Bab 19: Buah Jeruk di Atas Meja
Aje sampai memutar badan saking bingungnya. Beberapa detik ia terperangah menatap wanita cantik berjilbab yang kini sudah duduk di jok motornya.
“Apakah ini penumpangku yang tadi?”
“Kok bengong, Bang? Ayo jalan.”
“Maaf, Mbak. Embak siapa ya?”
“Ya Allah, Bang! Aku penumpang Abang yang tadi!”
“Tapi, tapi, yang tadi..,” Aje menunjuk ke arah kepala sang wanita. Maksudnya jilbab yang ia pakai.
“Iya, sekarang aku pakai jilbab. Aku masih orang yang sama dengan yang masuk ke toilet tadi.”
“Oh, maaf, maaf.” Kata Aje kikuk. “Saya pangling, Mbak. Habis Mbak berubah total kalau pakai jilbab begini.”
“Sudah, ah! Ayo jalan.”
“Iya, iya, Mbak.”
Pantas saja dia lama sekali tadi di toilet. Ternyata dia bersalin, mengganti
Bab 20:Rencana Untuk Hari Ini Pukul sepuluh pagi..,Hekal duduk termangu di sebuah bangku panjang yang ada di bengkel Alvin Jaya Motor. Ia memandangi motor kesayangannya yang sudah dipreteli oleh Bang Alvin.Ada rasa tak tega di dalam hati Hekal, melihat motornya sekarang yang telah telanjang. Ada juga rasa ‘ngenes’, mengingat satu-satunya orang yang ia harap bisa membantunya, ternyata juga sedang dalam kesulitan, yaitu Aje.Hekal bahkan masih memegangi ponselnya setelah menelepon Aje barusan tadi. Kata-kata Aje juga masih mengiang di kepalanya. “Dalam kesusahan, sepertinya kita berada di jurang yang sama, Kal.”Sementara Bang Alvin sendiri hilir mudik. Ia sangat berhati-hati dan tampak bertanggungjawab dalam mengontrol pekerjaan para karyawannya. Sebentar ia menghampiri karyawannya di pojok, yang tengah sibuk
Bab 21:Laki-laki Terakhir “Kamu mikirin apa sih, Dinda? Sedari tadi bengong saja,” tanya Verous di balik lingkar kemudinya.Mobil yang ia kendarai bersama Karin sekarang sudah berada di jalan lintas antar kota, dengan rute yang sedikit berkelak-kelok dan barisan pepohonan di sepanjang tepi jalannya. Sementara Karin sendiri masih diam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab.“Aku mikirin anak balita yang di lampu merah tadi, Kanda.”“Balita? Yang di motor bersama orang tuanya tadi?”“Hem-hemm.”“Kenapa?”“Pengiiiiin.”“Pengin apa nih?”“Pengin punya anak yang seperti itu,” kata Karin dengan nada sedikit merengek.Verous tertawa kecil.“Memangnya Dinda saja yang pengin punya anak? Kanda juga pengin, tahu. Pengin banget malah.”“J
Bab 22:Tiga Wanita DUA BULAN KEMUDIAN..,Hekal merasa menyesal, juga sedih karena belum bisa pulang kampung seperti yang pernah ia janjikan pada Eca dan Eci, kedua adiknya yang sangat ia sayangi itu.“Setiap hari Ibu nanyain Kakak loh,” kata Eci dengan suaranya yang renyah.“Ibu kangen Kakak,” imbuh Eca yang tunarungu, dengan menggunakan bahasa isyarat.Sementara sang Ibu sendiri, dalam obrolan mereka lewat video call, tetap membesarkan hati Hekal, putranya yang telah menjadi tulang punggung keluarga ini.“Ya sudah kalau kamu belum bisa pulang. Tidak apa-apa, yang penting kamu sehat, kerjaan kamu lancar, dan tidak pernah mendapat masalah apa pun juga.”Hekal tersenyum seraya menahan haru. Sekejap ia teringat masalahnya sendiri dengan Olive yang sampai sekarang pun belum mencapai titik temu.Ia sudah beberapa kali mencari ala
