Bab 23: Ketika Bidadari Sedang Mejeng
Tiin..! Tiiiin..! Tiiiiiiin..!
Tiin..! Tiiiin..! Tiiiiiiin..!
Salak klakson bersahut-sahutan. Mobil-mobil saling tertumpuk di satu titik, berebut ruang yang sangat sempit. Saling tak ingin kalah, dan tak ada yang mau mengalah. Ratusan sepeda motor ikut pula menyemarakkan kemacetan itu.
Bagaimana kronologinya?
Ada sebuah jalan kecil yang bermuara di jalan Sudirman, yaitu sebuah jalan protokol, di mana titik persimpangannya tidak terdapat lampu merah. Bersambunganlah arus dari jalan kecil itu sampai ke sebuah belokan U-Turn di jalan Sudirman.
Sementara dari sisi sebaliknya, terdapat juga sebuah jalan kecil yang bermuara di jalan protokol yang sama.
Semua orang tahu bahwa dua jalan kecil yang berseberangan dengan jalan Sudirman i
Bab 24:Dokter dan Tukang LedengAje masih tidur pulas ketika matahari menampakkan dirinya perlahan. Cahayanya yang kuning keperakan menerangi sepanjang garis horizon di beranda timur kota Bandar Baru.Burung prenjak hadir di ranting-ranting pohon, berkicau bersahutan, dengan ritme yang terganggu oleh beberapa sepeda motor yang melintas. Sementara ayam-ayam Bangkok kepunyaan Pak Sali—suami Bu Atik—sejak masih gelap tadi sudah berkokok tak henti-henti.Aje terus saja dibuai oleh kenangan masa lalu bersama almarhumah Diana yang kembali hadir di dalam mimpinya. Seperti lembaran album yang terbuka karena terembus angin, fragmen yang pernah mereka lalui bersama hadir berganti-gantian.Di salah satu kepingan memori itu, Aje melihat Diana yang sedang memasak sesuatu. Aje mengejutkannya dari belakang dengan sebuah pelukan dan bisikan mesra.“Selamat pagi, Cinta.”&ldq
Bab 25:Drama Di Bawah Meja Kompor “Tiara..??”Tiara tidak ada!Cepat Aje bangkit, mengucek-ucek mata dan menoleh kanan kiri. Rasa kantuknya sontak hilang, digantikan dengan rasa panik yang tiba-tiba mengunjam. Aje berjalan ke seantero kamar. Harap-harap cemasnya membubung seiring dengan kenihilannya mendapatkan Tiara.“Ara!” Panggilnya.Aje berjongkok, lalu melongokkan kepala ke kolong ranjang. Barangkali Tiara ada di situ, bermain sesuatu atau apa-lah.Ternyata, tidak ada!Oh, Aje semakin cemas. Ia ingat betul, tadi malam Aje menina-bobokan putrinya itu sembari memeluknya. Ya, Aje ingat sekali, karena tadi malam, tepatnya pukul dua ia mengganti pampers Tiara.“Ara!”“Di mana kamu, Nak?”Aje keluar kamar, berjalan ke ruang tengah terus ke ruang depan. Aje melihat pintu depan masih terkunci. Maka tidak mungkin Tia
Bab 26:Nikahi Aku “Bagaimana mungkin, driver ojek itu memilih satu buah jeruk di atas meja, daripada buah dadaku yang sudah aku tawarkan padanya? Juga keseluruhan tubuhku?”Pertanyaan dalam hatinya itu Lisa bawa menuju ke arah jendela. Masih memakai kimono tidur, gadis cantik berparas sedikit indo ini membuka tirai dan lantas mematung, memandangi lalu lalang kendaraan di jalan raya dari lantai sepuluh hotel tempat ia menginap sejak semalam.Kedua tangannya memegang cangkir keramik berisi teh dengan aroma melati yang harum. Hidungnya mengendus, menangkap aroma teh dan beberapa saat terus menikmati teh lewat indera penciumannya.Ia terpaku pada pemandangan di bawah dengan pikiran yang kosong. Hingga beberapa saat kemudian dering telepon mengejutkannya. Sedikit enggan ia mengambil ponsel yang terletak di atas meja. Sekilas membaca nama sang penelepon, ia pun menerima panggilan.&
