Bab 30: Always Love You
Sejak pertama kali mengetahui Tiara yang sudah bisa berdiri dan berjalan, semakin ke sini Aje semakin menyadari sesuatu. Perkembangan motorik putrinya itu begitu pesat. Hingga dua minggu kemudian, ia sudah bisa berjalan dengan lancar.
Sesekali ia memang terjatuh karena tersandung, namun Aje menganggap itu sesuatu yang wajar. Setiap Aje pulang kerja, Tiara selalu menyambutnya di ambang pintu rumah Kak Eda. Berjalanlah ia dengan roman mukanya yang gembira, senyumnya yang ceria dan suaranya yang meluluhkan jiwa.
“Yaah..,” pekiknya manja menghampiri Aje yang berjongkok untuk menerima peluknya.
Selain Bunda, ia juga sudah bisa menyebut kata ‘Yah’, maksudnya Ayah. Lebih dari itu, ia belum bisa berbicara.
“Kalau dia nanti lambat bicaranya, itu wajar, Yim. Kamu tak usah khawatir,” kata Kak Eda beberapa waktu lalu.
“Kenapa, Kak?&rdq
Bab 31:Damai Langgeng “Damai Langgeng?”“Iya. Kanda tidak tahu?”“Hemm, sepertinya pernah dengar, tapi entahlah.”Sembari mengemudikan mobilnya pelan-pelan Verous mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia merasa asing. Sementara Karin sendiri tidak terlalu yakin dengan ingatannya.“Di depan situ, belok kanan.”Baru saja Verous menyalakan lampu sein..,“Eh, salah! Lurus saja.”Verous kesal, namun ditahan saja. Ia tidak ingin satu kata yang salah dari mulutnya dapat memicu pertengkaran mereka lagi. Hingga seterusnya, lima menit kemudian mereka melewati gapura belakang komplek perumahan Damai Langgeng yang dimaksud Karin tadi.“Nah, setelah perempatan di depan situ, lurus saja mengikuti jalan utama.”“Kamu yakin, Dinda?”
Bab 32:Bertemu Karin berdiri di depan sebuah joglo kecil dengan bangku-bangku terbuat dari semen yang mengitarinya. Sebentar ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ke seantero taman.Di beberapa titik dalam taman ia melihat ada beberapa pasang muda-mudi yang tampak sedang bersenda gurau. Ada yang lain, beberapa remaja yang kelihatannya sedang bekerja sama mengerjakan tugas sekolah.Tak luput pula orang-orang tua yang jika dilihat dari setelan yang mereka pakai, pasti baru saja selesai berolah raga sore. Karin menghirup nafas sebentar untuk mendinginkan hatinya.Suasana taman yang asri sedikit banyak membantu dia melakukan itu. Ia pun mengambil duduk di samping Verous.“Kamu mau makan, Dinda?” Tanya Verous. Matanya menyambangi beberapa penjaja makanan bergerobak yang mangkal di sepanjang tepi taman.Karin menggeleng saja. Beberapa kalimat Verous mengalir lancar, mena
Bab 33:Decit Yang Mendebarkan Maka, di sinilah awal mula dari kejadian yang amat dramatis itu..,Mungkin tak ingin mendengar kisah kehilangan yang dialami oleh orang-orang dewasa, Tiara pun menyibukkan diri dengan memetik bunga-bunga asoka dan menatapinya dengan penuh heran.Semakin penasaran, ia pun berjalan semakin menjauh. Sementara Aje dan Mas Ifat terus saja asyik saling bertukar cerita.Semakin seru, semakin jauh, semakin terlupa pada apa yang terjadi di sekeliling mereka.Ketika cerita mereka terjeda, segala sesuatunya ternyata telah mengalir terlalu jauh, dan demikian pula Tiara yang telah luput sama sekali dari pandangan Aje. Ketika ia menoleh, tiba-tiba saja ia tersentak. “Lho?? Anakku mana, Mas?”“Haahh??” Mas Ifat pun terkejut. “Nah, ke mana tadi si Tiara?”“Entah, Mas. Seingatku tadi dia main-main di
