"Abim, kamu ini gimana sih? Udah Tante comblangin sama anak Tante, Vika yang cantik, eh malah milih janda, beranak satu pula."Sayup-sayup aku mendengar ucapan tamu yang baru saja masuk. Entah siapa aku tak tau karena suaranya terdengar asing."Emangnya kenapa kalau janda, Tante? Bukanya enak ya, udah paket lengkap dapat ibunya yang cantik plus anaknya yang lucu." Suara Mas Abim menjawab."Apa enaknya janda, bekas orang. Kan lebih baik sama Vika yang jelas-jelas masih gadis.""Udahlah Tante, kenapa sih maksain banget aku sama Vika. Dia itu udah aku anggap adik sendiri. Tante harus terima kalau saat ini aku sudah punya istri yang sudah jelas aku cintai!"Aku tersenyum mendengar jawaban suamiku ini. Baru kali ini ada orang di rumah ini yang kurang suka dengan kehadiranku karena yang kurasakan, semua anggota keluarga welcome dengan kehadiranku juga anakku.Tapi siapa wanita ini? Kenapa seolah dia juga berhak ikut campur dengan keputusan Abim menikahiku.Aku yang tengah mengecek perkemban
"Oh ini makanan dari luar ya? Restoran mana?" Tanya Tante Dewi sambil mengunyah."Enak ya, Tan? Beruntungnya aku punya istri yang pandai memasak," ucap Mas Abim.Uhuk... Uhuk..."Nih minumnya Tante!" Aku menyodorkan segelas air putih kepada Tante Dewi."Makanya kalo makan itu baca do'a dulu! Terus nggak usah buru-buru kaya lagi lomba makan aja.""Jadi ini masakan Nilam? Tau begitu nggak mau makan aku. Pasti cara masaknya nggak higenis.""Halah kamu ini sok-sokan. Lihat tuh piring kamu aja udah bersih kinclong, pake bilang nggak mau makan masakan Nilam segala. Bilang aja kamu udah kekenyangan saking menikmati masakan mantuku!"***"Jadi sebenarnya maksud kedatanganku kemari selain ingin mempererat tali silaturahmi kepada saudara tapi juga ingin meminta tolong," ucap Tante Dewi kepada Bunda."Meminta tolong apa, Wi?" Tanya Bunda."Hmn... Jadi gini, kamu tau sendiri kalau aku ini seorang single parent, nggak ada suami yang menafkahi. Aku bisa makan setiap hari hanya bergantung dari gaji
"Eh Abim baru pulang kerja ya? Pasti capek, sini biar aku pijitin!"Mendengar deru mobil memasuki garasi, Vika segera menyambut sang pemilik mobil di depan pintu. Dasar tak tau malu, berani-beraninya dia menggoda lelaki yang jelas-jelas istri sahnya masih disini.Beruntungnya suamiku ini bukanlah tipe lelaki yang mudah tergoda, apalagi dengan makhluk seperti Vika. Dia memilih berlalu, mengabaikan Vika dan berjalan kearahku yang sedang menyuapi makan Arsha."Pintarnya anak ayah makannya habis banyak ya? Emangnya jagoan ayah makan sama apa?" Tanya Mas Abim."Asa makan ayam goreng sama sayur sop," jawab anakku."Wah enak ya, Ayah jadi pengen.""Enak dong, kan ibu yang masak," ucap Arsha sambil mengacungkan jempol tanganya."Bim kok kamu cuekin aku sih? Kan niatku baik, itu tandanya aku peduli sama kamu. Nggak kaya istrimu yang lebih memilih anaknya dibanding menyambut kepulangan suaminya." Vika datang dengan wajah masamnya."Anak Ayah tadi main apa aja sama Ibu?"Mas Abim abai terhadap V
"Dek udah belum siap-siapnya?""Sebentar, Mas! Tunggu aku pake lipstik sebentar, biar nggak kelihatan pucat.""Yaudah aku keluar duluan, mau manasin mobil. Yuk anak ayah tunggu di mobil!" Ajak Mas Abim kepada Arsha yang sudah rapi dan wangi itu.Rencananya akhir pekan ini akan kami habiskan untuk liburan bersama keluarga. Tak perlu pergi ke tempat yang jauh, cukup pergi ke pantai yang masih berlokasi di kota ini."Eh kalian pagi-pagi mau pergi kemana?" Tanya Tante Dewi dengan muka bantal khas orang bangun tidur, padahal arloji saat ini sudah menunjukkan pukul sembilan pagi."Kamu ini kalau bangun tidur mbok ya, cuci muka dulu terus gosok gigi! Mulut kamu bau bangkai tau," sungut Bunda sambil menutup hidung dengan jari telunjuknya."Halah bau mulutnya orang bangun tidur itu wajar. Kalian mau pergi kemana sih? Masih pagi juga.""Pagi apanya? Nggak lihat kamu, kalau matahari udah ada ditengah-tengah. Mbok kamu itu sadar, udah tua perbanyak ibadah! Bangun yang pagi terus sholat subuh!""I
