Tidak banyak yang harus Sam kerjakan, karena semua telah selesai di tangan Baswara. Meskipun Baswara masih berstatus pasien di rumah sakit Kenanga, namun semua itu hanya alasan agar Kana terus mengunjunginya. Hingga tidak heran, kalau ia bisa terus bekerja menggunakan laptopnya dengan Sam sebagai pionnya.
Beberapa pertemuan dengan klien ditunda, namun ada pula yang bersedia menemui Sam sebagai perwakilan. Hal ini lantas semakin membantu kelancaran siasat Baswara. Namun tidak dengan Sanjaya, sepertinya ia sangat kesal akan sikap anak tunggalnya yang sudah beberapa hari tidak pulang ke rumah dan tidak pula masuk ke kantor.
“Pak, Bapak dipanggil Tuan Sanjaya,” pinta Sekretaris Sam.
“Aduh! Pasti dia mempertanyakan keberadaan Baswara. Kenapa dia datang di saat Baswara tidak hadir, sih?” gerutu Sam yang kini mempersiapkan diri menemui Sanjaya di ruangannya.
Ketukan Sam segera disambut hangat. Seorang pengawal Sanjaya mempersilakannya mas
Suasana riuh berganti hening, menyadari suasana kikuk setelah kedatangannya, Kana melangkah anggun dan bersikap tenang seakan tak mendengar apapun.“Hai Sam, apakah kau sudah lama tiba?” tanya Kana yang juga turut tersenyum ke arah Baswara.“Ya, jika bukan di kantor ya di sini. Di mana ada Baswara, maka disitu ada aku,” ledek Sam sembari melirik ke arah Baswara yang benar-benar terlihat kaku sambil menyembunyikan wajah.“Benarkah? Aku begitu iri melihat kedekatan kalian berdua. Sudah begitu lama, namun masih awet saja.”“Ya, semua itu karena aku memiliki sifat sabar. Jika tidak, mungkin aku tidak berada di sini,” ucap Sam santai, namun Baswara terlihat tidak senang mendengarnya. Tetapi ia tetap menutup rapat kedua bibirnya.“Oh ya, apa kau ingin makan sesuatu Kana? Aku ingin ke kantin sebentar,” ucap Sam yang sepertinya begitu mengerti akan keinginan Baswara untuk berdua dengan Kana.
“Ada apa, Sam? Mengapa kau berlari-lari seperti itu?” tanya Kana dengan pandangan bingung.“Aku mencarimu,” ucap Sam dengan napas yang terengah-engah. Dadanya begitu sesak dan kini ia berusaha mengontrol napas, berdiri dengan tangan kanan berpegangan pada dinding.“Mencariku?” tanya Kana yang kini terlihat semakin bingung.Sam hanya menggoyang-goyangkan tangannya, karena tak ingin memperpanjang situasi yang membingungkan ini.“Mengapa kau berada di sini, Kana?” tanya Sam yang perlahan terlihat lebih tenang dan kini memilih duduk di samping Kana.Kana tersenyum, pandangan menatap ke arah langit yang terlihat cerah. Wajahnya terlihat senang dan sedikit malu-malu dan itu disadari benar oleh Sam yang sedang memandangnya dari dekat.“Oh ya, apa yang ingin kau katakan padaku?” tanya Sam kembali, dengan nada penasaran.Tatapan Kana kini beralih pada Sam, melebarkan senyuman lalu kem
