"Kau, udah tiga bulan kabur, nggak dicari sama keluarga, Rin?" tanyaku penasaran. Selama dia tinggal bersamaku. Sekalipun tak pernah ada keluarga yang datang mencarinya."Kurasa mereka lupa, kalau punya anak perempuan," celetuknya malas.Kasihan juga dia. Sudah jelas-jelas minggat, bukannya dicari, eh malah di biarkan."Mungkin juga! Anak macam kau, untuk apa dipelihara. Yang ada cuma ngabisin duit,""Memang, kau ini. Nggak ada prihatinnya sama aku!""Hahahah, malas aku prihatin samamu!""Sukamulah, Markonah! Oh, ya. Kau nggak cemburu mantanmu udah menikah lagi?" tanya Karin serius. Masih penasaran aja dia sama kehidupan masa laluku. Atau, temanku ini hanya ingin mengejek saja?"Ya enggaklah. Ngapain juga cemburu. Saat aku memutuskan untuk berpisah, berarti aku harus udah siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk melihatnya menikah lagi," jawabku santai. Untuk apa cemburu, macam hanya dia saja lelaki di dunia ini."Tapi, aneh aja, gitu ya. Masa dia tinggal di samping rumahmu! Apa se
"Halah! Kalian berdua itu, sama aja! Yang satu janda gatel, yang satu perawan tua! Uppss, gadis tua bukan perawan maksudnya!" ucapnya sambil menutup mulutnya dengan tangan. Aku yakin dia sengaja mengatakannya. "Apa kau bilang?" teriak Karin marah lalu maju kedepan menghadap wanita itu dan langsung menjambak rambutnya kasar."Awwwww. Sakittt!" teriak wanita itu kesakitan. Tangannya mencoba melepaskan cengkraman di kepalanya.Tidak hanya tangan yang bermain, kaki Karin juga menendang-nendang kaki lawannya tersebut.Aku masih berdiri menonton mereka, tanpa berusaha melerainya.Biar tahu rasa wanita itu dibuat Karin. Para tetangga yang mendengar keributan, langsung datang berbondong-bondong. Mereka juga tidak ada yang mau melerainya.Jarang-jarang dapat tontonan gratis seperti ini."Hajar ...!""Jambak!""Cakar!""Sikat!""Ramas itu, muncungnya!" teriak para tetangga menyoraki bergantian."Huhuhuhuuu... Sakit! Lepaskan, sial4n!" teriak wanita tersebut meronta-ronta."Rasakan! Kau bilang
"Aku, tahu, kau cemburu melihatku menikah lagi, dengan wanita cantik seperti Ratna. Makanya kau buat dia babak belur begitu. Iya, 'kan?" tuduhnya.What? Aku cemburu melihat dia sudah menikah lagi? dan sengaja menganiaya istrinya itu?Darimana jalannya? Kege-eran banget, jadi manusia. Narsisnya nggak ketulungan."Kenapa kau diam saja! Makanya, jadi wanita nggak usah sok hebat. Giliran sudah kucerailan dan aku sudah menikah lagi, baru menyesal, kau! Sampai ingin mencelakai istriku." Matanya menatapku dengan tatapan mengejek.Menyesal? Kenapa harus menyesal sudah melepaskan benalu. Kenapa sih, ada lelaki modelan begini. Ingin rasanya kusiram dia dengan air comberan. Agar sadar dirinya seperti apa.Sedikitpun tak ada penyesalanku berpisah dengannya. Yang ada, malah rasa syukur, telah lepas dari jerat lelaki parasit."Udah siap narsisnya?" tanyaku, dengan nada mengejek."Siapa yang Narsis? Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Kau! Bilang aja kalau kau itu, iri dengan kebahagiaanku!" Dengan
