“Mamamu sama Thea masih nemani bu Yanti.” Qai masuk ke dalam kamar Dandi, lalu berdiri di belakang pria itu. Dandi tengah duduk diam di depan laptop dan Qai memicing saat melihat apa yang pria itu lakukan. “Dan, mau kamu apakan daftar orang-orang pemegang saham Glory?”“Redaksi Angkasa sudah dikondisikan, Qai?” tanya Dandi masih harus bersabar hingga pagi hari, untuk penerbangannya ke Jakarta. Untuk masalah keluarga Rumi, terutama dengan Yanti yang semakin tertekan, Dandi telah menyerahkan urusan itu pada sang mama. Lebih baik ia berkonsentrasi pada hal lain, agar fokusnya tidak terpecah.“Sudah.” Melihat Dandi tidak berminat menjawab pertanyaannya, Qai memilih mundur lalu duduk di tepi ranjang. Sampai detik ini, Qai sama sekali tidak bisa menebak arah pemikiran Dandi. Meskipun terlihat tenang, tetapi Qai yakin sekali, Dandi saat ini tengah kalut memikirkan istrinya.Kabar terakhir yang diterima, sopir taksi yang mengantarkan Rumi mengatakan, gadis itu pergi ke Surabaya dengan menggun
“Bu Hera …” Rafa buru-buru menghampiri Hera yang baru saja terlihat keluar dari lift. Meskipun mereka berada dalam satu gedung, tetapi seharian ini Rafa sama sekali tidak bertemu dengan wanita itu. “Saya minta waktunya sebentar.”Tanpa menghentikan langkahnya, Hera terus berjalan dengan elegan menuju ruangannya. Sekilas, ia sempat menggulirkan bola matanya karena sikap Rafa yang mendadak berubah formal.“Mas, nggak perlu formal seperti itu.” Hera menghela. Menoleh sebentar pada Rafa, yang sedikit terlihat kusut. “Dan jangan panggil saya dengan sebutan “ibu”.”“Ini kantor, jad—”“Please.” Hera berhenti dan kembali menghela ketika menatap Rafa. “Saya nggak masalah kalau karyawan lain manggil dengan sebutan itu, tapi kita suami istri dan— maaf, maksud saya kita … kita sudah seperti keluarga, jadi nggak usah seperti itu.” Entah apa yang ada di benak Hera, sampai-sampai mulutnya itu salah berucap.Meskipun pernikahan mereka hanya berjalan seumur jagung, tetapi Hera sempat merasakan perhati
“Ck! Apa kamu nggak punya waktu lain untuk berkunjung, Dan!” Masih dengan wajah mengantuknya, Jaya mengomel sepanjang jalan menuju ruang kerjanya. Bagaimana Jaya tidak kesal, jika Dandi datang ke rumah dan mengetuk pintu kamarnya pada jam 12 malam. Padahal, Dandi bisa datang menemuinya besok pagi seperti biasanya dan itu tinggal beberapa jam lagi.“Aku lagi malas ketemu orang, Om!” Semarah apa pun Jaya padanya, Dandi tahu pria itu tetap menerimanya dalam situasi apa pun.“Ya, tapi bukan jam 12 juga, Dan!” seru Jaya sambil membuka pintu ruang kerjanya dan masuk lebih dulu. “Tutup pintunya!” titah Jaya kemudian, agar tidak ada seorang pun yang mungkin saja menguping pembicaraan mereka. Jaya mengerti dengan kondisi Dandi saat ini, tetapi tetap saja ada rasa kesal ketika tidur nyenyaknya diganggu seperti sekarang. “Akhirnya, muncul juga kamu!”Dengan perlahan, Jaya duduk pada sofa tunggal dan bersandar. Ia menatap wajah lelah Dandi yang tidak biasa. Sepenat-penatnya Dandi dalam bekerja, k
