Maxwell mengangkat sebelah alisnya saat aku menyeruput sisa sup kentang buatannya dari mulut mangkuk.
Entah karena lapar atau dia memang pandai memasak, tapi rasa supnya enak sekali. Aku bahkan tak menolak saat ia menuangkan sisa sup dari panci kepadaku."Kau tak bisa terus menggunakan mantel tua itu."Aku mengangguk. Kali ini setelah menghabiskan dua mangkuk sup, perutku takkan berulah lagi. "Sebelum itu, tolong jelaskan alasan kenapa kau ingin tapi tidak jadi membunuhku?""Maafkan aku. Tapi ayahku, Raja Albertine, sering mengirim mata-mata ataupun pembunuh bayaran untukku. Kupikir kau adalah salah satunya. Tapi, ternyata kau utusan penyihir suci.""Siapa yang kau maksud penyihir suci? Jujur saja, aku memang tidak tahu bagaimana bisa ada di tempat ini. Tapi yang jelas, aku bukanlah utusan siapapun.""Dari mana kau dapatkan kalung itu?""Ini hadiah perpisahan dari Nenek. Tapi benda ini bisa saja dibeli di pasar atau malah seseorang memberikannya pada nenekku. Yang jelas, aku bukan utusan penyihir suci.""Nenekmu orang seperti apa?"Aku menjelaskan semua hal tentang nenekku kecuali dongeng-dongennya.Entah kenapa aku tak ingin menceritakkannya."Kurasa bukan Penyihir Suci. Dari yang kudengar, ia tak menikah. Apalagi memilik seorang cucu.""Kau tak pernah bertemu dengannya?""Pernah saat usiaku lima tahun. Ia mengunjungiku untuk memberikan berkat. Tapi seluruh wajahnya tertutup cadar."Aku mencoba mengingat kembali dongeng yang di ceritakan Nenek mengenai Maxwell. Cerita itu hanya bisa kuingat secara samar.Saat Maxwell lahir, seorang ratu dari salah satu kerajaan yang dihancurkan oleh Raja Albertine memberikan kutukan tersebut kepada keturunannya sehingga ia takkan memiliki pewaris. Hal ini membuat raja mengadopsi keponakannya dan membuang Maxwell.
Tanpa sepengetahuan raja, Ibu Maxwell, Ratu Augusta Margarite de Albertine, menyuruh seorang dayang untuk menyelamatkannya dan Maxwell pun ia asuh seperti anak sendiri.Sayangnya, entah bagaimana Raja mengetahui hal itu.Ia mengasingkan ratu di pulau terpencil dan mulai memburu Maxwell.
Mereka lalu hidup berpindah-pindah menghindari bahaya.Lalu saat ia menginjak umur sepuluh tahun, dayang tersebut meninggal. Maxwell yang sebatang kara itu berniat mematahkan kutukannya dan berencana hidup normal.
