"Kamu lagi marah sama aku, ya?"
Dean tak bersuara. Jemarinya menekan remote TV asal.
"Aku ngerasa gitu. Kamu diam sejak tadi, noleh aja enggak."
Menekan tombol merah, lelaki dengan kemeja berwarna abu-abu itu bersedekap, menatapi layar gelap di depan.
"Dean? Iya, kayaknya kamu lagi marah. Tapi, karena apa?"
Siera tampak berpikir. Mencari-cari bagian yang terlewat, alasan mengapa sejak tadi si mantan suami tidak bicara padanya, mengabaikan pertanyaannya dan enggan membalas tatapan.
Sejak siang tadi, Siera ada di rumah Mike dan Ana. Menghabiskan waktu liburnya bersama dua orang itu, kebetulan Dean tengah berkunjung.
Sebenarnya cukup senang, tetapi si perempuan berusaha terlihat biasa saja. Mencoba tenang, ia malah mendapat sikap aneh dari Dean. Pria itu seolah menghindar dan sejak tadi terus menekuk wajah ke arahnya.
Dean bicara pada Ana. Menimpali ucapan Mike, tetapi berpura tak me
Siera terlihat ragu melangkah melewati pagar rumah Dean. Pegangan totebag di bahu ia remas. Haruskah masuk?Sekitar setengah jam tadi, saat dirinya hendak berangkat kerja, Siera mendapat telepon dari Dean. Pria itu tanpa basa-basi mengutarakan maksud.[Saya terluka. Tolong datang ke rumah.]Tanpa pikir panjang, si perempuan mengubah tujuannya. Tidak jadi ke tempat kerja, melainkan ke rumah Dean. Namun, setibanya di sini, ia malah ragu untuk masuk.Gerbang masih tergembok. Siera punya kunci cadangan. Tidak seharusnya datang ke rumah mantan suami yang tinggal sendiri. Namun, Dean sedang terluka.Secepat kilat tangan perempuan itu merogoh tas. Kunci pagar terbuka, langkahnya terburu menuju pintu."Dean!" Seraya berjalan masuk, ia memanggil. Pria itu dia temukan di sofa ruang tamu.Terperanjat, Siera menutup mulut kala mendapati noda merah di bagian depan kemeja biru Dean. Menghampiri, ia merasa m
Kehilangan Paling PiluSejauh yang Dean ingat, ibunya adalah sosok paling sabar yang ada di dunia. Perempuan itu tak pernah lelah menghadapi gengsinya Dean. Bentuk keras kepala yang paling baik.Satu contoh. Dulu, waktu Dean masih duduk di bangku SMA. Lelaki itu pernah mengalami demam cukup lama. Berlagak layaknya pemuda dewasa, ia menolak diurus Ana. Akhirnya, lebih dari 3 hari harus tergolek di tempat tidur.Selama tiga hari pula ibunya tak henti menunjukkan perhatian, meski sudah Dean larang berulang kali."Mau kamu sebesar atau sedewasa apa, kamu tetap anaknya ibu." Begitulah omelan Ana saat akhirnya memutuskan tetap memijat Dean, walau si anak melarang.Saat itu Dean merasa dirinya sudah cukup tua untuk diurusi si ibu. Laki-laki itu merasa bisa merawat dirinya sendiri, tak perlu bantuan Ana dan lepas dari cap anak mami yang selama ini melekat pada dirinya. Namun, pemikiran itu salah. Karena setelah ia dipijat Ana,
Di meja makan, masih di rumah Mike, Dean yang pagi ini bangun dengan kepala pusing disuguhi pemandangan yang cukup membuat suasana hati sedikit membaik. Siera tengah menyiapkan sarapan.Perempuan itu tidak pulang. Menemaninya hampir sepanjang malam dan pagi ini memasak untuknya dan Mike."Papa suka tempenya enggak, ya?""Suka." Menjawab sekenanya, Dean tak mengalihkan pandangan dari perempuan itu yang pagi ini menggunakan kaus miliknya.Malu mengaku, tapi sungguh ia rindu akan suasana seperti ini. Ia dan Siera ada di satu rumah, di pagi hari si mantan sitri menyiapkan santapan untuknya."Kamu pergi bekerja hari ini, Siera?" Suara Mike terdengar di ruang makan. Pria itu menarik kursi di depan Dean."Siera udah izin datang agak siang. Habis dari sini." Semangkuk sayur bening dengan tauge, buncis dan jagung muda perempuan itu sajikan di meja. "Ayo makan," ajaknya pada semua orang.Mike sudah mula
