Pov NaylaSudah dua minggu Mas Dani meninggal. Ibuku terlihat seperti robot hidup yang masih sangat terpukul karena kepergian Mas Dani secara mendadak seperti ini. Aku benar-benar tak tega melihat ibuku yang seperti ini. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti kuliah demi merawat ibu.Aku dengar Anisa sudah di masukan dalam penjara, hari ini aku berniat untuk menemui wanita pembuat masalah itu.Aku tersenyum penuh penghianaan saat dia menemuiku dengan seragam tahanan yang melekat di tubuhnya. Rasanya senang sekali lihat masa depan wanita itu hancur dalam penjara."Penjara ternyata tempat paling pas buat kamu. Kamu cocok banget pakai seragam itu!" ucapku dengan tertawa semringah di depan Anisa."Kamu boleh tertawa sekarang, tapi setelah aku kasih tahu sesuatu kamu bakal nangis sampai mengeluarkan darah nanti!" balas santai Anisa."Alesan saja, aku enggak penasaran sama sekali dengan ucapan mulut sampahmu!""Mulut sampah? Ok, aku akan beritahu satu rahasia yang memang sampai sekarang dir
"Sayang, ini kan masih pukul delapan malam. Kok kamu sudah tidur sih! Kamu sakit?"Adrian menyentuh bahu istrinya yang tidur membelakanginya. Renata yang pura-pura memejamkan matanya tidak mau menjawab pertanyaan suaminya.Karena Adrian penasaran,dia membalikan badan istrinya. Alangkah terkejutnya lelaki itu melihat wajah sembab istrinya."Jadi dari tadi, kamu sengaja tidur membelakangiku karena diam-diam nangis?"Renata yang tertangkap basah sedang menangis merasa malu oleh suaminya. Dia kembali merubah posisi tidurnya seperti semula."Kamu kalau lagi ada masalah cerita dong sama aku, sayang. Jangan apa-apa kamu pendem sendirian!" bujuk Adrian."Aku lagi butuh sendiri, Bang. Tolong sementara waktu jangan ganggu aku dulu!" bentak Renata. Adrian sedikit tersinggung dengan ucapan Renata, namun demi kebaikan istrinya dia menuruti saja permintaan istrinya. Bergegas Adrian bangkit lalu pergi menuju ruang keluarga. Tak lupa dia menyalakan sebatang rokok untuk menetralkan emosinya."Bang Adr
"Div, tolong Mbak hubungin Bang Adrian coba. Masa jam segini dia belum pulang kerja!" perintah Renata terhadap adiknya. Kondisinya masih belum baik jadi terpaksa ia minta tolong adiknya untuk menghubungi suaminya."Baik, Mbak." ucap Diva sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia kemudian menghubungi nombor abang iparnya namun nombor yang di hubungi ternyata tidak aktif."Nombor Bang Adrian enggak aktif, Mbak. Kayaknya dia beneran marah sama Mbak, deh!" ucap Diva sengaja memancing ketakutan kakak perempuannya."Alaaah...marah juga paling sebentar. Ya udah biarin saja. Nanti juga dia balik!"Renata kembali berbaring diatas ranjangnya kemudian dia mulai kembali menutup matanya karena masih merasa pusing dan mengantuk."Mbak, sebelum tidur minum obatnya dulu!" ucap Diva memperingati kakak perempuannya. Dengan terpaksa Renata mengambil obat yang di berikan adiknya kemudian meminumnya."Makasih, Div. Entah kenapa hari ini mataku sulit sekali ku buka. Rasanya mau tidur trs.""Sama-