"Kau adalah utusan yang ketujuh.""Maaf? Apa?""Setelah kematian Ibu, setiap tahun penyihir suci mengirimkan seseorang untuk membantuku.""Darimana kau tahu kalau mereka dari penyihir itu?""Saat memberikan berkat kepadaku. Dia memberiku pesan bahwa utusan dengan cahaya suci akan membantuku."Kalau begitu, cahaya yang keluar dari amulet ini...Berarti kedatanganku kesini adalah untuk membantu Maxwell memecahkan kutukannya? Jadi, aku bisa mengetahui akhir cerita tersebut!"Tidak perlu." Kata Maxwell seolah ia bisa menebak apa yang kupikirkan. "Aku sudah menyerah. Terakhir kali Raja Albertine mengirim orang suruhannya sekitar dua tahun yang lalu. Mungkin mereka memberi laporan bahwa aku telah mati atau semacamnya. Yang jelas, hidupku sudah tenang. Aku sudah menerima kutukan ini sebagai bagian dari hidupku.""Tidak bisa! Kau harus bebas dari kutukanmu lalu menikah dengan seorang puteri dari kerajaan yang makmur. Lalu kalian hidup bahagia selama-lamanya."Itulah adalah akhir paling cocok untuk seorang pangeran."Abby. Semua anak perempuan adalah seorang puteri bagi keluarganya. Entah dia bangsawan atau bukan, bagiku semua sama.""Kau sudah punya gadis yang kusukai?"Maxwell menyilangkan lengan, "Ada beberapa kucing betina yang menarik perhatianku.""Kau tidak serius, kan?""Aku ini manusia separuh kucing. Jadi, pertanyaanmu kurang spesifik.""Maksudku gadis manusia.""Tidak ada. Maksudku, belum. Tapi kalaupun ada. Aku tak yakin mereka mau menikah dengan orang sepertiku. Itu adalah bagian dari kutukan tersebut. Tapi setidaknya, aku mungkin bisa memiliki selusin anak kucing yang lucu.""Dan kau ingin membangun sebuah kerajaan dengan anak-anak kucing itu? Kau tahu tidak? Bisa saja kucing-kucing itu tidak hamil karenamu. Mereka bisa saja hamil dengan kucing lain tapi tetap memintamu bertanggung jawab!"Maxwell meringis, "Maaf, aku tidak tahu kalau ini tidak lucu untukmu.""Setidaknya berjuanglah lebih keras, Maxwell.""Maksudmu, untuk melucu?""Untuk seluruh kehidupanmu!" Jawabku gemas. "Kau adalah manusia asli. Tidak seorang pun yang bisa mengubahnya. Karena itu, kau seharusnya berusaha lebih keras untuk mematahkan kutukannya."Maxwell menatapku tanpa berkedip, "Kau tidak ingin menanyakan nasib keenam utusan penyihir suci sebelumnya? Mereka mati, Abby. Mereka semua mati konyol hanya untuk membantu orang yang bahkan tidak mereka kenal. Akan lebih baik jika aku mengantarmu pulang ke rumah. Kau berkumpul dengan keluargamu dan aku bisa menjalani kehidupanku lagi." "Aku bukan utusan penyihir suci! Aku tahu pasti soal itu. Jadi aku tidak akan mati semudah itu."Maxwell menghela nafas dan beranjak dari kursinya. "Ayo kita pergi sekarang."Aku mengekorinya, "Kemana?""Mencari pakaian yang pantas untukmu.""Kau punya uang?" Aku tidak bermaksud merendahkan atau semacamnya.Maxwell tinggal di pondok kecil yang terbuat dari kayu dan anyaman jerami sebagai atapnya. Di dalamnya hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur yang merangkap sebagai ruang tamu.Dan sama sekali tidak barang berharga di sini. Aku bahkan tak menemukan potret ibunya di manapun."Ada." Jawabnya singkat sambil menutup pintu di belakangku."Dari mana?" Tanyaku sambil berjalan mengikutinya.Kami berjalan menyusuri jalan setapak. Hutan ini tidak selebat sebelumnya. Kebanyakan ditumbuhi pohon pinus juga tanaman buah berry liar. Sinar matahari kini terasa lebih bersahabat. Kuduga sekarang mungkin bahkan belum tengah hari."Aku menjual apa saja yang aku temukan di hutan ini.""Kau berburu disini?"Maxwell menggeleng, "Mereka adalah pemilik hutan ini. Aku tak ingin mengusiknya. Bagaimanapun aku hanyalah tamu di sini. Jadi, aku mencari kayu bakar ataupun buah-buahan.""Kau bukannya sudah lama tinggal disini?""Baru empat bulan. Aku selalu mencari tempat yang lebih hangat sebelum musim dingin tiba.""Kenapa?" Kami berhenti saat sampai di pinggir sungai. Beruntungnya, ada beberapa batu besar sebagai pijakan."Pegang tanganku. Disini agak licin." Katanya sambil menawarkan tangannya. Aku mengenggamnya dan merasakan telapak tangannya yang kasar. Tapi ada sesuatu dalam genggamannya yang membuatku merasa tenang. "Jalan perlahan saja, ya.""Kau belum menjawab pertanyaanku." "Musim dingin membuat matahari tenggelam lebih cepat dan malam terasa lebih lama dari musim lainnya. Aku tak menyukainya." Kami sudah sampai di seberang sungai. Sayup-sayup aku bisa mendengar keramaian. Sepertinya kami akan segera sampai di pasar."Keluargamu pasti mengkhawatirkanmu." Kata Maxwell kepadaku. Ia memunggungiku jadi aku tak bisa melihat ekspresinya.Lalu terbayang wajah orang tuaku yang panik karena tak menemukanku di kamar. Kakakku akan memeriksa semua teman-temanku. Keluargaku mungkin akan menghubungi petugas keamanan dan melaporkan kehilanganku.Besar kemungkinan, mereka telah mencetak fotoku dengan tulisan 'Dicari Orang Hilang' dan menyebarkannya ke media massa di seluruh benua. Belum-belum aku telah merindukan mereka.
