Seseorang memanggil, sesekali pagar dipukul pelan.Pria itu beranjak, membuka pintu untuk mendapati seorang Nara berdiri di depan pagarnya. Tak banyak berpikir, ia menghampiri.Gembok dibuka, pagar ditarik. Dean berjalan diikuti si mantan kekasih menuju dalam rumah.Mereka duduk di sofa, tanpa suara untuk beberapa saat. Dean dengan tatapan kosong, Nara dengan raut semringah."Pelipis kamu kenapa, An?"Si lelaki tak menyahut. Kosong. Sorot matanya menampakkan rasa lelah, kecewa dan lainnya.Nara berinisiatif saja. Perempuan itu memeriksa salah satu laci meja kayu di dekat dinding. Beruntung sekali karena di sana ada kotak obat.Perempuan itu kembali pada Dean, duduk tepat di samping pria itu. Tak mendapat penolakan kala menyentuh pelipis si pria, ia lanjut ke tahap selanjutnya.Luka di kening D
Dean melambatkan laju mobil kala mendapati sosok Nara. Lagi, perempuan itu mendatangi rumah, saat ini tengah berdiri di depan pagar.Sengaja menghentikan mobil beberapa meter dari sana, Dean melipat dahi. Kembali, sesuatu itu mengusik. Sesuatu yang sudah terjadi, tetapi harus tidak terjadi. Antara dirinya dan si mantan kekasih, dua hari lalu.Kemarin itu, Nara berkata ingin membuatkan makan malam. Memang seperti itu. Setelah ikan goreng sambal dan tumis sawi dihidangkan, mereka pun makan bersama. Setelahnya, terjadi yang aneh. Panas. Ada gelanyar tak asing mendera.Mereka hanya makan, tidak terlibat kontak fisik, lantas mengapa Dean merasa terbakar? Tiba-tiba sekali.Dean sudah meminta Nara pulang saja. Tidak baik berduaan, apalagi di kediaman yang dulu Dean gunakan untuk tinggal bersama mantan istri. Namun, beberapa saat kemudian, Dean malah menghalangi Nara pergi.Semua bermula ketika si mantan kekasih memeluknya. De
Sebagai ganti rugi dan pelipur hati Galen atas pertanyaan yang tak bisa Siera jawab, sore ini si perempuan bersedia diajak jalan-jalan. Hanya mereka berdua, tanpa Arkan. Urusan pekerjaan, si ayah akan menyusul segera setelah senggang.Agendanya, Siera menemani dan mengajari Galan naik sepeda. Maka, sebuah lapangan sepak bola dijadikan tujuan.Sesaat setelah tiba di sana, Galen yang tak sabar langsung menuntun sepedanya berkeliling. Hanya dituntun, tetapi wajah bocah itu lebih cerah dari mentari siang tadi."Bentar lagi, Kak. Bentar lagi ajari Gal. Gal mau keliling dulu."Siera mengangguk saja. Berdiri di pinggir lapangan, ia menontoni Galen. Lelah yang didapat dari pekerjaan sejak pagi perlahan hilang. Melihat Galen tersenyum senang, suasana hati menjadi sangat baik.Puas menuntun sepeda berkeliling, Galen menghampiri Siera. Anak lelaki itu semakin melebarkan senyum kala tangan Siera mengusap lembut kening yang berpelu
Sebenarnya Siera belum siap datang ke sini. Bertemu Mike, menginjakkan kaki di rumah orang tuanya Dean itu tidak lagi semudah dulu.Pertemuan tidak sengajanya dengan Dean di lapangan kemarin membawa dampak besar bagi Siera. Ia mendadak merasa asing, termasuk pada Mike.Jika bukan karena Mike sangat memaksa, Siera akan kembali mengelak datang hari ini. Mungkin alasan lembur bekerja bisa dipakai lagi."Datanglah, Siera. Ada yang ingin Papa sampaikan."Berusaha mengesampingkan perasaan tidak nyaman dan sedihnya, kaki Siera melangkah mendekati pintu rumah Mike. Menekan bel beberapa kali sampai akhirnya si tuan rumah muncul.Diberi pelukan, mata Siera menghangat. Bisakah ia benar-benar menjauh dari Mike nantinya? Si mantan mertua sudah ia anggap ayah sendiri. Selalu ingin diperlakukan bak anak sendiri, seperti sekarang, tetapi ia harus menerima kenyataan.Dean sudah bersama dengan Nara lagi. Besar kemungkinan d
