Entah dari mana aku mendapatkan keberanian itu, tapi tanganku sudah mencengkeram kerah bajunya. "Maxwell Ignatius de Albertine, aku sudah bertekad agar kau bisa menikah dengan seorang gadis manusia dan memiliki anak-anak manusia juga. Kau harus hidup bahagia dan terbebas dari kutukan sialan itu lagi."
"Maxwell Knightwood, itu nama yang kupakai sekarang." Ia menepis tanganku dan merapikan kerah bajunya. "Kenapa kau terobsesi sekali dengan hal itu? Aku sudah bahagia. Sekarang yang terpenting, kau harus pulang. Keluargamu pasti sudah menunggumu.""Kau benar. Keluargaku pasti sudah menungguku. Karena itu mari kita patahkan kutukannya sekarang juga. Agar aku bisa pulang dengan nyaman. Anggaplah ini sebagai balas budi karena kau menyelamatkanku.""Balas budi?" Maxwell nampak tertegun dengan ucapan itu. "Aku menolongmu karena itu adalah hal yang benar.""Tapi tak semua orang melakukan hal yang benar. Kebanyakan hanya melakukan hal yang mudah. Kau bisa membiarkanku mati kelaparan atau dimakan hewan buas. Karena itu, ijinkan aku membantumu. Aku mohon. Aku tak suka memiliki hutang budi.""Baiklah. Kita coba dalam waktu satu minggu. Setelah itu, kuanggap hutangmu lunas dan kau harus pulang.""Setuju!" Aku menjabat tangannya dengan erat. "Lalu kita mulai darimana?""Akan bicarakan setelah kita membeli pakaian untukmu."Kami telah sampai di pintu masuk pasar. Sama seperti pasar lainnya, beberapa stand berjejer-jejer untuk menawarkan berbagai macam dagangannya.Kebanyakan stand menggunakan payung cokelat berukuran besar untuk mencegah terik matahari mengenai kulit mereka. Beberapa lainnya menggunakan tenda bewarna kulit.
Tidak banyak pembeli saat itu. Mungkin hanya sekitar sepuluh orang.Para pedagang nampak malas menawarkan barang dagangan mereka. Kalau boleh kubilang, tingkah mereka agak kurang sopan. Tak jarang mereka mengusir pembeli yang mencoba menawar.
"Kau pasti sudah gila! Ini barang langka! Mana bisa kujual dengan harga segitu!" Teriak seorang pedagang senjata saat itu. Si pembeli nampaknya tak terpengaruh dengan hal itu dan tetap menawar sebuah belati yang kayu pegangannya terdapat ukiran sulur bunga. Sebenarnya, itu senjata yang cukup bagus. Tapi pisau belatinya agak sedikit berkarat.Kalau aku jadi pedagangnya, aku akan memberikannya secara cuma-cuma. Walaupun benda itu langka.
Tapi kalau tak bisa digunakan, untuk apa juga?"Abby, sebelah sini." Maxwell melambaikan tangannya. Tahu-tahu ia sudah berada di depan sebuah toko terpencil yang letaknya sekitar lima puluh meter dariku."Aduh!" Seruku saat seseorang menabrakku dari belakang. "Hei!""Maaf, saya tidak sengaja." Katanya. Aku tak bisa melihat wajahnya karena tertutup tudung kepala. Dari suaranya sepertinya dia laki-laki. Tubuhnya sekitar sepuluh senti lebih tinggi dariku. Setelah mengatakan hal itu, ia segera mempercepat langkahnya. Kelihatannya ia sedang terburu-buru.Tapi aku tak memperdulikannya. Dan bergegas menuju toko tersebut. Maxwell sudah masuk ke dalam sejak tadi. Dari luar toko itu nampak seperti menjual barang bekas. Banyak tumpukan guci atau artefak kuno bahkan lukisan yang kelihatan lusuh. Sedangkan bagian dalam toko tersebut tidak lebih baik dari bagian luar.Yang jelas ini bukan toko pakaian."Apa ini yang kau maksud?" Seorang laki-laki dengan kacamata bulat melihatku dengan pandangan bertanya. Rambutnya disisir ke belakang. Sebagian bewarna hitam sebagian lagi putih uban. Tapi wajahnya tidak terlihat setua itu.Ia berbicara dari balik konter dan Maxwell menjawabnya dengan anggukan. Laki-laki itu melihatku dari ujung rambut sampai kaki tapi aku sama sekali tidak risih dibuatnya.