Entah sudah berapa lama Dandi duduk di balkon kamar, seraya menatap meja teras. Tempat di mana dirinya dan Rumi melakukan candle light dinner tempo hari. Sangat sederhana, tetapi semua benar-benar membekas penuh makna.Yang membuat Dandi semakin terkesan ialah, gadis itu bahkan tidak meminta pergi ke restoran mewah untuk melakukan makan malam romantis. Rumi memasak sendiri semua menu pada malam itu dan mereka benar-benar menghabiskan waktu yang tidak akan bisa terlupakan.Jika dilihat ke belakang, gadis seperti Rumi bahkan bukan tipe Dandi sama sekali. Dandi lebih menyukai wanita tegas, elegan, punya pendirian, dan tidak suka berbasa-basi. Tidak seperti Rumi yang kalem, sedikit manja, tidak percaya diri, dan mudah goyah. Dipengaruhi sedikit saja, Rumi pasti akan bingung dalam mengambil keputusannya.Namun, tanpa Dandi sadari, hatinya justru terperangkap pada Rumi.“Malam, Pak Bakri.” Dandi segera mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya. “Sudah siap semuanya?”“Sudah, dan kita bis
“Kenapa tiba-tiba kalian semua sepakat untuk menjual saham secara bersamaan?” Hera memang tidak bisa mencegah hal tersebut terjadi, tetapi, paling tidak ia harus mengetahui alasan yang keluar dari mulut mereka.“Bu Hera.” Bakri lebih dulu angkat bicara. “Apa Ibu sadar kalau perusahaan ini semakin melenceng jauh dari protap awal? Kita di sini semakin tidak bebas menyuarakan pendapat. Satu contohnya, kenapa pemberitaan masalah skandal pesaing kita harus di cut? Bahkan, saya juga sempat mendengar, siapa pun yang berani menaikkan berita itu, akan langsung dipecat? Apa maksud semua ini?”“Saya punya pertimbangan sendiri dengan masalah itu, Pak Bakri,” jawab Hera tetap tenang.“Mungkin itu juga yang menjadi salah satu alasan rekan-rekan kita di sini mau melepas sahamnya,” lanjut Bakri sudah memperhitungkan semua hal dengan seksama. Selama ini, Bakri tahu benar kinerja Hera tanpa cela. Namun, untuk menjadi seorang pemimpin, putri almarhum Lingga itu belum memiliki banyak pengalaman. “Bu Hera
“Apa-apaan ini?” Ketika melihat Alpha berdebat dengan seseorang dari kejauhan, Rafa bergegas menghampiri. Terlebih ketika ia melihat Rumi, kemudian seorang pria yang tiba-tiba datang lebih dulu melerai keduanya.“Seperti yang kamu lihat, Raf.” Alpha memutar balik keadaan, ketika pria yang mengunci tangannya lengah dengan kehadiran Rafa. Ia menginjak kaki pria itu dengan keras, kemudian menyikut dan berbalik menjauh. “Panggilkan security.”Melihat Rumi yang kebingungan, Alpha dengan gesit kembali bisa meraih lengan gadis itu. “Mau pergi ke mana kamu!”Bukannya memanggil keamanan seperti yang diminta Alpha, Rafa justru memangkas jarak lalu menarik tangan pria itu agar terlepas dengan Rumi. “Jangan coba-coba—”“Ini semua bukan urusanmu, Raf!” Alpha mendorong tubuh Rafa, hingga pria itu mundur satu langkah. Detik berikutnya, Alpha kembali fokus pada pria asing yang tiba-tiba saja sudah meraih lengan Rumi.Siapa gerangan pria yang memanggil Rumi dengan sebutan “non” itu?Tidak ingin kehila
Dengan seksama, Dandi membaca profil beberapa investor yang menanamkan modal di Glory. Tidak hanya itu, Dandi juga sudah mendata nominal kerja sama Glory yang dilakukan dengan instansi pemerintah. Berkat Bakri, Dandi juga memperoleh data omset dan pemasukan terbesar dari perusahaan tersebut.Semua yang didapat Dandi kali ini merupakan data terbaru, sejak Glory mulai bangkit sepeninggalnya Lingga.Di tengah-tengah kesibukannya tersebut, ponsel Dandi berdering dan dengan segera ia menerimanya karena nama Anton tertulis di sana. Dandi yakin, Anton kali ini akan memberi kabar mengenai Rumi. Karena jika hanya perkembangan kegiatan Alpha, Anton hanya akan mengirimkan pesan padanya.“Ada perkembangan?” tanya Dandi langsung to the point.“Bu Rumi, Pak!” seru Anton. “Kami lagi ngikutin dia. Ceritanya panjang, tapi sekarang dia ada di mobil sama laki-laki yang namanya Rafa.”“Share loc sekarang juga!” Dandi segera beranjak pergi meninggalkan kamarnya dan mengakhiri panggilan tersebut. Ia meraih
