Alea terbangun dengan rasa pusing, tusukan tajam di kepala membuatnya terus meringis dan sulit membuka mata. Mencoba duduk, sambil melirik kesekitaran, Alea mulai merasa takut karena berada di tempat yang asing baginya. Secara refleks ia melihat ke arah tubuhnya yang ternyata masih menggunakan pakaian lengkap dengan selimut putih tebal menutupi bagian kakinya. Terus melihat kesegala arah, Alea mencoba mencari tahu dimana keberadaannya. Terus meringis hingga membuat Baswara mendekatinya.
“Baswara?” ungkap Alea dengan wajah takut.
Mendadak pikirannya menjadi tak tenang, hingga merasa penuh dibagian perut. Belum lagi ada dorongan kuat yang membuatnya ingin kuntah. Benar saja, “Ueeek!” muntahan makanan keluar dari mulutnya. Muntahan itu membasahi lantai apartemen Sam.
“Minumlah!” ujar Baswara sembari menyerahkan segelas air hangat.
Merasa lebih lega dan enakan, Alea hanya bisa duduk merunduk sambil menahan malu. Ia begitu m
Soga terbangun dari tidurnya. Meringis hingga membuat Kana yang berada di sampingnya terbangun. Wajah pria kecil itu terlihat sendu dan sedikit memerah. Ternyata suhu tubuhnya masih tinggi ini membuat Kana kembali hawatir. Kembali Kana meraih handuk kompresan yang masih berada di dahi Soga. Handuk tebal itu kini sudah mengering seperti baru diambil dari jemuran. Tubuh Soga yang begitu panas juga membuat handuk itu ikut menjadi panas.Tanpa pikir panjang Kana meminta sopirnya untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit. Masih merasa lemas, Soga memilih menyandarkan dirinya pada pundak Kana. Membaringkan kepala yang terasa berat dalam dekapan gadis yng sudah ia anggap sebagai ibunya. Sejak kecil tak memiliki ibu membuat Soga begitu merindukan kasih sayang.Mobil melaju tenang, jalanan yang macet membuat mereka terpaksa memasuki tol. Mobil itu melewati kafe taman yang sering Kana dan Soga kunjungi. Saat itu, mata Kana melihat sosok Baswara yang baru saja membukakan pintu mob
“Arya!” teriak Kana sambil memandang kesal.“Lihat apa sih? Kok serius amat?” tanya Arya yang juga mencoba melirik ke arah mata Kana memandang.“Eng, enggak ada kok.”“Yakin?” Arya semakin memajukan tubuhnya, mencoba melihat sekitaran area parkiran.“Apaan sih? Kepo ya, kepo.”“Pasti ada sesuatu. Tuh wajah kamu jadi merah begitu, pakai acara salah tingkah lagi,” ledek Arya.“Ya udah, ah. Yuk kita masuk!”Kana melangkah lebih dulu di depan Arya, namun sesekali matanya melirik ke arah parkiran kembali. Membuat Arya semakin senang meledeknya.“Hayo! Tuh kan lihat kesana lagi.”Kana tak lagi menjawab, hanya menggeleng dan mencoba mengarahkan pandangan ke arah depan. Hatinya benar-benar kacau, bercabang dua antara Soga dan Baswara. Sudah seminggu ini Baswara seakan lupa pada dirinya. Tidak ada pesan ataupun panggilan. Bahkan ucapan
