“Tetap di sini, Al!” titah Rafa segera meraih lengan Alpha, ketika pria itu hendak berdiri menyusul Rumi yang baru saja pergi dengan Dandi. Kendati ada secarik rasa cemburu di hati Rafa saat melihat Dandi meraih tangan Rumi, tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. “Dan jangan pernah lagi ganggu Rumi. Kamu dengar sendiri, kan? Dia sekarang sudah sama Dandi, jadi diamlah!” “Kamu mau aku percaya?” Kembali, Alpha mengulang pertanyaan yang sama. Ia masih saja tidak percaya dengan semua ucapan Rumi. “Apa lagi rencana kalian sekarang? Glory sudah jatuh dan—” “Glory sudah berjalan seperti semula,” putus Rafa sembari melepas tangan Alpha yang kembali duduk di tempatnya. Saat melihat seorang pelayan menghampiri meja mereka dengan membawa nampan, Rafa segera menggeleng. Meminta pelayan tersebut membawa kembali makanan tersebut dan meminta bill-nya. “Dengar Al, seperti yang pernah aku bilang waktu itu, jangan pernah lagi ganggu Rumi atau Glory—” “Kamu ngancam lagi?” Alpha berdecih. Nafsu makann
Dandi reflek memegang perutnya dengan gerakan memutar, saat melihat menu sarapan yang sudah tersaji di meja makan. Seperti biasa, tangan terampil Rumi itu selalu bisa membuat cacing di perut Dandi bergejolak. Menu rumahan sederhana, yang hanya bisa didapatkan Dandi ketika berkunjung ke rumah Jaya. Untuk itulah, Dandi segera duduk pada tempat yang biasa ia duduki dan menatap piring yang sudah tersedia tepat di hadapannya. Tatapan Dandi sedikit bergeser pada dua buah kotak bekal yang juga sudah berada di meja, lalu tersenyum. Akan tetapi, senyum Dandi memudar saat tatapannya tertuju pada lemari pendingin. Secarik sticky note berwarna kuning, tiba-tiba menghiasi pintu atas lemari pendinginnya yang polos. Lantas, Dandi segera berdiri dan menghampiri lemari pendinginnya dan membaca catatan yang tertulis di sana. “Saya berangkat pagi, Mas. Sarapan sama bekal sudah saya siapin. Makasih.” Dandi kemudian berbalik dan kembali ke meja makan. Ia duduk perlahan, sembari melihat jam dinding y
Rumi mulai sakit kepala melihat sikap Dandi. Semakin ke sini, Dandi semakin posesif dan sikap pria itu bahkan hampir menyamai Alpha. Rumi jadi bingung sendiri, harus bersikap seperti apa, karena Dandi sudah lebih dulu membentangkan tembok di antara mereka.“Jangan baper.”Kalimat Dandi itulah, yang membuat Rumi sebenarnya bisa lebih tenang. Namun, kenyataan yang ada, justru tidak seperti yang Rumi pikirkan. Dengan perlakuan Dandi yang seperti sekarang, Rumi sepertinya harus menjaga hatinya baik-baik dan tidak boleh terbawa perasaan.“Sorry, Mas, saya sibuk dari pagi.” Rumi menoleh ke sekitar dengan canggung.“Nggak mungkin.” Dandi bisa menyanggahnya, karena ia punya alasan yang cukup kuat. “Kamu berangkat dari rumah sebelum jam setengah tujuh. Anggaplah jalanan macet parah dan paling lambat kamu bisa sampai kantor jam setengah delapan. Dan jam segitu, kantor ini belum beroperasi.”Melihat ketegangan di depan mata, Rafa segera menyela dan berdiri di antara Dandi dan Rumi. Ia membelakan