Bab 34:The Moment! Aje berjalan cepat-cepat ke arah kanan, menyambangi semua pedagang jajanan yang mangkal di tepi taman. Jawaban mereka semua membuat Aje semakin cemas.Setengah berlari kemudian ia berjalan ke kiri, melewati deretan mobil-mobil dan motor yang terparkir.Semua orang yang ia temui, ia tanyai perihal Tiara. Namun tak ada satu pun dari mereka yang bisa memberinya titik terang.Aje semakin panik. Sebab semua orang yang ia tanyai berikutnya tidak ada yang mengaku telah melihat Tiara.Ia berjalan lagi dan mondar-mandir beberapa kali di sekitar pedagang bergerobak. Matanya nyalang menajamkan pandangan. Hatinya cemas bukan kepalang, dan jantungnya seperti diremas-remas.Seakan berharap pada kemustahilan Aje bahkan sampai melongokkan kepalanya ke bawah selokan. Barangkali saja Tiara tercebur ke situ. Kanan dan kiri ia menoleh hingga pandangannya sampai ke semua ujung selokan.
Bab 35:Jalan Kereta “Kamu kenapa, Hekal?”Suara Bang Fahmi yang tiba-tiba itu mengejutkan Hekal. Ia sampai terlonjak sedikit dari kursi yang ia duduki. Dagunya bahkan sampai terjatuh dari tangan yang menyangga. Untung saja ponsel yang ia pegang tidak jatuh ke bawah meja.Secangkir kopi diletakkan Bang Fahmi di depan Hekal. Uap panas tampak mengepul dari kopi, putih meliuk-liuk ke atas dan hilang setelah melewati samping wajah Hekal. Ia pun tersenyum dengan tarikan bibir yang berat.Bang Fahmi yang sedang tidak punya kegiatan pun mengambil duduk di depan Hekal. Ia mulai berceloteh.“Wajah kusut, muka berkerut, kening keriput. Hekaaal.., Hekal. Kamu ini seperti sedang menahan kentut.”Hekal terkekeh pelan, dengan durasi sedikit lama. Pembawaan Bang Fahmi yang ramah dan humoris inilah yang membuat Hekal betah nongkrong di warungnya, dan menjadikannya sebagai tempat m
Bab 36:Kata Sandi “Sudah, jangan bertele-tele, cepat cerita!”Hekal tergeragap. “Iya, iya, Bang.”“Jadi begini, aku bermaksud menjodohkan Bang Aje dengan salah seorang saudaraku.”“Adik-adik kamu masih sekolah lho, Kal. Sudah kamu jodoh-jodohkan saja!”“Bukan dengan Eca dan Eci, Bang. Tapi dengan saudaraku yang lain.”“Oh, Abang kira dengan adikmu yang di kampung itu. Saudara kamu yang mana?”“Dia saudara sepupu jauhku, Bang. Dia tinggal di kota ini juga, Bandar Baru, dan bekerja sebagai apoteker di daerah Panam sana.”“Siapa namanya?”“Anjeli.”“Anjeli?”“Iya. Orangnya cantik, Bang.”“Anjeli, hemm, Anjeli.., kok seperti nama orang India. Yang ada di f
Bab 37:Ganteng Tapi Kampungan Bang Fahmi melepaskan nafasnya yang tadi sempat tertahan.“Wuihh..! Cerdas sekali permainan kamu ini, Kal.”“Ini yang namanya bermain di balik layar, Bang.”“Cara kamu memperkenalkan Aje dan Anjeli ini sangat cerdas, Kal. Jujur Abang akui, cara dan skenario kamu ini elegan, berkelas, bermartabat, dramatis, romantis, dan sesuai dengan kaidah sila kelima dalam Pancasila.”“Sila kelima? Pancasila?”“Iya.”Hekal terdiam dengan mulut sedikit menganga. Sebelah alisnya naik, dan matanya menjorok ke luar dengan pandangan yang menyudut. Ia berkata-kata dalam hati.“Sila kelima? Pancasila? Di mana letak hubungannya antara percomblangan dengan Pancasila?”Beberapa saat Hekal masih berpikir, sekaligus mengingat-ingat bagaimana bunyi sila kelima dalam Pancasila. Ia sendiri tidak