Baswara baru saja keluar dari mobil mewahnya. Namun, saat hendak pergi, kaca jendela bagian belakang kembali terbuka. Terlihat seorang gadis muda nan putih tersenyum ramah kepadanya. Begitu pula Baswara yang terlihat hangat menanggapinya.“Berita baik nih, siapa tuh cewek? Jangan bilang kalau Tuan Muda Baswara pria buaya juga. Kasihan kamu Kana,” gumam Arya dengan tatapan menghina. “Jangan mau tergoda dengan pria kaya dan tampan, mereka semua sama saja. Huh! Ada aku dan kau lebih memilih dia karena harta dan jabatannya. Bodohnya kamu Kana.”Bayangan ini kembali melintas dalam ingatan Arya. Ia memutuskan pura-pura tidak tahu akan apa yang telah Kana lihat. Semua ini hanya untuk membuat Kana jatuh dalam kekecewaan. Suatu saat, ia berniat untuk memberitahukan semua ini kepada Kana.“Hai!” sapa seorang gadis bule dengan pakaian anggun dan menggoda. Gadis berambut kuning itu mendekati Arya dan memberikan senyuman manisnya.A
“Aku tadi bertemu Kana, Bas,” jawab Sam setelah Baswara mendiamkan dirinya selama perjalanan.Terlihat tidak perduli, Baswara memilih menyandarkan tubuhnya sambil terus memejamkan mata. Saat ini, ia terlihat kesal akan sikap Sam yang memilih tak terbuka padanya.“Bas, aku bertemu Kana di kantin, lalu bertanya kenapa dia berada di sana. Rupanya Soga sakit dan dirawat,” jelas Sam sebal. Ia sangat tidak suka jika Baswara mendiamkannya. Baginya makian lebih menyenangkan, daripada diabaikan. Meskipun sesungguhnya tidak ada yang baik antara keduanya.“Aku memutuskan menyamperi Soga di kamarnya. Kau tau kan, kalau aku dekat dengannya. Lebih tepatnya dekat demi kelancaran kalian berdua.”Penjelasan demi penjelasan yang keluar dari mulut Sam tak berhasil menggoyahkan Baswara. Ia masih saja bersikap acuh, seakan benar-benar tidur dan tak mendengar apapun saat ini. Layaknya radio rusak, Sam terus berkicau tanpa dianggap.&l
Musim dingin akan tiba, terlihat dari keadaan cuaca yang dipenuhi tiupan angin dengan suhu tinggi. Malam itu telah terjadi pertemuan dua pengusaha hebat. Terlihat sebuah rumah besar yang ada di area Back street. Rumah yang begitu luas dengan pengamanan tingkat tinggi. Dapat dilihat dari banyaknya penjaga dan kamera yang menyoroti sekitar, serta anjing pelacak di dua bagian. Rumah bercat putih dengan desain eropa itu dihuni oleh keluarga Jane.“Saya sedikit terkejut mendengar anda mengajak makan malam Tuan Sanjaya,” ujar Ayah Jane dengan ramahnya. Mereka duduk di depan meja makan yang begitu panjang, dengan dua pelayan yang senantiasa bersiap membantu mereka.“Maaf, jika saya tidak memberitahu lebih awal. Dimana Jane? Mengapa aku tidak melihatnya?” tanya Sanjaya dengan penuh hangat.“Jane sedang berada di Indonesia. Ada beberapa hal yang harus dikerjakan dan dia ingin mengerjakan dengan tangannya sendiri. Sepertinya ia
Malam kian larut, waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Hampir tengah malam dan Baswara baru saja tiba di apartemen Sam. Ia berjalan tenang menuju pintu, menekan beberapa tombol angka yang ada di samping pintu dan pintu pun terbuka. Wajahnya terlihat lelah dengan kancing kemeja yang terbuka pada bagian atasnya. Melangkah dengan kepala merunduk, hingga tidak menyadari keberadaan Sam yang tengah duduk menantinya.“Dari mana saja kamu, Bas?” tanya Sam dengan tatapan hendak menerkam. Sikap ini berkebalikan sekali dengan Sam biasanya.“Ada sesuatu yang harus aku selesaikan,” ungkap Baswara yang kemudian melangkah menuju kamar.“Tunggu, Bas. Kemarilah!”Tatapan bingung tergambar di wajah Baswara. Matanya terus saja menatap Sam dengan kerutan di dahinya.“Apa kau kerasukan?” tanyanya dengan nada seakan tak percaya.“Aku tau, Bas. Aku tau kau sedang merencanakan sesuat