“Rumi.” Hera tersenyum miring, sembari membaca salinan surat perjanjian yang ditandatangain oleh Alpha. “Jadi, mas Al masih mau balas dendam ke dia.”“Mama minta Alpha sudahi semuanya.” Mendengar kata kalimat “balas dendam”, akan selalu membawa ingatan Agnes pada perbuatan Qai. Semua rasa sakit yang diluapkan Qai pada Lingga, hanya akan menyisakan luka pada akhirnya. Untuk itulah, Agnes ingin menghentikan semuanya agar seluruh keluarganya bisa hidup damai di masa depan. “Mama cuma mau tenang, Ra. Mama mau menikmati masa tua dengan damai dan nggak ada drama.”Napas Hera terbuang pendek. Meletakkan dokumen yang telah dibacanya pada meja persegi di sampingnya, kemudian menatap taman yang malam ini tampak temaram. Fokus Hera tertuju pada sebuah kursi panjang, tempat di mana dirinya dan Rafa biasa menghabiskan waktu bersama. Pria itu selalu menemani Hera berjemur, sembari membacakannya berbagai jenis buku. Selain itu, Rafa juga sering membicarakan perihal perusahaan dan beberapa hal kecil
Qai dan Thea saling pandang, setelah mendengar penjelasan Dandi yang terburu. Pria itu bahkan tidak memberi kesempatan pada Rumi untuk berbicara, padahal masalah yang disampaikan melibatkan mereka berdua.“Kalau bukan orang tua, aku pasti sudah …”“Sabar, Mas,” celetuk Rumi tidak enak hati. Tidak hanya itu, Rumi juga sedang memikirkan nasibnya ketika berada di Malang nantinya. Karena itulah, pagi-pagi sekali Rumi dan Dandi pergi ke kediaman Sebastian untuk bertemu Qai juga Thea.“Kurang sabar apa lagi, aku, Rum?” Dandi berdecak kesal, tetapi tidak bisa menyalahkan siapa pun. Lantas, ia berdiri dari sofa ruang tengah dan berniat untuk pergi ke dapur. “Om Jaya di mana?”“Papa …” Thea meringis menatap Dandi. “Mamamu ngajak papa ke Surabaya kemarin.”“THEA!” sentak Dandi.“HEH!” Qai yang tidak terima segera membalas Dandi. “Istriku lagi hamil, Dan! Jaga, tuh, mulut!”“Kenapa?” Dandi menggeram dan mengacak-acak rambutnya. “Kenapa kalian nggak ngomong dari tadi? Atau, kenapa nggak bilang da
“Aku sudah bisa nebak, kalau akhirnya bakal seperti ini.” Dandi berbicara pelan, sembari melihat ke bagian dalam rumah Rumi sesekali. “Sejak mamaku minta alamatmu di Malang, perasaanku sudah nggak enak.”“Terus kita gimana, Mas?” Rumi pun membalas Dandi dengan suara yang tidak kalah pelan. Ia sudah menjelaskan pada Dandi, perihal obrolan yang Rumi lakukan dengan Yanti di kamar. Saat ini, keduanya tengah berbincang untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Namun, semakin di pikirkan, jalan keluar tersebut ternyata tidak kunjung ditemukan. “Masalahnya, aku nggak bisa jujur sama ibu masalah mas Al. Tapi, aku juga nggak mau kalau Mas Dandi jadi kejebak begini. Makanya kemarin aku tanya mbak Thea, siapa tahu punya teman perempuan yang bisa diajak kerja sama, jadi pacar pura-puranya Mas Dandi.”“Itu juga bukan jalan keluar yang terbaik,” sanggah Dandi setelah memikirkan akibat yang akan ditimbulkan. “Yang ada, ibumu tambah mikir macam-macam dan mamaku bisa-bisa langsung nikahin aku sama itu
“Telpon resepsionis dan buka kamarmu sendiri.” Begitu keluar dari kamar mandi, telunjuk Jaya langsung mengarah pada Dandi yang duduk lesu di tepi tempat tidur. Hampir semalaman, tidur Jaya sungguh tidak nyenyak karena Dandi selalu saja bergerak gelisah. “Yaaa.” Dandi mengusap wajah bantalnya hingga berulang kali, guna mengusir kantuk yang masih merajai. Hingga pagi ini, Dandi belum bisa mengambil keputusan sama sekali. Pikirannya masih buntu dan tidak mendapatkan jalan keluar selain menikahi Rumi. “Kalian semua itu licik. Kalian nggak pernah mikir bagaimana perasaanku.” “Sejak kapan kamu punya perasaan, Dan,” sindir Jaya sembari membuka pintu balkon. Karena masih ingin bicara dengan keponakannya, Jaya pun hanya berdiri di bibir pintu, menatap Dandi. “Jangan-jangan, sejak kenal sama Rumi kamu jadi punya perasaan.” “Om, please.” Dandi heran, mengapa semua orang menginginkannya menikah dengan Rumi. “Nikah itu, nggak main-main.” “Kalau begitu, seriuslah.” “Bagaimana mau serius, kalau