Bab 23:Ketika Bidadari Sedang Mejeng Tiin..! Tiiiin..! Tiiiiiiin..!Tiin..! Tiiiin..! Tiiiiiiin..!Salak klakson bersahut-sahutan. Mobil-mobil saling tertumpuk di satu titik, berebut ruang yang sangat sempit. Saling tak ingin kalah, dan tak ada yang mau mengalah. Ratusan sepeda motor ikut pula menyemarakkan kemacetan itu.Bagaimana kronologinya?Ada sebuah jalan kecil yang bermuara di jalan Sudirman, yaitu sebuah jalan protokol, di mana titik persimpangannya tidak terdapat lampu merah. Bersambunganlah arus dari jalan kecil itu sampai ke sebuah belokan U-Turn di jalan Sudirman.Sementara dari sisi sebaliknya, terdapat juga sebuah jalan kecil yang bermuara di jalan protokol yang sama.Semua orang tahu bahwa dua jalan kecil yang berseberangan dengan jalan Sudirman i
Bab 24:Dokter dan Tukang LedengAje masih tidur pulas ketika matahari menampakkan dirinya perlahan. Cahayanya yang kuning keperakan menerangi sepanjang garis horizon di beranda timur kota Bandar Baru.Burung prenjak hadir di ranting-ranting pohon, berkicau bersahutan, dengan ritme yang terganggu oleh beberapa sepeda motor yang melintas. Sementara ayam-ayam Bangkok kepunyaan Pak Sali—suami Bu Atik—sejak masih gelap tadi sudah berkokok tak henti-henti.Aje terus saja dibuai oleh kenangan masa lalu bersama almarhumah Diana yang kembali hadir di dalam mimpinya. Seperti lembaran album yang terbuka karena terembus angin, fragmen yang pernah mereka lalui bersama hadir berganti-gantian.Di salah satu kepingan memori itu, Aje melihat Diana yang sedang memasak sesuatu. Aje mengejutkannya dari belakang dengan sebuah pelukan dan bisikan mesra.“Selamat pagi, Cinta.”&ldq
Bab 25:Drama Di Bawah Meja Kompor “Tiara..??”Tiara tidak ada!Cepat Aje bangkit, mengucek-ucek mata dan menoleh kanan kiri. Rasa kantuknya sontak hilang, digantikan dengan rasa panik yang tiba-tiba mengunjam. Aje berjalan ke seantero kamar. Harap-harap cemasnya membubung seiring dengan kenihilannya mendapatkan Tiara.“Ara!” Panggilnya.Aje berjongkok, lalu melongokkan kepala ke kolong ranjang. Barangkali Tiara ada di situ, bermain sesuatu atau apa-lah.Ternyata, tidak ada!Oh, Aje semakin cemas. Ia ingat betul, tadi malam Aje menina-bobokan putrinya itu sembari memeluknya. Ya, Aje ingat sekali, karena tadi malam, tepatnya pukul dua ia mengganti pampers Tiara.“Ara!”“Di mana kamu, Nak?”Aje keluar kamar, berjalan ke ruang tengah terus ke ruang depan. Aje melihat pintu depan masih terkunci. Maka tidak mungkin Tia
Bab 26:Nikahi Aku “Bagaimana mungkin, driver ojek itu memilih satu buah jeruk di atas meja, daripada buah dadaku yang sudah aku tawarkan padanya? Juga keseluruhan tubuhku?”Pertanyaan dalam hatinya itu Lisa bawa menuju ke arah jendela. Masih memakai kimono tidur, gadis cantik berparas sedikit indo ini membuka tirai dan lantas mematung, memandangi lalu lalang kendaraan di jalan raya dari lantai sepuluh hotel tempat ia menginap sejak semalam.Kedua tangannya memegang cangkir keramik berisi teh dengan aroma melati yang harum. Hidungnya mengendus, menangkap aroma teh dan beberapa saat terus menikmati teh lewat indera penciumannya.Ia terpaku pada pemandangan di bawah dengan pikiran yang kosong. Hingga beberapa saat kemudian dering telepon mengejutkannya. Sedikit enggan ia mengambil ponsel yang terletak di atas meja. Sekilas membaca nama sang penelepon, ia pun menerima panggilan.&