“Sam, aku akan masuk kantor pagi ini. Kau tak perlu menjemputku, karena aku sudah menyelesaikan semua biaya administrasi rumah sakit.”Sebuah pesan yang cukup mengejutkan Sam. Dengan mata terbelalak, Sam kembali membaca pesan yang berada di layar ponselnya.“Ck,ck, ck, mengapa dia begitu bersemangat? Apa yang terjadi semalam? Aku yakin, pasti mereka sudah membicarakan sesuatu dan Baswara tak mengatakannya padaku,” gumam Sam yang kemudian mulai kehilangan kantuknya.“Ya Tuhan ... apakah aku harus senang dengan kemandirian Baswara atau malah pusing akan urusan percintaannya. Betapa malang nasibmu, Sam. Bahkan kau tak lagi bisa menikmati setiap detikmu,” gerutu Sam yang kini merasa kesal karena harus terbangun pagi dan tak bisa tidur lagi.***Baswara terlihat rapi dan gagah dengan kemeja yang saat ini ia gunakan. Segala sesuatu telah ia bereskan dan kini ia siap berangkat ke kantor dengan menggunakan mobil online. Se
Baswara dengan wajah kesal memasuki ruangannya, begitu pula Sam yang mengikuti di belakang. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, aksi nekad wanita tadi cukup mengganggu dan Sam tak ingin kejadian yang sama kembali terulang.Baswara memilih berdiri sambil menatap dinding kaca, suasana kota yang ramai selalu menjadi andalannya. Namun, tidak dengan Sam yang memilih duduk sambil terus memandangi punggung pemimpinnya. Rasa penasaran terus mendorong dirinya untuk segera menemukan jawabannya. Namun, keadaan emosional Baswara yang sedang tak stabil membuat Sam menahan niatannya.“Aku tahu ada yang ingin kau tanyakan,” ucap Baswara sembari membelakangi Sam.“Ya, mengapa kau berada di depan ruanganku? Apakah kau menunggu?” tanya Sam yang berkilah dari apa yang sebenarnya ingin ia ketahui.“Aku hanya menginginkan salinan data laporan,” ucap Baswara dengan napas yang memburu. Sepertinya ia sedang menahan amarah.
Setelah satu jam pingsan, akhirnya Baswara siuman. Ia tersadar dengan Kana duduk di sebelahnya.“Bas, jangan memaksakan diri jika kamu masih merasa pusing,” ucap Kana yang dengan lembut menyentuh tangan Baswara.“Sam, bagaimana keadaan Sam, Kana?” tanya Baswara sambil menunjukkan wajah kacaunya.“Dia sudah sadar dan sedang beristirahat. Aku sudah memastikan keadaannya baik-baik saja. Bagaimana keadaan kamu Bas? Mengapa kau bisa sampai terjatuh di lorong rumah sakit?” tanya Kana dengan tatapan hawatir.“Entahlah! Belakangan ini aku sulit mengontrol emosi, bahkan aku sering merasakan sakit di kepala bagian belakang,” jelas Baswara dengan tatapan lelah.“Apa karena kamu terlalu memaksakan diri? Sebaiknya kamu tidak mengulanginya lagi, Bas. Itu tidak baik. Ada baiknya kamu mengambil beberapa hari untuk beristirahat atau liburan.”Baswara tersenyum, dengan tatapan penuh ide ia berkata, &
Baswara mendekati tubuh Sam yang masih terbaring di atas ranjang. Kedua tangannya kini telah berada tepat di leher Sam, mengapit erat seakan hendak mencekik Sam. Membuat dahi Sam mengernyit dan segera membuka matanya.“Kau gila, Bas?” tanya Sam dengan nada sedikit berteriak. Dadanya sesak dengan tatapan takut.Bukannya marah atau takut, Baswara malah tertawa terbahak-bahak melihat reaksi berlebihan yang diperlihatkan sahabatnya-Sam. Sepertinya ia begitu puas melihat wajah takut Sam.“Apa kau takut aku benar-benar melakukannya?” tanya Baswara tanpa rasa bersalah.“Sialan! Bercandamu terlalu mainstream, Bas!” ucap Sam kesal yang kini mencoba mengontrol kembali napasnya.“Jangankan membunuhmu, Sam. Bahkan jika kau terluka atau tersakiti, justru aku yang akan lebih dulu maju untuk melindungimu, Sam. Kau bukan sekedar bawahan ataupun sahabat. Kau lebih dari itu,” ucap Baswara kali ini menunjukkan wajah kes