Bab 27:Srikandi Dari Subdit IV “Duh, lucunya!” Karin memekik kecil. Ia yang sudah bersiap dengan seragam polisinya membungkukkan sedikit tubuh untuk memosisikan wajahnya di depan anak balita yang sedang berada di gendongan sang ibu.“Mau berangkat kerja, Mbak?” Menyapa ibu sang balita, yang merupakan tetangga Karin sendiri.“Iya, Kak.” Pendek saja Karin menyahut. Sebab ia lebih tertarik untuk bermain dengan sang balita.“Ciluk, baa..!”Si balita tertawa tergelak-gelak, membuat Karin semakin bersemangat untuk menggodanya. Dengan suara yang digemas-gemaskan ia menanyai si balita.“Kamu dari mana, sayang?”“Dari warung, Tante.” Ibu sang balita yang menjawab mewakili anaknya.“Dari warung? Mengawal Mama belanja ya?”“Iya, Tante.” Seakan terkejut, si tetangga t
Bab 28:SUV Warna Putih “Mbak!”Mendengar itu Karin pun hentikan langkah dan serentak balikkan badan. Ia sampai mengernyitkan keningnya karena tak menyangka orang yang memanggil dia barusan akan berada di areal kantornya.“Hei, apa kabar?” Sapanya ramah.Si pemanggil tadi mengangkat tangan hormat pada Karin, yang segera dibalas dengan..,“Sudah ah. Tak usah terlalu formal. Tumben kamu ke sini, Olive. Ada urusan apa?”“Ini, aku mengantar surat dari Ditlantas.”Karin memperhatikan setelan seragam yang dikenakan Olive sekarang ini.“Lho, pakai setelan lengkap begini, kamu mau pergi razia?”“Tidak ah. Aku baru pulang sehabis patroli, bareng rekan dari Polresta.”“Oh, begitu. Surat apa yang kamu antar itu?”“Surat undangan meeting terkait rencana razia gabungan minggu de
Bab 29:Lelaki Berbaju Monyet Seorang lelaki berperawakan atletis berjalan memasuki sebuah gedung yang tidak terlalu besar. Ia menyusuri sebuah selasar yang memanjang menuju ke belakang, melewati beberapa ruangan dengan dinding dan pintu yang terbuat dari kaca hitam.Ia memakai wearpack atau baju monyet—semacam baju terusan khas teknisi—berwarna biru langit dengan beberapa bordiran di kedua lengan, dada, dan punggung yang berwarna hijau toska mencolok.Di punggungnya itu, tertera sebuah merek barang elektronik ternama, berikut ‘tagline’ atau slogan yang juga terpampang di depan gedung tersebut. Yaitu;“NAIKIN, A Brighter Life Starts From Here.”Lelaki itu terus berjalan menuju ke belakang, melewati sebuah ruangan workshop besar yang dipenuhi dengan barang-barang elektronik. Sampai di suatu ruangan, ia membuka pintu loker dan menyimpan barang-barang priba
Bab 30:Always Love You Sejak pertama kali mengetahui Tiara yang sudah bisa berdiri dan berjalan, semakin ke sini Aje semakin menyadari sesuatu. Perkembangan motorik putrinya itu begitu pesat. Hingga dua minggu kemudian, ia sudah bisa berjalan dengan lancar.Sesekali ia memang terjatuh karena tersandung, namun Aje menganggap itu sesuatu yang wajar. Setiap Aje pulang kerja, Tiara selalu menyambutnya di ambang pintu rumah Kak Eda. Berjalanlah ia dengan roman mukanya yang gembira, senyumnya yang ceria dan suaranya yang meluluhkan jiwa.“Yaah..,” pekiknya manja menghampiri Aje yang berjongkok untuk menerima peluknya.Selain Bunda, ia juga sudah bisa menyebut kata ‘Yah’, maksudnya Ayah. Lebih dari itu, ia belum bisa berbicara.“Kalau dia nanti lambat bicaranya, itu wajar, Yim. Kamu tak usah khawatir,” kata Kak Eda beberapa waktu lalu.“Kenapa, Kak?&rdq
Bab 31:Damai Langgeng “Damai Langgeng?”“Iya. Kanda tidak tahu?”“Hemm, sepertinya pernah dengar, tapi entahlah.”Sembari mengemudikan mobilnya pelan-pelan Verous mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia merasa asing. Sementara Karin sendiri tidak terlalu yakin dengan ingatannya.“Di depan situ, belok kanan.”Baru saja Verous menyalakan lampu sein..,“Eh, salah! Lurus saja.”Verous kesal, namun ditahan saja. Ia tidak ingin satu kata yang salah dari mulutnya dapat memicu pertengkaran mereka lagi. Hingga seterusnya, lima menit kemudian mereka melewati gapura belakang komplek perumahan Damai Langgeng yang dimaksud Karin tadi.“Nah, setelah perempatan di depan situ, lurus saja mengikuti jalan utama.”“Kamu yakin, Dinda?”
