Gugatan sudah dibuat. Sidang pertama akan digelar minggu depan. Hari ini, Siera tengah berkemas.
Perempuan itu memutuskan untuk pindah dari rumah Dean. Semua pakaian sudah dipindah ke koper yang kecil. Barang miliknya tidak ada lagi yang menghuni sudut rumah. Siera hendak pamit ketika menemukan si suami ada di ruang tamu. Duduk dengan tangan terlipat di dada.
"Awas kesurupan, Paksu." Ia berusaha mencarikan suasana. "Aku pamit." Ia menepuk koper hitam di samping.
Dean hanya menatapi, tak berniat buka suara. Ia habis kata. Seperti kata Siera, sudah tidak ada lagi yang bisa dijadikan alasan untuk mereka bersama.
"Makan malam udah aku siapkan, ya. Kalau nanti dingin, panaskan aja." Berat sekali rasanya kaki Siera melangkah. Di saat seperti ini, ia malah jadi sangat ingin memeluk Dean.
Lama disahut, Siera memaksa kakinya bergerak. Baru saja berbalik, suara Dean akhirnya terdengar.
"Sudah sore. Apa tidak bisa pe
Kaki Siera berayun riang menyusuri jalan menuju salah satu rumah di kompleks elit itu. Saat mata sudah bisa menangkap julangan pagar berwarna emas itu, bibir membentuk kurva sempurna.Sebulan. Tiga puluh hari. Rasanya rindu sekali. Siera sudah tak sabra bersua Ana dan Mike. Sore ini, sepulang bekerja, dengan buah tangan, ia mengunjungi orang tua yang sudah sangat dirindukan itu."Maa!"Dibukakan pagar, melempar senyum pada si satpam yang terlihat terkejut, perempuan itu setengah berlari menuju pintu.Bel ia tekan tak sabar. "Pa! Ma!"Saat daun pintu itu ditarik ke dalam, Siera langsung menghambur ke pelukan Ana."Rinduu!" Erat sekali Siera mendekap ibunya Dean itu. Selama ini, setelah resmi berpisah dengan Dean, Siera hanya bertukar kabar lewat telepon atau pesan dengan Mike dan Ana. Sangat bersyukur karena dua orang itu tetap mau menerimanya."Kamu kenapa tidak bilang mau datang? Papa bisa je
"Kak Ciela!"Panggilan manis itu membuat Siera yang semula menunduk, seketika mendongak. Senyum riang ia berikan sebagai balasan pada bocah tiga tahun yang berlari menghampiri."Galen! Jangan lari-lari gitu, ah. Aku takut kamu jatuh." Berpelukan sebentar, Siera mengusap sayang puncak kepala Galen, anaknya Arkan."Kita jadi pelgi, 'kan? Kakak udah janji." Galen memegangi tangan Siera kuat. Menagih janji yang si perempuan buat seminggu lalu. Mereka akan ke pasar malam, tepat setelah Siera selesai bekerja.Yang ditanyai mengangguk pasti. Ia berdiri, berjalan menuju mobil Arkan sambil menggandeng Galen."Kita makan dulu, ya, Gal. Kak Siera kan baru pulang kerja." Arkan yang baru saja melajukan mobil meninggalkan area parkiran mini market mencoba merayu putranya.Galen di pangkuan Siera menggeleng. "Pasal malam ulu." Ia bersandar pada dada Siera. Menikmati benar usapan tangan si perempuan yang tak berhenti di k
"Pelan-pelan, Siera."Tangan Nara yang hendak meraih ponsel di nakas terhenti geraknya. Perempuan yang setengah berbaring itu menoleh pada Dean di sisi kiri ranjang."Tidur di kamar saya, Siera."Wanita dengan gaun tidur berwarna merah itu menganga. Di sana Dean tengah mengigau rupanya. Tentang Siera?"Dean!" Naik pitam, Nara memukulkan bantal pada tubuh Dean. Laki-laki itu tersentak dengan dahi berlipat."Bisa bangunkan orang dengan cara lebih sopan?" Dean menegakkan punggung, mengusap wajah."Apa manggil-manggil nama perempuan lain di ranjang pacar sendiri itu sopan, Dean?"Dean menatap Nara tak paham."Kamu mimpiin Siera barusan? Kamu manggil-manggil nama dia dalam tidur? Kamu mimpi lagi ngapain sama dia?" Nara tak sabar. Mendengar jawaban juga memberi Dean pelajaran.Pelan-pelan ingatan soal mimpi tadi diperoleh Dean. Laki-laki itu mendesah berat. "Bukan apa-apa,"