"Jangan kelantaman kali, mulutmu itu! Kelompok pelangi, Kepala ot*k kau itu! Belum pernah kau rasakan bibir pecah kena hantam!" Aku sudah tak bisa lagi mengontrol emosiku. Segala umpatan keluar dari bibir ini.Siapa yang tak emosi, bila difitnah demikian. "Lepaskan!" ujarnya meronta.Tak kupedulikan ocehannya. Aku menarik rambutnya, hingga dia mengikutiku. Lalu kudorong dengan kuat sampai dia tersungkur di tanah."Aaaaaaa. Sakit, sial*n! Wanita tak tau diri! Wanita jal*ng! Janda gatal! Tunggu pembalasanku," jeritnya. Ratna kembali berdiri dan membersihkan kaki dan tangan yang kotor terkena tanah."Oh, muncung! kutepuk beserak, Kau!" Aku kembali mendekatinya. Tanganku sudah melayang di udara.Andai kewarasanku sudah hilang, mungkin tangan ini akan mendarat di pipinya dengan mulus. Sayangnya, aku tak setega itu pada sesama wanita.Huuufffftt. Sabar, Melia! Ucap malaikat di hatiku.Ratna sudah menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mungkin takut jika aku sungguhan menamp*rnya
Jika sudah begini, maka jurus andalan harus dikeluarkan."AAAWWW!" Penjahat itu mengaduh kesakitan. Dia tertunduk mengelus kakinya yang terkena tendanganku.Sama sepertinya, aku juga kesakitan. Tulang miskin beradu, pasti tau sendiri rasanya.Lelaki itu lengah, sapu yang sempat direbutnya terlepas dari tangan. Tak kusia siakan kesempatan. Langsung kuambil sapu tersebut, dan kembali menghajarnya.Bagh!Bugh! Bagh! Bugh!Tanpa ampun, aku terus menghajarnya."Karin! Cepat ke sini bantu aku!" teriakku meminta bantuan.Kudengar suara langkah berlari dari dalam rumah."Ada apa?" tanyanya panik.Melihatku, memukul seseorang, Karin pun tak tinggal diam. Dia ikutan memukulnya."AAaaaa. Sakit!" teriaknya."Stop! Mel." Karin berhenti memukulinya dan meminta menghentikan aksiku."Ada apa, Rin?" tanyaku bingung. Kalau sampai kami lengah, penjahat ini nanti akan menyerang balik kami. Kenapa pula harus berhenti?"Aku seperti kenal suaranya," ujarnya seraya memandangi lelaki tersebut."Adik durhaka
"Seperti yang kubilang kemarin. Aku datang ke sini, untuk menuntut kamu atas pencemaran nama baik," ujar Karin langsung ke pokok permasalahan.Ratna tampak sangat kaget. Apalagi dia juga bisa melihat dengan jelas, kedua lelaki berseragam polisi berada di antara kami.Dengan cepat wanita siluman itu mengendalikan diri dari keterkejuttannya."Eh, Karin. Ayo, masuk dulu," ujar Ratna sok lembut.Saat melihat lelaki di samping Karin, Ratna langsung membulatkan mata, seperti melihat mangsa.Tanpa pikir panjang, dia langsung menyambar tangan Bang Ilyas. Padahal orang yang dekat dari jangkauannya adalah Karin.Huuhh, dasar ulat bulu!Pantang lihat yang bening dikit, main sikat!Ratna langsung membawa Bang Ilyas duduk di sampinya.Ada, ya, wanita sudah bersuami berkelakuan seperti itu! Hiiihhhh, bagaimana kalau sampai ketahuan suaminya?Karin melotot tak suka ke arah abangnya dan ulat bulu itu."Silahkan duduk!" ujar Ratna mempersilahkan kami duduk mengikutinya di sofa.Aku dan Karin duduk ber
"Rin, aku mau tanya. Emangnya video itu beneran ada samamu? 'kan kemarin, nggak ada yang ngerekam, kita?" tanyaku dipenuhi rasa penasaran. Aneh aja gitu. Kemarin, nggak ada orang pegang HP. kenapa pula, bisa ngerekam kami. Apa Kak Butet yang merekam diam-diam."Ya, enggaklah!" jawabnya enteng."Jadi, kau bohong?" tanyaku heran."Iya, hehehehe," jawabnya cengengesan."Gil4! Pantas aja, kau, mau berdamai dengan uang lima belas juta, dari tuntutan tiga puluh juta.""Heheheheh, udah nggak usah berisik. Nanti mereka dengar. Uangnya bisa kita sumbangin selebihnya buat jalan-jalan ke danau toba," ujarnya tanpa rasa bersalah."Wahhh, iya juga, ya. Boleh jugalah, biar mereka tahu rasa. Lagian udah lama kali aku nggak liburan. Eh, abangmu tau, kalau nggak ada video di hape?" tanyaku lagi."Enggak, dia memang beneran mau nuntut mereka. Tapi, kalau mereka masuk penjara, aku rugi dong. Lebih baik kuduitkan aja." Karin sangat santai menanggapi semua ini. Apa dia tak takut ketahuan."Huuuhhh, dasar