Ketukan pintu menyadarkan Baswara dari lamunan. Ternyata sekretaris Sam datang menemuinya.“Maaf, Tuan. Tuan Sanjaya menitipkan pesan,” ucapnya yang kemudian menyerahkan sebuah amplop coklat.Masih dengan wajah tenang, Baswara mulai membuka amplop yang tertutup dengan rapat. Sebuah jadwal keberangkatan, beserta tiket pergi dan semua tujuan yang harus Baswara kunjungi terdapat di sana.“Sialan!” ujar Baswara dengan kepalan menghantam kuat ke atas meja. “Andai saja, Sam tidak dirawat. Aku pasti memintanya menggantikanku, setidaknya menemaniku di sana,” ungkapnya sembari menghempaskan tubuh pada sandaran kursi.Tertera jelas jam keberangkatan Baswara yang tidak lain esok siang tepat pukul sebelas. Terang saja ini membuat emosi Baswara kembali tidak terkontrol. Ia benar-benar tidak siap untuk berangkat, terlebih ia tahu akan bersama siapa kelak saat berada di sana.“Jean, dia lagi! Haruskah aku berangkat?&rdquo
“Bas, maafkan aku. Apa aku mengganggumu?” tanya kana yang seakan tersadar akan sikapnya. Ia merasa begitu malu ketika melihat angka yang ditunjukkan jarum jam. “Ya ampun, apa yang kau lakukan Kana? Mengapa kau begitu nekad menghubungi Baswara di jam segini? Mengapa kau begitu yakin kalau itu Baswara?” gumamnya sambil menunjukkan ekspresi kalut dan begitu kacau.“Ah, tidak. Apakah aku boleh menemuimu?” tanya Baswara dengan jantung yang berdetak begitu cepat, hingga memaksa dirinya menekan kuat bagian dada untuk menenangkan diri.“Bertemu? Maksud kamu besok?”“Tidak, Kana. Sekarang, yah sekarang ini. Aku sudah berada di depan rumahmu.”Mendadak kedua mata Kana terbelalak, jantungnya seakan berhenti beberapa detik yang kemudian ia kembali berusaha untuk bernapas normal.“Mobil merah yang ada di depan rumahku?”“Ya.”“Sudah berapa lama kamu di sana?&
Kana dan Soga dibawa ke sebuah tempat di kota kecil. Mereka melakukan perjalanan delapan jam lamanya. Menelusuri jalan sempit dengan banyak pohon tinggi di sekitaran. Jalanan yang menanjak dan udara yang sejuk seperti menuju puncak.“Bas, kita mau ke mana?” tanya Nesa yang merasa bingung akan jalan yang tengah mereka tuju.“Ke rumah kita,” sahut Baswara dengan senyuman.“Rumah kita? Maksudnya kamu beli rumah baru untuk kita?” tanya Kana yang merasa tak mengerti akan maksud ucapan Baswara.“Daddy ingin beri kejutan loh, Bun. Iya kan Dad?” sahut Soga yang kini mulai menikmati perjalanan. Bibirnya terus tersenyum. Sesekali ia membuka kaca jendela dan membiarkan angin menyapu lembut rambut merahnya.“Soga apa kamu siap?” tanya Baswara.“Oke, Dad.”Mobil pun berhenti di te
Baswara tak sadarkan diri. Ia pun kini terbaring lemas di atas ranjang. Tertidur dengan wajah memucat dan pipi memerah. Bingung, Kana meminta dokter pribadi keluarga Soga untuk datang memeriksakan Baswara.“Semuanya baik-baik saja. Tidak ada masalah yang berarti. Suhu tubuhnya pun normal, begitu pula dengan tekanan darahnya. Saya rasa Tuan Baswara hanya sedang kejang otot saat berenang. Yang kemungkinan karena tidak melakukan pemanasan sebelumnya,” jelas Dokter yang kemudian memberikan obat lalu permisi pulang.“Dad, rencana kita berhasil,” bisik Soga yang sedari tadi berdiri di samping Baswara. Sedangkan kana keluar kamar untuk mengantarkan dokter pulang.Baswara mengedipkan matanya. Lalu keduanya kembali berakting saat Kana memasuki kamar.“Soga ambilkan air hangat ya untuk Bunda,” ucap Soga yang dengan sengaja meninggalkan Baswara dan Kana berdua. Tak lupa ia me