Dean sedang menatapi proposal penelitian terbarunya di layar komputer saat sebuah ide tiba-tiba saja terlintas.Memundurkan kursi, lelaki itu mengambil ponsel. Bosan sekali beberapa hari ini. Rutinitas hanya di isi kegiatan mengajar, menghadiri seminar proposal mahasiswa, mengerjakan proyek penelitiannya sendiri dan pulang. Di rumah pun, tak ada kegiatan berarti selain menyirami tanaman milik sang mantan istri.Butuh sedikit hiburan, Dean punya ide. Ia akan mengirimi Siera pesan. Meminta perempuan itu datang. Alasannya? Dean akan mengaku sakit saja. Karena di jam segini biasanya si mantan istri sedang bekerja, jadi harus menggunakan alasan yang mendesak.Pesan terkirim, Dean tersenyum tak sabar. Lebih dari seminggu ia tak melakukan apa-apa dengan Siera. Hanya datang ke mini market tempat perempuan itu bekerja, pura-pura belanja dan sudah.Dean ingin lebih dari sekadar bertemu sebentar. Mungkin mengajak si mantan istri pulang ke rum
"Kamu mau ice cream?"Di kursi penumpang mobil Arkan, Siera mengangguk. Pandangan mata perempuan itu lurus ke depan."Coklat atau stroberi? Atau, susu vanila aja?"Lagi, Siera mengangguk. Ia membenarkan apa yang baru saja otak pikirkan. Bahwa, ia menyukai Dean Sandi.Apanya? Apa yang disuka dari Dean, si mantan suami?Pertama, pria itu terlihat bagus di mata. Wajah tampan dengan perbandingan pas di bagian hidung, mata dan bibir. Tubuh tinggi, kulit putih. Ditambah pembawaan yang tenang, terkesan tak acuh pada semua hal. Siera seperti melihat pemeran utama drama kesukaan muncul di dunia nyata.Baik. Katakan itu benar dan lumrah. Namun, benarkah fisik semata yang membuat Siera tertarik pada Dean?Perempuan itu menggeleng. Sedikit banyak ia kenal bagaiman karakter Dean. Tidak baik, apalagi sempurna. Pria itu memiliki banyak kekurangan, sama seperti Siera juga. Namun, tetap saja. Semua itu tak mem
Tepat saat suapan terakhir Mike melewati tenggorokan pria itu, suara Dean muncul di ruang makan.Siera hanya melirik sekilas. Kembali fokus pada sang mantan ayah mertua."Kamu ini dari mana saja? Ditunggu dari setengah jam lalu. Ayah sudah lapar, jadi makan duluan." Mike menandaskan air dalam gelasnya. Pria itu berdiri degan wajah semringah. "Masakan kamu makin hari makin enak, Siera. Terima kasih untuk makan malamnya.""Kembali kasih, Papa. Mau aku potongkan buah?"Mike menggeleng. "Papa mau nonton sebentar. Kamu, urusi saja ini anak." Ia melirik malas pada sang putra, lalu berjalan meninggalkan dapur.Duduk di kursi bekas Mike, tepat di samping Siera, Dean memasang wajah tak berdosa. Ia tahu perempuan di sebelahnya kesal. Dean terlambat di acara makan malam."Kamu masak apa? Aku dari siang belum makan." Dean menatap berbinar pada lauk di meja. Ikan teri dengan kacang. Sayurnya, daun singkong ditumis. Len