Bab 38:Mencari Alamat“Kampungan sekali sih kamu ini, Olive!”Vivian menggerutui Olive sahabatnya yang sedang menyetir mobil. Yang digerutui, hanya tersenyum mangkel sekaligus serba salah.“Aku kira kamu mau mengajak aku menemui pacar kamu yang baru, atau ke bioskop, atau nongkrong, begitu. Eee.., ternyata cuma mau mencari alamat seseorang.”Olive menghentikan mobilnya di lampu merah. Sebentar ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Matanya terpaku pada seorang driver ojek yang sedang memboncengkan seorang penumpang.Seperti yang selalu ia lakukan beberapa minggu terakhir ini, matanya selalu jelalatan setiap melihat driver Ayo-Jek, sembari berharap itu adalah Hekal Pratama, ‘buronan’-nya sekarang ini.Menyadari si driver ojek itu bukan Hekal, hatinya mangkel lagi. Ditambah celotehan Vivian yang sejak ia jemput pukul empat tadi masih saja belum berhenti
Bab 303: Selendang Cinta “Saya terima nikah dan kawinnya Karin Jazmina Zachrie binti..,” Kalimat Aje terputus lagi! Bintinya, binti siapa? Aje lupa! Siapa tadi nama ayah kandung Karin? Siapa tadi namanya, ini, lelaki di hadapanku yang menggenggam tanganku ini! Mengapa lidah Aje menjadi kelu begini? Tiba-tiba saja hatinya bergetar dahsyat. Ia merasa tengah berada di dalam sebuah dimensi yang tak terdefinisi. Seakan-akan ia berada di suatu kegelapan, di mana sekarang tengah dipampangkan di depan matanya, seluruh kolase hidupnya yang bersambungan bak deretan potret. Dia yang dulu menikah dengan Diana., Dia yang dulu menjalani hidup nan bahagia.., Diana yang kemudian mengandung.., Diana yang dimasukkan ke ruang operasi…, Diana yang tak sadar dan terus pergi.., Darah Aje mendesir begitu derasnya. Bulu romanya pun serentak meremang. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Namun, tiba-tiba kegelapan yang menyungkupinya tadi menghilang. Digantikan suasana yang terang benderang, de
Bab 302: Riam Kanan Riam Kiri “Eeem, ini, Abang ada masalah, Kal.”“Masalah? Masalah apa, Bang?”“Jadi begini, besok malam, eee.., besok malam.., Abang mau.., ini, ckk, eee..,”“Mau apa?” Kejar Hekal.“Emmm, Abang mau melamar seseorang.”“Melamar?”“Iya.”“Siapa?”“Kamu pasti tahu orangnya.”“Mbak Karin?”“Iya.”“Tunggu, tunggu dulu, Bang.”“Kenapa?”“Aku bilang cie dulu ya.”“Silah..,” belum sampai ‘kan’, Hekal sudah,“Ciiieeeee..!”Nah, masalahnya adalah, Aje sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Kerabat terdekat ayahnya yang dituakan justru tinggal di kota yang berbeda dan itu jauh.Aje bisa saja, dan ia berani melakukan itu, melamar Karin seorang diri. Akan tetapi, ia juga tidak bisa mengabaikan etika.Semestinya, untuk berbicara dengan orang tua Karin harus melalui perantara orang tua juga, dalam hal ini keluarga.“Abang sudah meminta tolong Pak Sali untuk menjadi perwakilan keluarga Abang. Tapi, dia tidak berani. Grogi, begitu katanya.”“Oh, begini saja, Bang. Aku ada ide.”“Ap
