“Hendra, dua agenda berikutnya bisa kamu tangani?” tanya Angga pada Hendra. “Bisa saja, pak. Sebaiknya jika tidak dapat menemuinya bapak menghubunginya dahulu. Mereka sangat menjaga kesopanan dalam berbisnis.” Jelas Hendra. Aku menintanya menghubungi sekarang untuk meminta maaf. Sekalian pesankan tiket ke Jakarta malam ini. Sepertinya aku memutuskan kembali ke Jakarta. Mas Angga sudah dalam perjalanan ke Jakarta. Selama di pesawat pikirannya tak tenang. Alisha juga sudah tak menghubunginya lagi. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa pada Arjuna. *** “Oma, Alisha bawa Arjuna ke rumah sakit saja ya. Panasnya tidak turun-turun. Semakin mengigau juga. Alisha takut Oma.” Oma meminta sopir menyiapkan mobil. Mereka akan berangkat ke rumah sakit membawa Arjuna. Sekarang sudah pukul satu malam. Saat aku akan masuk ke dalam mobil sebuah mobil berhenti dan turun sosok yang aku kenal. “Mas Angga.” Bukannya pekerjaannya banyak di sana. Mengapa dia pulang? “Mau di bawa ke masa Alisha?”
“Tak perlu menjawab sekarang. Mas hanya merasa jika menunggu hingga tiga pekan ke depan itu terlalu lama.” Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk walau tak yakin apakah bisa memenuhinya atau tidak. Aku bangun dan kembali duduk di samping Arjuna yang masih tertidur. “Sudah hampir pukul delapan, Sha. Mau ke kantor? Kalau iya biar mas saja yang menjaga Arjuna.” “Tadi pagi Dania sudah aku kabari. Kemungkinan hari ini tidak ke kantor. Tapi nanti setelah makan siang ada rapat. Dania masih mencoba melakukan penjadwalan ulang. Aku masih menunggu kabar darinya.” Jawabku menjelaskan. Paling tidak, jika nanti Arjuna bisa pulang siang ini. Aku akan ke kantor setelah mengantar Arjuna pulang. Rapat bisa dimulai dan aku akan menyusul secepatnya. Dania sudah mengabarkan jika rapat siang ini tidak bisa dijadwal ulang karena dari pihak Rumah Sakit Bhaskara akan dihadiri oleh direktur utama yang baru. “Mas, rapat siang nanti tetap berjalan. Nanti jika Arjuna pulang, aku minta tolong mas menema
“Arjuna, Papa antar bunda dahulu ke kantor ya. Papa nanti langsung kembali. Kalau mengantuk Arjuna bisa tidur dahulu.” Kulihat Arjuna mengangguk. Aku naik ke kamar untuk berganti pakaian. Tak lama turun kembali dengan blazer cream dan tas dengan warna senada. Aku pamit dan menyalami Oma dan Nenek. Mencium pipi gembul Arjuna yang membalas mencium pipiku. Mas Angga juga pamit pada Oma dan Nenek. Serta melakukan tos dengan Arjuna. Arjuna tertawa senang dan melambaikan tangannya pada kami. “Papa, hati-hati ya. Bunda jangan cemberut terus sama Papa ya.” Aku memandang sekilas Mas Angga yang tersenyum mendengar ucapan jagoannya. Kami berjalan menuju mobil yang sudah disiapkan sopir. Mas Angga mengambil kunci dari sopir dan melangkah ke pintu sebelah. Sopir membukakan pintu samping kemudi. Setelah aku naik pintu ditutupnya. Tak lama mesin menyala dan kami mulai berangkat. Aku menghubungi Dania yang menjawab jika Pak Andi dan tim sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Aku memint
“Oma, kami bingung untuk menjawab beberapa keinginan dan pertanyaan Arjuna belakangan ini,” Mas Angga memberanikan diri memulainya. Oma dan bunda saling berpandangan, masih belum memahami arah pembicaraan ini. Aku juga belum bisa menyampaikannya menunggu Mas Angga melanjutkan ucapannya. “Arjuna meminta adik perempuan. Menurut oma bagaimana seharusnya kami menjawabnya? Arjuna pasti belum memahami sepenuhnya.” Oma tersenyum mendengarnya. Oma sesaat melempar pandangan pada bunda yang duduk di sampingnya. Bunda hanya terdiam dan menarik napas dalam. “Angga, oma bukan mengajari Arjuna yang tidak baik. Oma hanya ingin kalian berdua berdamai dengan hati kalian. Oma tahu almarhum Tyo adalah putra oma satu-satunya. Kehadiran Arjuna seakan menggantikannya dengan generasi yang berbeda.” Oma menarik nafas sesaat sebelum melanjutkan ucapannya. Oma berjalan ke dalam ruang kerja dan kembali dengan membawa dua buah foto. Diletakkannya foto tersebut di atas meja. “Angga, oma tahu sedalam ap