Suara tangis terdengar begitu kuat dari lantai dua. Tangis seperti orang ketakutan itu berhasil memanggil para penghuni rumah untuk mendatanginya.“Ada apa ribut-ribut?” gumam Kana yang masih berada di dalam kamarnya. Langkahnya yang ingin keluar terhenti karena dering gawai.“Kana, kamu ingin dibawain makanan apa? Rencananya aku mau singgah nih.”“Oh, enggak ada sih. Lagi enggak ....”“Non, Non Kana!” terdengar ketukan yang begitu kencang diikuti panggilan namanya.Pintu terbuka dan belum sempat Kana berbicara, Bibi kembali berkata, “Tuan Muda Soga.”Kana segera berlari menelusuri tangga sambil terus menggenggam gawainya. Ia melihat Soga terduduk di atas ranjang dengan wajah dipenuhi derai air mata. Ia menangis terisak sambil menunjukkan wajah ketakutan. Membuat Kana turut takut hingga segera mendekati tubuh Soga dan merangkulnya hangat.“Sayang, kamu kenapa?”
“Hei, bukannya ini masih jam lima? Kamu mau kemana?”Pertanyaan Sam pun diabaikan begitu saja. Baswara pergi melewati tubuh Sam yang masih saja berdiri kaku menatap dirinya. Perlahan punggung itu menghilang dari tatapan, Sam yang kesal hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya. Seraya berkata, “Yah, aku hanya butiran debu dan kau penguasanya.”Hari ini keadaan kantor sangatlah riuh, wajah-wajah karyawan terlihat sumringah, senyum melebar diikuti tatapan tak percaya. Mereka saling berbisik sambil terus menunjuk ke arah selebaran kertas yang ada di pengumuman. Sam yang awalnya hendak mengambil sesuatu di lantai bawah ikut terjebak dalam keriuhan yang ada.“Bapak sudah tau?” tanya salah satu karyawan kepada Sam.“Ada apa?” sambil menunjukkan ekspresi bingung, diikuti kerutan pada dahi dan tampang polosnya.Bukannya menjawab, karyawan itu lantas menunjukkan selebaran berukuran besar yang baru sa
Kana dan Soga dibawa ke sebuah tempat di kota kecil. Mereka melakukan perjalanan delapan jam lamanya. Menelusuri jalan sempit dengan banyak pohon tinggi di sekitaran. Jalanan yang menanjak dan udara yang sejuk seperti menuju puncak.“Bas, kita mau ke mana?” tanya Nesa yang merasa bingung akan jalan yang tengah mereka tuju.“Ke rumah kita,” sahut Baswara dengan senyuman.“Rumah kita? Maksudnya kamu beli rumah baru untuk kita?” tanya Kana yang merasa tak mengerti akan maksud ucapan Baswara.“Daddy ingin beri kejutan loh, Bun. Iya kan Dad?” sahut Soga yang kini mulai menikmati perjalanan. Bibirnya terus tersenyum. Sesekali ia membuka kaca jendela dan membiarkan angin menyapu lembut rambut merahnya.“Soga apa kamu siap?” tanya Baswara.“Oke, Dad.”Mobil pun berhenti di te
Baswara tak sadarkan diri. Ia pun kini terbaring lemas di atas ranjang. Tertidur dengan wajah memucat dan pipi memerah. Bingung, Kana meminta dokter pribadi keluarga Soga untuk datang memeriksakan Baswara.“Semuanya baik-baik saja. Tidak ada masalah yang berarti. Suhu tubuhnya pun normal, begitu pula dengan tekanan darahnya. Saya rasa Tuan Baswara hanya sedang kejang otot saat berenang. Yang kemungkinan karena tidak melakukan pemanasan sebelumnya,” jelas Dokter yang kemudian memberikan obat lalu permisi pulang.“Dad, rencana kita berhasil,” bisik Soga yang sedari tadi berdiri di samping Baswara. Sedangkan kana keluar kamar untuk mengantarkan dokter pulang.Baswara mengedipkan matanya. Lalu keduanya kembali berakting saat Kana memasuki kamar.“Soga ambilkan air hangat ya untuk Bunda,” ucap Soga yang dengan sengaja meninggalkan Baswara dan Kana berdua. Tak lupa ia me