Bab 303: Selendang Cinta “Saya terima nikah dan kawinnya Karin Jazmina Zachrie binti..,” Kalimat Aje terputus lagi! Bintinya, binti siapa? Aje lupa! Siapa tadi nama ayah kandung Karin? Siapa tadi namanya, ini, lelaki di hadapanku yang menggenggam tanganku ini! Mengapa lidah Aje menjadi kelu begini? Tiba-tiba saja hatinya bergetar dahsyat. Ia merasa tengah berada di dalam sebuah dimensi yang tak terdefinisi. Seakan-akan ia berada di suatu kegelapan, di mana sekarang tengah dipampangkan di depan matanya, seluruh kolase hidupnya yang bersambungan bak deretan potret. Dia yang dulu menikah dengan Diana., Dia yang dulu menjalani hidup nan bahagia.., Diana yang kemudian mengandung.., Diana yang dimasukkan ke ruang operasi…, Diana yang tak sadar dan terus pergi.., Darah Aje mendesir begitu derasnya. Bulu romanya pun serentak meremang. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Namun, tiba-tiba kegelapan yang menyungkupinya tadi menghilang. Digantikan suasana yang terang benderang, de
Bab 302: Riam Kanan Riam Kiri “Eeem, ini, Abang ada masalah, Kal.”“Masalah? Masalah apa, Bang?”“Jadi begini, besok malam, eee.., besok malam.., Abang mau.., ini, ckk, eee..,”“Mau apa?” Kejar Hekal.“Emmm, Abang mau melamar seseorang.”“Melamar?”“Iya.”“Siapa?”“Kamu pasti tahu orangnya.”“Mbak Karin?”“Iya.”“Tunggu, tunggu dulu, Bang.”“Kenapa?”“Aku bilang cie dulu ya.”“Silah..,” belum sampai ‘kan’, Hekal sudah,“Ciiieeeee..!”Nah, masalahnya adalah, Aje sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Kerabat terdekat ayahnya yang dituakan justru tinggal di kota yang berbeda dan itu jauh.Aje bisa saja, dan ia berani melakukan itu, melamar Karin seorang diri. Akan tetapi, ia juga tidak bisa mengabaikan etika.Semestinya, untuk berbicara dengan orang tua Karin harus melalui perantara orang tua juga, dalam hal ini keluarga.“Abang sudah meminta tolong Pak Sali untuk menjadi perwakilan keluarga Abang. Tapi, dia tidak berani. Grogi, begitu katanya.”“Oh, begini saja, Bang. Aku ada ide.”“Ap
Bab 301:Bunda Untuk Tiara Aje mengendarai motornya dengan perasaan yang melambung. Seakan-akan ia baru saja menghirup gas helium, membuat dirinya dan juga motornya terasa amat ringan.Rasanya seperti mau terbang saja. Mungkin benar apa yang dikatakan pujangga lama dari antah berantah itu, bahwa bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta, mereka tak butuh sayap!Seperti inikah dampak dari sesuatu yang dinamakan asmara itu?Apakah ini merupakan pengalaman yang paling baru bagi Aje?Tidak juga. Bersama almarhumah Diana dulu ia pernah merasakan gejolak yang seperti ini. Momen ketika dulu ia bertemu dengan almarhumah Diana pun kembali membayang di dalam benak Aje, seiring dengan perjalanannya bermotor kembali ke rumah.Di dalam bus metro, ya, di situlah ia dulu bertemu dengan Diana sewaktu masih tinggal di Jakarta. Cerita pun bergulir dari beberapa pertemuan hingga menjadi perkenalan.
Bab 300:Kamu Oke Aku Pun Oke “Ayim!”“Jazmin!”Tiba-tiba saja, bumi berhenti berputar, angin berhenti berhembus, bunga dan pepohonan tak bergerak, kupu-kupu diam mengambang.., semua yang ada di taman ini seakan terpasung pada waktu yang abadi.Pelan-pelan, Karin melirik ke arah Aje. Pelan-pelan juga Aje melirik ke arah Karin. Beberapa detik mereka berdua saling bersitatap, lalu serentak saling mengalihkan pandangan. Canggung, grogi, gugup, kikuk.Aje dan Karin telah tertangkap basah dengan kata-kata mereka sendiri, Saat ini Karin merasa bagai pencuri ayam yang terkurung di dalam kandang.Aje pun merasa bagai maling celana dalam yang dipergoki sang pemilik jemuran.“Naaah..!” Kata Olive menunjuk Hekal. “Sudah dengar Kakak kan? Gebetannya Mbak Karin itu cuma Ayim!”“Sudah dengar juga kamu kan?” Sahut Hekal pula. &ldq
