ALVA semakin mengeratkan pelukannya sambil sesekali meninggalkan sebuah kecupan singkat di puncak kepala Risa. Dia tidak peduli pada keadaan sekitar yang mulai ramai orang dan mulai memandangi keduanya dengan tatapan iri.
"Va ...," panggil Risa pelan.
"Hm?"
"Lepasin pelukannya. Banyak yang lihat ke arah kita sekarang, Va," kata Risa nyaris serupa rengekan. Wajahnya semakin menunduk, kepalanya mendekati dada Alva guna bisa menyembunyikan wajahnya di sana.
"Buat gue nggak masalah, toh mereka cuma iri karena nggak ada yang bisa mereka peluk sekarang," katanya santai dan lagi-lagi mencium puncak kepala Risa tanpa merasa bersalah sama sekali.
Dehaman dari belakang tubuh Alva terpaksa membuat pria itu mendengkus pelan. Pasti sepupu sialannya yang tidak terima, lantaran Risa kini telah menjadi miliknya. Bodo amat, memangnya dia peduli?
Yang dia inginkan sekarang
DENGAN positif Alva berani menyatakan jika ada yang tidak beres dengan Risa sekarang. Risa yang sebelumnya sangat malu untuk memulai sebuah ciuman, kini dia berani mencium Alva lebih dulu bahkan sebelum Alva meminta atau memaksanya. Risa juga yang sebelumnya mengaku tidak suka makan kentang tiba-tiba saja mengambil beberapa kentang ke keranjang belanjaan mereka."Sa!" panggilnya mencoba memastikan. Lantaran takut salah membawa orang sekarang, mengingat Risa saat ini sedang mengambil banyak sekali kentang ke dalam troli yang dibawanya.Alva memang suka makan kentang. Segala jenis olahan kentang, dia akan memakannya dengan lahap. Namun, Risa tidak menyukai masakan apa pun dengan nama kentang yang mengikuti di belakangnya. Sebuah perbedaan kecil di antara mereka, tapi Alva bisa menerima semuanya."Kenapa, Va?""Lo bukannya nggak makan kentang, ya?" tanya Alva sambil menunjuk troli yang sejak tadi dalam genggaman tangannya.Risa terdiam, matanya meliri
MEREKA baru saja tiba saat melihat Alva sudah berdiri di parkiran dengan kedua tangan bersedekap dada. Wajahnya datar, tatapan tajamnya menghunjam tepat di kedua bola mata Alan yang kini memamerkan sebuah senyuman tanpa dosa."Kenapa lo lihatin gue sama Risa kayak gitu, ha? Cemburu lihat gue nganterin dia berangkat kerja?" Alan berdiri dengan santai di depan tubuh sepupunya.Alva mendelik. "Kalau cuma berangkat bareng nggak pakai acara modus segala, gue nggak masalah sama sekali."Alan tersenyum miring. Dia mendekati Alva, lalu memajukan wajahnya agar sejajar dengan telinga sepupunya, dan berbisik pelan, "Dasar posesif, cewek mana yang bakal tahan sama lo, kalau lo punya rencana buat ngekang kebebasan dia sampai segitunya, huh?"Alan menjauhkan tubuhnya. "Lagian, gue cuma bicara bentar sama Risa sebelum nganterin dia berangkat kerja. Gue nggak meluk apalagi nyium dia, jadi harusnya lo nggak masalah soal itu, kan?"Alva hanya melirik Alan dari ekor
BEGITU mendengar kabar jika Risa dibawa ke rumah sakit, Alva langsung meninggalkan pekerjaannya dan melesat secepat mungkin pergi ke sana. Apalagi, Alva sadar jika dirinya telat menerima kabar, mengingat Risa tak kunjung kembali ke ruangan setelah pergi menemui klien selama lebih dari satu jam.Ralf mengikuti Alva dari belakang, karena merasa khawatir akan keadaan adik tingkat yang sudah ia anggap layaknya adik kandungnya sendiri itu. Walau mungkin keberadaannya nanti tak terlalu diharapkan, lantaran sudah ada Alan yang selalu perhatian dan Alva sebagai kekasih baru Risa. Namun, Ralf tetap ingin melihat langsung bagaimana kondisinya.Saat sampai di rumah sakit, keduanya langsung bisa mengenali sosok Alan yang berdiri di dekat pohon yang menaungi parkiran rumah sakit. Mereka langsung mendekat dengan niat bertanya, tapi begitu sampai di hadapannya, Alan malah langsung melancarkan sebuah pukulan ke pipi Alva hingga membuat pria itu jatuh tersungkur.Alan menindih t
RISA merasa kepalanya pusing dan tubuhnya lemas bukan main begitu ia sadarkan diri. Dengan perlahan dia mencoba membuka mata dan penampakan mengerikan kekasihnya yang duduk di kursi samping ranjang membuat matanya membelalak sempurna.Wajah Alva terlihat mengerikan. Lukanya nyaris memenuhi wajah dan membuat beberapa warna merah hingga kebiruan. Pria itu langsung melemparkan senyuman tipis begitu melihat Risa siuman, tapi entah kenapa di balik senyuman itu Risa melihat ada sesuatu yang sedang disembunyikan.Risa melihat di seberang ruangan. Di atas sofa, ada Ralf yang sedang rebahan dengan mata setengah mengantuk. Sepertinya dia tidak menyadari jika Risa telah membuka mata, karena detik berikutnya mata pria itu terpejam sempurna.Aroma obat-obatan langsung menguar ke hidungnya dan membuat Risa mengerti jika sekarang dia berada di rumah sakit. Risa mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum dia sampai di sini dan bayangan menyakitkan yang berasal dari kepala