Sekitar pukul lima sore, Siera tampak tertawa sembari terus menatapi Galen. Bocah itu masih saja memegangi kertas gambarnya, sambil sesekali tersenyum.Mereka baru saja pulang dari acara uang tahun itu. Seperti yang sudah Siera terka, acaranya memang menyenangkan, seru, khas perayaan ulang tahun anak-anak.Bagian terbaiknya adalah saat si empunya pesta membuat sebuah acara lomba kecil-kecilan. Anak-anak yang datang diminta menggambar di kertas yang disediakan. Pemenangnya, dipilih berdasarkan voting anak-anak lain.Galen tidak menang, tetapi bocah itu tak berhenti tersenyum pada gambarnya sejak tadi. Penasaran, Siera pun menanyai."Senang, Gal? Dari tadi enggak berhenti senyum?"Galen mengangguk. Matanya berbinar pada gambar hasil buatan yang dipegang. "Ada Papah, Gal, sama Kak Ciela. Gal senang, udah bisa kayak Gio.""Gio?""Anak tetangga depan." Arkan datang dari dapur dengan dua gelas jus j
Hari ini Dean ada kelas siang, pukul 11.20 wib. Sebelum ke kampus, pria itu menyempatkan diri mendatangi mini market milik Arkan, kenalan Siera yang belum apa-apa sudah membuat Dean kesal kemarin-kemarin.Ada yang sedikit berubah hari ini. Dean ke kampus tidak dari rumah. Pria itu berangkat dari rumah Nara.Kemanusiaan. Iba. Mengingat tiga tahun kebersamaan mereka, kemarin, usai Siera pergi tanpa sudi mendengar penjelasan, Dean memutuskan mengantar sang mantan kekasih atau lebih sedap dipanggil mantan selingkuhan pulang.Tak hanya mengantar, lelaki itu juga tinggal di sana hingga pagi, sebut itu menginap, demi merawat Nara yang benar-benar demam.Sungguh tak ada intensi lain, Dean hanya tak ingin Nara sendirian saat sakit. Dan pagi ini, sebelum mengajar, Dean akan menceritakan, menjelaskan dan meluruskan semua pada si mantan istri.Sudah memasuki mini market, kaki Dean langsung menuju rak di mana biasa Siera berdiri. N
Dean yang sudah sangat mengantuk dan hampir lelap berbalik untuk menatap Siera. Istrinya itu terus bergerak gelisah sejak setengah jam tadi. Mengubah posisi tidur terus-terusan, sesekali memukuli bantal.Apa sedang cari perhatian?"Kenapa, Siera? Enggak bisa tidur?" Dean menumpu kepala dengan tangan.Yang ditanya mengangguk. Matanya mengerjap cepat, seolah sedang membujuk."Kenapa? Lapar?" Dean menebak.Si istri menggeleng."Sakit perut?" Dean membawa tubuhnya duduk bersila."Pengin makan sesuatu, Paksu."Diam-diam Dean menelan ludah hati-hati. Kalimat itu adalah sesuatu yang sejak seminggu lalu ia takutkan. Akhirnya muncul juga."Apa?" Alis Dean mengait tak ramah."Belimbing."Matanya melebar, Dean kemudian mengusap wajah. Pria itu menggaruk rambut. Sampai sekarang, mereka belum juga memeriksakan keadaan Siera. Belum berani. Namun, dari ting
Mengendarai motor tak tentu arah selama berjam-jam, Dean akhirnya memilih mendatangi rumah Mike. Itu sekitar pukul dua belas malam, kedatangannya disambut raut heran sang ayah."Ayah tidur aja. Aku cuma mau numpang sampai besok pagi."Mike mengabaikan usiran halus itu. Ia duduk di samping sang putra. "Bertengkar dengan Siera? Tumben sampai minggat." Lelaki tua itu berusaha bercanda. Namun, Dean hanya merespon dengan senyum yang dipaksakan.Bungkam selama beberapa menit, Dean membuka bibir. "Aku takut, Ayah. Aku takut anak-anakku nanti akan menerima akibat dari perbuatanku dulu."Misal Siera melahirkan anak laki-laki. Bagaimana jika Dean tidak becus mendidiknya? Dirinya saja yang mendapat didikan benar dari Mike, sempat melenceng. Konon anaknya nanti. Dean pesimis dirinya sudah layak menjadi seorang ayah."Kalau dia perempuan, gimana, Ayah? Gimana kalau dia ketemu laki-laki yang kayak aku? Gimana kalau dia disakiti sama