Dalam waktu singkat dan tanpa rencana, pernikahan antara Dandi dan Rumi akhirnya terlaksana juga. Bertempat di sebuah kamar hotel yang baru dibuka Dandi dan dilakukan secara sederhana juga tertutup. Pernikahan tersebut benar-benar dirahasiakan, untuk menjaga nama baik keluarga Rumi dari gosip miring yang mungkin saja tercipta dari mulut para tetangga.“Ibu … masih marah?” Rumi semakin merasa serba salah. Meskipun saat ini Rumi sudah menikah dengan Dandi, sang ibu tetap saja mendiamkannya. Yanti hanya menjawab pertanyaan atau ucapan Rumi seperlunya dan tidak ada percakapan panjang seperti biasa.Rumi tahu ia bersalah. Bahkan, kesalahan yang sudah dilakukan Rumi masih lebih banyak lagi, daripada yang Yanti ketahui. Ia tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi pada ibunya, jika Yanti mengetahui kelakuan Rumi di Jakarta selama ini.“Apa marah masih berguna?”Rumi bergegas menuju pintu dan menutupnya. Karena kamar yang ditempatinya saat ini adalah tipe family room, maka Rumi bisa bica
Alpha mematung, ketika pelukan hangat Anges menyambutnya di saat ia melewati pintu penjara. Ia tidak melihat siapa pun, selain Agnes yang mulai menangis haru ketika memeluknya. Ke mana perginya Hera? Kenapa adiknya itu tidak ikut menjemputnya? “Mama sendiri?” tanya Alpha akhirnya bersuara, ketika Agnes mengurai pelukannya. Agnes mengangguk-angguk dan mengerti dengan maksud Alpha. “Nanti, Mama jelasin sambil jalan.” Yang bisa Alpha lakukan, hanya mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Alpha segera memasuki mobil bersama Agnes. Dua tahun lebih berada di balik jeruji, membuat Alpha mendapat banyak pelajaran. Ia bertemu dengan berbagai macam orang, dari berbagai tingkat sosial dan pendidikan yang berbeda. Semua itu, membuatnya lebih banyak memahami tentang kesakitan yang ada di dunia lebih luas lagi. “Jadi, ke mana Hera?” “Cairo mendadak demam kemarin sore.” Agnes bercerita tentang putra Rafa dan Hera yang berusia tiga bulan. “Tadi malam sudah dibawa ke dokter, jadi, Hera nggak bisa ikut
“Kamu yakin nggak mau ngadain resepsi?” Rafa kembali mengulang pertanyaannya pada Hera, setelah mereka masuk ke dalam kamar. Tepatnya, di kamar Hera yang berada di rumah Agnes. Beberapa waktu lalu, mereka sudah melangsungkan ijab kabul di kediaman Soerapraja dan digelar dengan tertutup. Tidak hanya pernikahan mereka yang dirahasiakan, tetapi kedatangan Alpha ke kediaman Soerapraja pun dilakukan secara diam-diam. Semua bisa dilaksanakan, karena koneksi Hermawan dengan beberapa petinggi terkait. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.Bahkan, Agnes sama sekali tidak mengabari Qai, untuk menghindari gesekan yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. “Mas Rafa mau ngadain resepsi?” Hera bertanya balik, karena sudah kesekian kalinya Rafa mempertanyakan hal tersebut padanya.“Aku ikut kamu.” Rafa menarik lengan Hera yang hendak pergi menjauh darinya. Kemudian, Rafa mengalungkan kedua tangan di tubuh Hera dan tidak membiarkan wanitanya pergi ke