Hari-hari dilalui dengan senyuman dan kebahagiaan. Kana tak menyangka kehdarian Baswara di rumah mereka mberhasil menyempurnakan hidup mereka. Pagi ini Kana telat bangun, betapa kagetnya ia saat melihat ke arah jam dinding.“Telat!” gumam Kana yang segera melompat dari tempat tidur. Ia merasa bingung sendiri harus ngapain. Terlebih Baswara sudah tak lagi ada di atas ranjang.“Tenang, tenangkan dirimu Kana. Basuh wajah dan ke dapur. Oke!” ucapnya yang kemudian lari ke kamar mandi.Kini Kana terduduk di depan cermin. Matanya terlihat sendu menatap wajahnya. Berulang kali jemarinya menyentuh bagian pipi dan mata.“Pucat banget yah, sembab gitu matanya. Apa aku pakai make up aja? Tapi aku enggak biasa pakai begituan. Aku ... ah, udah ah. Begini aja,” gumam Kana yang kemudian pergi meninggalkan kamar.Kakinya melangkah membawa menuju dapur, te
“Pagi sayang,” sapa Baswara yang kini tersenyum menatap wajah Kana.“Udah jam berapa?” tanya Kana yang seketika kaget melihat Baswara sudah mengenakan kemeja rapi.“Kamu bobok aja. Aku harus melakukan panggilan video ke klien. Jadi aku harus mengenakan kemeja yang rapi kan?” ucap Baswara.Kana hanya bisa tersenyum geli melihat keadaan Baswara saat ini. Mengenakan kemeja dengan celana olahraga di bawahnya. Kana hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah Baswara.“Jam empat?” gumam Kana yang tak menyangka bahwa ini masih pagi buta.“Yah, maaf kalau ganggu tidur kamu,” ucap Baswara yang kini kembali membuka kemejanya. Ia pun menaiki ranjang dan kembali berbaring. Tangannya memeluk manja tubuh Kana dengan kepala yang bersanda menyentuh lengan Kana.“Aku masih ingin tidur,” sambungnya setela
Tiada hari tanpa kemesraan dan kini Kana mulai terbiasa dengan hal ini. Tak hanya melakukannya di kamar, bahkan kini mereka berani melakukannya di banyak tempat. Seperti yang terjadi saat ini.Kana yang tengah asik duduk di taman pun dikejutkan akan kedatangan Baswara. Ia hadir membawa nampan berisi buah dan segelas jus jeruk. Bak pelayan yang sedang melayani putri raja, Baswara merundukkan badan untuk menyerahkan nampan.Seakan memainkan peran, Kana pun dengan angkuhnya berucap, “Sulangi saya!”Baswara pun tersenyum. Ia meletakkan nampan dan duduk di samping Kana. Tangan kanannnya siap hendak menyulangkan. Namun, bukannya mengangakan mulut. Kana justru kembali berlakon. Ia menunjuk ke arah lantai seraya berkata, “Enggak ada pelayan yang duduk sebangku dengan tuan putri!”“Ba, baik, Tuan putri,” ucap Baswara yang kini bangkit dan bersiap hendak berdiri dengan kedua