Bab 299:Ayim & Jazmin Aje mengendarai motornya dengan kecepatan yang sedikit lebih dari biasanya. Ia tidak ingin Hekal terlalu lama menunggu, lalu membuat penerima paket pun ikut menunggu.Barang yang tidak biasa, dengan layanan yang tidak biasa pula. Butuh cepat, begitu kata Hekal tadi. Ongkosnya saja dua kali lipat dari yang semestinya.Sesekali Aje berhenti di lampu merah, atau di ruas jalan yang kebetulan sedang ada kemacetan. Ia barengi proses mengendara motornya itu dengan berpikir, tentang apa pun yang kebetulan melintas di dalam benaknya.Nah, tiba-tiba ia teringat lagi pada mimpinya beberapa waktu yang lalu. Tentang seorang wanita di bawah joglo yang ditunjukkan almarhumah Diana.Atau, bagaimana jika.., joglo dalam mimpinya itu memiliki pengertian yang tidak harfiah. Artinya bukan joglo dalam bentuk fisik, tapi joglo dalam bentuk yang.., heemm, Aje terus berpikir, terus melamun, se
Bab 298:Yang Bertengkar Sepanjang perjalanannya menuju alun-alun ini, benak Karin terus diganggu dengan banyaknya pertanyaan. Ia tak habis pikir, masalah apa yang sedang dihadapi Olive itu hingga ia meminta bantuan pada dirinya.“Mudah-mudahan, Olive nanti bisa kuat dan menyelesaikan masalahnya sendiri dengan Hekal,” harap Karin dalam hati.“Mudah-mudahan aku tidak perlu campur tangan.” Olive bilang di telepon tadi, dia bertengkar dengan Hekal suaminya itu. Pasal apakah? Apakah ini menyangkut fisik Olive yang tidak sempurna lagi dan Hekal yang kakinya juga cacat?“Sepertinya, tidak mungkin.” Bantah Karin pula.Sebab, dengan pandangannya sendiri ia bisa menilai ketulusan Hekal pada Olive dan begitu juga sebaliknya.Atau, ada rahasia lain?Misalnya, Olive frigid, dan Hekal impoxten hingga tak mampu menafkahi batin istrinya itu? Hemm,
Bab 296:Antara Tangisan dan Orderan Masih pukul sepuluh pagi, Karin ingin mengambil break dari pekerjaannya dengan keluar menuju kantin yang terletak di antara komplek perkantoran Ditreskrimum dan Ditlantas.Ia berharap segelas teh manis dengan campuran irisan lemon bisa menyegarkan pikirannya.Sejak kemarin ia diperintah oleh Kompol Corina untuk membaca-baca buku, artikel, atau jurnal yang membahas psikologi wanita.Ini terkait dengan sebuah kasus kekerasan dari sebuah Polres yang sekarang tengah mendapat supervisi dari komandannya itu.Karin membaca, membuat resume, dan menyunting semua hal yang perlu dari bacaannya itu, untuk selanjutnya nanti akan ia diskusikan bersama.Tak sampai dua menit kemudian Karin telah sampai di kantin dan segera memesan segelas teh lemon.Ia sengaja memilih duduk di meja yang paling pojok. Selain karena memang itu nalurinya sebagai petugas rese
Bab 296:Lumer “Aku tadi sudah ke Rowo Bening, Bang,” kata Hekal mulai buka percakapan.“Hem-hem? Ke tempat siapa?”“Tentu saja ke rumah Abang.”“Nah, Abang kan lagi mengojek.”“Itu dia yang aku lupa. Ya sudah, sekalian saja aku silaturrahmi ke rumah Kak Eda. Sekalian juga aku nengokin Tiara.”Aje tersenyum. Ia memindahkan jaket Ayo-Jek-nya dari meja ke kursi, supaya ia bisa melipat tangannya di meja itu. Cangkir kopinya ia geser juga sedikit.“Pantas saja aku pangling dengan Tiara ya, Bang.”“Kenapa?”“Tiara makin comel begitu, pipinya makin chubby, rambutnya pun makin panjang.”Aje tersenyum lagi.“Tiara rupanya sudah lupa dengan aku, Bang. Mau kugendong dia tak mau. Mau kucium apa lagi. Aku keluar dulu, beli es krim, barulah dia mau kugendong. Hahaha.
Bab 295:Duren Montong Sepanjang perjalanan pulang ini Aje sesekali tersenyum. Ia merasa geli ketika teringat keberhasilannya melakukan ‘prank’ kecil pada Karin di gazebo tadi.Begitu lucunya mungkin bagi sang Polwan itu. Sampai ia tertawa tergelak-gelak. Berhenti sebentar untuk bertanya jawab, lalu tertawa dan tergelak-gelak lagi.Karin bahkan sampai bangkit dari posisi duduknya dan mencubiti bahu Aje.Memori di gazebo belum lama tadi ia padan-padankan dengan memorinya yang dulu bersama almarhumah Diana.Prank pura-pura tertidur akibat terkena hipnotis sendiri, dulu juga pernah ia lakukan pada istrinya itu.Betapa senang dan gembiranya Diana ketika itu. Ia tertawa begitu lepas, dan menggeram-gerami dirinya dengan pukulan bantal guling.Aje lalu menangkap bantal guling, menarik tangan Diana pula, lalu segera menyambar bibir Diana yang merona itu dengan ciuma