Bab 27:Srikandi Dari Subdit IV “Duh, lucunya!” Karin memekik kecil. Ia yang sudah bersiap dengan seragam polisinya membungkukkan sedikit tubuh untuk memosisikan wajahnya di depan anak balita yang sedang berada di gendongan sang ibu.“Mau berangkat kerja, Mbak?” Menyapa ibu sang balita, yang merupakan tetangga Karin sendiri.“Iya, Kak.” Pendek saja Karin menyahut. Sebab ia lebih tertarik untuk bermain dengan sang balita.“Ciluk, baa..!”Si balita tertawa tergelak-gelak, membuat Karin semakin bersemangat untuk menggodanya. Dengan suara yang digemas-gemaskan ia menanyai si balita.“Kamu dari mana, sayang?”“Dari warung, Tante.” Ibu sang balita yang menjawab mewakili anaknya.“Dari warung? Mengawal Mama belanja ya?”“Iya, Tante.” Seakan terkejut, si tetangga t
Bab 303: Selendang Cinta “Saya terima nikah dan kawinnya Karin Jazmina Zachrie binti..,” Kalimat Aje terputus lagi! Bintinya, binti siapa? Aje lupa! Siapa tadi nama ayah kandung Karin? Siapa tadi namanya, ini, lelaki di hadapanku yang menggenggam tanganku ini! Mengapa lidah Aje menjadi kelu begini? Tiba-tiba saja hatinya bergetar dahsyat. Ia merasa tengah berada di dalam sebuah dimensi yang tak terdefinisi. Seakan-akan ia berada di suatu kegelapan, di mana sekarang tengah dipampangkan di depan matanya, seluruh kolase hidupnya yang bersambungan bak deretan potret. Dia yang dulu menikah dengan Diana., Dia yang dulu menjalani hidup nan bahagia.., Diana yang kemudian mengandung.., Diana yang dimasukkan ke ruang operasi…, Diana yang tak sadar dan terus pergi.., Darah Aje mendesir begitu derasnya. Bulu romanya pun serentak meremang. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Namun, tiba-tiba kegelapan yang menyungkupinya tadi menghilang. Digantikan suasana yang terang benderang, de
Bab 302: Riam Kanan Riam Kiri “Eeem, ini, Abang ada masalah, Kal.”“Masalah? Masalah apa, Bang?”“Jadi begini, besok malam, eee.., besok malam.., Abang mau.., ini, ckk, eee..,”“Mau apa?” Kejar Hekal.“Emmm, Abang mau melamar seseorang.”“Melamar?”“Iya.”“Siapa?”“Kamu pasti tahu orangnya.”“Mbak Karin?”“Iya.”“Tunggu, tunggu dulu, Bang.”“Kenapa?”“Aku bilang cie dulu ya.”“Silah..,” belum sampai ‘kan’, Hekal sudah,“Ciiieeeee..!”Nah, masalahnya adalah, Aje sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Kerabat terdekat ayahnya yang dituakan justru tinggal di kota yang berbeda dan itu jauh.Aje bisa saja, dan ia berani melakukan itu, melamar Karin seorang diri. Akan tetapi, ia juga tidak bisa mengabaikan etika.Semestinya, untuk berbicara dengan orang tua Karin harus melalui perantara orang tua juga, dalam hal ini keluarga.“Abang sudah meminta tolong Pak Sali untuk menjadi perwakilan keluarga Abang. Tapi, dia tidak berani. Grogi, begitu katanya.”“Oh, begini saja, Bang. Aku ada ide.”“Ap