Suara tawa Siera mengalun merdu. Perempuan dengan blouse krem itu tak kuasa menahan diri kala melihat Arkan tengah berupaya meniru anak burung di hadapannya."Berhenti, Ar. Aku capek." Ia berjongkok di tepi jalan setapak taman. Berusaha menghentikan tawa, tetapi Arkan malah semakin getol menggerakkan tangan, meniru kepakan sayap anak burung.Arkan berhenti, ikut duduk di samping Siera. Ia perhatikan baik-baik wajah cantik yang memerah karena tawa itu. Bodoh sekali Dean melepaskan perempuan sempurna seperti ini, pikirnya."Kamu senang?" tanya Arkan setelah Siera berhenti tertawa.Yang ditanyai mengangguk. Berjalan-jalan di taman. Bermain gelembung sabun, membeli balon dan memecahkannya, ini jalan-jalan paling menyenangkan."Baguslah. Aku juga.""Kamu enggak anggap ini aneh?" Siera meraih daun kuning yang barusa jatuh di rambut Arkan. Perempuan itu terkesiap kala tangannya d
"Kamu lagi marah sama aku, ya?"Dean tak bersuara. Jemarinya menekan remote TV asal."Aku ngerasa gitu. Kamu diam sejak tadi, noleh aja enggak."Menekan tombol merah, lelaki dengan kemeja berwarna abu-abu itu bersedekap, menatapi layar gelap di depan."Dean? Iya, kayaknya kamu lagi marah. Tapi, karena apa?"Siera tampak berpikir. Mencari-cari bagian yang terlewat, alasan mengapa sejak tadi si mantan suami tidak bicara padanya, mengabaikan pertanyaannya dan enggan membalas tatapan.Sejak siang tadi, Siera ada di rumah Mike dan Ana. Menghabiskan waktu liburnya bersama dua orang itu, kebetulan Dean tengah berkunjung.Sebenarnya cukup senang, tetapi si perempuan berusaha terlihat biasa saja. Mencoba tenang, ia malah mendapat sikap aneh dari Dean. Pria itu seolah menghindar dan sejak tadi terus menekuk wajah ke arahnya.Dean bicara pada Ana. Menimpali ucapan Mike, tetapi berpura tak me
Siera terlihat ragu melangkah melewati pagar rumah Dean. Pegangan totebag di bahu ia remas. Haruskah masuk?Sekitar setengah jam tadi, saat dirinya hendak berangkat kerja, Siera mendapat telepon dari Dean. Pria itu tanpa basa-basi mengutarakan maksud.[Saya terluka. Tolong datang ke rumah.]Tanpa pikir panjang, si perempuan mengubah tujuannya. Tidak jadi ke tempat kerja, melainkan ke rumah Dean. Namun, setibanya di sini, ia malah ragu untuk masuk.Gerbang masih tergembok. Siera punya kunci cadangan. Tidak seharusnya datang ke rumah mantan suami yang tinggal sendiri. Namun, Dean sedang terluka.Secepat kilat tangan perempuan itu merogoh tas. Kunci pagar terbuka, langkahnya terburu menuju pintu."Dean!" Seraya berjalan masuk, ia memanggil. Pria itu dia temukan di sofa ruang tamu.Terperanjat, Siera menutup mulut kala mendapati noda merah di bagian depan kemeja biru Dean. Menghampiri, ia merasa m