Maxwell menaruh satu keping emas. Mata uang yang tidak ku kenal. Di tempatku tinggal, kami selalu menggunakan uang kertas."Tunggu sebentar." Kata lelaki itu dan ia menghilang di balik pintu yang berada di belakanhnya."Kau yakin mereka menjual pakaian?""Istri Stevan, Rosalind, adalah penyihir kain.""Apa? Maksudmu penjahit?" Aku baru pertama kali mendengar hal semacam ini. Sebelumnya kupikir penyihir hanya ada dalam dongeng buatan nenekku. Tapi mengingat bahwa sepertinya dongeng itu berdasarkan kisah nyata, mungkin aku harus membiarkan pikiranku terbuka."Penjahit menggunakan benang dan jarum. Tapi Rosalind tidak. Dia hanya perlu berpikir sebentar dan pakaianmu selesai.""Mereka bahkan tak perlu mengukur tubuhku? Bagaimana kalau aku tak menyukai modelnya."Maxwell tersenyum samar, "Semua orang menyukai pakaian buatan Rosalind.""Kau juga?""Ya, tentu saja.""Kau kelihatannya mengenal Rosalind ini dengan baik.""Mereka, Rosalind maupun Stevan, adalah pelanggan kayu bakarku."Aku menggangguk meski tak yakin apakah Maxwell berkata jujur.Pintu belakang konter terbuka dan Stevan membawa dua stel baju, tas selempang bahu dan sepasang sepatu."Kau bisa mencobanya di sana." Stevan menunjuk sebuah pintu di dekat etalase. Aneh.Aku tak melihat pintu itu sebelumnya."Terima kasih, Stevan. Tapi kami harus kembali sekarang. Titip salam untuk Rosalind.""Baiklah." Stevan lalu masuk ke dalam pintu itu lagi. Maxwell lalu mendorongku ke pintu keluar. Aku memasukkan baju dan sepatu itu ke dalam tas. Tak pernah kusangka bahwa anyaman jerami bisa digunakan untuk membuat tas.Sepatunya terbuat dari kulit sapi yang kuat. Setelannya berupa kemeja dan celana terbuat dari katun yang nyaman. Aku tak bisa bilang aku membencinya karena belum melihat model keseluruhannya.Lagipula kemeja dan celana panjang kan memiliki model yang begitu-begitu saja.
Kalau diingat lagi, sudah lama sekali aku tidak memakai celana panjang.Mungkin terakhir kali aku memakainya saat tinggal di desa dulu. Di kota, para perempuan menggunakan gaun panjang. Juga korset pinggang yang sesaknya bukan main."Kita harus membeli perbekalan untuk perjalanan besok." Kata Maxwell. "Juga peta untuk mencari tempat tinggalmu.""Tunggu dulu, bukannya kita harus mematahkan kutukanmu dulu?""Aku rasa itu searah.""Benarkah?"Maxwell tak menjawab. Ia berjalan menuju pedagang buku lalu menukar sekeping koin emas dengan peta dari kulit binatang dan kompas sebesar kepalan tangan. Aku tidak bercanda. Memangnya kenapa ia membeli kompas sebesar itu?"Untuk memukul kepala monster." Jawabnya saat aku menanyakan hal itu. Aku tak tahu apakah dia sedang bercanda atau tidak.Kami berhenti di beberpa pedagang untuk membeli roti, buah kering dan tempat minuman dari kayu. Sekitar dua jam kemudian, kami baru kembali ke pondok.Maxwell memintaku untuk tinggal sementara ia akan mencari kayu bakar dan kentang.Aku mematuhinya dan segera pergi mandi serta berganti pakaian.Pakaian itu pas sekali dengan bentuk tubuhku! Kemeja dengan model sederhana itu seolah menyamakan gerakanku. Celananya juga pas. Ini benar-benar nyaman.Saat aku hendak mencuci mantel yang kupinjam dari Maxwell, sebuah liontin emas jatuh dari situ.Mungkin itu milik Maxwell, jadi aku menaruhnya di atas meja.Si pemilik rumah tiba saat aku menjemur mantelnya di belakang rumah.Ia nampak terkejut saat melihat liontin yang ada di atas meja. Ia lalu mengambil ranting di halaman untuk meraih rantai yang membelit liontin itu. Dengan langkah perlahan, ia keluar dari rumah dan melempar liontin itu jauh-jauh."Ada apa? Bukannya itu milikmu? Aku menemukannya dari mantelmu.""Abby! Bereskan semuanya! Perubahan rencana! Kita berangkat sekarang juga!"Maxwell nampak aneh. Sejak