Hari-hari dilalui dengan senyuman dan kebahagiaan. Kana tak menyangka kehdarian Baswara di rumah mereka mberhasil menyempurnakan hidup mereka. Pagi ini Kana telat bangun, betapa kagetnya ia saat melihat ke arah jam dinding.“Telat!” gumam Kana yang segera melompat dari tempat tidur. Ia merasa bingung sendiri harus ngapain. Terlebih Baswara sudah tak lagi ada di atas ranjang.“Tenang, tenangkan dirimu Kana. Basuh wajah dan ke dapur. Oke!” ucapnya yang kemudian lari ke kamar mandi.Kini Kana terduduk di depan cermin. Matanya terlihat sendu menatap wajahnya. Berulang kali jemarinya menyentuh bagian pipi dan mata.“Pucat banget yah, sembab gitu matanya. Apa aku pakai make up aja? Tapi aku enggak biasa pakai begituan. Aku ... ah, udah ah. Begini aja,” gumam Kana yang kemudian pergi meninggalkan kamar.Kakinya melangkah membawa menuju dapur, te
“Pagi sayang,” sapa Baswara yang kini tersenyum menatap wajah Kana.“Udah jam berapa?” tanya Kana yang seketika kaget melihat Baswara sudah mengenakan kemeja rapi.“Kamu bobok aja. Aku harus melakukan panggilan video ke klien. Jadi aku harus mengenakan kemeja yang rapi kan?” ucap Baswara.Kana hanya bisa tersenyum geli melihat keadaan Baswara saat ini. Mengenakan kemeja dengan celana olahraga di bawahnya. Kana hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah Baswara.“Jam empat?” gumam Kana yang tak menyangka bahwa ini masih pagi buta.“Yah, maaf kalau ganggu tidur kamu,” ucap Baswara yang kini kembali membuka kemejanya. Ia pun menaiki ranjang dan kembali berbaring. Tangannya memeluk manja tubuh Kana dengan kepala yang bersanda menyentuh lengan Kana.“Aku masih ingin tidur,” sambungnya setela
Tiada hari tanpa kemesraan dan kini Kana mulai terbiasa dengan hal ini. Tak hanya melakukannya di kamar, bahkan kini mereka berani melakukannya di banyak tempat. Seperti yang terjadi saat ini.Kana yang tengah asik duduk di taman pun dikejutkan akan kedatangan Baswara. Ia hadir membawa nampan berisi buah dan segelas jus jeruk. Bak pelayan yang sedang melayani putri raja, Baswara merundukkan badan untuk menyerahkan nampan.Seakan memainkan peran, Kana pun dengan angkuhnya berucap, “Sulangi saya!”Baswara pun tersenyum. Ia meletakkan nampan dan duduk di samping Kana. Tangan kanannnya siap hendak menyulangkan. Namun, bukannya mengangakan mulut. Kana justru kembali berlakon. Ia menunjuk ke arah lantai seraya berkata, “Enggak ada pelayan yang duduk sebangku dengan tuan putri!”“Ba, baik, Tuan putri,” ucap Baswara yang kini bangkit dan bersiap hendak berdiri dengan kedua