“Makan yang banyak.” Dandi menyodorkan satu sendok nasi goreng ke mulut Rumi. Istrinya itu masih tidak banyak bicara dan hanya merespons Dandi seadanya. Rumi masih saja berpikir, bahwa dirinya tidak layak untuk mendampingi Dandi karena masa lalunya. Akan tetapi, Dandi sudah tidak memedulikan itu semua. Sejak awal, ia sudah tahu pasti bagaimana masa lalu Rumi dengan Alpha dan Dandi tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Pria seperti Dandi, sudah sangat hafal bagaimana hiruk pikuk dan gelapnya kehidupan ibukota. Tidak hanya Rumi yang pernah melakukan kesalahan, tetapi Dandi, Thea, dan mayoritas orang di lingkungan mereka juga pernah melakukan hal yang sama. Jadi, Dandi tidak pernah mau menghakimi, karena semua orang pasti punya masa kelamnya masing-masing. “Tapi aku sudah makan makanan rumah sakit tadi, Maaas.” Rumi kesal, karena Dandi kembali menyuruhnya makan, padahal jarum jam sudah hampir menunjuk ke angka sembilan. Karena itulah, Rumi lebih banyak mendiamkan Dandi sejak ia d
Alpha mematung, ketika pelukan hangat Anges menyambutnya di saat ia melewati pintu penjara. Ia tidak melihat siapa pun, selain Agnes yang mulai menangis haru ketika memeluknya. Ke mana perginya Hera? Kenapa adiknya itu tidak ikut menjemputnya? “Mama sendiri?” tanya Alpha akhirnya bersuara, ketika Agnes mengurai pelukannya. Agnes mengangguk-angguk dan mengerti dengan maksud Alpha. “Nanti, Mama jelasin sambil jalan.” Yang bisa Alpha lakukan, hanya mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Alpha segera memasuki mobil bersama Agnes. Dua tahun lebih berada di balik jeruji, membuat Alpha mendapat banyak pelajaran. Ia bertemu dengan berbagai macam orang, dari berbagai tingkat sosial dan pendidikan yang berbeda. Semua itu, membuatnya lebih banyak memahami tentang kesakitan yang ada di dunia lebih luas lagi. “Jadi, ke mana Hera?” “Cairo mendadak demam kemarin sore.” Agnes bercerita tentang putra Rafa dan Hera yang berusia tiga bulan. “Tadi malam sudah dibawa ke dokter, jadi, Hera nggak bisa ikut
“Kamu yakin nggak mau ngadain resepsi?” Rafa kembali mengulang pertanyaannya pada Hera, setelah mereka masuk ke dalam kamar. Tepatnya, di kamar Hera yang berada di rumah Agnes. Beberapa waktu lalu, mereka sudah melangsungkan ijab kabul di kediaman Soerapraja dan digelar dengan tertutup. Tidak hanya pernikahan mereka yang dirahasiakan, tetapi kedatangan Alpha ke kediaman Soerapraja pun dilakukan secara diam-diam. Semua bisa dilaksanakan, karena koneksi Hermawan dengan beberapa petinggi terkait. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.Bahkan, Agnes sama sekali tidak mengabari Qai, untuk menghindari gesekan yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. “Mas Rafa mau ngadain resepsi?” Hera bertanya balik, karena sudah kesekian kalinya Rafa mempertanyakan hal tersebut padanya.“Aku ikut kamu.” Rafa menarik lengan Hera yang hendak pergi menjauh darinya. Kemudian, Rafa mengalungkan kedua tangan di tubuh Hera dan tidak membiarkan wanitanya pergi ke