Bab 301:Bunda Untuk Tiara Aje mengendarai motornya dengan perasaan yang melambung. Seakan-akan ia baru saja menghirup gas helium, membuat dirinya dan juga motornya terasa amat ringan.Rasanya seperti mau terbang saja. Mungkin benar apa yang dikatakan pujangga lama dari antah berantah itu, bahwa bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta, mereka tak butuh sayap!Seperti inikah dampak dari sesuatu yang dinamakan asmara itu?Apakah ini merupakan pengalaman yang paling baru bagi Aje?Tidak juga. Bersama almarhumah Diana dulu ia pernah merasakan gejolak yang seperti ini. Momen ketika dulu ia bertemu dengan almarhumah Diana pun kembali membayang di dalam benak Aje, seiring dengan perjalanannya bermotor kembali ke rumah.Di dalam bus metro, ya, di situlah ia dulu bertemu dengan Diana sewaktu masih tinggal di Jakarta. Cerita pun bergulir dari beberapa pertemuan hingga menjadi perkenalan.
Bab 300:Kamu Oke Aku Pun Oke “Ayim!”“Jazmin!”Tiba-tiba saja, bumi berhenti berputar, angin berhenti berhembus, bunga dan pepohonan tak bergerak, kupu-kupu diam mengambang.., semua yang ada di taman ini seakan terpasung pada waktu yang abadi.Pelan-pelan, Karin melirik ke arah Aje. Pelan-pelan juga Aje melirik ke arah Karin. Beberapa detik mereka berdua saling bersitatap, lalu serentak saling mengalihkan pandangan. Canggung, grogi, gugup, kikuk.Aje dan Karin telah tertangkap basah dengan kata-kata mereka sendiri, Saat ini Karin merasa bagai pencuri ayam yang terkurung di dalam kandang.Aje pun merasa bagai maling celana dalam yang dipergoki sang pemilik jemuran.“Naaah..!” Kata Olive menunjuk Hekal. “Sudah dengar Kakak kan? Gebetannya Mbak Karin itu cuma Ayim!”“Sudah dengar juga kamu kan?” Sahut Hekal pula. &ldq
Bab 299:Ayim & Jazmin Aje mengendarai motornya dengan kecepatan yang sedikit lebih dari biasanya. Ia tidak ingin Hekal terlalu lama menunggu, lalu membuat penerima paket pun ikut menunggu.Barang yang tidak biasa, dengan layanan yang tidak biasa pula. Butuh cepat, begitu kata Hekal tadi. Ongkosnya saja dua kali lipat dari yang semestinya.Sesekali Aje berhenti di lampu merah, atau di ruas jalan yang kebetulan sedang ada kemacetan. Ia barengi proses mengendara motornya itu dengan berpikir, tentang apa pun yang kebetulan melintas di dalam benaknya.Nah, tiba-tiba ia teringat lagi pada mimpinya beberapa waktu yang lalu. Tentang seorang wanita di bawah joglo yang ditunjukkan almarhumah Diana.Atau, bagaimana jika.., joglo dalam mimpinya itu memiliki pengertian yang tidak harfiah. Artinya bukan joglo dalam bentuk fisik, tapi joglo dalam bentuk yang.., heemm, Aje terus berpikir, terus melamun, se