"JADI, Alan udah balik ke Jakarta?" tanya Risa begitu Ralf pergi dari sana, meninggalkan mereka hanya berdua saja di ruangan itu. Menurut penjelasan Ralf sebelum ini, Risa harus menginap di rumah sakit untuk sementara waktu, sampai keadaannya benar-benar membaik. Esok harinya, dia akan melakukan USG untuk mengecek keadaan kandungannya setelah dia pingsan sebelumnya. Risa pun disarankan untuk pergi ke dokter kandungan secepat mungkin untuk kebaikan dirinya serta bayinya. Walaupun sekarang Risa merasa tubuhnya sudah lebih baik setelah menelan makanan yang dipesan Alva, dia ingin pulang, tapi dia tak bisa melakukannya. Lantaran, sejak tadi Alba terus menatapnya tajam. Sebuah tatapan yang menyiratkan ancaman, jika Risa tidak mau menurut padanya, maka dia akan melakukan sesuatu yang tak perempuan itu suka. Risa mengembuskan napas kasar begitu mengingat peristiwa beberapa saat lalu. "Tentu saja dia harus pulang dan memberi tahu semua keluarga besarnya. Sala
ALAN langsung mendatangi rumah kedua orang tuanya untuk mengabarkan jika dia batal menikahi Risa. Mamanya langsung memarahinya habis-habisan, bertanya apa alasannya hingga dia melakukannya dan terus menanyakan hal yang sama berulang kali. Bahkan papanya langsung mengambil senapan dan siap menembaknya di tempat saat itu juga.Alan tersenyum tipis sembari menyesap kopi yang dibuatkan mamanya sebelum kemarahan di antara mereka berkobar. Dia meletakkan cangkir itu kembali di piring, sebelum menatap kedua orang tuanya dengan sorot mata dipenuhi kepedihan."Aku yang salah, Pa, Ma. Aku tidak bisa mempertahankannya dengan baik, aku juga pernah bermain di belakangnya. Aku yang salah, hingga dia berpaling ke pelukan pria lain dan merasa nyaman di sana. Kami sudah mengambil langkah masing-masing, jalan di antara kami tak lagi sama. Dia telah memilih jalannya dan menemukan kebahagiaannya sendiri, sedang aku masih harus larut pada penyesalan karena telah menyia-nyiakannya sebelum i
"APA Alan bakal balik lagi ke Bandung, ya?"Alva yang semula mau memejamkan mata dan terlelap ke alam mimpinya, langsung membuka matanya lebar-lebar. Kepala menoleh dengan cepat ke arah Risa yang berbaring di sebelahnya. "Kenapa kamu tiba-tiba bahas soal dia?""Memangnya nggak boleh? Kamu nggak suka aku bahas soal dia?" Risa mengedipkan kedua matanya sembari menatap Alva yang wajahnya terlihat tidak sedap dipandang. Apa dia marah? batinnya, heran sekaligus penuh pertanyaan. Kenapa Alva bisa terlihat semarah itu hanya karena Risa membahas Alan?"Boleh aja, sih, tapi kalau bisa jangan bahas dia sekarang." Alva memejamkan mata sambil mengembuskan napas panjang. Harus berapa lama dia merasakan perasaan tak nyaman ini setiap kali Risa membahas soal sepupunya?"Kenapa?" Risa mengernyitkan dahi. Kali ini dia benar-benar tak mengerti alasan yang membuat Alva hingga tak menyukai bahasan soal Alan, yang notabenenya masih saudara pria itu sendiri."Sa, kamu b
TAK ada satu pun yang berubah dari rumah ini. Alva masih bisa merasakan hal yang sama setiap kali dia masuk ke dalam rumahnya sendiri. Dia juga tidak begitu mengerti kenapa hal seperti itu bisa terjadi. Dia juga tidak tahu apa alasannya hingga dia menjadi seperti ini setiap kali ia kembali. Namun, memang sejak dulu dia tidak pernah merasa betah, ketika ia sedang berada di rumah.Jika Alva bisa pergi, maka dia akan pergi meninggalkan rumah. Entah itu untuk pergi bermain, pergi ke rumah Alan, ke rumah teman-temannya yang lain, juga pergi ke kelab malam. Dia hanya akan pulang ketika dia butuh tempat tidur untuk semalam, itu pun setelah dewasa dia kadang lebih memilih menyewa hotel untuk ia tiduri daripada pulang ke rumah.Namun, semuanya menjadi semakin menjadi semenjak Alva kuliah. Dia yang akhirnya bisa hidup sendiri dan bisa mencari uang sendiri dari jalan kecil yang ditemukannya pun merasakan sebuah kenyamanan yang membua