“Akhirnya!” Dandi berseru lega, sambil menghampiri Rumi yang duduk di ruang tengah. Istrinya itu sedang menonton televisi, sambil makan martabak seorang diri. “Akhirnya, tidur juga.” Rumi terkekeh, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Haduuh!” Dandi menghempaskan tubuhnya, kemudian menyomot satu potong martabak yang ada di pangkuan Rumi. “Dia bolak balik nanyain kamu terus dan nggak berhenti ngoceh.” “Aku nggak tega sebenernya, Mas.” Rumi semakin merapatkan tubuhnya, lalu bersandar pada tubuh Dandi. “Tapi, Dirga kalau nggak diginiin, nggak bakal lepas-lepas ASI. Sudah dua tahun lebih, tapi masih aja nempel.” Putra mereka yang diberi nama Dirgantara Sebastian, memang masih saja menyesap ASI meskipun usianya sudah dua tahun lebih dua bulan. Rumi sudah melakukan segala cara, tetapi selalu berujung sia-sia. Tingkahnya benar-benar seperti Dandi yang selalu menempel, ketika Rumi masih hamil. Sampai akhirnya, Dandi memutuskan untuk memisahkan kamarnya dengan kamar putranya, karena
“Rumi.”Dandi kembali memasuki rumah, karena Rumi tidak kunjung keluar sedari tadi. Mobil sudah selesai di panasi, tetapi sang istri masih berada di dalam. Dandi memasuki kamar mereka terlebih dahulu dan berdecak ketika melihat Rumi ternyata tengah duduk di sofa.“Ayo—”“Perutku mules,” potong Rumi mengangkat satu tangan, agar Dandi tidak meneruskan ucapannya. “Baru aja berhenti.”Detik itu juga, wajah datar Dandi berubah semringah. Senyum lebar langsung menghiasi bibirnya, sembari menghampiri Rumi dengan segera. Dandi berlutut di depan sang istri lalu menempelkan telinganya di perut Rumi, sambil mengusapnya.“Keluar hari ini, oke!” telunjuk Dandi mengetuk perut Rumi dua kali. “Dan nggak usah pake drama.”“Apa, sih, Mas.” Rumi terkekeh sambil mengusap kepala Dandi. “Kalau sudah waktunya keluar, dia pasti keluar.”Dandi menarik diri, tetap kedua tangannya masih menempel di perut Rumi. “Apa perlu dijenguk lagi, biar makin—”“Maaas!” Tawa Rumi semakin keras. “Ini, tuh, sudah mulai mules,
Hari pertama di awal tahun sudah terlewat. Namun, Rumi belum menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rumi masih mengerjakan beberapa hal seperti biasa, meskipun pergerakannya sudah tidak segesit dulu. Ia gampang lelah, cepat gerah, sehingga terkadang malas melakukan apa-apa.Namun, saat mengingat ucapan ibunya, Rumi harus memaksakan diri untuk bergerak agar bisa melahirkan dengan mudah. Begitulah salah satu ucapan sang ibu, di antara banyak wejangan yang kadang membuat Rumi hanya geleng-geleng, tetapi tidak berani membantah.“Rumi, gimana kalau kita telpon dokter dan minta operasi.” Dandi jadi uring-uringan sendiri, karena belum bisa menjumpai buah hatinya secara langsung. Terlebih ketika mengingat Alaska yang semakin gembul dan mulai belajar membalikkan tubuhnya.“Mas, tanggal HPL baru lewat dua hari.” Rumi mencuci tangan, sesudah beres menyiram tanaman di halaman depan. Setelahnya, Rumi menghela dan terdiam sambil mengusap punggungnya yang pegal. Dandi yang sejak tadi hanya mondar
“Dandi! Balikin, Dan!” Thea melotot dan menghardik sepupunya. Pria itu baru saja masuk ke kamar Thea dan bersikap seenaknya. Tanpa izin, Dandi mengeluarkan bayi yang tengah tertidur pulas di boksnya, lalu menggendongnya. Meskipun Dandi terlihat sangat hati-hati, tetapi Thea tetap saja merasa ngeri.“Mamamu berisik!” desis Dandi sambil berbalik memunggungi Thea. Ia berjalan santai menuju sofa sambil menggendong keponakannya, lalu duduk dengan perlahan.Dandi sengaja menunggu Thea pulang ke rumah terlebih dahulu, barulah ia menjenguk sepupunya agar bisa lebih bebas. Andai Rumi lelah karena terlalu lama menjenguk Thea, istrinya bisa beristirahat bebas di kamar tamu.“Dandiii!” Thea hendak bangkit dari tempat tidur, tetapi tidak jadi, mengingat jahitan di jalan lahirnya masih terasa sedikit nyeri.“Aku belum beli kado,” ujar Dandi lalu melihat ke arah pintu. Ia melihat Rumi masuk menghampirinya, setelah pergi ke toilet terlebih dahulu. “Aku bingung mau ngasih apa, karena Alaska sudah puny