"Dadah, Mamah!"Lambaian tangan Siera berhenti sejenak. Perempuan itu membeliak, kemudian berusaha tersenyum. "Gal?" panggilnya mengingatkan.Galen yang berdiri di samping ayahnya tertawa. "Iya, iya. Dadah, Kak Ciela."Hari ini Arkan dan Galen menjenguk Siera yang sudah dua hari dirawat di rumah sakit. Demam dan kelelahan, Arkan adalah pihak yang sangat memaksa agar si kekasih menjalani perawatan minimal sampai besok.Datang beberapa jam lalu, sekarang Arkan dan Galen akan segera pulang. Si bocah ternyata sedikit usil karena tiba-tiba saja memanggil Siera dengan sebutan Mamah."Cepat sembuh, ya, Kak Ciela.""Iya."Arkan mengulurkan tangan, mengusap pundak kekasihnya. "Masuk sana, istirahat. Kami pulang dulu. Besok datang lagi." Sebenarnya ingin menginap menemani, tetapi Arkan tak mungkin membiarkan Galen berdua saja dengan asisten rumah tangga.Siera mengangguk saja. Kembali melam
Dean yang sudah sangat mengantuk dan hampir lelap berbalik untuk menatap Siera. Istrinya itu terus bergerak gelisah sejak setengah jam tadi. Mengubah posisi tidur terus-terusan, sesekali memukuli bantal.Apa sedang cari perhatian?"Kenapa, Siera? Enggak bisa tidur?" Dean menumpu kepala dengan tangan.Yang ditanya mengangguk. Matanya mengerjap cepat, seolah sedang membujuk."Kenapa? Lapar?" Dean menebak.Si istri menggeleng."Sakit perut?" Dean membawa tubuhnya duduk bersila."Pengin makan sesuatu, Paksu."Diam-diam Dean menelan ludah hati-hati. Kalimat itu adalah sesuatu yang sejak seminggu lalu ia takutkan. Akhirnya muncul juga."Apa?" Alis Dean mengait tak ramah."Belimbing."Matanya melebar, Dean kemudian mengusap wajah. Pria itu menggaruk rambut. Sampai sekarang, mereka belum juga memeriksakan keadaan Siera. Belum berani. Namun, dari ting
Mengendarai motor tak tentu arah selama berjam-jam, Dean akhirnya memilih mendatangi rumah Mike. Itu sekitar pukul dua belas malam, kedatangannya disambut raut heran sang ayah."Ayah tidur aja. Aku cuma mau numpang sampai besok pagi."Mike mengabaikan usiran halus itu. Ia duduk di samping sang putra. "Bertengkar dengan Siera? Tumben sampai minggat." Lelaki tua itu berusaha bercanda. Namun, Dean hanya merespon dengan senyum yang dipaksakan.Bungkam selama beberapa menit, Dean membuka bibir. "Aku takut, Ayah. Aku takut anak-anakku nanti akan menerima akibat dari perbuatanku dulu."Misal Siera melahirkan anak laki-laki. Bagaimana jika Dean tidak becus mendidiknya? Dirinya saja yang mendapat didikan benar dari Mike, sempat melenceng. Konon anaknya nanti. Dean pesimis dirinya sudah layak menjadi seorang ayah."Kalau dia perempuan, gimana, Ayah? Gimana kalau dia ketemu laki-laki yang kayak aku? Gimana kalau dia disakiti sama
"Mau beli apa, Nak? Mau jajan apa?"Siera mengulum senyum saat mendapati dua orang pelanggan datang ke warungnya. Hari ini giliran Siera yang berjaga, Dean sedang mengurus keperluan pembukaan warung makan mereka yang akan digelar minggu depan.Setahun menggeluti usaha warung kelontong, Dean berhasil mengumpulkan modal untuk membuka warung makan. Pria itu memang gigih dan berbakat dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ekonomi mereka berangsur makin stabil, semua baik, kecuali satu."Susu formulanya satu, ya, Buk. Yang biasa." Pelanggan tadi meminta dengan sopan pada Siera.Siera mengambilkan barang itu. Matanya kembali memandangi gadis kecil yang pelanggannya tadi gendong. Mereka ayah dan anak yang memang biasa belanja. Setiap sore begini, si ayah yang pulang bekerja akan membawa anaknya membeli jajan ke warung Siera ini.Kebersamaan ayah dan anak itu membuat hati Siera senang, sekaligus sedih tiap kali melihatnya.