"Tidur yang nyenyak ya, Mbak. Malam ini aku ingin Mbak membayar semua yang Mbak lakukan pada Bang Adrian!"Senyuman jahat muncul dari bibir Diva. Setelah gagal membuat kakak perempuannya minum obat yang sudah ia tukar dengan obat tidur, dia berhasil mencampurkan obat tersebut dalam teh hangat yang di minum kakaknya beberapa saat yang lalu. Tujuan dia melakukan ini semua karena ingin menggunakan waktu tak berdaya kakaknya untuk menggoda suaminya.Jarum jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Diva gelisah karena belum juga mendapati abang iparnya pulang ke kamar tersebut. Berbagai rencana padahal dia sudah susun serapih mungkin agar bisa menjebak abang iparnya itu.[Bang, kamu dimana?]Diva tetap mengirimi pesan abang iparnya meski dia tahu nombor lelaki itu tidak aktif. Dia ingin menunjukan perhatian lebihnya agar abang iparnya lebih peka pada perasaannya ketika pesannya dibaca lelaki itu nanti.Tiga puluh menit setelahnya, Diva mendengar sebuah langkah kaki menaiki anak tangga. Dia
"Ya ampun, Bu. Kalau kita dapat jatah makanan kaya gini terus, gimana gisi kita terpenuhi!" protes Anisa yang jengkel karena setiap hari mendapat jatah makanan yang menurutnya jauh dari kata layak."Bawel, masih mending kita dapat jatah makanan geratis. Kamu tahu selama ini ibu kalau lapar korek-korek sampah cari makanan sisa.""Jatahku buat ibu saja, aku sama sekali enggak selera!""Kamu yakin? Nanti malem kamu kelaperan lagi loh kaya semalam sampai enggak bisa tidur!""Yakin!" ucap Anisa dengan raut wajah jengkel. Menurutnya lebih baik kelaparan daripada harus makan makanan yang tidak disukainya."Ya udah kalau gitu, ibu beneran habisin nih, ya!""Silahkan!"Dengan lahap wanita paroh baya itu menghabiskan makanan anaknya."Sampai kapan kita hidup gini terus ya, Bu. Penderitaan enggak ada habisnya. Mau hancurin Mbak Ola saja susahnya sampai harus dipenjara gini!""Kamu yang milih hidup susah. Coba waktu itu kamu nikmatin saja hidup dengan lelaki pilihan ibu, pasti sekarang kita hidup
"Sayang gimana keadaan Anisa di dalam, dia baik-baik saja kan?" tanya Ola saat Eric masuk dalam mobilnya."Sangat baik, saking baiknya keadaannya sampai-sampai dari awal aku jenguk dia sampai pulang tadi enggak habis-habisnya dia maki-maki kita berdua. Ini terakhir kalinya aku nurut permintaan kamu buat jenguk adik sablengmu itu, ya. Lain kali, aku beneran ogah nemuin dia lagi." balas panjang lebar Eric. Melihat wajah kesal suaminya Ola tertawa."Iya-iya, sayang. Ini pertama dan terakhir kalinya aku minta tolong kamu. Udah, wajah kamu enggak usah di tekuk gitu. Gantengnya ilang tau!" goda Ola sambil mencubit pipi suaminya."Habisnya adik kamu ngeselin banget. Di penjara bukannya berubah malah makin menjadi!""Memangnya ngomong apa saja dia tadi?" tanya Ola penasaran."Ada dech. Kamu enggak perlu tahu. Btw, kita jadi ke mall kan?" Eric mengalihkan pembicaraan karena dia tak mau istrinya tahu tentang ancaman Anisa beberapa saat lalu."Iya jadi, dong. Nenek kamu kan ultah. Enggak mungkin
"Sayang, bukannya kamu baru sembuh, ya. Kenapa kamu bersikeras untuk ikut ke acara ulang tahun Nenek? Kamu enggak takut sakitmu kambuh lagi?" tanya Adrian pada Renata. Sejak berhasil mendapatkan Adrian, Diva sudah berhenti memberi obat tidur pada Renata jadi keadaan Renata sudah mulai normal seperti biasanya."Aku segan sama Nenek kamu. Masa diacara pentingnya aku enggak bisa hadir."Adrian tersenyum getir, dalam hatinya masih saja menduga kalau istrinya masih punya perasaan lebih pada sepupunya. Adrian berpikir tujuan sebenarnya Renata ikut bukan semata-mata demi Neneknya melainkan demi bisa melihat Eric."Kalau gitu aku ajak Diva juga, ya. Kasian dia kalau sendirian di rumah."Adrian sengaja mengajak Diva karena dia tak mau merasa sakit hati melihat istrinya bertemu lelaki yang masih dicintainya. Adrian butuh penguat, dan satu-satunya yang bisa mengerti keadaannya sekarang hanya Diva."Kayaknya enggak perlu, deh. Besok pagi Diva ada kuliah, takutnya dia kecapaian karena pasti kita p