“Jadi kalian belum menikah?” tanya Adrian penasaran. “Doakan ya, Alisha masih belum bisa menerimaku.” Adrian memandang tak percaya, pemilik Anugerah Aksara masih ditolak oleh Alisha. Bagaimana jika nanti aku juga menyatakan perasaanku. Aku meminta pemilik ShaBra yang hadir pada rapat kemarin karena aku ingin melihat Alisha. Selama ini aku hanya bisa memandangnya melalui foto di media sosial saat dia memenangkan beberapa lomba di Paris. Setelah sekian lama menanti saat yang tepat aku harus bersaing kembali dengan Angga. Dulu saat Sekolah Menengah Atas (SMA) aku mengalahkannya mendapatkan gadis yang sama-sama kami sukai. Walau aku akhirnya menikahi mama Ryan bukan gadis yang kami rebutkan. Alisha menghubungi, menanyakan apakah kami sudah selesai makan malamnya? Nanti mau makan lagi di rumah atau tidak, jika mau akan disiapkan. “Arjuna, bunda tanya nanti mau makan lagi di rumah tidak?” tanyaku pada Arjuna. “Tidak Papa, aku sudah penuh. Tidak muat lagi.” “Oke.” Kusampaika
“Kamu bilang apa sama Mas Angga?” tanyaku pelan agar tak terdengar tamu di samping kami. Dania menggeleng, dia menunjukkan HP yang tak mengirim pesan apa pun. Namun dia teringat foto yang tadi diambilnya sesaat setelah akad telah diunggah di statusnya. Dania mengecek siapa saja yang sudah melihatnya. Ada nama Pak Angga di sana. Ditunjukkannya pada Alisha jika dia melihat foto di statusnya. Dania meminta maaf dan akan menghapus foto itu. Aku mencegahnya. Biarkan saja Dania jika dihapus malah menimbulkan kecurigaan. Aku membalas pesan Mas Angga, bahwa aku menangis bahagia karena sahabatku menemukan kebahagiaannya. Setelah rangkaian akad selesai, tamu undangan dipersilakan menikmati hidangan yang disediakan. Aku dan Dania mencari makanan yang ringan namun mengenyangkan. Saat mengambil salad, seseorang menepuk bahuku. “Alisha... benar kan?” Aku berbalik dan mengenali jika orang yang menepuk bahuku tak lain Adrian, pengusaha muda pemilik Bhaskara. Aku mencoba tersenyum padanya sam
Setelah turun dari pelaminan aku mencari Dania. Aku akan mengajaknya kembali ke kantor. Aku merasa gerah di sini, entah karena suasananya atau karena ucapan Satria padaku.“Dania, minta sopir bersiap, aku akan kembali ke kantor. Nanti kalau kamu mau pulang lebih cepat silakan. Hari ini sudah izin kan?”Dania menghubungi sopir agar bersiap di pintu masuk. Ibu Alisha akan kembali ke kantor. Setelah menghubungi sopir mereka pamit pada Shafira dan Fathir yang masih mengobrol.“Sampaikan ya pada Satria dan Shinta kami mau kembali ke kantor. Besok malam kami akan datang lagi, jangan bosan,” ucap Dania pada Shafira.Shafira mengangguk dan berjanji akan menyampaikan pada Satria dan Shinta. Aku langsung melangkah saat melihat Adrian berjalan ke arah kami.“Ayo Dania, sopirnya sudah menunggu,” ucapku sambil menarik tangannya.Dania melambaikan tangganya dan berjalan ke arah pintu gerbang masjid. Adrian yang kalah langkah dari kami akhirnya berhenti di dekat Shafira menanyakan mengapa mereka perg
Sebelum Mas Angga kembali dari masjid, Arjuna sudah terbangun. Aku menemaninya di kamar agar saat terbangun Arjuna tidak kaget. Setelah Arjuna terbangun, dia duduk di kasur dan melihat sekeliling.“Bunda, ini kamar siapa?”“Ini kamar bunda sayang. Jika bunda lelah bekerja, maka bunda akan istirahat di sini.”“Papa Angga juga?”“Papa Angga juga. Tapi di kantor Papa dong. Ini kan kantor bunda.”Suara pintu dibuka, dan kami menoleh ke arah pintu. Mas Angga sudah membawa makanan ringan yang kuminta. Arjuna langsung turun dari tempat tidur dan menyambutnya.“Papa Angga... Papa dari mana?”Mas Angga mengangkat kantong yang berisi makanan rinan kesukaan Arjuna juga minuman ringan. Diambilnya dan diberikan pada Arjuna. Segelas mochaccino diberikan pada Alisha.Arjuna langsung meminumnya. Aku tersenyum melihat pipi gembulnya bergerak saat meminum dari sedotan. Mas Angga juga membeli kopi panas untuknya sendiri. Aku mengajak mereka melanjutkan minumnya di sofa.***Angga meminta makan siang di l
Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di
Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb
Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha
Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku
“Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha
Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan
Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga
Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k