"Mau beli apa, Nak? Mau jajan apa?"Siera mengulum senyum saat mendapati dua orang pelanggan datang ke warungnya. Hari ini giliran Siera yang berjaga, Dean sedang mengurus keperluan pembukaan warung makan mereka yang akan digelar minggu depan.Setahun menggeluti usaha warung kelontong, Dean berhasil mengumpulkan modal untuk membuka warung makan. Pria itu memang gigih dan berbakat dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ekonomi mereka berangsur makin stabil, semua baik, kecuali satu."Susu formulanya satu, ya, Buk. Yang biasa." Pelanggan tadi meminta dengan sopan pada Siera.Siera mengambilkan barang itu. Matanya kembali memandangi gadis kecil yang pelanggannya tadi gendong. Mereka ayah dan anak yang memang biasa belanja. Setiap sore begini, si ayah yang pulang bekerja akan membawa anaknya membeli jajan ke warung Siera ini.Kebersamaan ayah dan anak itu membuat hati Siera senang, sekaligus sedih tiap kali melihatnya.
Suasana kamar sore itu semakin hangat. Siera merasa dirinya terbakar oleh tiap sentuhan dan kecupan Dean. Pria itu memang selalu andal membuatnya terbang.Terbaring di atas ranjang mereka, Siera mendongakkan wajah kala sapuan telapak tangan Dean mampir di paha. Laki-laki itu membuatnya terbuka dan siap untuk berkelana ke nirwana.Saat Siera merasa jarak mereka sudah sangat dekat, tiba-tiba saja Dean bangkit dari atas tubuhnya. Pria itu menarik laci, mengambil sebuah benda dari sana. Dalam usahanya mengatur napas yang terengah, Siera melihat pria itu memakai pengaman.Seminggu sejak mereka menikah, Dean mulai melakukan ini. Pria itu melapisi dirinya dengan benda karet itu. Saat ditanya kenapa, jawabannya membuat Siera sedih."Kamu udah periksa ke dokter, 'kan, Paksu? Kamu sehat, untungnya. Kenapa pakai itu?"Tanya itu Siera berani suarakan di pergumulan mereka yang kesepuluh. Dean langsung memasang wajah sedih kala itu.
Siera yang baru saja pulang dari rumah Mike memutuskan turun di warung milik Dean, alih-alih langsung ke rumah. Perempuan itu khawatir suaminya lelah melayani pembeli sejak pagi hingga sore, dan akan menawarkan bantuan. Dean bisa pulang dan dia yang menjaga warung.Sebulan pernikahan, Siera benar-benar bahagia. Dean makin hari semakin perhatian. Pria itu mulai mengabaikan sedikit gengsi dan sudah lebih sering menunjukkan rasa peduli.Satu contohnya, Dean sudah tak perlu diingatkan untuk menghubungi Mike atau menjenguk ayah mereka itu. Dean bahkan pernah tanpa sepengetahuannya membelikan si ayah mertua sepatu.Tiba di warung kecil mereka, Siera melempar senyum pada si pria berkaus abu-abu. Rasanya sedikit aneh. Biasanya, saat bekerja, Dean akan mengenakan kemeja dan celana kain fromal. Tidak sesantai sekarang. Hanya kaus dan celana pendek. Namun, tetap saja ketampanan suaminya itu tak berkurang."Capek, Paksu? Mau gantian?" Siera me