kejadian itu, lelaki itu selalu nampak sedang berpikir keras.Berkali-kali ia menanyakan pertanyaan yang sama."Apakah kau benar-benar memegang liontin tersebut?"Kami sedang menerobos hutan. Sesekali, ia menggunakan pedang untuk menebas ranting dan daun-daun yang menghalangi langkah kami.Jalan yang kali ini kami lewati berbeda dengan yang kami lalui untuk pergi ke pasar. Maxwel tidak menjawab saat kutanya mengenai kemana sebenarnya tujuan kami.Ia sepertinya sedang tak berminat untuk bicara. Jadi, aku berhenti mencoba.Jam makan siang sudah terlewat. Tapi kami masih berada dalam hutan.Malahan kalau bisa kubilang, kami hanya berjalan berputar-putar.Aku mengisi botol minuman untuk ketiga kalinya saat kami melewati sungai."Kau tidak haus?"Lagi-lagi lelaki itu tak menjawab dan terus berjalan. Sambil menghela nafas berat, aku mengikutinya lagi dengan langkah lebar."B
Aku hanya bisa melihat tiga hal di Pegunungan Utara. Tumpukan salju, pohon pinus yang meranggas dan langit dengan awan mendung."Ceritakanlah mengenai tempat tinggalmu." Kata Maxwell.Tapi jangankan untuk bercerita, bibirku tak bisa berhenti menggigil. Ini bukan musim dingin pertamaku.Malahan aku paling menyukai saat membuat boneka salju juga ketika berbaring di dekat perapian dengan selimut tebal dan secangkir cokelat panas.Tapi salju di sini benar-benar berbeda. Dinginnya sampai menembus tulang dan aku nyaris tak bisa menggerakan jemari tangan atau kakiku yang terasa kebas.Bahkan hembusan anginnya pun mengerikan. Beberapa kali aku nyaris terjungkal saking kencangnya angin tersebut. Tentu saja aku tak melihat rumah penduduk di daerah ini.Kemungkinan terburuk yang bisa ku alami adalah mati beku tanpa ditemukan siapapun.Tapi aku penasaran, apakah terkubur dalam gundukan salju akan membuat tubuh kita tidak membusuk unt
Hari ini aku tidak bisa tidur karena lapar.Jatah makan malamku sudah habis dan aku tak mungkin melahap jatah Maxwell juga.Mungkin karena aku tak memakai korset, nafsu makanku bertambah cukup banyak.Jadi, kupaksakan diri untuk membayangkan makanan enak sambil menatap api buatan Maxwell yang menjilati langit-langit gua.Baru saja saat aku membayangkan sepiring ayam panggang, terdengar suara serigala yang melolong.Aku mengenali suara itu sebagai tanda bahaya dan membangunkan Maxwell, yang sudah berubah menjadi manusia, dari tidurnya."Tidak apa, mereka hanya menumpang lewat," katanya dengan nada malas sebelum melanjutkan tidurnya lagi.Tapi aku menahannya, "Suara mereka terdengar sangat dekat. Cepat matikan apinya! Jangan-jangan mereka dapat mencium aroma keberadaan kita,"Maxwell menjentikan jarinya membuat sekeliling gua menjadi gelap. Hembusan angin di luar menjadi terasa amat dingin.Maxwell bersiap akan bergelun
Rasanya aku mau pingsan! Tentu saja karena kekenyangan. Semua makanan ini tidak bisa habis dan terus beregenerasi.Matahari sudah bersinar beberapa menit yang lalu, membagikan sedikit kehangatan."Kau tidak merasa pusing? Yang barusan kau lakukan itu sihir tingkat menengah. Pasti ada efek sampingnya, bukan? " Tanya Maxwell."Aku hanya merasa tubuhku menjadi berat."Lelaki itu mendengus sebelum mencecap winenya sampai habis, "Perutmu itu bisa meledak sewaktu-waktu. Jadi, berhati-hatilah."Aku mengambil kalkun panggang utuh, membungkusnya dengan daun-daun pinus kering sebelum memasukkannya ke dalam tas ku.Maxwell tidak membawa apapun, saat kutanya kenapa. Dia menjawab, "Sifat serakah takkan membawamu kemanapun." "Terserah, pokoknya jangan minta meski hanya segigit. Ayo kita harus segera lanjutkan perjalanan." Aku harus segera bergerak untuk menghil