"Iya. Aku juga awalnya nggak tau kalau suamiku mantannya dia. Kok bisa sih, Mel. Kau buang batu berlian seperti Mas Dendi?" tanyanya beralih padaku."Karena aku udah nggak level sama berlian," jawabku malas."Jadi, levelnya sama batu akik? Atau batu kali gitu?" cemoohnya."Yang penting, seleraku, bukan seperti seleramu!" ketusku."Oh, ya jelas dong!" sahutnya cepat."Jelas, kau seleranya barang bekas dan aku barang yang masih segelan, kan? Hahahah," ejekku.Ratna melengos tak suka. Dia kembali melanjutkan aktivitasnya.Cring! Cring! Lagi-lagi dia memainkan tangannya."Gelang baru, Rat?" tanya Kak Leha tetangga samping rumah Kak Butet.Dia baru saja datang. Mungkin juga mau berbelanja."Iya," jawabnya fokus menimbang ayam."Tiga puluh juta itu, dibelinya," ucap Kak Butet memberi tahu."Apa yang tiga puluh juta?" tanya Kak Leha bingung."Gelang si Ratna," jawab Kak Butet."Mana ada. Aku tadi lihat dia beli di pajak UKA. Tempat orang jualan emas KW itu. Harganya cuma 30ribu pergelang. M
"Mel, maafkan aku!" ujar lelaki yang ternyata Mas Dendi.Semenjak kejadian dia bertengkar dan adiknya ditangkap polisi, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Mengapa sekarang dia muncul lagi dihadapanku?Aku heran, darimana dia tahu aku tinggal di sini. Padahal, selama pindah, tak pernah sekalipun aku memberi tahunya tinggal di mana.Apa jangan-jangan dia memata-mataiku?"Maaf, untuk apa?" tanyaku malas.Malas jika harus bertemu dengannya. Malas segalanya bila berurusan dengan yang namanya mantan. Jika sudah menjadi mantan, maka semuanya telah usai bagiku."Untuk segala yang sudah kulakukan padamu dulu. Aku menyesal telah melepaskanmu demi adik tak tahu diri itu!" ucapnya dengan mimik wajah yang penuh dengan penyesalan.Semuanya sudah terlambat. Untuk apa lagi dia meminta maaf. Toh, tidak akan merubah segalanya yang sudah terjadi."Sudahlah. Lagi pula, semuanya sudah berlalu.""Tapi, aku benar-benar menyesal, Mel. Bila waktu bisa diputar kembali. Aku, ingin memperbaiki segalanya. Dan
Sesuai dengan ucapannya. Bang Ilyas membawaku dan Karin melihat rumah baru kami. Hari ini, dia libur bekerja karena sudah berjanji untuk melihat-lihat rumah tersebut. Dan jika cocok, maka langsung bayaran.Rumah ini cukup besar. Apalagi jika hanya untuk kami berdua tinggal. Bahkan menurutku, terlalu besar. Hanya rumah, sementara ruko seperti yang kami bicarakan sebelumnya, tidak ada."Rumah dulu, Dek. Nanti, kita bangun ruko di samping. Tanahnya juga kebetulan masih luas." Bang Ilyas, seperti bisa membaca isi hatiku. Tanpa aku berbicara, dia sudah mengatakan yang baru saja kupikirkan."Iya, gimana bagusnya aja, Bang." Aku tersenyum."Cantik kali ini, kalau jadi rumahmu, Kak!" ucap Karin takjub.Karena di depan abangnya ini, makanya dia panggil Kak. Coba kalau nggak, udah pasti aku, kau."Iya, aku suka kali rumah ini. Cocok untuk buka usaha juga. Depan langsung jalan besar.""Iya, kan. Bisa buka toko sekalian jualan online ini," ucap Karin sambil terus berkeliling untuk melihat-lihat.