Kehilangan Paling PiluSejauh yang Dean ingat, ibunya adalah sosok paling sabar yang ada di dunia. Perempuan itu tak pernah lelah menghadapi gengsinya Dean. Bentuk keras kepala yang paling baik.Satu contoh. Dulu, waktu Dean masih duduk di bangku SMA. Lelaki itu pernah mengalami demam cukup lama. Berlagak layaknya pemuda dewasa, ia menolak diurus Ana. Akhirnya, lebih dari 3 hari harus tergolek di tempat tidur.Selama tiga hari pula ibunya tak henti menunjukkan perhatian, meski sudah Dean larang berulang kali."Mau kamu sebesar atau sedewasa apa, kamu tetap anaknya ibu." Begitulah omelan Ana saat akhirnya memutuskan tetap memijat Dean, walau si anak melarang.Saat itu Dean merasa dirinya sudah cukup tua untuk diurusi si ibu. Laki-laki itu merasa bisa merawat dirinya sendiri, tak perlu bantuan Ana dan lepas dari cap anak mami yang selama ini melekat pada dirinya. Namun, pemikiran itu salah. Karena setelah ia dipijat Ana,
Di meja makan, masih di rumah Mike, Dean yang pagi ini bangun dengan kepala pusing disuguhi pemandangan yang cukup membuat suasana hati sedikit membaik. Siera tengah menyiapkan sarapan.Perempuan itu tidak pulang. Menemaninya hampir sepanjang malam dan pagi ini memasak untuknya dan Mike."Papa suka tempenya enggak, ya?""Suka." Menjawab sekenanya, Dean tak mengalihkan pandangan dari perempuan itu yang pagi ini menggunakan kaus miliknya.Malu mengaku, tapi sungguh ia rindu akan suasana seperti ini. Ia dan Siera ada di satu rumah, di pagi hari si mantan sitri menyiapkan santapan untuknya."Kamu pergi bekerja hari ini, Siera?" Suara Mike terdengar di ruang makan. Pria itu menarik kursi di depan Dean."Siera udah izin datang agak siang. Habis dari sini." Semangkuk sayur bening dengan tauge, buncis dan jagung muda perempuan itu sajikan di meja. "Ayo makan," ajaknya pada semua orang.Mike sudah mula
Dean yang sudah sangat mengantuk dan hampir lelap berbalik untuk menatap Siera. Istrinya itu terus bergerak gelisah sejak setengah jam tadi. Mengubah posisi tidur terus-terusan, sesekali memukuli bantal.Apa sedang cari perhatian?"Kenapa, Siera? Enggak bisa tidur?" Dean menumpu kepala dengan tangan.Yang ditanya mengangguk. Matanya mengerjap cepat, seolah sedang membujuk."Kenapa? Lapar?" Dean menebak.Si istri menggeleng."Sakit perut?" Dean membawa tubuhnya duduk bersila."Pengin makan sesuatu, Paksu."Diam-diam Dean menelan ludah hati-hati. Kalimat itu adalah sesuatu yang sejak seminggu lalu ia takutkan. Akhirnya muncul juga."Apa?" Alis Dean mengait tak ramah."Belimbing."Matanya melebar, Dean kemudian mengusap wajah. Pria itu menggaruk rambut. Sampai sekarang, mereka belum juga memeriksakan keadaan Siera. Belum berani. Namun, dari ting
Mengendarai motor tak tentu arah selama berjam-jam, Dean akhirnya memilih mendatangi rumah Mike. Itu sekitar pukul dua belas malam, kedatangannya disambut raut heran sang ayah."Ayah tidur aja. Aku cuma mau numpang sampai besok pagi."Mike mengabaikan usiran halus itu. Ia duduk di samping sang putra. "Bertengkar dengan Siera? Tumben sampai minggat." Lelaki tua itu berusaha bercanda. Namun, Dean hanya merespon dengan senyum yang dipaksakan.Bungkam selama beberapa menit, Dean membuka bibir. "Aku takut, Ayah. Aku takut anak-anakku nanti akan menerima akibat dari perbuatanku dulu."Misal Siera melahirkan anak laki-laki. Bagaimana jika Dean tidak becus mendidiknya? Dirinya saja yang mendapat didikan benar dari Mike, sempat melenceng. Konon anaknya nanti. Dean pesimis dirinya sudah layak menjadi seorang ayah."Kalau dia perempuan, gimana, Ayah? Gimana kalau dia ketemu laki-laki yang kayak aku? Gimana kalau dia disakiti sama