Bab 301:Bunda Untuk Tiara Aje mengendarai motornya dengan perasaan yang melambung. Seakan-akan ia baru saja menghirup gas helium, membuat dirinya dan juga motornya terasa amat ringan.Rasanya seperti mau terbang saja. Mungkin benar apa yang dikatakan pujangga lama dari antah berantah itu, bahwa bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta, mereka tak butuh sayap!Seperti inikah dampak dari sesuatu yang dinamakan asmara itu?Apakah ini merupakan pengalaman yang paling baru bagi Aje?Tidak juga. Bersama almarhumah Diana dulu ia pernah merasakan gejolak yang seperti ini. Momen ketika dulu ia bertemu dengan almarhumah Diana pun kembali membayang di dalam benak Aje, seiring dengan perjalanannya bermotor kembali ke rumah.Di dalam bus metro, ya, di situlah ia dulu bertemu dengan Diana sewaktu masih tinggal di Jakarta. Cerita pun bergulir dari beberapa pertemuan hingga menjadi perkenalan.
Bab 300:Kamu Oke Aku Pun Oke “Ayim!”“Jazmin!”Tiba-tiba saja, bumi berhenti berputar, angin berhenti berhembus, bunga dan pepohonan tak bergerak, kupu-kupu diam mengambang.., semua yang ada di taman ini seakan terpasung pada waktu yang abadi.Pelan-pelan, Karin melirik ke arah Aje. Pelan-pelan juga Aje melirik ke arah Karin. Beberapa detik mereka berdua saling bersitatap, lalu serentak saling mengalihkan pandangan. Canggung, grogi, gugup, kikuk.Aje dan Karin telah tertangkap basah dengan kata-kata mereka sendiri, Saat ini Karin merasa bagai pencuri ayam yang terkurung di dalam kandang.Aje pun merasa bagai maling celana dalam yang dipergoki sang pemilik jemuran.“Naaah..!” Kata Olive menunjuk Hekal. “Sudah dengar Kakak kan? Gebetannya Mbak Karin itu cuma Ayim!”“Sudah dengar juga kamu kan?” Sahut Hekal pula. &ldq
Bab 299:Ayim & Jazmin Aje mengendarai motornya dengan kecepatan yang sedikit lebih dari biasanya. Ia tidak ingin Hekal terlalu lama menunggu, lalu membuat penerima paket pun ikut menunggu.Barang yang tidak biasa, dengan layanan yang tidak biasa pula. Butuh cepat, begitu kata Hekal tadi. Ongkosnya saja dua kali lipat dari yang semestinya.Sesekali Aje berhenti di lampu merah, atau di ruas jalan yang kebetulan sedang ada kemacetan. Ia barengi proses mengendara motornya itu dengan berpikir, tentang apa pun yang kebetulan melintas di dalam benaknya.Nah, tiba-tiba ia teringat lagi pada mimpinya beberapa waktu yang lalu. Tentang seorang wanita di bawah joglo yang ditunjukkan almarhumah Diana.Atau, bagaimana jika.., joglo dalam mimpinya itu memiliki pengertian yang tidak harfiah. Artinya bukan joglo dalam bentuk fisik, tapi joglo dalam bentuk yang.., heemm, Aje terus berpikir, terus melamun, se