Orang bilang hidup memang penuh kejutan. Tapi aku tidak suka kejutan semacam ini.Si laba-laba dengan tenang memilih untuk menonton kami dari jaring buatannya. Mengawasi dengan penuh konsentrasi sebelum menjadikan kami sebagai makan malam."Abby, kau punya ide?" Bisik Maxwell."Meskipun jarak pandang si tikus tanah itu terbatas, ia bisa mendengar gerakan kita.""Itu 'kan memang pengetahuan umum, Abby.""Karena itu, kau saja serang dia dari dekat dan mengecohnya. Aku akan mengusahakan sesuatu dengan sihirku." Kuakui aku jadi agak sedikit congkak dengan kekuatan baru ini. Semangatku membara seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.Dia mengangguk dan mulai menyerang si tikus. Kalau boleh kubilang, gerakannya sangat tangkas dan cepat. Ia melayangkan serangan tersebut dengan mantap seolah yakin akan mengenai sasarannya.Dari gerakannya, Maxwell be
Seperti cerita dongeng pada umumnya, aku akan memulai kisah ini dengan kata 'pada jaman dahulu'.Farasia terlahir dari musim dingin dan tawa anak-anak yang bermain boneka salju. Tugasnya mudah, menjaga agar anak-anak tetap tertawa di gempuran dinginnya musim salju. Ia bisa mengubah tekstur salju sesuai dengan keinginannya agar mudah dibentuk. Melihat anak-anak yang berharap bahwa musim salju takkan berakhir, sudah cukup membuatnya bahagia. Hingga suatu hari, Dewa Langit, Agros menghukum salah satu anaknya yang bernama Hogres menjadi manusia turun di bumi untuk merefleksikan perbuatannya setelah ia membuat onar Gnolimpia, rumah para dewa.Bukannya menyesal, Hogres membuat keonaran dan menghancurkan suka cita di musim dingin.Farasia mengamuk dan melahap Hogres ke dalam salju abadi buatannya sehingga ia akan beku untuk selamanya. Agros bukannya marah, melainkan leg
Aku langsung merunduk saat ia berencana terbang ke arahku. Tapi ia langsung terpental begitu jarak kami tinggal beberapa senti."Berkat Farasia! Berkat Farasia!" Pekiknya panik. Akhirnya Lilac si burung gagak, terbang ke arah berlawanan dariku dan kabur dengan menjebol dinding dapur. "Abby? Apa yang terjadi?" Tanya Maxwell yang menghampiriku karena mendengar bunyi yang diciptakan siluman itu. "Max, Lilac berubah jadi burung gagak!" "Ah, Harpie sialan! Jangan-jangan tetua sudah…," "Tolong.." terdengar suara lemah dari dalam salah satu lemari kecil yang berada di bawah cucian piring kotor Maxwell membukanya dan menemukan seorang lelaki tua sekarat di dalam sana. Tubuhnya lemas dan penuh luka tapi dia masih dalam keadaan sadar. "Gawat! Abby, kau bawa kotak obat?" Maxwell nampak jengkel saat melihatku menggelengkan kepala.
"Apakah anda tidak suka hidup lebih lama dari kebanyakan orang?" Aku bertanya murni karena rasa penasaran.Kalau hidup lebih lama, bukankah bisa terus makan makanan yang enak, sekaligus melihat keindahan dunia yang tak ada habisnya. Bukankah itu menyenangkan?Dia tersenyum, "Sejujurnya aku bersyukur. Tetapi, bosan adalah salah satu sifat juga kelemahan manusia. Aku ingin menjelajah belahan dunia lain dimana tidak ada tanah beku yang bisa kupijak. Meski mungkin saja, aku takkan bisa puas menjelajahinya dengan punggung dan kaki yang mudah nyeri. Dan bisa saja, kebebasan itu tak bisa kurasakan dalam waktu yang lama," Kali ini pandangannya menerawang ke arah luar jendela. Memandangi pemandangan yang sama selama bertahun-tahun.Baru kusadari, mungkin, lelaki tua ini kesepian atau seperti yang ia barusan katakan, ingin berlari dengan bebas di padang bunga yang bersemi. "Mungkin Farasia memiliki panda