"Mau beli apa, Nak? Mau jajan apa?"Siera mengulum senyum saat mendapati dua orang pelanggan datang ke warungnya. Hari ini giliran Siera yang berjaga, Dean sedang mengurus keperluan pembukaan warung makan mereka yang akan digelar minggu depan.Setahun menggeluti usaha warung kelontong, Dean berhasil mengumpulkan modal untuk membuka warung makan. Pria itu memang gigih dan berbakat dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ekonomi mereka berangsur makin stabil, semua baik, kecuali satu."Susu formulanya satu, ya, Buk. Yang biasa." Pelanggan tadi meminta dengan sopan pada Siera.Siera mengambilkan barang itu. Matanya kembali memandangi gadis kecil yang pelanggannya tadi gendong. Mereka ayah dan anak yang memang biasa belanja. Setiap sore begini, si ayah yang pulang bekerja akan membawa anaknya membeli jajan ke warung Siera ini.Kebersamaan ayah dan anak itu membuat hati Siera senang, sekaligus sedih tiap kali melihatnya.
Suasana kamar sore itu semakin hangat. Siera merasa dirinya terbakar oleh tiap sentuhan dan kecupan Dean. Pria itu memang selalu andal membuatnya terbang.Terbaring di atas ranjang mereka, Siera mendongakkan wajah kala sapuan telapak tangan Dean mampir di paha. Laki-laki itu membuatnya terbuka dan siap untuk berkelana ke nirwana.Saat Siera merasa jarak mereka sudah sangat dekat, tiba-tiba saja Dean bangkit dari atas tubuhnya. Pria itu menarik laci, mengambil sebuah benda dari sana. Dalam usahanya mengatur napas yang terengah, Siera melihat pria itu memakai pengaman.Seminggu sejak mereka menikah, Dean mulai melakukan ini. Pria itu melapisi dirinya dengan benda karet itu. Saat ditanya kenapa, jawabannya membuat Siera sedih."Kamu udah periksa ke dokter, 'kan, Paksu? Kamu sehat, untungnya. Kenapa pakai itu?"Tanya itu Siera berani suarakan di pergumulan mereka yang kesepuluh. Dean langsung memasang wajah sedih kala itu.
Siera yang baru saja pulang dari rumah Mike memutuskan turun di warung milik Dean, alih-alih langsung ke rumah. Perempuan itu khawatir suaminya lelah melayani pembeli sejak pagi hingga sore, dan akan menawarkan bantuan. Dean bisa pulang dan dia yang menjaga warung.Sebulan pernikahan, Siera benar-benar bahagia. Dean makin hari semakin perhatian. Pria itu mulai mengabaikan sedikit gengsi dan sudah lebih sering menunjukkan rasa peduli.Satu contohnya, Dean sudah tak perlu diingatkan untuk menghubungi Mike atau menjenguk ayah mereka itu. Dean bahkan pernah tanpa sepengetahuannya membelikan si ayah mertua sepatu.Tiba di warung kecil mereka, Siera melempar senyum pada si pria berkaus abu-abu. Rasanya sedikit aneh. Biasanya, saat bekerja, Dean akan mengenakan kemeja dan celana kain fromal. Tidak sesantai sekarang. Hanya kaus dan celana pendek. Namun, tetap saja ketampanan suaminya itu tak berkurang."Capek, Paksu? Mau gantian?" Siera me