"Aku udah jual rumah ini. Uangnya udah habis."Dean menanti, mengamati dengan cermat raut wajah istrinya. Awalnya perempuan itu terkejut, kemudian meringis kesal. Siera melempar diri ke sofa, berulang kali menarik dan membuang napas."Kamu enggak mau tanya kenapa aku jual rumahnya dan ke mana uangnya?"Perempuan itu menoleh. Satu tangannya terangkat. "Bentar. Aku napas dulu. Siap-siap dulu," ujarnya dengan dahi berkerut.Di tempatnya berdiri, Dean mengulum senyum. Hah, dia menyesal setengah mati. Kenapa tidak dari dulu memilih perempuan itu sebagai teman hidup? Walau ditempatkan di situasi yang buruk, Siera tetap berusaha tenang. Garis bawahi, berusaha. Bukan Dean tidak tahu jika sekarang emosi istrinya sedang mendidih.Siera memilih mendinginkan kepala dulu, mengambil waktu untuk bersiap, padahal jika langsung mengamuk pun, itu sangat wajar. Kenapa dulu Dean malah terjebak dengan seseorang yang sesuka hati melam
"Apa, sih, gunanya hape?"Siera melempar ponselnya ke atas sofa, setelah panggilan yang ditujukan pada Dean kembali tidak dijawab. Duduk di samping gawainya, si perempuan bersedekap dengan wajah ditekuk. Melirik sebentar ke arah pintu, lalu mengerutkan dahi.Sekarang sudah pukul sembilan malam. Dean belum pulang dan mengabaikan semua panggilan dan pesan Siera. Membuat si istri cemas, tetapi juga kesal.Ke mana Dean pergi? Mencari kerja seperti yang tadi pagi ia suruh? Yang benar saja! Sampai jam segini? Siera curiga Dean malah sedang berduaan dengan Intan di suatu tempat.Membuang napas kasar, Siera mengusap dada. Harus konsisten dan tanggung jawab atas pilihan. Kalau pun misal Dean memang sedang bersama Intan maka Siera akan ....Siera akan menjambak dan memukul Dean. Sungguh, bila benar suaminya itu kembali mengulang kesalahan seperti saat bersama Nara, maka Siera tak akan bersikap lembut lagi.Tak lama,
Setelah pernikahan, lalu apa?Ya bermesraan. Saling mengungkapkan cinta dengan cara yang lebih intim. Mungkin jalan-jalan ke tempat baru, menghabiskan hari dengan bekencan dan sebagainya yang menyenangkan.Atau, di rumah saja. Seharian di kasur, membicarakan dan merancang masa depan. Mungkin mendiskusikan soal jumlah anak dan nama mereka. Namun, itu tidak berlaku untuk Siera. Sebab setelah resmi menjadi istri Dean lagi, perempuan itu malah didiamkan.Selepas acara sederhana dengan keluarga, mereka pulang ke rumah Dean yang lama. Makan, mandi, lalu istirahat, karena lelah. Setelahnya? Hanya saling bertatapan beberapa kali lalu diam.Jika alasannya lelah, Siera bisa paham. Namun, yang Dean tunjukkan ini bukan sikap pengantin pria yang kelelahan sehabis acara pernikahan dan tidak berselera melakukan apa pun. Pria itu memang sengaja membuat jarak. Menjauh darinya, sejauh mungkin.Bayangkan. Semalam, Dean menaruh guling di
Dean dengan sengaja merebahkan tubuh di sofa. Pria itu memejam dengan satu satu lengan di dahi. Bersikap selayaknya tak mendengarkan ocehan perempuan di sana.Tidak sendiri di ruang tamu rumah Mike, sekarang pukul sepuluh. Sang ayah sudah istirahat, Bu Ratna juga, tersisa ia dan Siera. Dan lagi, Siera sedang membicarakan ajakan menikah. Seolah tak lelah dan bosan."Kamu tidur, Dean? Kamu enggak dengerin aku?"Tidak dengar apanya? Seminggu lebih menelan semua bujuk rayu Siera, Dean mampu jika disuruh mengulang, walau tanpa teks. Hapal. Dean sudah hapal."Ayo nikah lagi. Kamu enggak kasihan sama aku? Aku ini mantan istri kamu, yang jatuh cinta sama kamu, dan sekarang ngemis untuk dinikahi. Enggak kasihan? Enggak mau? Udah ada pacar baru kamu?"Masih mempertahankan posisi berbaring, si lelaki tidak menjawab. Sampai sekarang, benar ia belum bisa memutuskan apakah harus memulai lagi hubungan dengan Siera atau tidak. Walau s