Max mengusap dahinya yang penuh keringat sebelum memanggil namaku. "Abby, kau baik-baik saja? Kenapa diam saja?""Maaf, aku nyaris ketiduran." Max menyeringai saat menyadari kesinisan dalam nada bicaraku. "Sepertinya aku terlalu bersemangat. Sini, berjalanlah di dekatku. Aku masih bisa mencium bau mereka dalam sepersekian meter." Aku mengangguk dan memutuskan untuk fokus pada jalan yang kulalui. Mayat-mayat Ogre bersimpah darah jatuh berserakan di atas tanah. Baru beberapa langkah, aku menyadari sesuatu yang aneh pada mereka. "Apa benda hijau di balik lengan mereka ini?" Alis lelaki itu naik sebelah, "Benda hijau?" "Seperti kancing." Kataku sambil mengangguk. Max menggunakan pedangnya untuk menyetuh bagian tubuh yang kumaksud. Untungnya ia masih memakai sarung tangan hitam saat meraih kancing bulat bewarna
"Jadi, ini yang kau bilang keren?" Tanyaku di atas batang pohon.Iya, benar. Max duduk di sebelahku yang memegangi batang pohon besar dengan erat.Lengah sedikit, riwayatku pasti tamat akibat jatuh dari ketinggian sepuluh meter."Dari sini pemandangannya sangat keren bukan. Lagipula, kita bisa melihat keadaan kota." Katanya sambil memegangi dahan pohon yang didudukinya. "Ah, lihat! Ada di sana! Sepertinya masih aman." "Lalu, apa yang harus kita lakukan dengan monster-monster yang ada di bawah kita? Aku bukan pecinta ketinggian, dasar sial!" Kupikir Max akan mengalahkan kumpulan ogre itu dalam sekali sabetan. Tapi aku salah, dia memang menyerang beberapa dari mereka.Setelah dua menit mengayunkan pedang, Max mengangkat tubuhku dan menaruhku di pundaknya sebelum mulai berlari secepat kilat meninggalkan para ogre tersebut.Tidak berhenti disitu, ia
Perjalanan menuju Tusban telah dimulai. Atau setidaknya begitu. Kami meninggalkan rumah si tetua setelah sarapan.Dia sepertinya benar-benar tak ingin merenovasi dindingnya yang hancur tersebut.Max dan aku bukannya menolak ingin membantu. Tapi kami tak bisa melakukan apapun.Meski begitu, sepanjang perjalanan ini, Max menggerutu dan terus mengataiku sebagai penyihir tanpa hati.Kubiarkan saja dia. Ini bukan pertama kalinya ia mengataiku macam-macam. Dan juga, sihir, yang masih belum kukuasai dengan benar ini, lebih mumpuni untuk menghancurkan sesuatu ketimbang memperbaiki.Max menatap langit saat kami berada di area terluar perbatasan hutan timur."Ternyata sudah tengah hari. Perasaanku saja atau kita memang berjalan lebih cepat dari sebelumnya?"Aku membungkuk agak dalam ke arah pegunungan bersalju yang baru kulewati. "Terima kasih, Dewi Fa
Aku berani bersumpah bahwa perempuan itu mengatakan sesuatu padaku. Karena bibirnya bergerak seperti mulut ikan yang megap-megap mencari air.Dikalahkan dengan rasa penasaran, aku mendekatkan telingaku kepadanya hingga jarak diantara kami hanya beberapa senti.Suaranya terdengar jauh dan terpatah-patah, "Kau… harus… temukan… Tusban… segera."Kedua alisku bertautan, "Apa maksudnya? Berarti Tusban adalah tujuan yang benar?"Sosok itu melengkungkan bibirnya membentuk seulas senyuman yang lemah, "Selamatkan… kami."Lalu keluarlah sinar putih yang sangat menyilaukan dan setelah cahaya itu padam, sosok itu kembali ke pose sebelumnya. Diam seperti patung.Berulang kali aku mengucek mata dan mencubit pipiku sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi.Jantungku, entah kenapa, berdebar sangat cepat dan dengan pani
"Apakah anda tidak suka hidup lebih lama dari kebanyakan orang?" Aku bertanya murni karena rasa penasaran.Kalau hidup lebih lama, bukankah bisa terus makan makanan yang enak, sekaligus melihat keindahan dunia yang tak ada habisnya. Bukankah itu menyenangkan?Dia tersenyum, "Sejujurnya aku bersyukur. Tetapi, bosan adalah salah satu sifat juga kelemahan manusia. Aku ingin menjelajah belahan dunia lain dimana tidak ada tanah beku yang bisa kupijak. Meski mungkin saja, aku takkan bisa puas menjelajahinya dengan punggung dan kaki yang mudah nyeri. Dan bisa saja, kebebasan itu tak bisa kurasakan dalam waktu yang lama," Kali ini pandangannya menerawang ke arah luar jendela. Memandangi pemandangan yang sama selama bertahun-tahun.Baru kusadari, mungkin, lelaki tua ini kesepian atau seperti yang ia barusan katakan, ingin berlari dengan bebas di padang bunga yang bersemi. "Mungkin Farasia memiliki panda