Aku hampir mengatakan hal tersebut tapi urung saat melihat punggung Maxwell yang nampak kesepian.
Tak bisa kubayangkan apa saja yang telah ia lewati selama ini. Dibuang keluarganya, dikejar para pembunuh bayaran, ibu asuhnya meninggal dan semua utusan penyihir suci mati di depannya.
Sebuah keajaiban bahwa ia masih hidup dengan baik dan tetap menjaga kewarasannya.Seandainya aku menjadi Maxwell, mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Hidup sebagai manusia di pagi hari dan kucing saat malam.
Tubuhku mendadak menggigil membayangkan Maxwell dan selusin anak kucing. Aku sama sekali tak memiliki masalah dengan kucing. Hanya saja membayangkan dia dan kucing-kucing betina itu..
Tidak.. Tidak.. Maxwell tak mungkin melakukan hal itu!
Memang aku harus melakukan ini! Pertemuan ini telah ditakdirkan karena suatu hal. Yaitu mematahkan kutukannya. Bagaimanapun ia harus memiliki anak-anak manusia!
Kalau seandainya misi ini memakan waktu beberapa minggu, orang tuaku pasti takkan keberatan.
Tapi dari mana kami harus mulai? "Kau tahu cara mematahkan kutukan ini?""Entahlah.""Kau tidak menemukan petunjuk apapun? Bahkan bersama para utusan penyihir suci?"Dia berbalik dan menatapku lekat- lekat. Mata hijaunya terlihat menakutkan, "Kupikir kita sudah sepakat, Abby. Kau harus segera pulang! Anggap saja kita tak pernah bertemu."Entah dari mana aku mendapatkan keberanian itu, tapi tanganku sudah mencengkeram kerah bajunya. "Maxwell Ignatius de Albertine, aku sudah bertekad agar kau bisa menikah dengan seorang gadis manusia dan memiliki anak-anak manusia juga. Kau harus hidup bahagia dan terbebas dari kutukan sialan itu lagi.""Maxwell Knightwood, itu nama yang kupakai sekarang." Ia menepis tanganku dan merapikan kerah bajunya. "Kenapa kau terobsesi sekali dengan hal itu? Aku sudah bahagia. Sekarang yang terpenting, kau harus pulang. Keluargamu pasti sudah menunggumu.""Kau benar. Keluargaku pasti sudah menungguku. Karena itu mari kita patahkan kutukannya sekarang juga. Agar aku bisa pulang dengan nyaman. Anggaplah ini sebagai balas budi karena kau menyelamatkanku.""Balas budi?" Maxwell nampak tertegun dengan ucapan itu. "Aku menolongmu karena itu adalah hal yang benar.""Tapi tak semua orang melakukan hal yang benar. Kebanyakan hanya melakukan hal yang mudah. Kau bisa membiarkanku mati
Maxwell nampak aneh. Sejak kejadian itu, lelaki itu selalu nampak sedang berpikir keras.Berkali-kali ia menanyakan pertanyaan yang sama."Apakah kau benar-benar memegang liontin tersebut?"Kami sedang menerobos hutan. Sesekali, ia menggunakan pedang untuk menebas ranting dan daun-daun yang menghalangi langkah kami.Jalan yang kali ini kami lewati berbeda dengan yang kami lalui untuk pergi ke pasar. Maxwel tidak menjawab saat kutanya mengenai kemana sebenarnya tujuan kami.Ia sepertinya sedang tak berminat untuk bicara. Jadi, aku berhenti mencoba.Jam makan siang sudah terlewat. Tapi kami masih berada dalam hutan.Malahan kalau bisa kubilang, kami hanya berjalan berputar-putar.Aku mengisi botol minuman untuk ketiga kalinya saat kami melewati sungai."Kau tidak haus?"Lagi-lagi lelaki itu tak menjawab dan terus berjalan. Sambil menghela nafas berat, aku mengikutinya lagi dengan langkah lebar."B