“Akhirnya!” Dandi berseru lega, sambil menghampiri Rumi yang duduk di ruang tengah. Istrinya itu sedang menonton televisi, sambil makan martabak seorang diri. “Akhirnya, tidur juga.” Rumi terkekeh, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Haduuh!” Dandi menghempaskan tubuhnya, kemudian menyomot satu potong martabak yang ada di pangkuan Rumi. “Dia bolak balik nanyain kamu terus dan nggak berhenti ngoceh.” “Aku nggak tega sebenernya, Mas.” Rumi semakin merapatkan tubuhnya, lalu bersandar pada tubuh Dandi. “Tapi, Dirga kalau nggak diginiin, nggak bakal lepas-lepas ASI. Sudah dua tahun lebih, tapi masih aja nempel.” Putra mereka yang diberi nama Dirgantara Sebastian, memang masih saja menyesap ASI meskipun usianya sudah dua tahun lebih dua bulan. Rumi sudah melakukan segala cara, tetapi selalu berujung sia-sia. Tingkahnya benar-benar seperti Dandi yang selalu menempel, ketika Rumi masih hamil. Sampai akhirnya, Dandi memutuskan untuk memisahkan kamarnya dengan kamar putranya, karena
“Rumi.”Dandi kembali memasuki rumah, karena Rumi tidak kunjung keluar sedari tadi. Mobil sudah selesai di panasi, tetapi sang istri masih berada di dalam. Dandi memasuki kamar mereka terlebih dahulu dan berdecak ketika melihat Rumi ternyata tengah duduk di sofa.“Ayo—”“Perutku mules,” potong Rumi mengangkat satu tangan, agar Dandi tidak meneruskan ucapannya. “Baru aja berhenti.”Detik itu juga, wajah datar Dandi berubah semringah. Senyum lebar langsung menghiasi bibirnya, sembari menghampiri Rumi dengan segera. Dandi berlutut di depan sang istri lalu menempelkan telinganya di perut Rumi, sambil mengusapnya.“Keluar hari ini, oke!” telunjuk Dandi mengetuk perut Rumi dua kali. “Dan nggak usah pake drama.”“Apa, sih, Mas.” Rumi terkekeh sambil mengusap kepala Dandi. “Kalau sudah waktunya keluar, dia pasti keluar.”Dandi menarik diri, tetap kedua tangannya masih menempel di perut Rumi. “Apa perlu dijenguk lagi, biar makin—”“Maaas!” Tawa Rumi semakin keras. “Ini, tuh, sudah mulai mules,
Hari pertama di awal tahun sudah terlewat. Namun, Rumi belum menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rumi masih mengerjakan beberapa hal seperti biasa, meskipun pergerakannya sudah tidak segesit dulu. Ia gampang lelah, cepat gerah, sehingga terkadang malas melakukan apa-apa.Namun, saat mengingat ucapan ibunya, Rumi harus memaksakan diri untuk bergerak agar bisa melahirkan dengan mudah. Begitulah salah satu ucapan sang ibu, di antara banyak wejangan yang kadang membuat Rumi hanya geleng-geleng, tetapi tidak berani membantah.“Rumi, gimana kalau kita telpon dokter dan minta operasi.” Dandi jadi uring-uringan sendiri, karena belum bisa menjumpai buah hatinya secara langsung. Terlebih ketika mengingat Alaska yang semakin gembul dan mulai belajar membalikkan tubuhnya.“Mas, tanggal HPL baru lewat dua hari.” Rumi mencuci tangan, sesudah beres menyiram tanaman di halaman depan. Setelahnya, Rumi menghela dan terdiam sambil mengusap punggungnya yang pegal. Dandi yang sejak tadi hanya mondar
“Dandi! Balikin, Dan!” Thea melotot dan menghardik sepupunya. Pria itu baru saja masuk ke kamar Thea dan bersikap seenaknya. Tanpa izin, Dandi mengeluarkan bayi yang tengah tertidur pulas di boksnya, lalu menggendongnya. Meskipun Dandi terlihat sangat hati-hati, tetapi Thea tetap saja merasa ngeri.“Mamamu berisik!” desis Dandi sambil berbalik memunggungi Thea. Ia berjalan santai menuju sofa sambil menggendong keponakannya, lalu duduk dengan perlahan.Dandi sengaja menunggu Thea pulang ke rumah terlebih dahulu, barulah ia menjenguk sepupunya agar bisa lebih bebas. Andai Rumi lelah karena terlalu lama menjenguk Thea, istrinya bisa beristirahat bebas di kamar tamu.“Dandiii!” Thea hendak bangkit dari tempat tidur, tetapi tidak jadi, mengingat jahitan di jalan lahirnya masih terasa sedikit nyeri.“Aku belum beli kado,” ujar Dandi lalu melihat ke arah pintu. Ia melihat Rumi masuk menghampirinya, setelah pergi ke toilet terlebih dahulu. “Aku bingung mau ngasih apa, karena Alaska sudah puny