Kana masih tidak menyangka ia telah menikah dengan Baswara. Hampir setiap malam ia tidak merasa tenang. Tidur dengan Baswara masih terasa asing untuk dirinya. Ia berulang kali menatap diri di cermin dengan jutaan perasaan yang bercampur aduk.“Kok aku jadi begini? Kenapa enggak bisa bersikap biasa aja?” gumamnya yang terus merasa ada sesuatu yang kurang dari wajahnya.Kembali teringat akan pembicaraan mereka di malam pertama. Saat itu Kana terlihat tak siap untuk tidur bersama Baswara. Sikapnya yang menjaga jarak dengan pria membuat ia bingung sendiri. Namun, ia sangat bersyukur karena Baswara sangat mengerti dirinya.“Kamu malu?” tanya Baswara sembari menatap genit Kana.“Ah, kamu udah makan?” tanya Kana mengalihkan pembicaraan.“Aku belum selera. Tapi aku mau makan yang ada di sini,” ledek Baswara. Ia semakin senang menggoda Kana
“Aku mengirim seseorang untuk bekerja di sana. Ia orang yang cerdas. Dengan mudah ia bisa mengetahui semua informasi tentang perusahaan. Membaca kinerja dan cara kerja mereka. Dari dia pula, aku tahu kamu dipaksa menikah dengan Arya.”“Kenapa kamu diam aja? Apa kamu mau aku menikah dengan Arya?” ungkap Kana kesal. Ternyata selama ia terjepit keadaan, Baswara mengetahui dan memilih diam. Betapa kesalnya ia. Padahal ia begitu berharap akan kedatangan Baswara untuk membantunya.“Jangan begitu, wajah itu membuat aku ingin menciummu lagi dan lagi,” ucap Baswara dengan tangan menyentuh dagu Kana.Wajah cemberut Kana pun seketika berubah menjadi malu. Pipinya memerah, entah sejak kapan Baswara menjadi lembut dan perhatian begini. Hingga membuat Kana bertanya-tanya dalam hati, “Ini Baswara kan?”“Nah, gitu dong. Kan manis.”Kana
Mulai terbiasa disentuh Baswara. Kini Kana tak lagi malu jika bermanja di rumah. Bahkan di setiap saat, keduanya terus lengket seperti perangko. Duduk di ruang tengah sambil membaca majalah, Baswara senang menjadikan paha Kana sebagai bantal. Begitu pula saat di taman, Baswara yang duduk bersandar pada bangku membiarkan lengannya menjadi sandaran Kana.Kebahagiaan yang Kana rasa ternyata juga dirasakan penghuni rumah lainnya. Mereka pun mulai mengatakan apa yang mereka ketahui tentang Arya.“Bun, maaf ya, Bun. Maaf banget. Sebenernya ...”Si Mbok pun membuka cerita. Ia berulang kali mendengar Arya menghubungi seseorang dan membahas harta yang akan didapatkan Soga. Arya berniat merubah jumlah itu dan membiarkan ia mendapat jatah cukup banyak setelah menjadi orang tua asuh Soga.“Kenapa Mbok baru cerita sekarang?” tanya Kana dengan nada sedikit kecewa. Meskipun begitu, ia tidak
Baswara memutuskan untuk tinggal di rumah Soga. Mengawali hari yang baru di sana. Sebagai keluarga, Soga sudah menerima Baswara sepernuh hatinya. Bahkan mereka begitu dekat dan kerap menghabiskan waktu bersama. Membuat Kana geleng-geleng kepala melihatnya.“Bun, Soga berangkat dulu yah!” ucapnya sembari memberi kecupan pada Kana. Lalu berjalan mendekati Baswara melayangkan tinju yang kemudian dibalas dengan tinju Baswara. Lalu tersenyum dan melambaikan tangan seraya berkata, “Bye, Dad!”Terperangah, Kana merasa tak salah mendengar. Hingga ia pun mendekati Baswara yang sedang duduk di meja makan.“Daddy? Soga panggil kamu Daddy?” tanya Kana dengan wajah polos dan lugunya.“Kamu salah dengar kali,” jawab Baswara dengan cueknya.“Enggak kok. Aku dengar jelas tadi dia bilang ‘bye,dad’.”&ldqu