"Lelaki itu, adiknya Dendi, Dek?" tanya suamiku, melihat kepergian dua makhluk yang tak bisa disebutkan jenisnya itu."Iya," jawabku singkat padat dan jelas.Malas bahas manusia tak tahu diri itu. Bikin nambah dosa aja."Kok, mereka tega sih, main belakang begitu?" tanyanya lagi.Kok tumben suamiku ini mengurusi kehidupan orang. Kalau aku sih malas."Nggak tau, Bang. Mungkin mereka dibutakan oleh hawa nafsu. Ah, udahlah, malas bahas mereka. Ayo, kita balik ke penginapan aja." Aku menarik tangannya pelan dan membawanya berjalan menuju tempat istirahat kami.Gara-gara ketemu mereka jadi bad mood deh. Hemmmm...Udah nggak semangat untuk jalan-jalan. Pengen cepat pulang aja deh."Abang, udah dapat rumah yang pas untuk kita pindah, Dek!" ucapnya saat kami masih melangkahkan kaki beriringan.Syukurlah, akhirnya bisa menjauh dari mereka semua yang selalu bikin rusuh.Berjalan sambil mengobrol begini, setidaknya bisa mengurangi rasa jengkelku pada Rama dan Ratna.Mereka yang ketahuan selingku
Tak salah lagi. Itu memang Ratna. Dia melihat ke arahku, dan Aku sepontan menutup sebagian wajah dengan menggunakan hijab yang menjuntai. Sengaja membentuknya seperti cadar agar dia tak mengenaliku.Nanti, dia berpikir pula kalau aku sengaja membuntutinya. Padahal, nggat tau sama sekali kalau dia juga sedang berada di sini. Dan parahnya bersama adik iparnya sendiri.Mereka berdua berjalan mendekat ke arahku, dengan Ratna yang bersandar pada bahu Rama.Kalau Bang Ilyas datang ke sini, bisa hancur penyamaranku ini.[Abang, tolong ke penginapan dulu, ambilkan jaket. Adek sedikit kedinginan nih!] aku mengirimkan pesan pada suamiku. Sengaja mengulur waktu agar tak bertemu dengan kedua manusia lucknut ini.[Oke, sayang. Ditunggu, jangan kemana-mana.] balasnya.Kedua makhluk tak tahu diri itu terus berjalan mendekat ke arahku. Kebetulan, bangku yang kududuki masih luas dan kosong.Tamatlah riwayatku. Mereka duduk di sampingku. Sekitar satu meter dari tempat dudukku."Aku, terlalu bosan denga
Aku tersenyum saat suamiku menyentuh tanganku. Aku tau kalau dia tidak suka aku berdebat dengan tantenya."Jangan Marah gitu dong, tan. Aku kan cuma bercanda. Jangan dibawa serius ah!" kilahku."Halah! Nggak usah banyak kali alasanmu!" serunya emosi."Udah tante, jangan emosi. Nanti naik loh, gula darahnya! Ayo, Bang. Kita berangkat!" Aku mengalihkan pembicaraan, karena yakin Bang Ilyas tak suka dengan pertdebatan kami."Abang, masih lama menginap di rumah tante?" tanya Saras memulai percakapan, setelah beberapa saat terdiam."Belum tau, kenapa?" tanya suamiku."Nggak apa. Kalau masih lama, aku kan bisa main lagi ke sana," ujar Saras."Kayaknya, kalau nggak besok atau nanti sore, kami udah pulang sih, Ras. Soalnya pengen honeymoon!" Aku ikut menanggapi obrolan mereka.Padahal, tak ada rencana honeymoon. Ini hanya alasan biar si Saras semakin kepanasan. Dia pasti tak suka melihatku menikmati hidup bersama suamiku.Bang Ilyas menoleh ke arahku. Wajahnya seperti ingin bertanya. Karena se
"Eeehhh. Mau ngapain, Bang?" Aku terus beringsut mundur saat Bang Ilyas mendekat."Mengulang yang tadi malam," ucapnya santai."Isshhh. Udah terang gini. Nanti dipanggil sarapan sama yang lain gimana?" protesku, mencoba mendorongnya."Udah, biarkan aja mereka sarapan duluan." Dia tetap kekeuh melanjutkan aksinya.Ngeyel banget sih, Bang!Tok! Tok! Tok!"Ilyas! Ayo sarapan!" panggil Mama.Bang Ilyas menghentikan aksinya dan mengacak rambutnya asal."Hmmm... Mama datang di saat yang tidak tepat. Padahal anaknya sedang berusaha memberikannya cucu!" omel suamiku lucu sekali. Aku cekikikan melihatnya."Nanti Ilyas dan Melia menyusul. Mama dan yang lain, lanjutkan aja sarapannya!" ujar suamiku dengan sedikit berteriak."Nggak bisa dong, Nak. Tante Yulia dan Saras akan pulang pagi ini. Jadi kita sarapan bersama dulu!" ujar Mama lagi. Wah, ternyata mereka tahu diri juga. Kupikir mau sampai aku dan suamiku pergi dari sini, baru mereka pulang.Tak perlu lah, tarik urat sepanjang hari. Karena p