Kana masih tidak menyangka ia telah menikah dengan Baswara. Hampir setiap malam ia tidak merasa tenang. Tidur dengan Baswara masih terasa asing untuk dirinya. Ia berulang kali menatap diri di cermin dengan jutaan perasaan yang bercampur aduk.“Kok aku jadi begini? Kenapa enggak bisa bersikap biasa aja?” gumamnya yang terus merasa ada sesuatu yang kurang dari wajahnya.Kembali teringat akan pembicaraan mereka di malam pertama. Saat itu Kana terlihat tak siap untuk tidur bersama Baswara. Sikapnya yang menjaga jarak dengan pria membuat ia bingung sendiri. Namun, ia sangat bersyukur karena Baswara sangat mengerti dirinya.“Kamu malu?” tanya Baswara sembari menatap genit Kana.“Ah, kamu udah makan?” tanya Kana mengalihkan pembicaraan.“Aku belum selera. Tapi aku mau makan yang ada di sini,” ledek Baswara. Ia semakin senang menggoda Kana
“Aku mengirim seseorang untuk bekerja di sana. Ia orang yang cerdas. Dengan mudah ia bisa mengetahui semua informasi tentang perusahaan. Membaca kinerja dan cara kerja mereka. Dari dia pula, aku tahu kamu dipaksa menikah dengan Arya.”“Kenapa kamu diam aja? Apa kamu mau aku menikah dengan Arya?” ungkap Kana kesal. Ternyata selama ia terjepit keadaan, Baswara mengetahui dan memilih diam. Betapa kesalnya ia. Padahal ia begitu berharap akan kedatangan Baswara untuk membantunya.“Jangan begitu, wajah itu membuat aku ingin menciummu lagi dan lagi,” ucap Baswara dengan tangan menyentuh dagu Kana.Wajah cemberut Kana pun seketika berubah menjadi malu. Pipinya memerah, entah sejak kapan Baswara menjadi lembut dan perhatian begini. Hingga membuat Kana bertanya-tanya dalam hati, “Ini Baswara kan?”“Nah, gitu dong. Kan manis.”Kana
Mulai terbiasa disentuh Baswara. Kini Kana tak lagi malu jika bermanja di rumah. Bahkan di setiap saat, keduanya terus lengket seperti perangko. Duduk di ruang tengah sambil membaca majalah, Baswara senang menjadikan paha Kana sebagai bantal. Begitu pula saat di taman, Baswara yang duduk bersandar pada bangku membiarkan lengannya menjadi sandaran Kana.Kebahagiaan yang Kana rasa ternyata juga dirasakan penghuni rumah lainnya. Mereka pun mulai mengatakan apa yang mereka ketahui tentang Arya.“Bun, maaf ya, Bun. Maaf banget. Sebenernya ...”Si Mbok pun membuka cerita. Ia berulang kali mendengar Arya menghubungi seseorang dan membahas harta yang akan didapatkan Soga. Arya berniat merubah jumlah itu dan membiarkan ia mendapat jatah cukup banyak setelah menjadi orang tua asuh Soga.“Kenapa Mbok baru cerita sekarang?” tanya Kana dengan nada sedikit kecewa. Meskipun begitu, ia tidak
Baswara memutuskan untuk tinggal di rumah Soga. Mengawali hari yang baru di sana. Sebagai keluarga, Soga sudah menerima Baswara sepernuh hatinya. Bahkan mereka begitu dekat dan kerap menghabiskan waktu bersama. Membuat Kana geleng-geleng kepala melihatnya.“Bun, Soga berangkat dulu yah!” ucapnya sembari memberi kecupan pada Kana. Lalu berjalan mendekati Baswara melayangkan tinju yang kemudian dibalas dengan tinju Baswara. Lalu tersenyum dan melambaikan tangan seraya berkata, “Bye, Dad!”Terperangah, Kana merasa tak salah mendengar. Hingga ia pun mendekati Baswara yang sedang duduk di meja makan.“Daddy? Soga panggil kamu Daddy?” tanya Kana dengan wajah polos dan lugunya.“Kamu salah dengar kali,” jawab Baswara dengan cueknya.“Enggak kok. Aku dengar jelas tadi dia bilang ‘bye,dad’.”&ldqu