"Eric, Ola. Kalian enggak perlu bawa hadiah. Nenek enggak butuh apapun. Liat kalian semua mau kumpul disini saja Nenek sudah senang sekali!" ucap Nenek Eric, Rianti."Enggak apa-apa, Nek. Ini kan hari bahagia Nenek, masa kami kesini dengan tangan kosong. Selamat ulangtahun ya, Nek. Kami sekeluarga cuma bisa mendoakan semoga Nenek selalu sehat, di kasih umur yang panjang dan tentunya selalu dikasih kebahagiaan.""Terima kasih sudah doakan yang baik-baik untuk Nenek. Owh ya, Eric. Kamu perlu tahu, Nenek udah tua. Nenek sudah enggak butuh apapun. Satu saja yang buat Nenek bahagia untuk sekarang. Kehadiran kalian semua. Setelah hari ini Nenek berharap kalian lebih sering ngumpul di rumah ini. Kalian mau mengabulkan permintaan Nenek?""Pasti, Nek. Tapi Nenek janji dulu kalau Nenek berhenti berkebun. Nenek sudah tua, aku enggak mau Nenek sakit karena kecapaian." ucap Erik."Bener kata Eric, Bu. Ibu harusnya menikmati hidup, bukan menghabiskan waktu di kebun." sela Hani."Ibu berkebun kan cu
Hendrik, lelaki tampan berumur 35 tahun itu tampak marah sambil mengetuk sebuah kaca mobil yang beberapa saat lalu mengikuti mobil bos wanitanya. Kaca mobil diturunkan, lelaki yang ada di dalamnya sama sekali tak menyangkal tuduhan Hendrik saat itu.Ya, lelaki di dalam mobil tersebut ternyata adalah Roy. Dia sengaja tidak membalas kemarahan Hendrik melainkan mengajak bicara Hendrik saat itu. Hendrik di tawari sepuluh kali lipat uang yang Eric berikan pada Hendrik jika lelaki itu mau mengkhianati Eric dan berpihak pada Roy.Siapa yang tak tergiur dengan uang yang dijanjikan Roy, termasuk Hendrik. Namun selama ini tidak sekalipun dia mengkhianati majikan meski dibayar dengan bayaran sangat mahal. Lelaki itu lalu mengajak rekannya yang bernama Irvant untuk mengerjai Roy. Caranya dengan mengajak Renata dan pembantu rumah tangga di rumah Eric untuk bekerjasama melakukan skenario yang sudah direncanakan Roy."Kamu?"Roy menatap tajam kearah Hendrik, dia sama sekali tak menyangka lelaki tamp
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bisik Marvin tepat disebelah Eric."Kita sudah terkepung. Istri saya bisa dalam bahaya jika kita tetap mau melawan lelaki gila itu. Untuk sementara waktu kita ikuti saja perintah lelaki gila itu." Eric terlihat pasrah, dia belum menemukan jalan keluar dari masalah yang tengah mereka hadapi. Dia tak mau istri dan anak tirinya terluka sedikitpun karena kecerobohannya.Eric dan Marvin mengikuti arahan Roy untuk masuk dalam rumah Nayla. Disana Nayla dan ibunya juga sudah terikat. Ternyata Roy sudah curiga kalau Eric tahu tentangnya sejak Azam dan Marvin menemui lelaki itu diam-diam. Anak buah Roy ada dimana-mana jadi dengan mudah ia mengawasi gerak gerik orang yang ingin dia pantau.Semua sandra diikat, Roy tertawa puas melihat musuhnya berada di hadapannya tanpa berdaya."Jadi wanita ini yang buat Ayah saya masuk penjara. Saya ingin tahu apa spesialnya wanita ini sampai buat Ayah saya tergila-gila!" Roy mendekat kearah Ola. Seketika Emosi Eric melu