Aku hanya bisa melihat tiga hal di Pegunungan Utara. Tumpukan salju, pohon pinus yang meranggas dan langit dengan awan mendung."Ceritakanlah mengenai tempat tinggalmu." Kata Maxwell.Tapi jangankan untuk bercerita, bibirku tak bisa berhenti menggigil. Ini bukan musim dingin pertamaku.Malahan aku paling menyukai saat membuat boneka salju juga ketika berbaring di dekat perapian dengan selimut tebal dan secangkir cokelat panas.Tapi salju di sini benar-benar berbeda. Dinginnya sampai menembus tulang dan aku nyaris tak bisa menggerakan jemari tangan atau kakiku yang terasa kebas.Bahkan hembusan anginnya pun mengerikan. Beberapa kali aku nyaris terjungkal saking kencangnya angin tersebut. Tentu saja aku tak melihat rumah penduduk di daerah ini.Kemungkinan terburuk yang bisa ku alami adalah mati beku tanpa ditemukan siapapun.Tapi aku penasaran, apakah terkubur dalam gundukan salju akan membuat tubuh kita tidak membusuk unt
Hari ini aku tidak bisa tidur karena lapar.Jatah makan malamku sudah habis dan aku tak mungkin melahap jatah Maxwell juga.Mungkin karena aku tak memakai korset, nafsu makanku bertambah cukup banyak.Jadi, kupaksakan diri untuk membayangkan makanan enak sambil menatap api buatan Maxwell yang menjilati langit-langit gua.Baru saja saat aku membayangkan sepiring ayam panggang, terdengar suara serigala yang melolong.Aku mengenali suara itu sebagai tanda bahaya dan membangunkan Maxwell, yang sudah berubah menjadi manusia, dari tidurnya."Tidak apa, mereka hanya menumpang lewat," katanya dengan nada malas sebelum melanjutkan tidurnya lagi.Tapi aku menahannya, "Suara mereka terdengar sangat dekat. Cepat matikan apinya! Jangan-jangan mereka dapat mencium aroma keberadaan kita,"Maxwell menjentikan jarinya membuat sekeliling gua menjadi gelap. Hembusan angin di luar menjadi terasa amat dingin.Maxwell bersiap akan bergelun
Rasanya aku mau pingsan! Tentu saja karena kekenyangan. Semua makanan ini tidak bisa habis dan terus beregenerasi.Matahari sudah bersinar beberapa menit yang lalu, membagikan sedikit kehangatan."Kau tidak merasa pusing? Yang barusan kau lakukan itu sihir tingkat menengah. Pasti ada efek sampingnya, bukan? " Tanya Maxwell."Aku hanya merasa tubuhku menjadi berat."Lelaki itu mendengus sebelum mencecap winenya sampai habis, "Perutmu itu bisa meledak sewaktu-waktu. Jadi, berhati-hatilah."Aku mengambil kalkun panggang utuh, membungkusnya dengan daun-daun pinus kering sebelum memasukkannya ke dalam tas ku.Maxwell tidak membawa apapun, saat kutanya kenapa. Dia menjawab, "Sifat serakah takkan membawamu kemanapun." "Terserah, pokoknya jangan minta meski hanya segigit. Ayo kita harus segera lanjutkan perjalanan." Aku harus segera bergerak untuk menghil