Seketika, raut wajahnya berberubah garang. Saras yang berada di sampingnya juga terlihat semakin sinis.Hahahah, mereka pikir aku takut? Ya, jelas enggaklah. Selama masih sama-sama memijak bumi. Tak akan pernah aku takuti. Kecuali udah jadi kunti, barulah aku bacakan ayat kursi."Eeehh, perempuan kampung! Nggak ada lah ot*kmu itu! Kau suruh pula aku jadi babu!" makinya sambil menunjuk mukaku.Semakin dia emosi, semakin suka aku melawannya."Lah, kan kalau aku udah pernah jadi babu. Kalau tante kan belum. Apa salahnya sekarang kita bergantian," sahutku enteng dan menepis tangannya tak lupa kuberikan senyuman sinis."Berani kali kau, melawanku!" sungutnya.Kalau di pilem kartun yang sering kutonton, pasti lah tante Yulia udah keluar asap dari telinga saking emosinya. "Kenapa harus nggak berani?" sahutku."Memang, lah. Salah kali si Ilyas udah menikahimu. Berani kau menjawab orang tua. Lebih bagus lagi Saras. Sopan santunnya ada. Nggak macam kau! Kampungan!" Wanita itu terus saja berbic
"Abang, pikir aku, set*n?" tanyaku ketus langsung membalikkan badan menghadapnya.Bang Ilyas tersenyum salah tingkah. Dia sampai menggaruk-garuk kepalanya yang kurasa tak gatal."Bukan begitu, Dek. Siapa coba yang bilang, kalau adek, set*n?" tanyanya sambil tersenyum manis, semanis gula jawa."Itu, tadi. Omongan Abang, nggak tahan godaan. Emang, aku set*n penggoda manusia?" tanyaku mulai tersulut emosi. Mata sengaja kubesarkan agar dia tau kalau istrinya yang cantik ini lagi marah."Enggak sayang, bahkan kamu seperti bidadari yang cantiknya tiada tara," ungkapnya lembut.Mau melayang karena pujian, tapi gengsi dong. Kan masih ngambek!"Bilang cantik kayak bidadari, tapi selalu menghindari. Sebenarnya, Abang normal atau nggak sih?" tanyaku to the point.Mata Bang Ilyas melotot, mulutnya mengaga lebar. Ekspresi ini, bisa dikatakan sangat terkejut bukan?"Nggak usah akting sok terkejut gitu deh!" ucapku ketus karena dia tak kunjung mengeluarkan suara."Adek, kok sampai berpikiran kalau A
"Maaf tante, saya tidak tertarik untuk menikah lebih dari satu. Cukup, Melia saja yang menemani hingga nanti ajal menjemput." Good, man! Jawaban dari lelakiku ini, mampu mengukir senyum di bibir ini.Sedikit legah mendendarnya berkata seperti itu aku pikir, dia hanya akan diam aja saat didesak menikah dengan paribannya."Kalau bisa dua kenapa harus satu?" tanya Tante Yulia lagi, tersenyum miring.Wahhhh, belum pernah beserak ginjalnya kubuat?Belum lihat dia gimana kalau aku marah, bisa patah-patah kubuat tulang keringnya, baru tahu rasa!"Kalau bisa setia, kenapa harus mendua?" sahut suamiku membalikkan ucapannya.Duhhh, abang sayang, pengen meluk deh... Sweet banget sih, suamiku ini..."Sekarang, bisa kau bilang begitu. Tapi nanti, setelah orang tuamu semakin ingin memiliki cucu, pasti lah kau mencari cara untuk menikah lagi. Lagian Saras ini masih perawan kok. Coba kalau istrimu, sudah pernah menikah kan? Selama tiga tahun lagi. Tapi, belum memiliki keturunan. Dari situ kita bisa