"Makanya kalau diajak makan itu jangan aji mumpung! Mentang-mentang gratisan jadi nggak kira-kira makannya, kaya seminggu nggak makan," sungut Bunda."Halah bilang aja kamu nggak ikhlas kan waktu traktir aku?" Ucap Tante Dewi."Kamu ini benar-benar nggak bisa dibaikin ya, Wi. Semakin keluargaku baik sama kamu, semakin nggak tau diri sikapmu itu!"Kulihat wajah Tante Dewi pucat pasi. Sudah dipastikan nyalinya menciut mendengar Bunda berbicara dengan oktaf yang lebih tinggi dari biasanya.Sesabar-sabarnya orang pasti ada titik dimana orang tersebut tak lagi bisa mengontrol emosinya. Mungkin itu yang saat ini Bunda rasakan.Bibir Tante Dewi terkatup seperti ingin mengeluarkan suara, tapi tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Ia hanya tertunduk.Tak menyangka Tante Dewi yang biasanya pandai menyanggah ucapan lawan bicaranya kini kini hanya diam seperti kerupuk yang disiram dengan air."Sabar, Bunda! Jangan emosi, nggak baik buat kesehatan kamu sendiri!" Ayah menenangkan Bunda
Part 30❤️❤️❤️Prak...Aku melempar sepatu rusak ku itu dihadapan Vika yang tengah asyik menonton sinetron favoritnya."Apaan sih kamu, nggak ada sopan santun sama sekali, main lempar barang di depan orang." Vika terlihat kaget dan kesal, tapi bodo amat kali ini aku lebih kesal dengannya."Lebih nggak sopan mana sama orang yang main masuk ke kamar orang lain dan mencuri disana?""Apa maksud kamu? Kamu menuduhku mencuri? Punya bukti apa kamu?" Tanya Vika dengan ekspresi yang dibuat tenang tapi aku tau ada sedikit raut tegang di wajahnya."Sepatu ini cukup jadi bukti. Kamu mencurinya dari kamarku lalu merusaknya, Kan?""Aduh Nilam..., Nilam. Sepatu itu nggak bisa ngomong, jadi mana bisa membuktikan kalau aku pencurinya." Vika tersenyum sinis.Iya aku tau jika sepatu ini tak bisa membuktikan jika Vika bukan pencurinya. Sayangnya aku tak bodoh, bukti yang sebenarnya sudah aku kantongi."Eh ini ada apa kok ribut-ribut?" Tante Dewi mendekat."Ini Ma, masak Nilam menuduhku mencuri sepatu but
Part 31❤️❤️❤️"Oke jika kalian ingin kami pergi dari rumah ini, tapi sebelum pergi beri aku uang untuk modal usaha!" Ucap Tante Dewi.Entah apa sebutan yang cocok disematkan untuk Tante Dewi, bolehkah aku menyebutnya dengan si muka tembok?Kesalahan yang ia perbuat tak lantas membuatnya merasa bersalah justru dengan tanpa malu meminta uang kepada orang yang dia kecewakan.Kulihat Bunda menghembus nafas dengan kasar, mungkin untuk menetralkan emosinya."Apa kamu bilang? Minta uang? Masih berani kamu minta uang dariku?" Tanya Bunda."Apanya yang salah sih? Wajarlah kalau aku minta uang darimu, karena kamu udah ngusir kami, jadi aku sama anakku perlu uang untuk bertahan hidup diluar sana," ucap Tante Dewi dengan entengnya."Oke kalau kamu mau uang dariku, aku kasih."Aku tercengang mendengar keputusan Bunda, kenapa dia bisa sebaik itu."Nah gitu dong Mbak, toh uangmu banyak. Aku juga minta sedikit kok cuma 25 juta aja. Aku yakin uang segitu nggak akan mempengaruhi kekayaan keluargamu."