“Jangan mentang-mentang istriku pintar masak, kamu jadi seenaknyammpp—”“Apasih!” Thea yang baru berada di teras, langsung membekap mulut Dandi dengan tangan kanannya. “Kamu itu jadi cowok berisik banget! Ini urusan bumil, jadi nggak usah ikut campur.”Dandi melepas tangan Thea dan berdecak. “Untung kamu lagi hamil. Coba kal—”“Sudah.” putus Qai dengan membawa beberapa paper bag dan kantong plastik di kedua tangan. “Cobalah sehari aja kalian ini nggak ribut. Masa’ nggak bisa?”“Nggak bisa!” seru Thea dan Dandi bersamaan.Qai tercengang, tetapi tidak menghentikan langkahnya memasuki rumah Dandi, meskipun belum dipersilakan. Daripada mendengar kedua orang itu ribut, lebih baik Qai duluan masuk dan merebahkan diri di sofa.“Ngapain lagi kamu ke sini?” Dandi berbalik dan segera menyusul Qai.“Aku mules dari pagi,” ujar Thea berjalan di belakang Dandi, sambil mengusap perutnya. “Sudah ke rumah sakit, tapi ternyata belum bukaan.”Dandi menoleh dan memperlambat langkahnya. “Memang sudah wakt
“Ngapain senyum-senyum lihat hape.” Merasa curiga dan penasaran, Dandi merampas ponsel dari tangan Rumi, hingga istrinya itu langsung berteriak protes.“Mas!”“Apa ini?” Dahi Dandi mengerut, melihat deretan foto yang dikirimkan oleh Thea. Ternyata, istrinya sedang berkirim pesan dengan istri Qai yang semakin menyebalkan. “Ini—”“Buat bayi!” Rumi kembali merampas ponselnya. “Emang Mas kira aku ngapain?”“Selingkuh,” jawab Dandi dengan entengnya, lalu duduk di samping Rumi. Namun, baru saja bokongnya itu menyentuh sofa, Rumi langsung memberi cubitan pada sisi perut dengan Dandi dengan keras. “RUMI!”“APA!” Rumi balas menghardik, karena tidak suka dengan tuduhan Dandi. “Aku nggak suka dituduh-tuduh gitu! Aku nggak selingkuh!”Untuk beberapa saat, Dandi terngaga sambil mengusap sisi perutnya. Ini kali pertama, Dandi mendengar Rumi meninggikan suara di depannya dan bersikap bar-bar. Istrinya itu terlihat benar-benar marah, dengan kedua mata yang melotot kesal.“Bercanda, Rum,” desis Dandi
“Ini masih jam 11 kurang, Ra.” Rafa membuka pintu pagar dan mempersilakan Hera masuk. Ia melihat sebuah tas spunbond yang ditenteng Hera dengan kedua tangan dan tidak bisa menebak-nebak isi di dalamnya. “Mama yang nyuruh datang cepat, biar bisa bantuin mas Rafa nyiapin makan siang.” Hera menyerahkan tas yang dibawanya pada Rafa. “Ini dibawain mama, sate sama kari ayam. Biar nggak ngerepotin.” “Oh ...” Rafa terkekeh sambil mengambil alih tas spunbond berwarna merah dari tangan Hera. “Kalau begini, aku yang jadi ngerepotin. Oia, masuk dulu.” “Nggak ngerepotin,” ujar Hera sembari berjalan masuk ke rumah Rafa. “Sekalian masak buat di rumah soalnya.” “Kamu yang masak?” selidik Rafa. “Nggak mungkin.” Hera meringis malu. “Saya nggak jago masak.” “It’s okay.” Rafa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Aku cari istri, bukan cari tukang masak.” Langkah Hera terhenti tepat di ruang tamu yang bernuansa hitam putih. “Mas, saya nggak bi—” “Bercanda, Ra.” Rafa terus berjalan masuk dan