Aku langsung merunduk saat ia berencana terbang ke arahku. Tapi ia langsung terpental begitu jarak kami tinggal beberapa senti."Berkat Farasia! Berkat Farasia!" Pekiknya panik. Akhirnya Lilac si burung gagak, terbang ke arah berlawanan dariku dan kabur dengan menjebol dinding dapur. "Abby? Apa yang terjadi?" Tanya Maxwell yang menghampiriku karena mendengar bunyi yang diciptakan siluman itu. "Max, Lilac berubah jadi burung gagak!" "Ah, Harpie sialan! Jangan-jangan tetua sudah…," "Tolong.." terdengar suara lemah dari dalam salah satu lemari kecil yang berada di bawah cucian piring kotor Maxwell membukanya dan menemukan seorang lelaki tua sekarat di dalam sana. Tubuhnya lemas dan penuh luka tapi dia masih dalam keadaan sadar. "Gawat! Abby, kau bawa kotak obat?" Maxwell nampak jengkel saat melihatku menggelengkan kepala.
Seperti cerita dongeng pada umumnya, aku akan memulai kisah ini dengan kata 'pada jaman dahulu'.Farasia terlahir dari musim dingin dan tawa anak-anak yang bermain boneka salju. Tugasnya mudah, menjaga agar anak-anak tetap tertawa di gempuran dinginnya musim salju. Ia bisa mengubah tekstur salju sesuai dengan keinginannya agar mudah dibentuk. Melihat anak-anak yang berharap bahwa musim salju takkan berakhir, sudah cukup membuatnya bahagia. Hingga suatu hari, Dewa Langit, Agros menghukum salah satu anaknya yang bernama Hogres menjadi manusia turun di bumi untuk merefleksikan perbuatannya setelah ia membuat onar Gnolimpia, rumah para dewa.Bukannya menyesal, Hogres membuat keonaran dan menghancurkan suka cita di musim dingin.Farasia mengamuk dan melahap Hogres ke dalam salju abadi buatannya sehingga ia akan beku untuk selamanya. Agros bukannya marah, melainkan leg
Orang bilang hidup memang penuh kejutan. Tapi aku tidak suka kejutan semacam ini.Si laba-laba dengan tenang memilih untuk menonton kami dari jaring buatannya. Mengawasi dengan penuh konsentrasi sebelum menjadikan kami sebagai makan malam."Abby, kau punya ide?" Bisik Maxwell."Meskipun jarak pandang si tikus tanah itu terbatas, ia bisa mendengar gerakan kita.""Itu 'kan memang pengetahuan umum, Abby.""Karena itu, kau saja serang dia dari dekat dan mengecohnya. Aku akan mengusahakan sesuatu dengan sihirku." Kuakui aku jadi agak sedikit congkak dengan kekuatan baru ini. Semangatku membara seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.Dia mengangguk dan mulai menyerang si tikus. Kalau boleh kubilang, gerakannya sangat tangkas dan cepat. Ia melayangkan serangan tersebut dengan mantap seolah yakin akan mengenai sasarannya.Dari gerakannya, Maxwell be
Rasanya aku mau pingsan! Tentu saja karena kekenyangan. Semua makanan ini tidak bisa habis dan terus beregenerasi.Matahari sudah bersinar beberapa menit yang lalu, membagikan sedikit kehangatan."Kau tidak merasa pusing? Yang barusan kau lakukan itu sihir tingkat menengah. Pasti ada efek sampingnya, bukan? " Tanya Maxwell."Aku hanya merasa tubuhku menjadi berat."Lelaki itu mendengus sebelum mencecap winenya sampai habis, "Perutmu itu bisa meledak sewaktu-waktu. Jadi, berhati-hatilah."Aku mengambil kalkun panggang utuh, membungkusnya dengan daun-daun pinus kering sebelum memasukkannya ke dalam tas ku.Maxwell tidak membawa apapun, saat kutanya kenapa. Dia menjawab, "Sifat serakah takkan membawamu kemanapun." "Terserah, pokoknya jangan minta meski hanya segigit. Ayo kita harus segera lanjutkan perjalanan." Aku harus segera bergerak untuk menghil