"Aku udah jual rumah ini. Uangnya udah habis."Dean menanti, mengamati dengan cermat raut wajah istrinya. Awalnya perempuan itu terkejut, kemudian meringis kesal. Siera melempar diri ke sofa, berulang kali menarik dan membuang napas."Kamu enggak mau tanya kenapa aku jual rumahnya dan ke mana uangnya?"Perempuan itu menoleh. Satu tangannya terangkat. "Bentar. Aku napas dulu. Siap-siap dulu," ujarnya dengan dahi berkerut.Di tempatnya berdiri, Dean mengulum senyum. Hah, dia menyesal setengah mati. Kenapa tidak dari dulu memilih perempuan itu sebagai teman hidup? Walau ditempatkan di situasi yang buruk, Siera tetap berusaha tenang. Garis bawahi, berusaha. Bukan Dean tidak tahu jika sekarang emosi istrinya sedang mendidih.Siera memilih mendinginkan kepala dulu, mengambil waktu untuk bersiap, padahal jika langsung mengamuk pun, itu sangat wajar. Kenapa dulu Dean malah terjebak dengan seseorang yang sesuka hati melam
"Apa, sih, gunanya hape?"Siera melempar ponselnya ke atas sofa, setelah panggilan yang ditujukan pada Dean kembali tidak dijawab. Duduk di samping gawainya, si perempuan bersedekap dengan wajah ditekuk. Melirik sebentar ke arah pintu, lalu mengerutkan dahi.Sekarang sudah pukul sembilan malam. Dean belum pulang dan mengabaikan semua panggilan dan pesan Siera. Membuat si istri cemas, tetapi juga kesal.Ke mana Dean pergi? Mencari kerja seperti yang tadi pagi ia suruh? Yang benar saja! Sampai jam segini? Siera curiga Dean malah sedang berduaan dengan Intan di suatu tempat.Membuang napas kasar, Siera mengusap dada. Harus konsisten dan tanggung jawab atas pilihan. Kalau pun misal Dean memang sedang bersama Intan maka Siera akan ....Siera akan menjambak dan memukul Dean. Sungguh, bila benar suaminya itu kembali mengulang kesalahan seperti saat bersama Nara, maka Siera tak akan bersikap lembut lagi.Tak lama,
Setelah pernikahan, lalu apa?Ya bermesraan. Saling mengungkapkan cinta dengan cara yang lebih intim. Mungkin jalan-jalan ke tempat baru, menghabiskan hari dengan bekencan dan sebagainya yang menyenangkan.Atau, di rumah saja. Seharian di kasur, membicarakan dan merancang masa depan. Mungkin mendiskusikan soal jumlah anak dan nama mereka. Namun, itu tidak berlaku untuk Siera. Sebab setelah resmi menjadi istri Dean lagi, perempuan itu malah didiamkan.Selepas acara sederhana dengan keluarga, mereka pulang ke rumah Dean yang lama. Makan, mandi, lalu istirahat, karena lelah. Setelahnya? Hanya saling bertatapan beberapa kali lalu diam.Jika alasannya lelah, Siera bisa paham. Namun, yang Dean tunjukkan ini bukan sikap pengantin pria yang kelelahan sehabis acara pernikahan dan tidak berselera melakukan apa pun. Pria itu memang sengaja membuat jarak. Menjauh darinya, sejauh mungkin.Bayangkan. Semalam, Dean menaruh guling di
Dean dengan sengaja merebahkan tubuh di sofa. Pria itu memejam dengan satu satu lengan di dahi. Bersikap selayaknya tak mendengarkan ocehan perempuan di sana.Tidak sendiri di ruang tamu rumah Mike, sekarang pukul sepuluh. Sang ayah sudah istirahat, Bu Ratna juga, tersisa ia dan Siera. Dan lagi, Siera sedang membicarakan ajakan menikah. Seolah tak lelah dan bosan."Kamu tidur, Dean? Kamu enggak dengerin aku?"Tidak dengar apanya? Seminggu lebih menelan semua bujuk rayu Siera, Dean mampu jika disuruh mengulang, walau tanpa teks. Hapal. Dean sudah hapal."Ayo nikah lagi. Kamu enggak kasihan sama aku? Aku ini mantan istri kamu, yang jatuh cinta sama kamu, dan sekarang ngemis untuk dinikahi. Enggak kasihan? Enggak mau? Udah ada pacar baru kamu?"Masih mempertahankan posisi berbaring, si lelaki tidak menjawab. Sampai sekarang, benar ia belum bisa memutuskan apakah harus memulai lagi hubungan dengan Siera atau tidak. Walau s