"Anda mau bawa saya kemana?" tanya Eric pada Marvin saat lelaki itu membawanya pergi."Ke suatu tempat yang pastinya membuat Anda terkejut!"Eric akhirnya diam, meski dia belum mengenal Marvin tapi entah kenapa dia langsung percaya begitu saja pada lelaki itu. "Rumah siapa ini?" tanya Eric setelah sampai di sebuah rumah yang kelihatannya seperti rumah kosong tak terawat. Tapi anehnya disana terparkir beberapa mobil mewah. Padahal lampu di rumah itu sama sekali tak menyala."Di dalam rumah itu ada kedua orang tua Renata. Mereka di sekap oleh seseorang.""A-apa?""Entah apa yang sudah Renata lakukan beberapa hari ini sama Anda dan keluarga Anda. Saya cuma ingin kasih tahu Anda saja kalau itu semua bukan kemauan Renata. Ada seseorang yang memaksanya melakukan itu!""Pak, tanpa diancam seseorang pun memang Renata selalu mengganggku keluarga saya. Jangan mengada-ngada dech!" ucap Eric sambil tertawa. Dia ingat betul betapa jahatnya Renata yang pura-pura koma demi bisa tetap memasukan Ola
"Doc, maaf. Saya ada perlu sebentar!"Saat hendak kembali ke ruangannya Eric di hadang oleh kakak lelaki Grecia. Dia ingin menyampaikan sesuatu pada Eric setelah selesai menjenguk adiknya di penjara."Dokter Eric, bisa bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin sampaikan pada Anda!" ucap lelaki yang bernama Azam tersebut."Ok, bicaralah. Saya ada waktu sekitar 30 menitan lagi!"Eric agak penasaran dengan wajah Azam yang menunjukan ketakutan saat hendak bicara."Kamu kenapa?" tanya Eric karena Azam tak langsung bicara."Sa-saya sebenernya takut mau bicara disini. Takut ada yang nguping pembicaraan kita!""Ok, kalau gitu kamu ikut ke ruanganku ya. Kita bicarakan disana saja!"Azam mengangguk kemudian mengikuti Eric menuju ruangannya."Sekarang katakan apa yang mau kamu sampaikan!" ucap Eric setelah menutup pintu ruangannya."Tadi saya menjenguk Grecia. Dia bilang anda dan Mbak Ola sedang dalam bahaya!" ucap Azam dengan suara lirih."Dalam bahaya?" Eric bertanya dan Azam mengangguk."Se
"Ric, kalau kamu sayang ibu. Tolong ceraikan Ola. Dia perempuan enggak bener Kamu harus jauhi wanita jahat seperti dia!"Seketika Ola dibuat lemas dengan ucapan ibu mertuanya. Wanita yang selama ini selalu mendukungnya tiba-tiba termakan fitnah dan berubah menjadi sangat membencinya."Saya akan selesaikan masalah ini secepatnya. Ibu jangan khawatir, ya. Sekarang ibu istirahat. Aku enggak mau penyakit ibu kambuh kalau ibu banyak pikiran."Ola salah paham dengan kalimat Eric barusan. Dia pikir Eric sama seperti Hani, terpengaruh dengan fitnah yang Renata berikan.Eric menarik tangan Ola ke luar kamar, jika biasanya Renata senang karena rencananya berhasil, kali ini dia merasa bersalah karena sudah membuat berantakan keluarga Eric."Renata, kalau Eric bercerai dengan Ola nanti. Ibu janji akan merestui kamu dan Eric."Renata pura-pura tersenyum. Dia sudah sadar, restu dari Hani saja tak cukup untuk membuat Eric jatuh lagi ke pelukannya. Eric begitu keras kepala. Lelaki itu pasti akan me
Jam menunjukan pukul 1 malam. Eric masih belum juga bisa memejamkan matanya. Dia terus mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. Dia ingin percaya dengan Ola namun dia bingung kenapa bisa bungkusan obat pencuci perut itu ada di meja rias istrinya kalau bukan wanita itu pelakunya.Eric menatap Ola yang sudah pulas tidur disampingnya. Ia kembali meyakinkan hatinya kalau Ola bukan orang jahat seperti apa yang ada di dalam pikirannya.Karena suntuk, Eric memutuskan untuk keluar kamar. Dia menuju dapur dan meneguk segelas air putih hangat untuk menetralkan perasaan kacaunya.Saat ingin kembali ke kamar, Eric berhenti sejenak karena mendengar suara isakan ibunya. Lelaki itu takut ibunya masih sakit jadi buru-buru mendatangi kamar ibunya."Bu, ini aku. Apa ibu baik-baik saja?" tanya Eric setelah mengetuk pintu. Ibunya tak merespon ucapan Eric, lelaki itu mencoba membuka pintu dan beruntungnya pintu kamar Hani memang tak terkunci."Bu, maaf. Aku tahu aku salah. Maaf sudah buat ibu sedih sep