"Kok kamu memuji mantan istrimu di depanku sih, Mas? Jangan-jangan kamu masih menaruh hati ya sama mantanmu ini?" Tanya Shela penuh selidik."Ya nggak mungkinlah aku masih menaruh hati sama Nilam, lagipula dia sudah menikah dan aku juga sudah punya kamu." Mas Danu menjelaskan."Iya aku tau kalau kalian sudah punya pasangan masing-masing, tapi tak menutup kemungkinan kalau kamu masih ada rasa kan sama dia?" Shela menunjuk kearahku.Sekarang ini posisiku layaknya orang ketiga yang sedang menonton drama sepasang suami-istri.Sebenarnya aku ingin beranjak dari sini tapi takut Mas Abim kesusahan mencariku. Lagian Mas Abim ngapain aja sih di toilet kok lama banget?"Udahlah Shela, ini tempat umum. Malu ribut-ribut disini, diliatin orang tau.""Loh kamu kok malah nyalahin aku sih? Jelas-jelas kamu yang salah karena masih mengharapkan mantan istrimu!""Astaga, Shela! Kapan aku bilang kalau aku masih mengharapkan Nilam? Nggak pernah kan? Kamunya aja yang selalu negatif thinking sama aku.""Yau
"Aku datang kesini mau pamit sama kamu juga Arsha," ucap Mas Danu kepadaku.Ternyata itu yang membuat dia tiba-tiba datang ke rumahku, dia ingin berpamitan."Memangnya kamu mau pergi kemana, Mas?" Tanyaku.Aku menangkap ekspresi sedih dari wajahnya, dia menghela nafasnya."Perusahaan yang aku kelola akhir-akhir ini mengalami kerugian karena ditipu oleh client. Sebelum bangkrut dan aku rugi besar, aku memutuskan untuk menjualnya saja. Oleh karena itu, aku ingin pindah ke kampung mama dulu, menetap dan memulai usaha disana.""Aku turut prihatin dengan apa yang terjadi, Mas. Kudoakan semoga hidupmu bisa lebih baik disana.""Terima kasih, Nilam. Aku juga minta maaf atas semua kesalahan yang aku perbuat kepadamu juga kepada Arsha, aku sadar, aku bukanlah ayah yang baik untuknya. Tapi aku senang karena sekarang ada Abim yang memperlakukannya lebih baik daripada aku ayah kandungnya.""Aku sudah memaafkan semua yang telah berlalu, Mas, dan aku pastikan Arsha tidak akan pernah membenci papanya
"Oh iya aku ingat. Sandra... Sandra yang dulu giginya dipagar, rambutnya dikepang dua terus kaca matanya besar bulat itu kan?" Tanya Mas Abim.Aku hampir saja melepas tawa mendengar penuturan Mas Abim barusan."Ihh... Kok yang diinget yang itu sih? Bukannya yang baik-baik malah jeleknya aku yang kamu ingat." Sandra terlihat kesal."Maaf, tapi dulu kamu kaya gitu kan?" Tanya Mas Abim."Iya, iya, dulu aku emang cupu, item, dekil. Tapi sekarang aku sudah cantik kan?" Tanya Sandra dengan percaya dirinya.Ya, aku akui Sandra memang cantik."Cantik itu relatif, dan menurutku kecantikan seorang wanita dilihat dari hatinya, seperti istriku ini contohnya." Mas Abim memujiku seraya tersenyum kearahku hingga membuatku tersipu."Ini istri kamu? Nggak salah kamu pilih istri?" Tanya Sandra dengan nada bicara seakan mengejekku."Memangnya apa yang salah? Dia istri yang cantik fisiknya juga baik hatinya, tentu saja aku tak salah pilih istri," ucap Mas Abim."Ya lihat aja penampilannya, kolot banget.