Orang bilang hidup memang penuh kejutan. Tapi aku tidak suka kejutan semacam ini.Si laba-laba dengan tenang memilih untuk menonton kami dari jaring buatannya. Mengawasi dengan penuh konsentrasi sebelum menjadikan kami sebagai makan malam."Abby, kau punya ide?" Bisik Maxwell."Meskipun jarak pandang si tikus tanah itu terbatas, ia bisa mendengar gerakan kita.""Itu 'kan memang pengetahuan umum, Abby.""Karena itu, kau saja serang dia dari dekat dan mengecohnya. Aku akan mengusahakan sesuatu dengan sihirku." Kuakui aku jadi agak sedikit congkak dengan kekuatan baru ini. Semangatku membara seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.Dia mengangguk dan mulai menyerang si tikus. Kalau boleh kubilang, gerakannya sangat tangkas dan cepat. Ia melayangkan serangan tersebut dengan mantap seolah yakin akan mengenai sasarannya.Dari gerakannya, Maxwell be
Seperti cerita dongeng pada umumnya, aku akan memulai kisah ini dengan kata 'pada jaman dahulu'.Farasia terlahir dari musim dingin dan tawa anak-anak yang bermain boneka salju. Tugasnya mudah, menjaga agar anak-anak tetap tertawa di gempuran dinginnya musim salju. Ia bisa mengubah tekstur salju sesuai dengan keinginannya agar mudah dibentuk. Melihat anak-anak yang berharap bahwa musim salju takkan berakhir, sudah cukup membuatnya bahagia. Hingga suatu hari, Dewa Langit, Agros menghukum salah satu anaknya yang bernama Hogres menjadi manusia turun di bumi untuk merefleksikan perbuatannya setelah ia membuat onar Gnolimpia, rumah para dewa.Bukannya menyesal, Hogres membuat keonaran dan menghancurkan suka cita di musim dingin.Farasia mengamuk dan melahap Hogres ke dalam salju abadi buatannya sehingga ia akan beku untuk selamanya. Agros bukannya marah, melainkan leg
Aku langsung merunduk saat ia berencana terbang ke arahku. Tapi ia langsung terpental begitu jarak kami tinggal beberapa senti."Berkat Farasia! Berkat Farasia!" Pekiknya panik. Akhirnya Lilac si burung gagak, terbang ke arah berlawanan dariku dan kabur dengan menjebol dinding dapur. "Abby? Apa yang terjadi?" Tanya Maxwell yang menghampiriku karena mendengar bunyi yang diciptakan siluman itu. "Max, Lilac berubah jadi burung gagak!" "Ah, Harpie sialan! Jangan-jangan tetua sudah…," "Tolong.." terdengar suara lemah dari dalam salah satu lemari kecil yang berada di bawah cucian piring kotor Maxwell membukanya dan menemukan seorang lelaki tua sekarat di dalam sana. Tubuhnya lemas dan penuh luka tapi dia masih dalam keadaan sadar. "Gawat! Abby, kau bawa kotak obat?" Maxwell nampak jengkel saat melihatku menggelengkan kepala.