Suasana kamar sore itu semakin hangat. Siera merasa dirinya terbakar oleh tiap sentuhan dan kecupan Dean. Pria itu memang selalu andal membuatnya terbang.Terbaring di atas ranjang mereka, Siera mendongakkan wajah kala sapuan telapak tangan Dean mampir di paha. Laki-laki itu membuatnya terbuka dan siap untuk berkelana ke nirwana.Saat Siera merasa jarak mereka sudah sangat dekat, tiba-tiba saja Dean bangkit dari atas tubuhnya. Pria itu menarik laci, mengambil sebuah benda dari sana. Dalam usahanya mengatur napas yang terengah, Siera melihat pria itu memakai pengaman.Seminggu sejak mereka menikah, Dean mulai melakukan ini. Pria itu melapisi dirinya dengan benda karet itu. Saat ditanya kenapa, jawabannya membuat Siera sedih."Kamu udah periksa ke dokter, 'kan, Paksu? Kamu sehat, untungnya. Kenapa pakai itu?"Tanya itu Siera berani suarakan di pergumulan mereka yang kesepuluh. Dean langsung memasang wajah sedih kala itu.
Siera yang baru saja pulang dari rumah Mike memutuskan turun di warung milik Dean, alih-alih langsung ke rumah. Perempuan itu khawatir suaminya lelah melayani pembeli sejak pagi hingga sore, dan akan menawarkan bantuan. Dean bisa pulang dan dia yang menjaga warung.Sebulan pernikahan, Siera benar-benar bahagia. Dean makin hari semakin perhatian. Pria itu mulai mengabaikan sedikit gengsi dan sudah lebih sering menunjukkan rasa peduli.Satu contohnya, Dean sudah tak perlu diingatkan untuk menghubungi Mike atau menjenguk ayah mereka itu. Dean bahkan pernah tanpa sepengetahuannya membelikan si ayah mertua sepatu.Tiba di warung kecil mereka, Siera melempar senyum pada si pria berkaus abu-abu. Rasanya sedikit aneh. Biasanya, saat bekerja, Dean akan mengenakan kemeja dan celana kain fromal. Tidak sesantai sekarang. Hanya kaus dan celana pendek. Namun, tetap saja ketampanan suaminya itu tak berkurang."Capek, Paksu? Mau gantian?" Siera me
"Aku udah jual rumah ini. Uangnya udah habis."Dean menanti, mengamati dengan cermat raut wajah istrinya. Awalnya perempuan itu terkejut, kemudian meringis kesal. Siera melempar diri ke sofa, berulang kali menarik dan membuang napas."Kamu enggak mau tanya kenapa aku jual rumahnya dan ke mana uangnya?"Perempuan itu menoleh. Satu tangannya terangkat. "Bentar. Aku napas dulu. Siap-siap dulu," ujarnya dengan dahi berkerut.Di tempatnya berdiri, Dean mengulum senyum. Hah, dia menyesal setengah mati. Kenapa tidak dari dulu memilih perempuan itu sebagai teman hidup? Walau ditempatkan di situasi yang buruk, Siera tetap berusaha tenang. Garis bawahi, berusaha. Bukan Dean tidak tahu jika sekarang emosi istrinya sedang mendidih.Siera memilih mendinginkan kepala dulu, mengambil waktu untuk bersiap, padahal jika langsung mengamuk pun, itu sangat wajar. Kenapa dulu Dean malah terjebak dengan seseorang yang sesuka hati melam