"Oh iya aku ingat. Sandra... Sandra yang dulu giginya dipagar, rambutnya dikepang dua terus kaca matanya besar bulat itu kan?" Tanya Mas Abim.Aku hampir saja melepas tawa mendengar penuturan Mas Abim barusan."Ihh... Kok yang diinget yang itu sih? Bukannya yang baik-baik malah jeleknya aku yang kamu ingat." Sandra terlihat kesal."Maaf, tapi dulu kamu kaya gitu kan?" Tanya Mas Abim."Iya, iya, dulu aku emang cupu, item, dekil. Tapi sekarang aku sudah cantik kan?" Tanya Sandra dengan percaya dirinya.Ya, aku akui Sandra memang cantik."Cantik itu relatif, dan menurutku kecantikan seorang wanita dilihat dari hatinya, seperti istriku ini contohnya." Mas Abim memujiku seraya tersenyum kearahku hingga membuatku tersipu."Ini istri kamu? Nggak salah kamu pilih istri?" Tanya Sandra dengan nada bicara seakan mengejekku."Memangnya apa yang salah? Dia istri yang cantik fisiknya juga baik hatinya, tentu saja aku tak salah pilih istri," ucap Mas Abim."Ya lihat aja penampilannya, kolot banget.
"Kok kamu memuji mantan istrimu di depanku sih, Mas? Jangan-jangan kamu masih menaruh hati ya sama mantanmu ini?" Tanya Shela penuh selidik."Ya nggak mungkinlah aku masih menaruh hati sama Nilam, lagipula dia sudah menikah dan aku juga sudah punya kamu." Mas Danu menjelaskan."Iya aku tau kalau kalian sudah punya pasangan masing-masing, tapi tak menutup kemungkinan kalau kamu masih ada rasa kan sama dia?" Shela menunjuk kearahku.Sekarang ini posisiku layaknya orang ketiga yang sedang menonton drama sepasang suami-istri.Sebenarnya aku ingin beranjak dari sini tapi takut Mas Abim kesusahan mencariku. Lagian Mas Abim ngapain aja sih di toilet kok lama banget?"Udahlah Shela, ini tempat umum. Malu ribut-ribut disini, diliatin orang tau.""Loh kamu kok malah nyalahin aku sih? Jelas-jelas kamu yang salah karena masih mengharapkan mantan istrimu!""Astaga, Shela! Kapan aku bilang kalau aku masih mengharapkan Nilam? Nggak pernah kan? Kamunya aja yang selalu negatif thinking sama aku.""Yau
Part 31❤️❤️❤️"Oke jika kalian ingin kami pergi dari rumah ini, tapi sebelum pergi beri aku uang untuk modal usaha!" Ucap Tante Dewi.Entah apa sebutan yang cocok disematkan untuk Tante Dewi, bolehkah aku menyebutnya dengan si muka tembok?Kesalahan yang ia perbuat tak lantas membuatnya merasa bersalah justru dengan tanpa malu meminta uang kepada orang yang dia kecewakan.Kulihat Bunda menghembus nafas dengan kasar, mungkin untuk menetralkan emosinya."Apa kamu bilang? Minta uang? Masih berani kamu minta uang dariku?" Tanya Bunda."Apanya yang salah sih? Wajarlah kalau aku minta uang darimu, karena kamu udah ngusir kami, jadi aku sama anakku perlu uang untuk bertahan hidup diluar sana," ucap Tante Dewi dengan entengnya."Oke kalau kamu mau uang dariku, aku kasih."Aku tercengang mendengar keputusan Bunda, kenapa dia bisa sebaik itu."Nah gitu dong Mbak, toh uangmu banyak. Aku juga minta sedikit kok cuma 25 juta aja. Aku yakin uang segitu nggak akan mempengaruhi kekayaan keluargamu."