Max mengusap dahinya yang penuh keringat sebelum memanggil namaku. "Abby, kau baik-baik saja? Kenapa diam saja?""Maaf, aku nyaris ketiduran." Max menyeringai saat menyadari kesinisan dalam nada bicaraku. "Sepertinya aku terlalu bersemangat. Sini, berjalanlah di dekatku. Aku masih bisa mencium bau mereka dalam sepersekian meter." Aku mengangguk dan memutuskan untuk fokus pada jalan yang kulalui. Mayat-mayat Ogre bersimpah darah jatuh berserakan di atas tanah. Baru beberapa langkah, aku menyadari sesuatu yang aneh pada mereka. "Apa benda hijau di balik lengan mereka ini?" Alis lelaki itu naik sebelah, "Benda hijau?" "Seperti kancing." Kataku sambil mengangguk. Max menggunakan pedangnya untuk menyetuh bagian tubuh yang kumaksud. Untungnya ia masih memakai sarung tangan hitam saat meraih kancing bulat bewarna
"Jadi, ini yang kau bilang keren?" Tanyaku di atas batang pohon.Iya, benar. Max duduk di sebelahku yang memegangi batang pohon besar dengan erat.Lengah sedikit, riwayatku pasti tamat akibat jatuh dari ketinggian sepuluh meter."Dari sini pemandangannya sangat keren bukan. Lagipula, kita bisa melihat keadaan kota." Katanya sambil memegangi dahan pohon yang didudukinya. "Ah, lihat! Ada di sana! Sepertinya masih aman." "Lalu, apa yang harus kita lakukan dengan monster-monster yang ada di bawah kita? Aku bukan pecinta ketinggian, dasar sial!" Kupikir Max akan mengalahkan kumpulan ogre itu dalam sekali sabetan. Tapi aku salah, dia memang menyerang beberapa dari mereka.Setelah dua menit mengayunkan pedang, Max mengangkat tubuhku dan menaruhku di pundaknya sebelum mulai berlari secepat kilat meninggalkan para ogre tersebut.Tidak berhenti disitu, ia
Perjalanan menuju Tusban telah dimulai. Atau setidaknya begitu. Kami meninggalkan rumah si tetua setelah sarapan.Dia sepertinya benar-benar tak ingin merenovasi dindingnya yang hancur tersebut.Max dan aku bukannya menolak ingin membantu. Tapi kami tak bisa melakukan apapun.Meski begitu, sepanjang perjalanan ini, Max menggerutu dan terus mengataiku sebagai penyihir tanpa hati.Kubiarkan saja dia. Ini bukan pertama kalinya ia mengataiku macam-macam. Dan juga, sihir, yang masih belum kukuasai dengan benar ini, lebih mumpuni untuk menghancurkan sesuatu ketimbang memperbaiki.Max menatap langit saat kami berada di area terluar perbatasan hutan timur."Ternyata sudah tengah hari. Perasaanku saja atau kita memang berjalan lebih cepat dari sebelumnya?"Aku membungkuk agak dalam ke arah pegunungan bersalju yang baru kulewati. "Terima kasih, Dewi Fa
Aku berani bersumpah bahwa perempuan itu mengatakan sesuatu padaku. Karena bibirnya bergerak seperti mulut ikan yang megap-megap mencari air.Dikalahkan dengan rasa penasaran, aku mendekatkan telingaku kepadanya hingga jarak diantara kami hanya beberapa senti.Suaranya terdengar jauh dan terpatah-patah, "Kau… harus… temukan… Tusban… segera."Kedua alisku bertautan, "Apa maksudnya? Berarti Tusban adalah tujuan yang benar?"Sosok itu melengkungkan bibirnya membentuk seulas senyuman yang lemah, "Selamatkan… kami."Lalu keluarlah sinar putih yang sangat menyilaukan dan setelah cahaya itu padam, sosok itu kembali ke pose sebelumnya. Diam seperti patung.Berulang kali aku mengucek mata dan mencubit pipiku sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi.Jantungku, entah kenapa, berdebar sangat cepat dan dengan pani
"Apakah anda tidak suka hidup lebih lama dari kebanyakan orang?" Aku bertanya murni karena rasa penasaran.Kalau hidup lebih lama, bukankah bisa terus makan makanan yang enak, sekaligus melihat keindahan dunia yang tak ada habisnya. Bukankah itu menyenangkan?Dia tersenyum, "Sejujurnya aku bersyukur. Tetapi, bosan adalah salah satu sifat juga kelemahan manusia. Aku ingin menjelajah belahan dunia lain dimana tidak ada tanah beku yang bisa kupijak. Meski mungkin saja, aku takkan bisa puas menjelajahinya dengan punggung dan kaki yang mudah nyeri. Dan bisa saja, kebebasan itu tak bisa kurasakan dalam waktu yang lama," Kali ini pandangannya menerawang ke arah luar jendela. Memandangi pemandangan yang sama selama bertahun-tahun.Baru kusadari, mungkin, lelaki tua ini kesepian atau seperti yang ia barusan katakan, ingin berlari dengan bebas di padang bunga yang bersemi. "Mungkin Farasia memiliki panda
Aku langsung merunduk saat ia berencana terbang ke arahku. Tapi ia langsung terpental begitu jarak kami tinggal beberapa senti."Berkat Farasia! Berkat Farasia!" Pekiknya panik. Akhirnya Lilac si burung gagak, terbang ke arah berlawanan dariku dan kabur dengan menjebol dinding dapur. "Abby? Apa yang terjadi?" Tanya Maxwell yang menghampiriku karena mendengar bunyi yang diciptakan siluman itu. "Max, Lilac berubah jadi burung gagak!" "Ah, Harpie sialan! Jangan-jangan tetua sudah…," "Tolong.." terdengar suara lemah dari dalam salah satu lemari kecil yang berada di bawah cucian piring kotor Maxwell membukanya dan menemukan seorang lelaki tua sekarat di dalam sana. Tubuhnya lemas dan penuh luka tapi dia masih dalam keadaan sadar. "Gawat! Abby, kau bawa kotak obat?" Maxwell nampak jengkel saat melihatku menggelengkan kepala.