"La, ada orang tua Adrian di ruang tamu. Mereka datang untuk bela sungkawa sekaligus meminta maaf karena pernah salah paham sama kamu!" Hani mendatangi kamar Ola. Setelah pemakaman Anisa selesai, Ola lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Memang Ola sangat membenci Anisa tapi kepergian Anisa yang terlalu mendadak dan penuh dengan misteri membuat wanita itu sangat syok."Tunggu, sebentar lagi saya turun untuk menemui mereka, Bu.""Kami tunggu di bawah, ya. Suamimu Eric juga ada disana!""Baik, Bu."Ola berganti baju sebelum turun. Dia juga sedikit memoles wajah agar tidak terlalu terlihat pucat."Maaf Tante, Om. Saya baru tahu kalian ada disini!" ucap Ola setelah menemui keluarga Adrian."Enggak apa-apa, Ola. Maaf ya kami baru tahu kabar kematian adik kamu jadi kami baru bisa datang," ucap Ayah Adrian."Enggak apa-apa, Om. Melihat kalian datang saja sudah buat kami senang." Ola bicara sembari tersenyum, tak ada dendam sama sekali terlihat di wajahnya."Begini, La. Kami sebe
[Kamu pikir dengan cara menyewa bodyguard, kamu bisa lepas dari pengawasanku?]Renata yang tengah makan tersedak karena membaca pesan dari Roy.[Aku tidak mau ikut campur dengan balas dendammu. Tolong jangan ganggu aku lagi!]Renata mengetik pesan dengan gemetar, meski baru mengenal Roy tapi dia tahu betapa jahatnya lelaki itu. Renata curiga, kecelakaan yang menimpa pengacaranya itu juga ulah Roy.[Tak ada siapapun yang berhak menolak tawaran kerjasamaku. Menolak berarti mati!]Renata tak melanjutkan makan malamnya. Dia berniat mematikan ponsel karena tak mau diganggu oleh Roy lagi. Namun sayangnya sebelum dia berhasil, satu lagi pesan masuk dari Roy. Lelaki itu mengirimkan sebuah gambar orang tua Renata yang sedang di sekap oleh lelaki itu. Renata marah bukan main dia langsung menelepon Roy. Malam ini juga Renata akhirnya menemui Roy di sebuah restoran. Mereka akhirnya sepakat melakukan kerjasama.Keesokan harinya, Renata mendapatkan kabar kalau adik Ola meninggal. Roy ternyata yang
"Bu, kamu lihat obat yang aku simpan kemarin enggak?" tanya Anisa sambil mengobrak-abrik lemari bajunya."Enggak, Nis. Kamu yang simpan kok malah tanya ibu?""Aku letak dalam lemari sini tapi kok enggak ada, ya? Aneh!"Anisa kembali mengecek isi lemarinya. Tapi dia masih juga tak mendapatkan obat yang ia cari."Jangan-jangan ada yang mencurinya, Nis!"Anisa dan ibunya saling berpandangan kemudian tatapan mereka beralih ke Grecia yang sedang pura-pura tak mendengar apapun."Grecia, kamu ambil obat dalam lemariku?""Obat apa?" tanya Grecia pura-pura tak tahu.Anisa gelagapan, dia tak mungkin menjawab jujur kalau obat itu adalah obat pencuci perut dengan dosis cukup tinggi. Dia pikir dengan cara itu dia bisa dibawa ke rumah sakit sehingga bisa melarikan diri tentunya di bantu oleh orang-orang Roy."Kamu jawab aja pertanyaanku, kamu tahu tidak?"Grecia dengan santainya menggelengkan kepalanya."Kamu enggak bohong kan?"Anisa tak percaya dengan jawaban Grecia."Buat apa aku bohong. Enggak