“Jangan mentang-mentang istriku pintar masak, kamu jadi seenaknyammpp—”“Apasih!” Thea yang baru berada di teras, langsung membekap mulut Dandi dengan tangan kanannya. “Kamu itu jadi cowok berisik banget! Ini urusan bumil, jadi nggak usah ikut campur.”Dandi melepas tangan Thea dan berdecak. “Untung kamu lagi hamil. Coba kal—”“Sudah.” putus Qai dengan membawa beberapa paper bag dan kantong plastik di kedua tangan. “Cobalah sehari aja kalian ini nggak ribut. Masa’ nggak bisa?”“Nggak bisa!” seru Thea dan Dandi bersamaan.Qai tercengang, tetapi tidak menghentikan langkahnya memasuki rumah Dandi, meskipun belum dipersilakan. Daripada mendengar kedua orang itu ribut, lebih baik Qai duluan masuk dan merebahkan diri di sofa.“Ngapain lagi kamu ke sini?” Dandi berbalik dan segera menyusul Qai.“Aku mules dari pagi,” ujar Thea berjalan di belakang Dandi, sambil mengusap perutnya. “Sudah ke rumah sakit, tapi ternyata belum bukaan.”Dandi menoleh dan memperlambat langkahnya. “Memang sudah wakt
“Ngapain senyum-senyum lihat hape.” Merasa curiga dan penasaran, Dandi merampas ponsel dari tangan Rumi, hingga istrinya itu langsung berteriak protes.“Mas!”“Apa ini?” Dahi Dandi mengerut, melihat deretan foto yang dikirimkan oleh Thea. Ternyata, istrinya sedang berkirim pesan dengan istri Qai yang semakin menyebalkan. “Ini—”“Buat bayi!” Rumi kembali merampas ponselnya. “Emang Mas kira aku ngapain?”“Selingkuh,” jawab Dandi dengan entengnya, lalu duduk di samping Rumi. Namun, baru saja bokongnya itu menyentuh sofa, Rumi langsung memberi cubitan pada sisi perut dengan Dandi dengan keras. “RUMI!”“APA!” Rumi balas menghardik, karena tidak suka dengan tuduhan Dandi. “Aku nggak suka dituduh-tuduh gitu! Aku nggak selingkuh!”Untuk beberapa saat, Dandi terngaga sambil mengusap sisi perutnya. Ini kali pertama, Dandi mendengar Rumi meninggikan suara di depannya dan bersikap bar-bar. Istrinya itu terlihat benar-benar marah, dengan kedua mata yang melotot kesal.“Bercanda, Rum,” desis Dandi
“Ini masih jam 11 kurang, Ra.” Rafa membuka pintu pagar dan mempersilakan Hera masuk. Ia melihat sebuah tas spunbond yang ditenteng Hera dengan kedua tangan dan tidak bisa menebak-nebak isi di dalamnya. “Mama yang nyuruh datang cepat, biar bisa bantuin mas Rafa nyiapin makan siang.” Hera menyerahkan tas yang dibawanya pada Rafa. “Ini dibawain mama, sate sama kari ayam. Biar nggak ngerepotin.” “Oh ...” Rafa terkekeh sambil mengambil alih tas spunbond berwarna merah dari tangan Hera. “Kalau begini, aku yang jadi ngerepotin. Oia, masuk dulu.” “Nggak ngerepotin,” ujar Hera sembari berjalan masuk ke rumah Rafa. “Sekalian masak buat di rumah soalnya.” “Kamu yang masak?” selidik Rafa. “Nggak mungkin.” Hera meringis malu. “Saya nggak jago masak.” “It’s okay.” Rafa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Aku cari istri, bukan cari tukang masak.” Langkah Hera terhenti tepat di ruang tamu yang bernuansa hitam putih. “Mas, saya nggak bi—” “Bercanda, Ra.” Rafa terus berjalan masuk dan