Bab 298:Yang Bertengkar Sepanjang perjalanannya menuju alun-alun ini, benak Karin terus diganggu dengan banyaknya pertanyaan. Ia tak habis pikir, masalah apa yang sedang dihadapi Olive itu hingga ia meminta bantuan pada dirinya.“Mudah-mudahan, Olive nanti bisa kuat dan menyelesaikan masalahnya sendiri dengan Hekal,” harap Karin dalam hati.“Mudah-mudahan aku tidak perlu campur tangan.” Olive bilang di telepon tadi, dia bertengkar dengan Hekal suaminya itu. Pasal apakah? Apakah ini menyangkut fisik Olive yang tidak sempurna lagi dan Hekal yang kakinya juga cacat?“Sepertinya, tidak mungkin.” Bantah Karin pula.Sebab, dengan pandangannya sendiri ia bisa menilai ketulusan Hekal pada Olive dan begitu juga sebaliknya.Atau, ada rahasia lain?Misalnya, Olive frigid, dan Hekal impoxten hingga tak mampu menafkahi batin istrinya itu? Hemm,
Bab 296:Antara Tangisan dan Orderan Masih pukul sepuluh pagi, Karin ingin mengambil break dari pekerjaannya dengan keluar menuju kantin yang terletak di antara komplek perkantoran Ditreskrimum dan Ditlantas.Ia berharap segelas teh manis dengan campuran irisan lemon bisa menyegarkan pikirannya.Sejak kemarin ia diperintah oleh Kompol Corina untuk membaca-baca buku, artikel, atau jurnal yang membahas psikologi wanita.Ini terkait dengan sebuah kasus kekerasan dari sebuah Polres yang sekarang tengah mendapat supervisi dari komandannya itu.Karin membaca, membuat resume, dan menyunting semua hal yang perlu dari bacaannya itu, untuk selanjutnya nanti akan ia diskusikan bersama.Tak sampai dua menit kemudian Karin telah sampai di kantin dan segera memesan segelas teh lemon.Ia sengaja memilih duduk di meja yang paling pojok. Selain karena memang itu nalurinya sebagai petugas rese
Bab 296:Lumer “Aku tadi sudah ke Rowo Bening, Bang,” kata Hekal mulai buka percakapan.“Hem-hem? Ke tempat siapa?”“Tentu saja ke rumah Abang.”“Nah, Abang kan lagi mengojek.”“Itu dia yang aku lupa. Ya sudah, sekalian saja aku silaturrahmi ke rumah Kak Eda. Sekalian juga aku nengokin Tiara.”Aje tersenyum. Ia memindahkan jaket Ayo-Jek-nya dari meja ke kursi, supaya ia bisa melipat tangannya di meja itu. Cangkir kopinya ia geser juga sedikit.“Pantas saja aku pangling dengan Tiara ya, Bang.”“Kenapa?”“Tiara makin comel begitu, pipinya makin chubby, rambutnya pun makin panjang.”Aje tersenyum lagi.“Tiara rupanya sudah lupa dengan aku, Bang. Mau kugendong dia tak mau. Mau kucium apa lagi. Aku keluar dulu, beli es krim, barulah dia mau kugendong. Hahaha.
Bab 295:Duren Montong Sepanjang perjalanan pulang ini Aje sesekali tersenyum. Ia merasa geli ketika teringat keberhasilannya melakukan ‘prank’ kecil pada Karin di gazebo tadi.Begitu lucunya mungkin bagi sang Polwan itu. Sampai ia tertawa tergelak-gelak. Berhenti sebentar untuk bertanya jawab, lalu tertawa dan tergelak-gelak lagi.Karin bahkan sampai bangkit dari posisi duduknya dan mencubiti bahu Aje.Memori di gazebo belum lama tadi ia padan-padankan dengan memorinya yang dulu bersama almarhumah Diana.Prank pura-pura tertidur akibat terkena hipnotis sendiri, dulu juga pernah ia lakukan pada istrinya itu.Betapa senang dan gembiranya Diana ketika itu. Ia tertawa begitu lepas, dan menggeram-gerami dirinya dengan pukulan bantal guling.Aje lalu menangkap bantal guling, menarik tangan Diana pula, lalu segera menyambar bibir Diana yang merona itu dengan ciuma