Seperti cerita dongeng pada umumnya, aku akan memulai kisah ini dengan kata 'pada jaman dahulu'.Farasia terlahir dari musim dingin dan tawa anak-anak yang bermain boneka salju. Tugasnya mudah, menjaga agar anak-anak tetap tertawa di gempuran dinginnya musim salju. Ia bisa mengubah tekstur salju sesuai dengan keinginannya agar mudah dibentuk. Melihat anak-anak yang berharap bahwa musim salju takkan berakhir, sudah cukup membuatnya bahagia. Hingga suatu hari, Dewa Langit, Agros menghukum salah satu anaknya yang bernama Hogres menjadi manusia turun di bumi untuk merefleksikan perbuatannya setelah ia membuat onar Gnolimpia, rumah para dewa.Bukannya menyesal, Hogres membuat keonaran dan menghancurkan suka cita di musim dingin.Farasia mengamuk dan melahap Hogres ke dalam salju abadi buatannya sehingga ia akan beku untuk selamanya. Agros bukannya marah, melainkan leg
Orang bilang hidup memang penuh kejutan. Tapi aku tidak suka kejutan semacam ini.Si laba-laba dengan tenang memilih untuk menonton kami dari jaring buatannya. Mengawasi dengan penuh konsentrasi sebelum menjadikan kami sebagai makan malam."Abby, kau punya ide?" Bisik Maxwell."Meskipun jarak pandang si tikus tanah itu terbatas, ia bisa mendengar gerakan kita.""Itu 'kan memang pengetahuan umum, Abby.""Karena itu, kau saja serang dia dari dekat dan mengecohnya. Aku akan mengusahakan sesuatu dengan sihirku." Kuakui aku jadi agak sedikit congkak dengan kekuatan baru ini. Semangatku membara seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.Dia mengangguk dan mulai menyerang si tikus. Kalau boleh kubilang, gerakannya sangat tangkas dan cepat. Ia melayangkan serangan tersebut dengan mantap seolah yakin akan mengenai sasarannya.Dari gerakannya, Maxwell be
Rasanya aku mau pingsan! Tentu saja karena kekenyangan. Semua makanan ini tidak bisa habis dan terus beregenerasi.Matahari sudah bersinar beberapa menit yang lalu, membagikan sedikit kehangatan."Kau tidak merasa pusing? Yang barusan kau lakukan itu sihir tingkat menengah. Pasti ada efek sampingnya, bukan? " Tanya Maxwell."Aku hanya merasa tubuhku menjadi berat."Lelaki itu mendengus sebelum mencecap winenya sampai habis, "Perutmu itu bisa meledak sewaktu-waktu. Jadi, berhati-hatilah."Aku mengambil kalkun panggang utuh, membungkusnya dengan daun-daun pinus kering sebelum memasukkannya ke dalam tas ku.Maxwell tidak membawa apapun, saat kutanya kenapa. Dia menjawab, "Sifat serakah takkan membawamu kemanapun." "Terserah, pokoknya jangan minta meski hanya segigit. Ayo kita harus segera lanjutkan perjalanan." Aku harus segera bergerak untuk menghil