Bab 298:Yang Bertengkar Sepanjang perjalanannya menuju alun-alun ini, benak Karin terus diganggu dengan banyaknya pertanyaan. Ia tak habis pikir, masalah apa yang sedang dihadapi Olive itu hingga ia meminta bantuan pada dirinya.“Mudah-mudahan, Olive nanti bisa kuat dan menyelesaikan masalahnya sendiri dengan Hekal,” harap Karin dalam hati.“Mudah-mudahan aku tidak perlu campur tangan.” Olive bilang di telepon tadi, dia bertengkar dengan Hekal suaminya itu. Pasal apakah? Apakah ini menyangkut fisik Olive yang tidak sempurna lagi dan Hekal yang kakinya juga cacat?“Sepertinya, tidak mungkin.” Bantah Karin pula.Sebab, dengan pandangannya sendiri ia bisa menilai ketulusan Hekal pada Olive dan begitu juga sebaliknya.Atau, ada rahasia lain?Misalnya, Olive frigid, dan Hekal impoxten hingga tak mampu menafkahi batin istrinya itu? Hemm,
Bab 296:Antara Tangisan dan Orderan Masih pukul sepuluh pagi, Karin ingin mengambil break dari pekerjaannya dengan keluar menuju kantin yang terletak di antara komplek perkantoran Ditreskrimum dan Ditlantas.Ia berharap segelas teh manis dengan campuran irisan lemon bisa menyegarkan pikirannya.Sejak kemarin ia diperintah oleh Kompol Corina untuk membaca-baca buku, artikel, atau jurnal yang membahas psikologi wanita.Ini terkait dengan sebuah kasus kekerasan dari sebuah Polres yang sekarang tengah mendapat supervisi dari komandannya itu.Karin membaca, membuat resume, dan menyunting semua hal yang perlu dari bacaannya itu, untuk selanjutnya nanti akan ia diskusikan bersama.Tak sampai dua menit kemudian Karin telah sampai di kantin dan segera memesan segelas teh lemon.Ia sengaja memilih duduk di meja yang paling pojok. Selain karena memang itu nalurinya sebagai petugas rese
Bab 296:Lumer “Aku tadi sudah ke Rowo Bening, Bang,” kata Hekal mulai buka percakapan.“Hem-hem? Ke tempat siapa?”“Tentu saja ke rumah Abang.”“Nah, Abang kan lagi mengojek.”“Itu dia yang aku lupa. Ya sudah, sekalian saja aku silaturrahmi ke rumah Kak Eda. Sekalian juga aku nengokin Tiara.”Aje tersenyum. Ia memindahkan jaket Ayo-Jek-nya dari meja ke kursi, supaya ia bisa melipat tangannya di meja itu. Cangkir kopinya ia geser juga sedikit.“Pantas saja aku pangling dengan Tiara ya, Bang.”“Kenapa?”“Tiara makin comel begitu, pipinya makin chubby, rambutnya pun makin panjang.”Aje tersenyum lagi.“Tiara rupanya sudah lupa dengan aku, Bang. Mau kugendong dia tak mau. Mau kucium apa lagi. Aku keluar dulu, beli es krim, barulah dia mau kugendong. Hahaha.
Bab 295:Duren Montong Sepanjang perjalanan pulang ini Aje sesekali tersenyum. Ia merasa geli ketika teringat keberhasilannya melakukan ‘prank’ kecil pada Karin di gazebo tadi.Begitu lucunya mungkin bagi sang Polwan itu. Sampai ia tertawa tergelak-gelak. Berhenti sebentar untuk bertanya jawab, lalu tertawa dan tergelak-gelak lagi.Karin bahkan sampai bangkit dari posisi duduknya dan mencubiti bahu Aje.Memori di gazebo belum lama tadi ia padan-padankan dengan memorinya yang dulu bersama almarhumah Diana.Prank pura-pura tertidur akibat terkena hipnotis sendiri, dulu juga pernah ia lakukan pada istrinya itu.Betapa senang dan gembiranya Diana ketika itu. Ia tertawa begitu lepas, dan menggeram-gerami dirinya dengan pukulan bantal guling.Aje lalu menangkap bantal guling, menarik tangan Diana pula, lalu segera menyambar bibir Diana yang merona itu dengan ciuma