Part 30❤️❤️❤️Prak...Aku melempar sepatu rusak ku itu dihadapan Vika yang tengah asyik menonton sinetron favoritnya."Apaan sih kamu, nggak ada sopan santun sama sekali, main lempar barang di depan orang." Vika terlihat kaget dan kesal, tapi bodo amat kali ini aku lebih kesal dengannya."Lebih nggak sopan mana sama orang yang main masuk ke kamar orang lain dan mencuri disana?""Apa maksud kamu? Kamu menuduhku mencuri? Punya bukti apa kamu?" Tanya Vika dengan ekspresi yang dibuat tenang tapi aku tau ada sedikit raut tegang di wajahnya."Sepatu ini cukup jadi bukti. Kamu mencurinya dari kamarku lalu merusaknya, Kan?""Aduh Nilam..., Nilam. Sepatu itu nggak bisa ngomong, jadi mana bisa membuktikan kalau aku pencurinya." Vika tersenyum sinis.Iya aku tau jika sepatu ini tak bisa membuktikan jika Vika bukan pencurinya. Sayangnya aku tak bodoh, bukti yang sebenarnya sudah aku kantongi."Eh ini ada apa kok ribut-ribut?" Tante Dewi mendekat."Ini Ma, masak Nilam menuduhku mencuri sepatu but
"Makanya kalau diajak makan itu jangan aji mumpung! Mentang-mentang gratisan jadi nggak kira-kira makannya, kaya seminggu nggak makan," sungut Bunda."Halah bilang aja kamu nggak ikhlas kan waktu traktir aku?" Ucap Tante Dewi."Kamu ini benar-benar nggak bisa dibaikin ya, Wi. Semakin keluargaku baik sama kamu, semakin nggak tau diri sikapmu itu!"Kulihat wajah Tante Dewi pucat pasi. Sudah dipastikan nyalinya menciut mendengar Bunda berbicara dengan oktaf yang lebih tinggi dari biasanya.Sesabar-sabarnya orang pasti ada titik dimana orang tersebut tak lagi bisa mengontrol emosinya. Mungkin itu yang saat ini Bunda rasakan.Bibir Tante Dewi terkatup seperti ingin mengeluarkan suara, tapi tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Ia hanya tertunduk.Tak menyangka Tante Dewi yang biasanya pandai menyanggah ucapan lawan bicaranya kini kini hanya diam seperti kerupuk yang disiram dengan air."Sabar, Bunda! Jangan emosi, nggak baik buat kesehatan kamu sendiri!" Ayah menenangkan Bunda
"Dek udah belum siap-siapnya?""Sebentar, Mas! Tunggu aku pake lipstik sebentar, biar nggak kelihatan pucat.""Yaudah aku keluar duluan, mau manasin mobil. Yuk anak ayah tunggu di mobil!" Ajak Mas Abim kepada Arsha yang sudah rapi dan wangi itu.Rencananya akhir pekan ini akan kami habiskan untuk liburan bersama keluarga. Tak perlu pergi ke tempat yang jauh, cukup pergi ke pantai yang masih berlokasi di kota ini."Eh kalian pagi-pagi mau pergi kemana?" Tanya Tante Dewi dengan muka bantal khas orang bangun tidur, padahal arloji saat ini sudah menunjukkan pukul sembilan pagi."Kamu ini kalau bangun tidur mbok ya, cuci muka dulu terus gosok gigi! Mulut kamu bau bangkai tau," sungut Bunda sambil menutup hidung dengan jari telunjuknya."Halah bau mulutnya orang bangun tidur itu wajar. Kalian mau pergi kemana sih? Masih pagi juga.""Pagi apanya? Nggak lihat kamu, kalau matahari udah ada ditengah-tengah. Mbok kamu itu sadar, udah tua perbanyak ibadah! Bangun yang pagi terus sholat subuh!""I
"Eh Abim baru pulang kerja ya? Pasti capek, sini biar aku pijitin!"Mendengar deru mobil memasuki garasi, Vika segera menyambut sang pemilik mobil di depan pintu. Dasar tak tau malu, berani-beraninya dia menggoda lelaki yang jelas-jelas istri sahnya masih disini.Beruntungnya suamiku ini bukanlah tipe lelaki yang mudah tergoda, apalagi dengan makhluk seperti Vika. Dia memilih berlalu, mengabaikan Vika dan berjalan kearahku yang sedang menyuapi makan Arsha."Pintarnya anak ayah makannya habis banyak ya? Emangnya jagoan ayah makan sama apa?" Tanya Mas Abim."Asa makan ayam goreng sama sayur sop," jawab anakku."Wah enak ya, Ayah jadi pengen.""Enak dong, kan ibu yang masak," ucap Arsha sambil mengacungkan jempol tanganya."Bim kok kamu cuekin aku sih? Kan niatku baik, itu tandanya aku peduli sama kamu. Nggak kaya istrimu yang lebih memilih anaknya dibanding menyambut kepulangan suaminya." Vika datang dengan wajah masamnya."Anak Ayah tadi main apa aja sama Ibu?"Mas Abim abai terhadap V