"Apa, sih, gunanya hape?"Siera melempar ponselnya ke atas sofa, setelah panggilan yang ditujukan pada Dean kembali tidak dijawab. Duduk di samping gawainya, si perempuan bersedekap dengan wajah ditekuk. Melirik sebentar ke arah pintu, lalu mengerutkan dahi.Sekarang sudah pukul sembilan malam. Dean belum pulang dan mengabaikan semua panggilan dan pesan Siera. Membuat si istri cemas, tetapi juga kesal.Ke mana Dean pergi? Mencari kerja seperti yang tadi pagi ia suruh? Yang benar saja! Sampai jam segini? Siera curiga Dean malah sedang berduaan dengan Intan di suatu tempat.Membuang napas kasar, Siera mengusap dada. Harus konsisten dan tanggung jawab atas pilihan. Kalau pun misal Dean memang sedang bersama Intan maka Siera akan ....Siera akan menjambak dan memukul Dean. Sungguh, bila benar suaminya itu kembali mengulang kesalahan seperti saat bersama Nara, maka Siera tak akan bersikap lembut lagi.Tak lama,
Setelah pernikahan, lalu apa?Ya bermesraan. Saling mengungkapkan cinta dengan cara yang lebih intim. Mungkin jalan-jalan ke tempat baru, menghabiskan hari dengan bekencan dan sebagainya yang menyenangkan.Atau, di rumah saja. Seharian di kasur, membicarakan dan merancang masa depan. Mungkin mendiskusikan soal jumlah anak dan nama mereka. Namun, itu tidak berlaku untuk Siera. Sebab setelah resmi menjadi istri Dean lagi, perempuan itu malah didiamkan.Selepas acara sederhana dengan keluarga, mereka pulang ke rumah Dean yang lama. Makan, mandi, lalu istirahat, karena lelah. Setelahnya? Hanya saling bertatapan beberapa kali lalu diam.Jika alasannya lelah, Siera bisa paham. Namun, yang Dean tunjukkan ini bukan sikap pengantin pria yang kelelahan sehabis acara pernikahan dan tidak berselera melakukan apa pun. Pria itu memang sengaja membuat jarak. Menjauh darinya, sejauh mungkin.Bayangkan. Semalam, Dean menaruh guling di
Dean dengan sengaja merebahkan tubuh di sofa. Pria itu memejam dengan satu satu lengan di dahi. Bersikap selayaknya tak mendengarkan ocehan perempuan di sana.Tidak sendiri di ruang tamu rumah Mike, sekarang pukul sepuluh. Sang ayah sudah istirahat, Bu Ratna juga, tersisa ia dan Siera. Dan lagi, Siera sedang membicarakan ajakan menikah. Seolah tak lelah dan bosan."Kamu tidur, Dean? Kamu enggak dengerin aku?"Tidak dengar apanya? Seminggu lebih menelan semua bujuk rayu Siera, Dean mampu jika disuruh mengulang, walau tanpa teks. Hapal. Dean sudah hapal."Ayo nikah lagi. Kamu enggak kasihan sama aku? Aku ini mantan istri kamu, yang jatuh cinta sama kamu, dan sekarang ngemis untuk dinikahi. Enggak kasihan? Enggak mau? Udah ada pacar baru kamu?"Masih mempertahankan posisi berbaring, si lelaki tidak menjawab. Sampai sekarang, benar ia belum bisa memutuskan apakah harus memulai lagi hubungan dengan Siera atau tidak. Walau s